Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nineth Chapter

"Kau tidak bisa mempercayai orang yang menyakitimu."

✈✈✈

Meski kerap kali kami berdebat, tapi harus kuakui bahwasannya hal ini sama sulitnya bagiku untuk membicarakannya dengan ibu. Ibu bahkan tidak tahu tentang keberadaan ayah dan Emily di kota ini dan tiba-tiba aku meminta Emily untuk tinggal dengannya.

Seperti apa reaksi yang akan ia tunjukkan, aku tidak tahu pasti. Namun, di waktu tenang seperti inilah waktu yang tepat untuk mengatakannya sebelum ada laki-laki yang akan menjemputnya.

"Ibu ...," Aku memanggil ibu dengan amat hati-hati meski pandangan wania itu tetap mengarah ke televisi. "Anu ... aku bertemu Emily."

Ibu menoleh seketika dengan raut wajah tak percaya. "Emily ada di sini?"

Aku mengangguk pelan.

Ibu menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. Persis seperti adegan sinetron alay. "Ya Tuhan. Sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengan dia. Di mana dia sekarang tinggal?"

Aku menggeleng. "Cukup jauh. Di area selatan."

Ibu menegangkan tubuh dan mulai menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Dengan siapa Emily tinggal, mengapa dia pindah ke sini lagi, seperti apa keadaannya, sekarang dia bersekolah di mana, dan hal kecil maupun hal besar lainnya.

Ketika kukatakan kami satu sekolah, Ibu sempat terlihat senang, tapi ketika aku memberitahu jika Emily tinggal dengan Ayah, raut wajah bahagia itu hilang seketika.

"Bagaimana keadaan ayahmu?" Ibu mengganti chanel TV dengan remote yang ia pegang. Sikapnya kembali acuh meski dia yang mengajak obrolan tentang Ayah.

Aku mengatakan sedikit hal-hal hebat yang sempat Emily katakan sebelumnya tentang Ayah, dan Ibu hanya mendengus entah mengatakan 'iya aku mengerti' atau 'iya aku tak peduli'.

Aku menelan ludah sesaat ketika pembicaraan ini hampir mati karenannya. "Eh ... anu. Aku dan Emily berencana bertukar tempat selama satu semester ini. Hanya untuk semester ini." Aku cepat memberikan penekanan setelah wajah berkerut ibu kembali memicing terhadapku.

"Maksudnya?"

"Selama semester ini Emily akan tinggal dengan Ibu, sementara aku dengan Ayah."

"Tidak setuju."

Aku terlojak dan menggiit bibir bawah mendengar penolakan mentah-mentah itu. "Boleh tahu alasannya kenapa?" Secara tak sadar, tanganku berkacak pinggang dan intonasi suaraku meninggi. Begitupun dengan ibu.

"Emily tinggal di sini, Ibu setuju. Kau tinggal di sana, Ibu tak setuju."

Aku terkekeh seketika mendengar Ibu yang ternyata masih memiliki sikap tegas. "Kenapa tidak setuju aku tinggal sama Ayah?"

Ibu mematikan televisi seketika dan menatapku tajam. "Dia pria brengsek, Cheryl. Dia pemabuk, sadistik, dan sinting."

"Ow, seolah-olah Ibu perempan yang baik-baik." Wajahku masam mendengar hiperbola sepihak itu.

"Ibu tak akan membiarkanmu tinggal dengan penjahat."

"Dia ikut komunitas rehabilitasi dan sekarang punya pekerjaan yang layak," belaku dalam satu tarikan napas terhadap ketidaksetujuan yang terdengar menghakimi.

Ibu menggeleng dan menarik bibir ke bawah. "Kau tidak akan tahan tinggal dengan bajingan seperti dia."

"Saat ini aku tinggal dengan perempuan alkoholik, masokis, dan seorang wanita malam. Bukankah itu yang terdengar lebih buruk?" Aku menghentakkan kaki dan berjalan menuju kamar. Ibu masih menceramahiku dan mengikuti langkahku.

"Apa ini?" Dia menendang koper yang sudah kusiapkan sebelumnya. Aku menahan pakaian yang mulai ibu hamburkan.

"Stop!" Aku menahan ibu dengan kasar. "Aku bilang stop!" Kami berdua bersitatap dalam ketegangan dan hunusan tajam.

Aku mengusap wajah dengan kesal dan meneriaki ibu. "Aku muak dengan gunjingan warga sekitar. Aku muak dengan laki-laki yang keluar masuk rumah kita, Ibu tahu? Aku cuma minta kebebasan satu semester ini saja. Hanya satu semester saja."

"Ibu bukan tidak ingin membebaskanmu, Ibu tidak mau kau tinggal dengan Ayahmu. Mau dipukuli lagi?"

"Dia sudah berubah, oke? Jika Ibu melihat rupa Emily saat ini, Ibu dapat langsung membedakan mana anak Ibu yang bahagia dan mana yang menderita." Aku terengah-engah karena harus menarik urat leher agar pembicaraan ini tidak hanya satu arah. Ibu masih menggeleg dan menatapku tak peduli.

"Kapan Emily datang?"

"Besok."

"Terserah kau saja." Ibu pergi meninggalkanku. "Ibu akan mendengar semuanya dari Emily. Kau tidak bisa memercayai orang yang menyakitimu."

"Aku tidak percaya Ibu," jawabku langsung. Pembicaraannya hanya sampai di situ. Selesai sampai di situ.

Dan aku berharap itu kali terakhir aku harus adu mulut dengan Ibu. Setidaknya sampai semester selanjutnya.

Aku seharusnya minta maaf pada Emily. Hanya saja, aku juga ingin hidup. Aku ingin merasakan seperti apa menjadi seorang anak.

✈✈✈

"Mau pindahan ke mana?" Junnie mulai menginterogasiku setelah melihat koper yang kubawa ke sekolah. Aku menjawab pertanyaan gadis itu dengan kalimat-kalimat yang lebih membingungkannya hingga ia menyerah sendiri.

"Pernakah kau menyakiti orang yang kau sayangi demi kebahagiaan dirimu sendiri? Padahal sebenarnya kamu gak punya niat nyakitin dia?"

Juni melotot heran mendengar pertanyaanku barusan. Gadis gempal itu berpikir sesaat, membuat lemak lehernya lebih terlihat. "Tidak," jawabnya kemudian.

Aku mengidikkan bahu. Lagipula tidak seharusnya aku menanyakan hal ini pada Junnie.

Perasaan bersalahku semakin kental tatkala bertemu dengan Emily sesuai janji ketika jam pulang sekolah. Emily membawa koper yang sedikit lebih kecil dari milikku. Gadis itu melambaikan tangan dan tersenyum dengan begitu menawan.

Aku menelan ludah dan balas tersenyum.

"Siap untuk kehidupan baru?" Emily menyikut lenganku. Aku tersenyum dan membalasnya dengan penuh semangat.

"Kehidupan dengan orang tua. Kehidupan dengan Ayah dan anak."

Kami berjalan beriringan dalam irama sore hari. Saling berbagi pemikiran tentang kehidupan 'baik-baik' saja yang saat ini aku pikirkan dan mungkin juga tengah Emily pikirkan. Hal ceroboh dariku adalah aku tidak memikirkan dampak panjangnya. Dalam singkat cerita, Emily mungkin tahu seperti apa kehidupan bersama ibu yang sebenarnya.

Dia mungkin marah padaku dan membenciku setelah ini.

Sebenarnya apa yang kulakukan? Aku mengorbankannya untuk kehidupan yang lebih layak padahal hanya dia orang yang kusayangi dan yang sayang padaku.

Ini tidak benar.

"Emily ...,"

"Cheryl ...,"

Kami terdiam beberapa saat karena memanggil di waktu yang bersamaan. Suara kendaraan melaju melintasi kami berdua yang kini ada di pinggiran trotoar di tengah jembatan jalan.

"Kakak duluan," pintaku mengalah.

Emily berbalik badan dan menghadap ke pembatas jembatan. Tubuh kami tepat ditindih sinar matahari sore yang mengarak di barat. Angin kecil menerbangkan anak rambut Emily sehingga terlihat seperti cokelat bercahaya di segala sisi.

"Aku senang punya kesempatan tinggal dengan Ibu." Ucapan Emily membungkamku seketika. "Tapi aku ingin suatu hari nanti tinggal bersamamu juga."

Emily menatapku intens dan dapat kurasakan jika saat ini aku menyelami kedalaman matanya. "Di Jakarta aku sempat dibully. Aku tidak punya Ibu. Dan Ayah saat itu masih pecandu Narkoba. Itu benar-benar masa yang sulit." Emily menjilat bibir bawahnya dan menatap langit yang mulai kemerahan.

Aku hanya terpaku, tak dapat memalingkan pandngan darinya.

"Biaya hidup di sana jauh lebih mahal. Tidak ada kerabat, tidak ada tempat untuk berbagi, bokek ...," Emily menghela napas sesaat. "Aku tidak tahu pasti bagaimana saat itu Ayah bangkit. Yang pasti itu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Beruntung saat itu aku bertemu Awan meski akhir dari hubungan kami kurang baik."

Aku melihat bagaimana jemari kurus Emily menggenggam pembatas besi itu. Suara bising dari kendaraan justru kabur dari pendengaranku karena yang kudengar saat ini hanyalah helaan napas Emily, helaan napasku, detak jantungku, dan angin.

Aku turut menatap langit setelahnya dan melihat bekas lintasan pesawat jet yang meninggalkan asap lurus yang mulai menyebar. Emily menatap kosong tanpa teriakkan untuk meminta uang.

"Apa yang tadi ingin kau katakan?"

Aku menelan ludah setelahnya. "Aku ... minta maaf."

"Untuk?"

"Atas semua kesalahan yang sudah kuperbuat."

Emily diam sesaat. "Kau satu-satunya orang yang tidak pernah berbuat kesalahan terhadapku."

Aku mengepalkan tangan dan merasakan betapa terlukanya perasaanku mendengar hal manis itu. Setelah hari ini, kalimat itu tidak akan pernah terucap lagi dari mulut Emily.

Aku yang salah.

"Aku menyayangimu, Emily." Suaraku terdengar sedikit bergetar. "Bahkan jika terlahir kembali, aku ingin lahir sebagai adikmu."

"Aku tidak," jawab Emily cepat dan itu membuatku menatap tak percaya. "Kehidupan akan tetap sama saja meski aku terlahir kembali. Bahkan jika jadi seorang bangsawan sekalipun. Aku ingin menjadi anak tunggal. Aku tidak ingin mengajak siapapun masuk dalam permasalahan hidupku, termasuk adikku sendiri."

Mataku terasa berair seketika. Aku ingin menghentikan ini cepat, tapi aku juga ingin terus melangsungkannya.

Aku tidak bisa berhenti dan berlari begitu saja.

"Lagipula kita akan saling menemukan setelah ini." Emily tersenyum dan menatapku bahagia. "I'm gonna be Mama's Girl!"

Kami berdua tertawa bersama-sama.

"Besok kita akan bertemu dan terus bertemu, Cheryl. Kita akan berbagi satu sama lain tentang keajaiban kehidupan masing-masing. Dan suatu hari nanti ... kita akan menertawai semua yang sudah terjadi."

Aku menggigit bibir dan menyebrangi jalanan. Mataku terasa panas dan aku melambaikan tangan padanya. Emily tersenyum dan mencengkram kopernya dengan erat. Tangan kirinya kemudian balas melambaikan tangan padaku.

"I Love You!!" teriakku serak dan Emily hanya tersenyum.

Meski besok kami pasti bertemu, tapi rasanya ini seperti perpisahan keduaku dengan Emily.

Perasaanku bercampur aduk. Semakin aneh sampai Emily yang menemukan angkot terlebih dahulu.

Gadis itu kembali tersenyum padaku sebelum menaiki angkotnya dan pergi menuju utara. Sementara aku yang akan berlabuh ke selatan justru melewatkan beberapa angkot yang lalang.

Aku kembali berbalik badan menatap perlawanan tempat matahari yang akan tenggelam.

Pesawat jet melintas di atas langit menuju ke arah timur laut, meninggalkan lintasan baru dan mengejarku secara mendesak.

Dadaku sesak dan air mataku perlahan mengalir.

Aku memukul-mukul kecil dadaku dan menangis dalam diam.

Tanpa suara.

🌬.........🌪

#Author No comment🙃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro