Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fifth Chapter

"Tapi kadang kau butuh orang lain."

✈✈✈

Saat itu kami hanya mampu membeli satu es krim. Emily yang duduk di ayunan, menjilat es krim cokelat itu dengan senangnya. Aku berjongkok di depan Emily dengan tangan kiri memegang lidi yang menusuk-nusuk tanah. Pandanganku mendongak melihat bagaimana Emily menjilati es krim itu.

Setelah lima jilatan, Emily memberikan es krimnya padaku. Lalu dia hengkang dari ayunan dan duduk bersila di samping ayunannya. Aku berdiri dan menggantikan posisinya di ayunan taman balai seraya menjilati es krim. Setelah lima jilatan, aku memberikan es krimnya pada Emily. Begitupun seterusnya sampai es krimnya habis.

Setelahnya kami menontoni anak-anak di taman yang bermain dalam kelompok masing-masing. Kami tidak masuk kelompok manapun karena mereka mengasingkan kami. Atau mungkin kami yang mengasingkan diri.

"Cheryl tahu kan kalau Ayah sama Ibu mau cerai," ucap Emily di sampingku. Tangan kirinya mulai mendorong pelan ayunan di taman itu.

"Cerai itu berarti Ayah sama Ibu gak tinggal bareng lagi, kan?" Emily mengangguk atas pertanyaanku. "Kalau begitu Cheryl suka. Kalo Ayah gak tinggal sama kita lagi, kita gak bakal dijahatin lagi."

Emily tak merespon. Dia beku dan diam dengan tangan yang terus mengayunku. Aku menatapnya dan menanyakan mengapa, tetapi dia tetap bungkam. Matanya lurus menatap anak-anak yang tengah bermain dengan senangnya.

"Kakak tidak suka," ungkapnya kemudian.

Aku tidak mengerti mengapa Emily tidak menyukai perpisahan mereka, setidaknya Emily tidak akan dipukuli Ayah lagi meski Ibu kadang menghukum dengan hukuman menjijikan. Itu pemikiranku sampai katika Ayah pergi, Ayah ternyata membawa Emily bersamanya. Aku tidak tahu jika Emily akan dibawa pergi.

Tapi ketika pemikiranku sudah lebih dari sekadar anak tujuh tahunan, aku menyadari jika Emily saat itu diberikan pilihan untuk ikut dengan Ayah atau dengan Ibu. Aku seratus persen yakin jika saat itu Emily ingin ikut Ibu, hanya saja dia tahu dengan begitu aku akan pergi bersama Ayah, jadinya dia memutuskan untuk merelakan dirinya hidup bersama Ayah yang suka memukuli kami berdua.

Emily yang malang, atau lebih tepatnya Emily yang beruntung karena ikut dengan Ayah yang beriringan mengalami perubahan sementara aku tinggal bersama Ibu yang melankolik, bodoh, dan hebatnya dia seorang pelacur.

"Aku pulang." Aku membuka pintu rumah setelah perjalanan jauh dari rumah Emily. Rumahnya minimalis dan bagus. Tidak sebesar rumah lama kami yaitu rumahku saat ini, tapi setidaknya Ayah bukan seorang pelacur.

Emily tadi langsung memintaku pulang tanpa mengajakku untuk mampir terlebih dahulu. Mungkin lain kali karena sepertinya dia dapat memperkirakan aku yang bisa saja sampai di rumah sudah dalam suasana malam.

"Ibu?" Seketika aku berjalan pelan setelah mendengar erangan dan desahan aneh dari dalam. Tepatnya berasal dari kamar Ibu.

Semakin dekat dengan kamar Ibu, semakin jelas bunyi desahan tersebut. Aku mengernyit melihat baju perempuan dan laki-laki yang tanggal di sofa serta celana dalam dan boxer yang ada di depan pintu kamar Ibu yang terkunci. "Oh bagus." Aku berdecak dan membanting tas sekolahku ke pintu kamar itu.

Seketika suara desahan itu terhenti. "Teruslah bercinta dengan seluruh laki-laki di muka bumi ini!!!" Teriakku dengan kasar kemudian langsung naik ke tangga dan mengunci kamarku.

Kenapa Ibu selalu merusak semuanya. Dia bahkan merusak hari yang hebat ini. Pagi meyebalkan karena Ibu, malam menyebalkan karena Ibu. Rasanya seperti rumah ini benar-benar membuatku sesak.

Setelah ini Ibu pasti pulang subuh dan muntah di sana-sini dengan bau alkohol di mana-mana. Paginya dia bersikap manis seolah tak terjadi apa-apa. Mengesalkan sekali.

✈✈✈

Pagi-pagi sekali, aku menunggu di dekat gerbang sekolah. Sengaja untuk melihat Emily lebih awal. Entah mengapa dengan melihatnya dapat memperbaiki keadaan moodku.

Tapi hal ini ternyata di luar dugaan. Awalnya aku pikir beberapa rombong anak cewek yang turut berkumpul di gerbang adalah hal biasa dan wajar. Namun, semakin bertambahnya waktu, kerumunan para siswi semakin banyak. Sial, bagaimana aku bisa melihat kedatangan Emily jika keadaannya seperti antri sembako.

Semuanya menjadi tidak terkontrol sampai di antiklimaks ketika mobil yang aku tidak tahu mereknya apa tapi mobil bagus tiba-tiba masuk ke sekolah dan parkir di tempat parkir mobil, yang artinya satu meter dari tempatku. Mataku melotot melihat kerumunan siswi-siswi buas itu mulai berlarian menuju arahku.

Teringat kaki yang belum sepenuhnya pulih, aku langsung melindungi kakiku dengan menyandarkan tubuhku di mobil itu.

Hal menyebalkannya adalah aku baru menyadari jika titik target para siswi ini tak lain selain mobil yang kusandari ini.

Aku maju selangkah meski jalur melarikan diri sudah tertutup, sialnya badanku tertumbur dari belakang oleh pintu mobil yang tiba-tiba terbuka. Aku terdorong ke depan dan menjerit melihat kakiku hampir diinjak oleh siswi-siswi yang kehilangan indra penglihatannya.

"Jangan injak-jangan injak!!!" teriakku pada para siswi yang justru semakin maju dan mendorongku. Lagi, aku terdorong, kali ini ke belakang dan secara pasrah aku membentur siswi-siswi lainnya.

"Maaf aku menginjak kakimu," kataku pada siswa yang tak sengaja aku injak kakinya. Ketika melihatnya lebih jelas, ternyata orang itu adalah Kak Dio. Laki-laki yang terlihat kewalahan itu, langsung menarik tanganku dan membuka pintu belakang mobil. Dalam adegan cepat, aku sekarang duduk di bangku belakang mobil Kak Dio bersama dia yang terlihat terengah-engah.

Aku termenung sesaat tak mengerti apa yang baru saja terjadi. Masuk ke mobil, mengalami aksi dorong mendorong, sampai melihat rombongan siswi yang mengintip kami berdua melalui kaca mobil Kak Dio dan berteriak anarkis. Semua ini di luar rencanaku. Aku bahkan lupa apa rencanaku sebelumnya.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Kak Dio kemudian.

"Setelah ini aku akan dimakan hidup-hidup," jawabku ketakutan melihat mereka yang berteriak memintaku keluar sekarang juga. Aku memegang daun pintu bersiap keluar, tetapi Kak Dio sigap mengunci dan mengatakan jika aku keluar maka kemungkinan mereka akan ada yang masuk.

Aku menghela napas panjang karena hal ini. "Aku ingin melihat Emily." Aku baru ingat tujuanku sebenarnya.

"Melihat siapa?" Kak Dio bertanya dan aku merasa risih karena jarak kami terlalu dekat.

"Bukan urusanmu," jawabku ketus. Aku kembali melihat kerumunan yang sekejap menjadi hatersku. Sial, Alison juga ada di sini. Sesaat, aku menutup wajahku. "Mengapa pagi hari selalu mendapat kesialan?!!!" gerutuku kesal.

"Kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa apanya? Dua hari berturut-turut aku mengalami hal menyebalkan ini." Aku mendesah kesal dan menyumpahi diri sendiri. Kak Dio terlihat bersalah dan aku yakin dia tidak tahu harus melakukan apa. Sampai-sampai keadaan hening cukup lama.

"Menjadi tampan itu ternyata menyebalkan, bukan?" Aku mencoba berdamai dengan keadaan sejenak dan mengajaknya ngobrol kemudian.

Kak Dio menatapku sekilas dan mengangguk perlahan. "Di sekolahku dulu tidak seperti ini."

"Kenapa kau harus pindah sekolah. Cewek-cewek kota kecl kayak kami memang isinya orang-orang norak," jelasku dengan menghiperbolakan kota ini. "Setelah ini aku akan mengatakan pada Jeremy kalau menjadi tampan itu tidak menyenangkan."

"Dia pacarmu?" tanyanya spontan.

Aku menggeleng pelan. "Kau tahu? Setelah ini kau harus membawa pengawal atau persiapkan diri untuk pindah lagi."

Laki-laki itu tersenyum untuk pertama kalinya. "Akan kupertimbangkan lagi." Aku turut tersenyum membalas senyumannya.

Sesaat, mataku mendapati Alison yang kembali membawa laki-laki. Itu Sam. Gadis itu mengatakan sesuatu pada Sam kemudian menunjuk ke arah mobil. Setelahnya Sam mencoba mengintip.

"Sammy!!" teriakku. Sam yang menyadari keberadaanku di dalam mobil, terbelalak heran dan menuju pintu mobil tempatku. "Sam, tolongin!! Aku mau keluar!" Aku mengetuk-ngetuk jendela mobil. Begitupula dengan Sam.

"Jangan keluar dulu, plis." Kak Dio kembali menahan tanganku. Aku mengibaskannya dan kembali meminta bantuan Sam. "Tenang saja, Sam gak akan ngebiarin ada yang masuk ke mobilmu."

"Terus? Kamu mau ngebiarin aku sendirian di sini?"

Aku mengernyit seketika. "Apa peduliku? Kamu bahkan narik tangan cewek secara acak. Sebenarnya bisa aja cewek lain yang nemenin kamu di sini kalo kamu narik tangan mereka. Iya kan?" Aku memaksanya untuk membuka mobil dan dia membuka otomatis mobil itu.

"Oh iya, jika kau mau semua ini berakhir, maka cepat-cepatlah pacaran. Pilih aja salah satu cewek di sekeliling ini. Semuanya pasti mau sama kamu." Aku memberikan masukan sebelum membuka pintu mobil dengan cepat dan keluar dengan cepat.

Sam menahan kerumunan yang ingin masuk, kemudian menutup pintu mobil itu.

Seketika aku menutup telinga karena gerombolan itu mulai menyumpahi dan menyorakiku. Sam memberikan perlindungan dengan menuntunku melewati kerumunan itu.

"Terima kasih Sam." Aku berterima kasih dengan suara bergetar ketakutan.

Sam tak membalas langsung. "Kamu ngapain bisa ada di dalam situ?" tanyanya sedikit marah.

Aku menoleh ke kerumunan itu sebentar. "Ceritanya panjang dan dipenuhi dengan adegan kekerasan. Seluruh badanku terasa remuk."

Sam hendak protes sebelum hal itu diurungkan oleh Alison yang nimbrung tiba-tiba. "Wow-wow, setelah kucampakkan, dia kembali padamu lagi, Cheryl. Kau tahu artinya apa? Kau itu sampah." Gadis itu dengan angkuhnya menghinaku. "Sekarang jangan pernah lagi dekatin Kak Dio karena gue udah ninggalin Sam demi dia," ancamnya sebelum pergi meninggalkan kami berdua.

"Baguslah kalian putus. Kamu gak pantes sama cewek kayak dia," ucapku agak kesal.

Aku tak sadar jika hal ini ternyata membuat Sam menjadi tersipu. "Kau senang dengan kabar ini?"

"Sebenarnya kau yang mencampakan dia, iya kan, Sam?"

Sam tertegun sejenak sebelum akhirnya mengangguk sekali. "Aku memberitahu Alison jika aku masih menyayangimu. Dan dia memintaku untuk tak mengatakan yang sebenarnya pada orang-orang. Aku mengiyakan karena aku tak ingin melukai perasaannya."

"Lupakan ucapanku sebelumnya. Seharusnya kalian memang tidak putus." Aku menyesali jika hal ini disebabkan olehku. Aku tidak akan marah jika Alison membenciku. "Tapi kau orang yang baik, Sam. Aku akan mempertimbangkan lagi pemikiranku yang berpendapat kalau kau hidung belang."

Sam menatapku beberapa saat. "Aku kira kau akan mempertimbangkan untuk berpacaran denganku."

Aku terbahak mendengarnya. "Aku minta maaf atas penolakanku hari itu. Aku terlalu kasar karena aku tidak ingin kau ... begitulah."

"Aku juga minta maaf jika terlalu menekanmu selama ini." Sam ikut meminta maaf. "Kalau begitu aku duluan. Bel sebentar lagi berbunyi." Laki-laki itu pamit kemudian berlalu meninggalkanku.

"Eh, Sam sebenarnya aku ... aku ...."

Sam berbalik dan menungguku lanjut bicara. "Ya?"

"Sebenarnya aku ... ingin berterima kasih karena menyelamatkanku dari mobil sialan itu."

"Kau sudah mengatakannya tadi, Cheryl."

"Ow ...," aku memalingkan wajah. "Terserahlah, lagipula semua orang bisa melakukan hal itu."

✈✈✈

Ketika tak sengaja melihat Emily yang sendirian, aku langsung kabur dari Junnie. Lagipula malas rasanya harus menemani Junnie yang terus-terusan berusaha mendekati anak-anak tennar.

Setelah memesan sepiring batagor di kantin, aku langsung beranjak ke tempat duduk pojok yang lusuh dan terlupakan. Di situlah Emily berada, sendirian seperti dulu. Akan tetapi, lebih lengkap lagi jika kami berdua saling menemani.

"Hei Yo, pretty girl!" Sapaku yang membangunkannya dari lamunan kosongnya. Emily menautkan alis dan tersenyum. "Kau sekarang sudah lebih keren dari yang dulu, huh."

Kami tertawa bersama. Aku duduk di depannya dan melihat dia mulai mengaduk mie ayamnya. "Sendirian?"

"Seperti biasa," jawabnya tak acuh.

"Kau benar-benar sama seperti dulu, Kak."

Emily tersenyum menatapku. "Dan kau benar-benar berubah. Kau pasti punya banyak teman dan diincar oleh banyak laki-laki."

Aku terkekeh mendengar guyonan itu. "Ayolah, aku lebih terlihat seperti berandalan dibandingkan orang-orang tennar. Meskipun beberapa dari mereka juga berandalan."

Percakapan kemudian mengalir dengan begitu mudah. Aku menanyakan tentang teman-teman Emily dan Emily menceritakan betapa payahnya hubungan pertemanannya. Emily bahkan tak ingat satupun dengan nama temannya karena dia lebih suka menyendiri, apalagi sekolahnya yang di Jakarta dulu memiliki fasilitas perpustakaan yang gila-gilaan. Itu membuatnya memutus hubungan sosial.

"Tapi kadang kau butuh orang lain." Secara tak sadar aku mengatakan hal itu karena teringat saat Sam menyelamatkanku kemarin. Sial, alam bawah sadarku mulai memasukkan Sammy ke sana.

Setelahnya dia balik menanyakan tentang pertemananku. Aku menceritakan hal yang kurang lebih sama dengannya. Pertemananku payah. Aku mengakui jika hubungan pertemananku tak ada yang terlalu lekat. Aku menceritakan tentang Arianti yang terlupakan ketika SMA, serta menggabungkannya dengan pertemananku bersama cewek gendut yang terobsesi pada cowok ganteng dan status ketenaran.

"Satu-satunya hubungan persahabatanku yang lekat hanyalah bersama Emily Watson." Aku tersenyum menatapnya. Dia pun balas tersenyum menatapku.

Rasanya masih tak dapat kusangka jika dia saat ini ada di depanku.

"Ngomong-ngomong, Kakak mau main akhir pekan ini? Sekolah swasta ini juga menerapkan sistem full day."

Kini Emily tampak berpikir dan mendatarkan bibir. "Aku tidak bisa," ungkapnya dengan menyesal. "Pekan ini Ayah mengadakan pertemuan di pusat kota dekat Gedung Metro. Aku harus menemaninya karena dia berjanji akan membelikanku buku sastra baru."

Aku mengangguk paham dengan perasaan iri. "Bagaimana kalau aku ikut?"

"Aku tak yakin kalau Ayah siap bertemu denganmu dalam waktu yang cepat. Biarkan aku cerita tentangmu terlebih dahulu padanya hari ini, nanti kapan-kapan kita pergi bersama. Oke?"

"Oke." Aku tersenyum meski itu terpaksa. Aku merasa senang karena kehidupan Emily jauh lebih baik saat ini. Tapi di lain sisi, aku merasa agak cemburu karena perbedaan kehidupan kami yang berbalik kontras.

"Oh iya. Bagaimana kehidupanmu dengan Ibu? Kau belum menceritakannya sebelumnya."

Aku mematung beberapa saat. Menatap batagorku dalam-dalam seraya berpikir sejenak. Tenggorokanku terasa tercekat saat menelan ludah berkali-kali.

"Kehidupanku dengan Ibu ... sebenarnya ...," Aku menatap Emily ragu. "Kehidupan kami fantastis. Tahun-tahunku berjalan baik dengan Ibu, dia juga mulai lebih dewasa ketika bercerai dengan Ayah."

"Benarkah? Luar biasa." Emily menatap takjub.

"Iya, Ibu kadang memiliki hubungan spesial dengan beberapa orang laki-laki yang hampir menjadi ayah baruku. Meski itu tidak pernah terjadi. Dia juga punya pekerjaan yang gajinya besar. Kau tahu kan, Kak, kalau otak encermu itu warisan dari Ibu."

Setelahnya, hal-hal sampah meluncur begitu saja tanpa dapat kukendalikan. Aku tak mengerti mengapa mengatakan hal demikian. Dan ini membuatku jijik terhadap diri sendiri.

🌬.....🌪

Gimana sampe sekarang? Masih sukakah kalian ceritanya?

Sampaikan kritik dam saran kalian di kolom komentar yaa!! Btw, if you had questions about this story, just ask tho in comment form!!

See ya🎋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro