BAB 33 ☎
Sudah satu jam pendingin ruangan dan ponsel Alvi di dalam kantor Layang Biwara jadi saksi bisu atas wawancara dadakan antara Alvi dan Jethro. Sesekali, kursi yang Jethro duduki itu berputar ke kanan dan kiri. Yang duduk di sana menautkan kedua tangannya dengan elegan. Pandangannya sesekali mengedar ke sekeliling ruangan yang pernah ia pimpin ini. Jethro mendengarkan pertanyaan terakhir Alvi dengan saksama mengenai responsnya terhadap keputusan akhir dari dekanat yang memecatnya.
Sebelah sudut bibir Jethro terangkat. Putarannya pada kursi terhenti, begitu pula dengan matanya yang mengedar tak menentu. Tatapannya balik tertuju pada Alvi. Tubuhnya menegap. "Listen to me right now, wahai civitas academica maha benar," tuturnya. "Silakan salahin gue sesuka hati kalian. Tapi mungkin untuk terakhir kalinya gue akui, kesalahan bukan milik gue, dan sesungguhnya cuma Tuhan yang tau kebenarannya. Hati-hati sama perkataan kalian."
Kehabisan kata-kata saking bingungnya, Alvi mengangguk-angguk. Laki-laki itu menarik ponselnya yang tergeletak di atas meja. "O ... ke." Laki-laki itu menggaruk puncak kepalanya. Narasumbernya siang ini sangat manipulatif. "Oke, gue rasa ... segitu aja sih, titipan dari anak-anak Layang Biwara. Anyway, makasih loh, udah nyempetin buat hadir di sini. Kalau hasil wawancara ini gue publish, boleh, ya?"
"Boleh, dong," balas Jethro penuh percaya diri. "Nggak masalah kok. Kan nggak akan menimbulkan kontroversi. Gue jawab apa adanya aja."
Sekali lagi, Alvi mengangguk. Tangannya terulur setelah fitur rekaman suara pada ponselnya ia sudahi. "Sip. Makasih banyak ya, Jethro. Sukses terus pokoknya."
Dan begitulah agenda mereka berakhir setelah keduanya berjabat tangan saling berpamitan. Kantor Layang Biwara adalah titik terakhir bagi Jethro sebelum benar-benar angkat kaki dari Universitas Reksabumi. Setelah ini, ia akan meninggalkan kampus, bergelut dengan kehidupan baru yang entah akan seperti apa perjalanannya.
Hari-hari berputar. Belakangan, kantor Layang Biwara sibuk bukan main. Mereka harus memproses cepat semua kabar harian yang memerlukan update setiap harinya. Mulai dari agenda-agenda penting yang terpaksa ditunda bahkan dibatalkan; perkembangan kasus mengenai rektor terdahulu yang pada akhirnya terdakwa bersalah; kabar-kabar terbaru mengenai kabinet BEM Universitas yang berantakan; hingga perkembangan mengenai kasus antara Rachel dan Jethro yang sudah telanjur meluas dan jadi konsumsi publik.
Setelah mewawancarai Jethro, tak mungkin tertinggal Alvi mewawancara Ilyas selaku wakil presiden mahasiswa yang akan menggantikan posisi Jethro sebagai presiden mahasiswa. Melalui surat bertanda tangan yang akan diunggah pada jajaran akun resmi BEM se-kampus dan pada artikel harian Layang Biwara, Ilyas akan mengumumkan keputusan pelengseran Jethro dari takhtanya.
Di sepanjang jawabannya, Ilyas berusaha netral meski rasa-rasanya, hatinya terpukul bukan main. Ilyas kecewa. Perasaan dan rasa percaya dirinya berantakan, hancur beriringan dengan jatuh bertubi yang akhir-akhir ini dialaminya. Puncak patah hatinya, jelas pada rekan terpercayanya, Jethro Daniel Tanoesudibjo, yang berakhir terbukti bersalah di atas meja hijau.
Ilyas menghela napas panjang. Matanya terpejam sekilas sebelum kembali menatap benda di depan matanya. Tangannya saling bertautan erat. Desah berat terdengar dari mulutnya. "Apa pun pandangan kalian terhadap BEM kami sekarang, semua ini tidak ada kaitannya dengan saya maupun kabinet saya. Kesalahan Jethro adalah kesalahan pribadi, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan BEM. Kalau kalian benci Jethro, anggaplah perasaan itu personal, jangan libatkan dan benci kabinet saya. Dengan pernyataan ini saya meresmikan, bahwa mulai hari ini, saudara Jethro Daniel Tanoesudibjo, tidak lagi menjabat sebagai presiden mahasiswa."
Acungan jempol dari Diandra melegakan napasnya yang berat, melemaskan tubuhnya yang tegang. Tidak seperti Diandra yang masih sibuk mengecek ulang hasil rekamannya, Ilyas kini diam. Tangannya menyambar kursi di depan meja Alvi untuk ia duduki. Matanya menyaksikan kesibukan Diandra di balik LCD.
"Al." Ilyas mendekat pada Alvi, berbisik pelan. Diam-diam tanpa Ilyas sadar, Diandra turut menoleh, samar-samar mendengar desis Ilyas kepada rekan kerjanya itu. "Gue mau ngobrol sama Diandra, lo boleh di depan dulu, nggak? Cuma sebentar kok."
"Oh, santai elah," ujar Alvi sambil meninju pelan lengan Ilyas. Laki-laki itu segera beranjak dari kursinya. Perhatiannya beralih pada Diandra. "Di, rekamannya aman, ya? Gue cabut duluan, ya, ke kelas? By the way, kayaknya Omar sama Rachel di depan juga, sih."
Seolah tak mendengar percakapan mereka sebelumnya, Diandra ber-oh ria sambil mengangguk. "Iya, Kak. Titip sampaiin ke Rachel ya, Kak, nanti gue ke depan."
Alvi merespons dengan jempol sebelum benar-benar meninggalkan ruangan yang lantas sunyi setelah pintu tertutup rapat. Diandra mengambil kamera dari tripod, untuk gegas membawanya ke meja Alvi. Namun, alih-alih menghiraukan keberadaan Ilyas, gadis itu justru sibuk merapikan alat-alat yang baru saja selesai digunakannya. Kameranya segera masuk ke dalam tas setelah lensanya ditutup. Gadis itu kemudian mendekat pada laptop milik Alvi yang masih tergeletak di atas meja dalam keadaan menyala.
Ilyas berdeham. "Boleh nanti dulu, nggak, ngurusin artikelnya? Gue mau ngomong sebentar," katanya. Kali ini Diandra menghargainya. Gadis itu menutup laptop di hadapannya untuk balik menatap lawan bicaranya. "Gue minta maaf soal Jethro. Harusnya dari awal gue nggak belain gitu aja tanpa cari tau dulu. Sori, Di, malah jadi ngorbanin hubungan kita gara-gara orang yang harusnya nggak terlibat sama sekali."
Cukup lama Diandra menatap Ilyas dalam diam. Gadis itu kemudian mengembangkan senyumnya dan mengangguk. "Gue ngerti kok, Kak," katanya. "Wajar sih, kalau lo belain Kak Jethro banget. Secara, kalian kan satu circle, ke mana-mana selalu bareng, apa-apa selalu bareng. Gue ... bahkan jadi ikut sedih. Kak Jethro tega banget, ya?"
Kak Jethro tega banget, ya?
Samar-samar Ilyas mengangguk meski dadanya terasa sesak ketika mendengar kalimat itu mendobrak gendang telinganya.
"Gue juga minta maaf ya, Kak, karena bawa-bawa urusan ini, padahal harusnya kita nggak terlibat. Ini urusan personal mereka berdua. Tapi ... yah, udah terjadi juga. Sekarang, masalah ini malah jadi konsumsi publik. Gue sama Kak Alvi tuh juga nggak enak sama Rachel dan Kak Jethro, kasihan masalahnya di-blow up terus."
"Yang penting sekarang semuanya udah baik-baik aja dan aman, Di, udah clear," jawab Ilyas. "Rachel juga ... sama Omar, kan?"
Diandra tak merespons. Ia bahkan tidak tahu bagaimana perkembangan hubungan antara Rachel dan Omar kini. Sepertinya, tidak ada apa pun. Mereka tetap menjadi rekan yang baik tanpa melibatkan perasaan. Mungkin.
"I think they fall in love to each others?" sahut Diandra sambil terkekeh pelan. Gadis itu melirik jam dinding. Sudah seharusnya ia mengemas barang-barangnya dan segera pulang. Maka, meski obrolannya dengan Ilyas masih berlanjut, gadis itu merapikan kantor Layang Biwara sambil tetap berbincang, mengusir canggung yang selama ini ditabung.
Keduanya keluar dari ruangan bersamaan, menemui Rachel dan Omar yang asyik bertukar tawa di luar. Seketika, senda gurau mereka terhenti paksa. Keduanya serempak menoleh. Omar lantas meluncurkan tanda tanya, "Eh, udah Yas?"
"Apanya?"
"Ya ... lo kan lagi wawancara buat artikel sama bikin video pernyataan itu, kan?" Omar mengernyitkan kening. "Itu udah semua?"
Sadar pertanyaan baliknya barusan terdengar aneh, Ilyas langsung diserang gugup. Tangannya menggerayangi tengkuk. "Udah, sih. Ini lo mau langsung cabut, Mar? Gue mau ke sekret dulu."
Omar mencibirkan bibirnya, lalu mengangguk-angguk. Gegas, laki-laki itu beranjak dari kursinya. "Ya udah, bareng," katanya. "Chel, lo mau pulang bareng gue? Tapi ikut ke sekret sebentar, ya?"
"Eh? Nggak usah, Kak. Gue ... gue mau ketemu Diandra, kok."
Diandra terkekeh pelan. "Gue juga mau ke sekret BEM dulu, abang gue di sana," balasnya. "Udah, bareng aja kali sama Kak Omar?"
Kikuk, Rachel menampilkan cengirnya. Meski tak enak hati sekaligus canggung, Rachel tetap menerima tawaran Omar untuk pulang dengannya.
Selepas Diandra mengunci pintu kantor Layang Biwara, gadis itu meninggalkan selasar gedung UKM bersama Rachel, menyusul Ilyas dan Omar yang sudah memimpin langkah lebih dulu.
"Chel," panggil Diandra pelan, yang hanya disambut dengan gumam singkat. "Sori, ya."
Dalam beberapa detik pertama, Rachel geming memandangi Diandra, melihat gadis yang jalan sejajar dengannya. Rachel tersenyum singkat, lalu mengangguk. "Nggak apa-apa, Di. Emang kemarin tuh, semuanya rumit banget. Gue tau lo nggak akan ngerti gimana perasaan gue—ya karena lo juga nggak pernah ada di posisi kayak gini. Jadi, ya lupain ajalah. Toh sekarang semuanya udah clear. Dia udah dinyatakan bersalah, lengser, cabut berkas juga."
"Congrats ya, Chel. Lo berani banget sih, asli," puji Diandra. "Beruntung juga selama ini punya Kak Omar yang selalu siap sedia jadi emergency hotline lo dalam keadaan apa pun."
"Tuhan Maha Baik," tutur Rachel.
Diandra mengangguk. Ia menyetujui perkataan Rachel. "Sampaiin makasih gue ke Kak Omar kalau gitu. Makasih udah selalu ada buat Rachel," katanya.
"Bisa aja lo," tukas Rachel. Perempuan itu menggeleng sambil terkekeh-kekeh. Ia menyikut Diandra. "Bilang lah sendiri."
Senyum Diandra mengembang kala matanya menangkap wajah Rachel yang bersemu merah. Bibir kawannya itu melebar. Tulang pipinya terangkat hingga matanya menyipit. Ia tertawa. "Cie elah, pakai salting lo, Chel," ejeknya. "Tapi ... kalian deket banget, sih. Gue ketinggalan apa?"
Mendapatkan pertanyaan seperti itu tak membuat semburat merah di wajah Rachel mereda. Justru, senyumnya semakin tak sanggup ia tahan. Rachel menghela napas, untuk menyatakan, "I think I like him."
Mata Diandra membulat. Alisnya terangkat. Benih-benih antusias bertebaran dalam hatinya. Entah kenapa, Diandra senang mendengarnya. "Bagus, dong?"
Rachel mengulum bibirnya. Sahutan itu menjatuhkan antusiasnya dalam sekejap, mengingat bagaimana keadaan mereka saat ini. Rachel tertawa renyah, datar pula. "Tapi, kata Kak Omar kita beda."
"Ah ... i-iya, s-sih ...." menggantung di sana, respons singkat Diandra membuat keadaan kembali canggung. Ia menyesal sudah mengambil topik seperti ini. Rasa-rasanya, masih terlalu sensitif dan tidak mengenakkan untuk dibicarakan di bawah langit Jakarta yang supercerah begini.
Tetapi, dua laki-laki di depan mereka yang sudah cukup jauh itu menjadi penolong di tengah canggung. Keduanya berhenti melangkah dan berbalik badan. Omar berujar, "Chel, gue nggak jadi ke sekret. Ilyas doang jadinya yang ke sekret. Lo tetep mau ikut Diandra atau nggak? Kalau nggak, kita langsung pulang aja."
"Oh ... ya udah, langsung aja kali," tanggap Rachel. Perempuan itu kemudian menatap Diandra. Senyumnya mengembang tipis, lalu kedua tangannya membentang lebar. "Di, gue duluan deh sama Kak Omar."
Diandra mengangguk sambil menghambur ke dalam dekapan singkat. Keduanya saling pamit, lalu berpisah ketika akhirnya tiba di mobil Omar yang tak jauh dari kantor Layang Biwara.
"Chel," panggil Omar seraya membuka pintu, lalu masuk.
Rachel menyusul masuk sebelum menanggapi, "Iya, Kak?"
"Gimana perasaan lo sekarang?"
"Perasaan? Perasaan apa?"
Terlalu ambigu. Omar terlambat meyadarinya pula. Laki-laki itu mengalihkan perhatiannya pada kunci mobil dan seat belt yang segera ia tarik, enggan balik menatap Rachel. "Ya, tentang Jethro. Gimana rasanya udah menang?" kilahnya. "Jethro udah nggak ada di sini, Chel. Bahkan, mungkin setelah ini dia bakal pergi sepenuhnya dari hidup lo. Lo udah bebas, udah bisa nentuin pilihan lo sendiri. Jaga diri baik-baik, ya."
Harapan tinggi Rachel empas dan hancur. Mungkin salahnya sendiri sudah menaruh harap pada laki-laki seperti Omar. Menyangkal kekecewaan kecilnya, perempuan itu tersenyum. "I'm good. Makasih ya, Kak, buat semua ini."
-The End -
an: halo. jadi ini adalah bagian terakhir, finally! nggak kerasa banget udah tamat. makasih banyak kalian yang selalu nunggu-nunggu cerita ini, ngikutin update-nya meskipun kadang ngasal banget dan sesuai mood :)
setelah ini aku bakal lanjut nulis ceritanya gama dan aruna. semoga bisa konsisten untuk update teratur, soalnya beneran hectic :') huhuhu. see you di cerita-ceritaku selanjutnya gais!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro