Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fifteenth Chapter

"Dan yang kudapat hanyalah kebohongan, serta separuh dua paruh dari seratus paruh bagian kejujuran."

✈✈✈

Aku berjalam di perbatasan. Berkabung dengan sedan melihat tempat kembali yang begitu kelam. Namun, dalam batas ini, aku tidak dapat melampaui apa-apa. Tanganku seakan memegang dinding kaca yang sebenarnya tidak ada. Menatap kosong keadaan yang lebih baik dari wilayah perbatasan.

Delapan tahun dari sekarang hanyalah ketidak pastian. Batas yang tak terbatas, jalan kembali yang semakin terbentang lebar, lubang pelarian diri yang semakin tidak ada, semuanya tidak pasti. Dan aku terpekur serta membaur dalam pengadaptasian nestapa yang tak berujung.

Dalam langkah pelan, aku berjalan memasuki kelas. Junnie berdiri tergopoh-gopoh mendatangiku dengan berita baru yang memuakan.

"Cheryl!" Langkah kakinya menimbulkan gempa berskala ringan.

Aku hanya bisa menegakan wajah perlahan, menatap polos bencana yang akan datang.

Junnie melompat dan memelukku erat sampai aku terhuyung menahan beban tubuhnya yang benar-benar berat. "Junnie, aku sedang tidak dalam mood untuk hal yang seperti ini." Aku berusaha melepaskan pelukan itu.

Bersama belenggu yang tercipta dan tahun-tahun yang penuh penyesalan tanpa kontrol kendali diri, aku berusaha melepaskannya. Duduk termenung menatap batas yang mungkin memudar. Meski itu tidak benar adanya.

Dan kepadamu wahai Stratosfer, culiklah aku dalam ketinggianmu. Batas-batas di bumi mungkin ada tapi batas di langit yang tak terhingga mungkin tak ada.

Saat ini,

Emily Watson.

"Gue dapet kabar katanya lo bakal jadi tim khususnya, Sam? Ciyee, gue bangga sama lo!"

Aku memutar kedua buah bola mata kemudian berjalan duduk ke kursiku dengan pikiran kusut. Seperti biasa aku belum mengerjakan PR, tetapi saat ini aku sedang tidak berminat bahkan untuk mengusahakannya.

"Kau baik-baik saja, Cheryl?" Jeremy bertanya setelahnya. Aku menggeleng perlahan seraya mengangkat bahu. Aku bahkan tidak tahu hal apa yang sebenarnya benar-benar aku pikirkan.

Jeremy mengangguk sekali. "Kalau kau mau menyalin PR Matematika, bukuku ada di meja Junnie."

Aku mengangguk dan berterima kasih.

"Eh ... Jeremy," panggilku sesaat. "Kau anak ke berapa?"

Jeremy terlihat memicingkan mata mendengarku bertanya seperti itu sebelum akhirnya dia tetap menjawab, "tiga."

"Tahukah kau apa yang Kakakmu lakukan ketika sedang bersedih?"

Jeremy terlihat tak mengerti dengan pertanyaan itu meski ia memikirkan sesuatu setelahnya. "Kakak yang pertama atau kedua?"

"Pertama."

"Aku hampir tidak tahu." Laki-laki itu mengidikan bahunya. "Kakakku yang pertama tidak terlalu suka menampilkan emosi di depanku atau Kakak keduaku. Namun, seingatku kalau dia sedang bersedih biasanya dia menghabiskan waktu dengan baca komik dan main game."

"Biasanya anak pertama pintar menyembunyikan perasaannya." Junnie menanggapi percakapanku sambil menyemili makanan ringan dalam ukuran plastik besar. "Dia ingin terlihat superior dan memberikan contoh yang sempurna pada adik-adiknya. Tuntutan seorang kakak : dia tak boleh cengeng," Junnie terbahak tanpa sebab kemudian melanjutkan, "padahal sebenarnya mereka bisa saja cengeng."

Di kantin, aku kembali duduk bersama Emily. Suasananya tidak secanggung sebelumnya yang pasti. Namun, kali ini aku merasa tidak sedekat saat pertama kali kami bertemu. Tidak hanya dikarenakan perasaan bersalahku sebelumnya, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan yang menggelayati pikiranku. Apa maksud sebenarnya dari tulisan-tulisan Emily.

Kepada seseorang yang berada di langit, yang tinggal di awan, dan menyentuh permukaan atmosfer. Tolong selamatkan aku ...,

"Dari tempat tidur lama kita." Senyuman riang terukir indah di wajah Emily. Gadis itu kemudian menatapku yang justru termenung jauh meski tengah duduk di sebelahnya. "Cheryl, kau mendengarkanku?"

"Em, ya?" Aku berusaha menatap wajah Emily meski sorot mataku belum fokus sepenuhnya.

"Aku baru lima menit menceritakan tentang kamar lama kita yang sudah kau sulap menjadi kamar anak nolep. Dan kau justru berada di dimensi lain. Sedang memikirkan apa? Langit? Hari ini cuaa tidak terlalu bagus."

"Iya ...," Aku menggeleng dan melirik langit. "Kelabu." Sejak tadi pagi langit kelabu pucat, tapi sampai saat ini hujan tak kunjung turun. Emily memicingkan mata menatapku heran.

"Cheryl, apa ada sesuatu yang mengganggu di pikiranmu? Ceritakan padaku."

"Apa? Aku? Tidak-tidak." Aku mengibaskan tangan. "Aku hanya ...," mataku terpekur pada kedalaman sorot mata Emily. "Kak, pernahkah kau menulis puisi, atau sesuatu yang membuatmu suka menulis?"

"Pertanyaan macam apa itu? Kau lupa Kakakmu ini penyuka Sastra?"

Benar juga. Yang Emily tulis pada buku itu mungkin hanya sebuah sajak tak beraturan tentang kesedihan seseorang. Mungkin Emily sedang menulis novel atau semacamnya. Seharusnya ini tidak menjadi pikiranku.

"Ngomong-ngomong aku mau cerita tentang Ibu." Emily mulai bercerita dengan semangatnya dan saat itu pula pikiranku malahan kembali melayang. Tidak tahukah Emily sebenarnya Ibu orangnya seperti apa? Padahal dia sudah sempat di ajak ke bar yang mana aku sendiri belum pernah ke sana. Pikiranku kembali kacau memikirkan semua keacauan ini.

Aku seorang gadis besar yang kesakitan dan tak layak mendapat bantuan. Hidupku hanya aku. Dan aku hanay punya aku. Tak ada satu orang yang berbaik hati. Aku kehilangan adikku dan Ibuku. Hidupku terarak dan terombang-ambing mengikuti alur elegi ....

"Bagaimana dengan Ayah?"

Ayah hanyalah bintik pokaldot pada daun jambu air dan aku kehausan.

"Kakak tidak menceritakan sepenuhnya tentang Ayah," jawabku menanggapi pertanyaan itu.

"Tidak menceritakan apa? Aku menceritakan sepenuhnya."

Dan yang kudapat hanyalah kebohongan, serta separuh dua paruh dari seratus paruh bagian kejujuran. Aku menderita, terlalu menderita pada hal yang tidak dapat aku pilih.

"Ayah masih tidak dapat mengontrol emosinya secara baik."

"Dia memukulmu?" Seketika reaksi Emily berubah menjadi kekhawatiran.

"Tidak! ... hanya saja, dia mengalurkan emosinya dengan cara yang aneh."

Emily mengernyitkan dahi. Dalam keadaan ramai dan hiruk pikuk kantin, kami berdua berbincang dingin seakan berada di kegelapan yang kosong. "Dia menyalurkan seperti apa."

Aku menggeleng dan mengidikan bahu. "Dia marah, marah dengan cara yang aneh."

Jika kau segan maka timpalah aku dengan gemintang hingga lebur ragaku. Aku akan meneteskan air mata setidaknya untuk kali akhir daripada mengingatnya berulang.

"Tidak perlu dipikirkan. Itu caranya mencegah dorongan untuk memukul." Emily mengatakan seakan dia sudah mengalami semuanya meski memang begitu adanya. Kami kembali berbincang lambat tanpa memedulikan sekitar. Aku hampir memberitahu tentang Sam yang memintaku untuk menjadi tim khususnya sebelum tertunda karena bel yang memisahkan kami berdua.

Dia berpamitan dan pergi terlebih dulu dengan alasan aturan kelas dua belas yang begitu ketat. Aku menopang dagu setelahnya mendengar suara keras helikopter yang melintasi langit sekolah, menatap langit mendung yang tak ada daya tariknya. Kemudian aku berdiri kembali menuju kelas dengan pandangan tertekuk dalam.

Terbangkan aku ke angkasa, bawa adik kecilku jika bisa, dan setelahnya jika kau ingin menghancurkan dunia maka hancurkanlah. Jika kau ingin memusnakanku ... maka musnakanlah.

Emily,

✈✈✈

Klimaksnya, hujan mengguyur lebat ketika jam sekolah selesai. Banyak anak-anak tunggang langgang dan bermain nekat dengan menerobos hujan. Junnie membawa payung, tapi tak mengizinkanku ikut karena payung itu hanya muat untuk tubuhnya saja. Benar-benar teman yang sempurna. Aku tak sempat menemui Emily dan enggan mendatangi lantai tiga, takut mengusik ketenangan kakak tingkat yang stress memikirkan PTN.

Saat ini, aku mendapat kesialan terjebak berteduh di pinggir lapangan. Berdesakan dengan anak-anak alay yang sebenarnya hendak menontoni pemain basket sekolah yang latihan sore. Ganda Pura tinggal hitungan hari dan hujan menghalangi jalannya latihan sore hari.

"Kak Dio! Kak Dio!" Himpitan ini semakin kejam hingga seseorang tanpa bersalah menginjak kakuiku hingga kaos kaki.

"Argh!! sial!!" Umpatku melihat bercak sepatu di kaos kaki putihku. Ini akan memakan waktu lama untuk membersihkannya. Aku menarik napas kesal melihat kerumunan perempuan anrkis itu. Dengan bibir yang melengkung ke bawah, aku mencari tempat berteduh lain.

Kali ini tempat yang jauh lebih sempit dan ujung kulit tanganku terkena percikan tetesan hujan. Setidaknya saat ini aku sendiri.

"Hei!"

Oh bagus!

Sam tersenyum ikut berteduh di sebelah kananku. Laki-laki itu mendekatkan tubuhnya karena tempat itu memang sempit. "Belum pulang."

"Alu tidak mau basah," jawabku tanpa menolehkan wajah. Dapat kurasakan ujung hidungku terkena percikan kecil air hujan. Itu benar-benar terasa magis.

"Percikan hujannya kena ujung sepatu kita." Sam sebenarnya tersenyum padaku saat ini, tapi aku tidak menyadarinya. "Cheryl, kamu kedinginan?"

"Ya," jawabku namun justru menjulurkan emari mengenai hujan.

"Aku gak bawa jaket untuk kasih ke kamu."

"Aku juga gak bawa. Lagian aku gak minta." Aku menatap Sammy sesaat. Laki-laki itu terlihat canggung di depanku. "Sam, coba rasakan ini!" Jemariku yang dingin, seketika kutemelkan ke kedua pipi Sam yang hangat. Aku terbahak melihat Sam yang terlihat kedinginan namun tak bereaksi. Laki-laki itu hanya terpekur menatapku yang tertawa.

Melihat wajah laki-laki itu yang memerah, aku langsung melepaskan tanganku dari wajahnya. "Dulu Emily selalu melakukan itu padaku ketika hujan." Aku menjelaskan alasanku melakukan hal itu.

"Hai, Cheryl!" Satu orang lagi mendatangiku dan kini mengapitku dari sebelah kiri. Kak Dio yang terlihat terengah-engah, merapatkan tubuhnya persis seperti yang Sam lakukan sebelumnya. Aku menghela napas panjang karena kini berada di tengah dua cowok tinggi. Padahal tujuanku ke sini untuk menyendiri. Sebentar lagi rombongan anak-anak alay tadi pasti merapat ke sini karena mencari keberadaan Kak Dio.

"Kak Dio ngapain ke sini?" Tanyaku setelahnya.

Dio tersenyum dan mengatakan jika dia menghindari rombongan adik kelas. Aku dan Sam terkekeh bersama mendengar hal itu.

"Aku baru tahu kalau di SMA ini tidak ada tim manager." Dio membuka perbincangan akan hal itu. Sam kemudian menjelaskan jika tim basket sekolah biasanya enggunakan im khusus.

"Begitu ya ...," Kak Dio mengangguk setelahnya. "Cheryl, kau mau menjadi tim khususku?"

Aku mendelik menatap kak Dio tajam. "Aku akan dibunuh Alison jika melakukannya."

"Lagipula aku sudah meminta Cheryl jadi tim khususku," sergap Sam cepat. Tanpa kusadari, saat Sam mengatakan hal itu, dia sudah menggenggam jemari tangan kiriku.

Entah mengapa, aku tak berani menegur Sam untuk melepaskan genggamannya. Aku hanya menatap Sam guna memberikannya petunjuk untuk menyadarinya sendiri. Akan tetapi, saat ini Sam justru tidak menatap ke arahku, laki-laki itu menatap Kak Dio dengan tatapan protektif.

Situasi canggung macam apa ini?

🌬..................🌪


Hmmm ... situasi canggung.

Eitss, tapi jangan terlalu berharap terhadap situasi canggungnya yaa🤭🤭

Btw gimana ceritanya? How'd you feel?
Comment dan saran yukk👍👍

See ya🎋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro