Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Third Chapter

"Sampai akhirnya aku menyadari sekarang, bahwa hal itu tak ada apa-apanya dibandingkan hal-hal yang kualami setelahnya."

✈✈✈

Pagi ini Ibu tidak menyiapkan sarapan. Dia hanya duduk di meja makan yang kosong dan memintaku menemaninya duduk di bangku seberang. Aku menghela napas tak ingin berargumen sepagi ini. Semenjak kejadian itu, aku merasa malu pada diriku sendiri dan muak melihat Ibu.

Ibu melipat kedua tangannya di depan dada dalam raut wajah bersalah yang tengah ia usahakan bahwa sebenarnya dia tidak bersalah. Ibu selalu begitu. Selalu begitu.

"Sepertinya kau tidak mau lagi bicara dengan Ibu." Aku baru menyadari Ibu mengapit sebatang rokok di jari-jarinya ketika ia menghisap rokok itu. "Kita harus selesaikan semua ini."

Aku membuang muka. "Tidak harus dijelaskan. Ibu sudah mengakuinya."

"Secara teknis Ibu tidak melakukannya."

"Tidak melakukannya? Ibu bahkan tidur dengan manager Ibu sendiri."

"Kau tak tahu apa-apa tentang itu, Cheryl. Tak tahu apa-apa." Menyebalkan ketika Ibu mulai menunjukan dominasinya dengan meninggikan suara.

"Aku tahu."

Ibu menggeleng dan mengatakan kalau aku tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. "Berhenti memikirkan hal ini karena ini urusan Ibu. Tidak perlu diambil pusing ...,"

"Ibu pelacur."

Kalimat itu meluncur mulus dari mulutku dan itu berhasil menghentikan dominasi suara tinggi dan cepat Ibu yang terdengar seperti teriakan. Wanita itu menatapku tajam dengan sorot mata penuh ketidakpercayaan.

"Well, perkataan itu terdengar sangat kasar untuk sesama wanita." Suara Ibu sedikit bergetar meski masih terdengar sok kuat.

"Tidak, karena Ibu memang seperti itu."

"Ibu seperti itu karena Ibu bertanggung jawab memenuhi kebutuhanmu."

"Owh seolah-olah semua ini karenaku dan aku yang bersalah karena Ibu tidur dengan dua atau tiga laki-laki berbeda setiap malamnya." Aku hampir meninggikan suaraku sama seperti Ibu. Mataku terasa panas dan dadaku mulai sesak.

"Ya. Salahkan semuanya padaku karena bercinta untuk mendapatkan uang. Salahkan semuanya karena jika tidak demikian, kita akan merangkak di trotoar, mencari Ayah sialanmu dan memohon untuk mendapatkan kembali kehidupan tolol yang dulu aku rasakan!!" teriaknya lalu membanting asbak ke atas meja sehinggga abu rokok melayang di udara dengan begitu indah. Untuk sesaat.

Aku menggigit bibir dan mengangguk pelan. "Seolah semuanya menjadi diwajarkan. Orang mencuri karena terpaksa menjadi wajar, orang menipu karena terpaksa menjadi wajar. Ibu menganggapku bangga mempunyai seorang Ibu pelacur?"

"Baik. Terserahlah padamu, Cheryl." Ibu mendorong meja kemudian kembali bersedekap tak terima. "Kau perempuan suci, jadinya menurutmu dunia adalah tempat semua orang mendapatkan kehidupan yang layak. Mencari kerja, melamar kerja, lalu diterima. Menikah, punya anak, lalu bahagia. Sekolah, jadi tidak berguna, dan mencapai kesuksesan." Hampir tak kupercayai, mata kiri Ibu mengeluarkan air mata. Ini kali pertama setelah perceraian mereka.

Perempuan itu masih bersedekap, memalingkan wajah dalam sikap sok kuat itu. Aku hampir saja mengasihaninya.

"Bagaimana jika Ibu hamil? Ibu menggugurkan bayi haram Ibu?" Aku tidak akan terjebak dalam drama Ibu dengan air mata langka itu.

Seketika Ibu menoleh dengan tatapan tajam. "Tidak, karena kau juga anak haram."

Aku terkekeh. "Secara teknis Emily lebih dulu lahir dariku."

Gotcha! Dia melakukan kesalahan untuk membodohiku.

"Memangnya kenapa dengan anak haram? Anak haram tidak bersalah. Ibu juga lahir di rahim tanpa pernikahan."

Baik. Cukup. Aku muak. "Kalau begitu keluarga ini adalah Keluarga Haram!" Aku berdiri, menyandang tasku dan berjalan keluar tanpa memedulikan Ibu yang masih berusaha memanggilku.

Ketika melewati ayunan di pekarangan rumah, aku kembali berjalan mendekati ayunan itu. "Kau dengar Emily? Keluarga ini keluarga bodoh." Aku mengerang kemudian menendang ayunan itu.

✈✈✈

"Alison dan Sam putus. Hubungan yang hanya hitungan hari. Aku tidak percaya hal ini." Kembali, Junnie menyumpal otakku di pagi menyebalkan ini dengan informasi tak penting yang dibesar-besarkan.

Secara tak sengaja, telingaku menangkap ucapannya yang menggosipkan kalau Alisonlah yang mutusin Sam karena Alison yang tiba-tiba tertarik dengan kakak kelas baru yang dikabarkan serba sempurna itu.

"Tapi harus kuakui, jika kau melihat Kak Dio, kau tidak akan bisa menolak insting perempuanmu untuk menjadi pacarnya," lapor Junnie secara berkelanjutan tentang Kakak Tingkat baru itu.

"Aneh sekali, kalau mau pindah kenapa harus di pertengahan semester seperti ini? Kenapa tidak melakukannya di awalan semester?" Aku menarik sudut bibir sambil menggeleng pelan dengan tangan yang terus menyalin jawaban PR Biologi Junnie.

"Oh ayolah, Cheryl. Jangan terlalu kaku, terlambat itu berarti keren."

"Terserahlah." Jika ingin mengakhiri keterlibatanku dengan celotehan Junnie, aku harus membiarkan argumennya terdengar lebih keren.

Sekilas aku melirik meja sebelah yang kembali kosong. Tidak sepenuhnya kosong karena Jeremy si kutu buku yang merupakan penghuni asli bangku tersebut tengah duduk nyaman untuk pertama kalinya. "Ngomong-ngomong jawabanmu yang nomor tiga, salah. Planaria itu merupakan golongan Plathyhelmintes bukan Annelida." Bisikku seraya mengembalikan buku PR Junnie.

Junnie merengut. "Baru kali ini orang yang nyontek lebih tahu jawaban."

"Hei, Jeremy. Aku belum ngerjain PR Logaritma," aduku pada penghuni bangku sebelah.

"Terus?"

"Ya aku mau nyontek." Tak perlu menunggu lama bagiku sampai laki-laki kurus kacamata itu menyerahkan bukunya.

Melihat hal itu berlangsung, Junnie mendekatkan dirinya padaku kemudian berbisik. "Kenapa harus pinjam PR Jeremy? Kau kan masih bisa pinjam jawaban PR-ku."

"Berisik. Kamu kan Matematika selalu dibawah KKM," balasku sambil terkekeh pelan karena Junnie memperlihatkan wajah kesalnya yang imut.

Baru saja aku mengurut dahi yang terasa pusing karena bingung harus mulai menyalin jawaban logaritma dari mana, tiba-tiba anak-anak perempuan kelas sepuluh lari beramai-ramai melintasi depan kelasku. Getarannya terasa seperti amukan gajah sepadangan. "Apa yang dilakukan cewek-cewek di pagi menyebalkan ini?" gumamku sekaligus menggerutui jawaban Jeremy yang panjang meski dipastikan benar.

"Itu pasti mau ngelihatin Kak Dio. Aku mau ikut-ikutan juga ah." Junnie mengambil ancang-ancang.

"Jangan bodoh Junnie. Apanya yang keren dari manusia pindahan di tengah semester?" tahanku yang membuat gadis itu kembali duduk.

"Dia gak sendirian, Cheryl. Ada juga kok siswa lain yang pindah ke sekolah ini beberapa hari lalu. Malah lebih parah karena dia kelas dua belas." Junnie masih membela kakak tingkat yang dielu-elukan itu.

"Oh aku harap aku peduli."

"Aku juga gak peduli soalnya dia cewek. Kepindahan dia juga gak bikin heboh tuh kayaknya." Laporan Junnie terdengar seperti ucapan yang menghabiskan waktu dan tarikan napas untuk beberapa helaan.

"Kalo gak heboh kenapa bisa tahu?"

Lagi, Junnie mendekatkan tubuhnya padaku. "Memangnya apa sih yang teman sebangkumu ini gak tahu? Aku bahkan tahu nama kating kelas dua belas itu. Dia anak IPA, namanya Emily."

Seketika tanganku berhenti menulis. Mataku terpaku pada ruang kosong untuk beberapa saat sebelum menoleh menatap wajah bulat Junnie dengan patah-patah. "Emily?" tanyaku dengan suara serak.

Junie mengernyit dengan mata penuh selidik. "Ow, tampaknya kau lebih tertarik pada berita kepindahan perempuan daripada makhluk cassanova."

"Emily siapa ... maksudku nama kepanjangannya apa?"

"Yo, selow, Sist. Aku gak ngapal sampe segitunya, aku tahu tapi lupa. Emily Bolton? Emily Dalton? ...."

Aku memutar bola mata. "Emily Watson?"

"Ya. Kalo gak salah itu," teriak Junnie seakan aku memenangkan pertanyaan kuis.

Tanpa tunggu waktu yang lebih lama, aku langsung tancap gas menuju kelas dua belas yang ada di lantai tiga sekolah.

Sial harus naik tangga berkali-kali.

"Hei, Cheryl, katamu kau gak tertarik sama Kak Dio?! Kok malah ikut nimbrung?" teriak Junnie kemudian ikut lari. "Aku juga mau lihat Kak Dio!"

✈✈✈

"Hei, aku menemukanmu!" Emily tersenyum kemudian jongkok di depanku. Setelah lemarinya dibuka, rasa pengap di dalamnya sedikit berkurang.

Aku melengkungkan kedua ujung bibir ke bawah, lalu menepuk-nepuk ruang sempit yang tersisa di sampingku, di dalam lemari. "Sini, Emily! Ibu tadi suruh aku masuk sini." Ajakku dengan polosnya.

Emily menautkan alis dengan tatapan selidik. "Ibu menyuruhmu mengurung diri di sini."

Aku mengangguk berkali-kali. "Ibu marahan lagi sama Ayah."

Emily tersenyum, melihat hal itu perasaanku terasa sedikit lebih tenang. Tanpa disangka, gadis itu ikut masuk dan mengambil tempat yang kumaksudkan. Di sampingku. Kemudian ia menutup pintu lemari lebih rapat dari yang kulakukan sebelumnya.

"Tidak begitu buruk, ya?" Aku melihat Emily berusaha menahan rasa sempitnya.

"Cheryl gendut ya?" Aku sedikit bergeser memberikan Emily ruang.

Dalam keadaan pengap, dan gelap, aku masih dapat melihat Emily tersenyum padaku. "Tidak, sepertinya Kakak yang cukup besar." Ia mengelus kepalaku dan aku suka. "Hei, lihat, kita masih bisa melihat keadaan kamar dari sini." Dia mengarahkanku pada benda-benda yang dapat kami lihat dari sela-sela pintu lemari. Sinar dari jendela yang sembilan puluh derajat dari lemari tetap dapat menembus lubang-lubang kecil yang ada.

Samar-samar aku melihat Emily, dan diriku yang ditaburi bintang-bintang.

"Kakak ...,"

"Sssst. Ayah datang!" bisik Emily yang langsung membekap mulutku dengan tangan kirinya.

"Kenapa kalau Ayah datang?" Aku balas berbisik setelah melepaskan bekapan tangan Emily.

Emily mendekatkan mulutnya dengan hati-hati. "Ingat dengan Dora? Anggap saja Cheryl adalah Dora dan Kakak Boots. Sedangkan Ayah Swipper."

Seketika mulutku membentuk huruf O memahami maksudnya. Aku kemudian mengintip dan terkekeh melihat Ayah yang melangkah mendekat. Namun, lagi-lagi Emily membekap mulutku.

Ayah kini berada tepat di depan lemari dan Emily langsung menahannya. Aku tertawa melihat Emily yang mempertahankan benteng persembunyian kami.

Saat itu aku mengira ini adalah permainan sembunyi yang kami lakukan secara tiba-tiba, hingga akhirnya aku tersadar saat pintu lemari terbuka. Emily yang terjungkal karena menahan pintu itu sebelumnya, langsung berteriak dengan suara melengking menakutkan, sementara Ayah yang mendekatiku mencengkram rambutku dengan erat dan menarikku keluar dari lemari itu.

Aku menjerit merasakan hal yang paling menyakitkan yang pernah kurasakan saat itu. Jantungku hampir copot tak mengerti mengapa Ayah tiba-tiba menarik rambutku. Dengan tertatih-tatih, aku mengikuti langkahnya seraya memanggil-manggil nama Emily.

Emily yang melihat hal itu langsung melompat dan menggigit kaki Ayah sampai berdarah. Ayah berteriak dan melepaskan jambakannya. Aku menangis saat itu juga karena Ayah balik menarik rambut Emily dan menamparnya.

Itu adalah hal paling mengerikan yang pernah ada. Sampai akhirnya aku menyadari sekarang, bahwa hal itu tak ada apa-apanya dibandingkan hal-hal yang kualami setelahnya.

BRAKKK!!!

Aku menabrak salah satu siswi yang menghadangi jalan. Dia meringis dan mengomeliku yang terduduk di lantai. Aku mendesah dan meminta maaf meski dia masih terus mengomeliku.

Lagian, kenapa bisa ada lautan siswi yang menghalangi koridor menuju kelas dua belas seperti ini?

Dengan terengah-engah dan napas yang sesak karena himpitan dan kaki yang terinjak, aku berusaha melewati gerombolan siswi yang menjadi liar dan buas.

"Awas-Awas-Awas ...." teriakku berusaha mengenyahkan diri sampai-sampai tubuhku terdorong dan hampir menabrak laki-laki yang tengah diajak berselfie ria.

Perutku sakit dan dadaku sesak setelah melalui kerumunan itu. Rasa pusing yang begitu menyiksa membuatku mual dan hampir muntah.

"Kamu gak apa-apa?" Laki-laki yang hampir kutabrak tadi menanyakan keadaanku. Bodoh, sudah jelas aku hampir pingsan di tempat.

Aku menatapnya sejenak. Tubuh tinggi, kulit putih bersih, hidung mancung, tatapan mata tajam, dan atletis. "Kau anak baru itu? Kak Dio?" Aku menanyakannya dengan napas yang hampir habis.

"Ya." Dia tersenyum.

"Dengar ini ...," aku menggigit bibir bawahku. "Kalau mau membuat kerumunan seperti ini, jangan di koridor sekolah. Paham?"

Laki-laki itu mematung kemudian mengangguk dua kali.

"Dasar laki-laki berengsek sialan," umpatku. Setelahnya aku berlalu dengan pincang. "Aku hampir saja mati dan waktuku terbuang banyak."

Kembali, aku harus meminta orang-orang memberikanku ruang sebelum menaiki tangga sialan dengan kaki berdenyut karena tijakan belasan orang.

Aku sampai di lantai teratas sekolah saat bell masuk hampir berbunyi. Sialnya, aku lupa menanyakan Emily ada di kelas IPA berapa.

"Permisi Kak, mau tanya." Izinku pada salah satu kating dengan hormat. "Kakak baru yang namanya Emily itu kelas berapa ya?"

"Emily? Dia dan aku sekelas."

Syukurlah.

"Akan aku panggilkan sebentar." Kakak tingkat itu masuk ke kelasnya dan memanggil Emily. Seketika dadaku berdetak hebat dan tanganku berkeringat dingin.

Entah mengapa tiba-tiba aku merasa mentalku menciut dan tak berani menemuinya saat ini.

Tak lama, aku mendengar langkah kaki menuju pintu kelas. Sesaat, aku menahan napas melihat gadis yang tidak terlalu cantik tapi spesial di mataku.

Aku menangkap mata hitamnya yang indah, dan rambut kecoklatannya yang agak kusut.

Entah mengapa tiba-tiba air mataku keluar begitu saja. Gadis itu kaget melihatku.

"Dik, kenapa kamu menangis?"

Aku menggeleng. "Emily? Emily Watson?"

Dia menatapku bingung, sebelum akhirnya terbelalak menyadari sesuatu. "Cheryl?"

Aku mengangguk sesaat dan air mataku semakin deras. Gadis di depanku kemudian turut menangis dan kami langsung berpelukan dengan eratnya.

🌬...🌪





Welcome Back!!!

Yeey hari ini updatenya agak pagiii!! Gimana btw ceritanya?

Do you like it? Wanna make some advice or share your opinion? Please comment below👍

Nice!! See yaa🎋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro