Bab 1: Emergency Love
Ditulis: Sabtu, 13 Januari 2024
Bab 1:
Emergency Love
Alana membuang wajah ke luar jendela MRT yang membawanya pulang ke rumah, sengaja ia memakai headset, memutar lagu seakan-akan pendengarnya berfungsi sebagaimana mestinya. Entahlah, hari ini Alana sangat lelah dengan rangkaian kegiatan di kafe. Maklum, malam ini merupakan tahun baru.
Bahkan malam ini, banyak sekali penumpang di MRT, entah mungkin sebagian besar dari mereka hendak makan malam atau melakukan hal membahagiakan lainnya.
Berbeda dengan Alana yang memutuskan untuk pulang dan mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Di usia yang menginjak 22 tahun, Alana kurang lebih ingin sendirian saja, dalam artian bahwa dengan kesendirian itu, ia merasa lebih nyaman dan damai, tidak ada drama yang mengenaskan. Berbeda dengan beberapa tahun silam, dimana ia memaksa dirinya untuk masuk di segala bentuk lingkaran pertemanan yang hampir semuanya toxic bin red fleg. Alana bahagia walaupun sendiri. Setidaknya sesampai di rumah, ia akan segera menghubungi keluarganya di Surabaya.
Keluarga memang segalanya bagi Alana. Tidak ada yang menerima gadis itu apa adanya selain Mama, Papa, dan Kak Argus. Ya, walaupun beberapa hal memang hanya dirinya yang paham.
Alana mengerutkan keningnya ketika semua Padangan dalam kereta tertuju pada satu titik di belakangnya, bahkan ada yang berdiri dan mengeluarkan ponsel untuk merekam. Spontan saja, Alana membalikkan badan, melihat apa yang tengah terjadi.
Berkedip berulang kali dengan pupil mata yang mengecil, Alana menarik napas dalam-dalam untuk sejenak menyaksikan apa yang tengah terjadi.
"Pak? bapak dengar suara saya?" suara pria berpakaian abu-abu dengan celana jeans berwarna hitam. Rambutnya yang agak panjang bergerak ke sana kemari, tatapannya hanya tertuju pada pria paru baya berusia 50-an yang jatuh terkapar di lantai MRT.
Alana mengamati dalam kesunyian. Jangan salah, pendengar Alana memang tidak berfungsi seperti orang dengar pada umumnya, namun bukan berarti Alana tidak memiliki kelebihan yang menonjol. Karena Alana seorang yang tuli, maka penglihatan dan analisa setiap potret kejadian akan terekam dengan apik, hampir setiap detik tidak lepas dari detail-detail kecil.
Bagaimana pria berpunggung lebar itu memastikan si bapak yang terkapar tak sadarkan diri itu lebih responsif atau tidak, pria berpakaian abu-abu itu memanggil dengan mulut yang sedikit terbuka lebar dan otot-otot lehernya menonjol, tegang, kemudian ditepuk-tepuk sembari digoyangkan bahu si bapak. Usai itu, pria tersebut memberikan rangsang nyeri pada jempol kaki, namun tidak ada respon.
"Anda siapa?" Seorang petugas MRT datang dan berdiri di samping pria itu.
Alana membaca gerakan bibir pria tersebut, menjawab, "Dokter, Pak." Sambil menunjuk tanda pengenal yang berada di saku tas yang disampirkan di sampingnya.
Berselang beberapa detik, si penolong juga memeriksa pernapasan korban, jika si bapak tidak bernapas dengan semestinya, maka dengan cepat pria penolong itu membuat asumsi sang korban mengalami henti jantung.
Aksi demi aksi yang dipertontonkan pria itu tak ayal, membuat Alana terkagum-kagum dengan sikap heroik yang dilakukan pria itu ketika memberikan RJP. Bisa dipastikan bahwa pria itu merupakan dokter yang kompeten dan bisa diandalkan.
Alana tiba-tiba menundukkan kepala dan kembali fokus pada ponselnya, bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa selama beberapa detik yang lalu. Dalam hati, ia bertanya-tanya, jika seandainya ia tidak tuli, mungkinkah ia bisa menjadi dokter?
Helaan napas panjang Alana lolos. Terkadang, ia iri dengan teman-teman yang bisa mendengar. Semua terasa gampang bagi mereka. Sementara ia, si tuli yang hanya terkurung dalam kesunyian.
Sementara itu, si pria yang tadinya berjuang untuk menyelamatkan si korban akhirnya berhasil. Ia segera menyeka peluh keringat ketika pria itu kembali bernapas. Tidak lama lagi mereka akan tiba di stasiun Cipete Raya dan petugas MRT telah menghubungi ambulance dari rumah sakit terdekat.
Pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling MRT yang menatap kagum dirinya. Hingga fokusnya terpaku pada seorang gadis yang terduduk diam dalam posisi duduknya, sama sekali tidak tertarik melihat aksi yang ia tuntaskan.
Dalam hati, pria itu berpikir mungkin perempuan itu tuli, makanya tidak peka dengan situasi yang terjadi. Untuk apa juga ia memedulikan itu, ada yang lebih penting sekarang, yaitu mengunjungi kediaman barunya.
Huft!
•••
"Permisi?"
Alana berkedip-kedip, tak lama kemudian ia menundukkan wajah. Apa ia sedang berhalusinasi? Alana memberanikan diri untuk mengangkat kembali wajahnya setelah menggeleng beberapa saat. Mata cokelat terang gadis itu masih memantulkan sebuah objek yang sama, sosok bertubuh tinggi nun kekar di hadapannya.
"Permisi?" Kali ini satu alis pria itu terangkat, tampak ia sedikit terganggu dengan respon Alana yang pasif. Senyum canggung terpatri jelas di sana.
Buru-buru, gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menuliskan sesuatu pada catatan di ponsel.
[Catatan:]
[Dengan Kak Johan? Penghuni kos baru?]
Dari bibir Johan yang bergerak, Alana dapat mengartikan kata iya. Ah, Alana tidak sedang diganggu setan, kan yang mengubah dirinya seperti manusia? Ini pasti akibat dari pesona dengan pria yang dilihatnya tadi di MRT? Tapi, tidak mungkin. Sebab, pria yang kini berada di hadapannya adalah pria berpakaian abu-abu yang membantu pria paruh baya di MRT tadi.
Alana yang masih melamun dibuat kaget akibat lambaian tangan di depan wajahnya. Ya Tuhan, Alana memang tuli, tapi jangan dibuat malu seperti ini. Gadis itu kemudian mempersilahkan Johan masuk dengan perasaan tidak enak. Bukan apa-apa, hanya saja penyakit telmi Alana suka berlebihan, alhasil dirinya malah terlihat konyol seperti tadi.
Demi saus tartar bikini bottom, Alana ingin menghilang untuk beberapa saat di rumahnya Patrick star.
Alana membalikkan badan dan menemukan si pria bernama Johan tersebut tengah melihatnya. Alana mengigit bibir bawanya. Agak kesal dengan situasi seperti ini. Dengan sisa kesadaran yang ada, ia menulis di ponselnya.
[Catatan:]
[Kak Johan ada yang bisa saya bantu?]
Johan mengernyitkan dahi. Ia tampaknya masih belum sadar jika gadis yang berada di depannya mengalami masalah dengan pendengaran. Buru-buru Alana menjelaskan kondisinya.
[Catatan:]
[Saya tuli, Kak. Mohon maaf sebelumnya. ]
Barulah Johan mengangguk paham dengan seutas senyum penuh bersalah. Sebelum Johan mengutarakan perasaannya, Alana kembali menunjukkan layar ponselnya.
[Catatan:]
[Enggak papa, Kak.]
[Mari saya antar ke kamarnya kakak.]
Johan mengangguk paham, ia kemudian mempersilahkan Alana berjalan terlebih dahulu. Johan mengamati kos-kosan empat kamar yang kini di tempatinya di daerah Cipete. Kos-kosan berlantai dua dengan fasilitas lengkap berserta kolam renang, diberi harga 2 juta setiap bulannya.
Ketika menaiki tangga, terdapat deretan lukisan-lukisan abstrak dan juga beberapa lukisan tiga orang. Tangga-tangga yang terlihat biasa saja jika dilihat, namun disulap menjadi sangat estetik.
Akhirnya mereka sampai di lantai dua, ternyata di lantai dua memang dikhususkan untuk semua kamar dengan masing-masing menikmati mini balkon. Sementara di bagian lantai satu hanya diisi ruang tamu, ruang dapur yang terhubung dengan ruang makan berserta kamar mandi dan WC, ada juga ruangan kosong yang disulap sebagai galeri dan perpustakaan mini.
"Makasih, ya." Ucap Johan, lupa kalau Alana tuli. "Maaf." Lanjutnya seraya mencari ponsel di saku celananya, namun tindakan pria itu terhenti ketika Alana bersuara.
"Sama-sama, Kak Johan." Jawab Alana bersamaan dengan tangannya yang bergerak membentuk bahasa isyarat, dengan suara yang lumayan jelas untuk ukuran orang tuli, walaupun tetap terdengar sumbang.
Johan tersenyum manis, ia mengangguk dan kemudian Alana berpamitan untuk kembali ke kamarnya yang berada di depan kamar pria itu. Ini pertama kali bagi Johan untuk hidup seatap dengan orang tuli. Perasaan aneh tidak bisa dipungkiri, lebih ke arah bingung jika ingin berkomunikasi.
Alana memang ditugaskan oleh Anugrah untuk menunggu tamu baru mereka yang akan datang hari ini. Anugrah adalah salah satu penghuni kos-kosan ini yang sedang lembur. Tidak hanya Anugrah, tapi juga Mutia, sayangnya gadis itu sedang pulang kampung ke Bandung. Besok baru gadis itu kembali.
Di sisi lain, Johan berusaha mengingat wajah Alana yang terasa tidak asing di ingatan, seperti mereka belum lama ini pernah berpapasan. Apa jangan-jangan Alana merupakan salah satu pasiennya di Puskesmas? Johan menggeleng cepat, tidak-tidak, beberapa tunarungu yang ditemuinya masih anak-anak.
"Hmm, di kereta." Gumam Johan, akhirnya ia mengingat gadis yang tampak tidak tertarik dengan aksinya di MRT tadi adalah Alana.
Menarik. Batinnya.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro