Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 32 ☎

Palu sudah diketuk dan semua orang di dalam ruangan sudah menduga keputusan akhir meja hijau hari ini. Secara resmi, Jethro dipecat. Ia harus keluar dari ruangan dekanat dengan catatan: ia diberi waktu satu bulan untuk melakukan cabut berkas melalui Biro Akademik Kemahasiswaan. Sebelum memutuskan untuk keluar dari ruangan tanpa pamit, Jethro bisa melihat betapa dramatis kedua orang tuanya mendekati orang tua Rachel, memohon-mohon agar masalah ini tidak diumbar lagi dan diselesaikan secara kekeluargaan.

Jethro terlalu terpukul melihat apa yang telah ia lakukan dengan tangannya sendiri. Lagi pula, ia tahu kedua orang tua Rachel takkan memberi kesempatan apa pun. Maka ia putuskan untuk segera keluar dari ruangan. Dan itu membuatnya berpapasan dengan beberapa mahasiswa pada mulut pintu lorong tempatnya keluar.

Semua orang menatapnya tanpa iba meski kini wajahnya supermelas dengan mata berlinangan air. Mahasiswa-mahasiswa nan pintar ini jelas sudah tahu hasil akhir keputusan fakultas. Presiden Mahasiswa mereka terancam drop out tanpa ampun.

Satu jam setelah Jethro meninggalkan ruangan, Rachel menyusul. Baik ia maupun kedua orang tuanya memutuskan untuk tidak memberi toleransi apa pun kepada Jethro. Rachel mengabaikan tiap mahasiswa yang mengerubung di sepanjang lorong menyaksikan tangis kedua orang tua Jethro. Alih-alih peduli, perempuan itu gegas menyeruak di antara keramaian, berlari meninggalkan lorong untuk segera masuk ke kelasnya yang tak kalah ramai.

Semua orang menyambut kedatangannya dengan suka cita. Semua orang yang berdiri di pihak Rachel, kini menyambut kemenangan setelah melihat pos terbaru pada akun lambe lurah—yang bahkan belum sempat Rachel lihat.

Dengan langkah yang tanpa henti, Rachel menyambar kursinya di belakang kelas, meletakkan ranselnya di sana dan segera duduk. Beberapa orang yang duduk di sebelahnya lantas membombardir dengan informasi yang mereka temukan melalui akun gosip nomor satu di kampus, mempertanyakan kebenaran asumsi sang admin bahwa Jethro resmi dipecat.

Penasaran dengan apa yang jadi topik hangat siang ini, Rachel mengeceknya sendiri. Ada beberapa foto yang dipos. Semuanya wajah Jethro, memerah dan penuh marah. Foto ini diambil belum lama. Baru saja tadi ketika laki-laki itu keluar dari ruang dekanat. Benar-benar paparazi laiknya akun gosip!

Pada kolom caption, jelas-jelas Rachel bisa melihat kata-kata provokasi yang tertulis: Merah banget wajahnya shayyy @jthdaniel. Nahan nangis gitu. Kira-kira kalah telak apa gimana nih gaes?

Tak berakhir sampai di kolom caption, Rachel beralih pada lahan komentar yang dalam satu jam terakhir sudah dipenuhi dengan ratusan komentar. Beberapa komentar ia baca dan cermati. Semua orang sudah berpihak pada namanya. Citra Jethro benar-benar runyam tak bersisa.

@dihkepoamatlu anjing jt, gue udah belain ternyata lo salah monyet

@eskimstobeli wkwkwkwk kita udah nggak butuh klarifikesyen @jthdaniel udah jelas nih, lo goblok sumpah

@istriseungyoon awikwok

@istriseungyoon mukanya merah bgt anjg wkwkwk malu abiez

@difania_48 maluuuuu haha @jthdaniel

@wonpilgantengimnida congrats sist @rchdyna

@babyindaeyo @Reksabumi_BEM woy ayo bikin pernyataan lengser

@wonpilgantengimnida @babyindaeyo ih bener banget. Buruan dah yas lengserin. Cie ilyas si usn alay naik takhta.

@wonpilgantengimnida btw, kalian ini username-nya couple, ya, kok gue baru sadar @jthdaniel @rchdyna lucu amat dani dyna. Aw syg banget putus

@watanaberika_ hah dikeluarin????

@bacotklean @Reksabumi_BEM cooooooyyyy presma lo nih #LengserkanJethro

@watanaberika_ anjir????

@istriseungyoon ini bapaknya korupsi, anaknya abusif. Jiakh. #LengserkanJethro

@wonpilgantengimnida @Reksabumi_BEM #LengserkanJethro

@eskimstobeli @Reksabumi_BEM #LengserkanJethro

Mata Rachel terbelalak pada deretan komentar yang tak habis-habis. Tak bisa ia mungkiri, ada beberapa orang yang menandai username-nya pada kolom komentar. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, Rachel bisa merasakan betapa Jethro patah hati atas keputusan akhir yang didapatkannya. Namun, di sisi lain ia merasa puas sekali sudah memenangkan argumennya.

"Tinggal nunggu Kak Ilyas keluarin pengumuman resmi, nih, di akun BEM Univ. Mantep," ujar Raisa, gadis yang duduk di sebelah Rachel. "Congrats ya, Chel."

Sejurus, Rachel hanya tersenyum datar. Pandangannya seketika menyapu seisi ruangan, mencari Diandra yang baru ia sadari tidak ada di dalam kelas. Gerak matanya berhenti pada gadis di sebelahnya. "Sa, Diandra ke mana?"

Cepat, Raisa mengedikkan bahunya. "Kayaknya di kantor Layang Biwara. Apa ngejar Kak Jethro, ya? Siapa tau mantan lo itu masih mau klarifikasi dan ninggalin kata-kata terakhir di surat kabar harian kampus, kan."

Rachel hanya ber-oh ria tanpa menanggapinya lagi. Mungkin benar Diandra sibuk menyebarkan berita besar ini, dan ... mungkin benar bahwa Jethro akan meninggalkan kata-kata terakhir? Pasalnya, Rachel ingat betul, bahkan sampai detik terakhir pada pertemuan mereka, laki-laki itu masih saja bersikeras dengan kemauannya sendiri. Maka, tidak menutup kemungkinan jika Jethro baru akan angkat kaki dari gedung ini setelah meninggalkan klarifikasi ala Jethro.

+ + +

Pintu ruangan menutup pelan. Sorot mata semua orang tertuju pada Omar yang datang. Di dalam ruangan sendiri, ada para pengurus inti kabinet. Itu pun tak lengkap karena pertemuan diadakan terlalu mendadak dan beberapa orang harus mangkir karena bentrok dengan jadwal kuliah siang.

Omar mendekat kepada Ilyas yang duduk di kursi milik Jethro, menumpu dagunya dengan kedua tangan di atas meja. Keduanya bersitatap dalam diam sekilas. Omar menghela napas, lalu mengedarkan pandang, mendapati tiap-tiap orang menaruh perhatian dan harapan padanya. Laki-laki itu tersenyum miris, "Jethro dikeluarin."

Ruangan yang hanya diisi oleh pengurus inti, seketika gaduh dengan argumen dan diskusi dari kubu demi kubu yang membentuk sendiri. Sementara Ilyas, hanya berdesah berat sambil menyugar rambutnya penuh frustrasi. Kepala laki-laki itu menunduk dalam, menatap permukaan meja yang kosong. Pikirannya ikut kosong, melebur bersama angin yang berembus dan pergi.

Omar meletakkan amplop yang dibawanya langsung dari ruang dosen. "Gue ... barusan dikabarin sama dosen PA. Ini udah resmi. Dia dikeluarin karena terbukti bersalah."

Ruangan senyap kemudian. Tidak ada yang mampu memberikan respons. Di antara seluruh pengurus inti yang ada di sini, beberapa di antaranya sempat berpihak pada Jethro dan percaya bahwa Rachel hanya perempuan manipulatif yang mengada-ngada. Sekarang semua kepercayaan mereka diputarbalikkan, hancur dengan kenyataan dan pernyataan resmi yang sudah terbit. Begitu pula dengan Ilyas dan Devano, harapan mereka buyar.

"Bangsat, Jethro bangsat." Umpatan Ilyas meluncur lirih dari bibirnya. Laki-laki itu memijat pelipis. Betul-betul frustrasi dengan apa yang terjadi pada kabinetnya. Malang. Di tengah semangat membara untuk menyambut hari ulang tahun kampus, justru kasus-kasus seperti ini bermunculan. "Setelah DIREKTUR dibatalin, kita juga udah nggak ada harapan buat lanjutin Dies Natalis."

Decak kecewa mengudara dari tiap orang. Logikanya, siapa yang tidak kecewa sekarang, kalau sudah seperti ini? Setelah apa yang sudah mereka kerahkan selama beberapa bulan terakhir demi acara besar yang seharusnya berjalan lancar minggu depan, semua akan sia-sia dalam detik-detik terakhir.

"Kita harus kumpulin semua panitia Dies Natalis secepatnya, supaya—wait, sori."

Dering ponsel Ilyas di atas meja menghentikan pengumuman kecilnya. Nama Pak Andri selaku dosen Pembimbing Akademiknya timbul di layar. "Sori, Pak Andri yang nelepon. Gue angkat dulu," pamitnya sambil membawa ponsel ke luar ruangan dan segera menerima telepon masuk tanpa basa-basi panjang.

Gantian Omar yang menempati kursi Jethro kini. Ruangan bertahan senyap sampai Ilyas kembali membuka pintu dan berujar, "Guys, sori ... gue dipanggil Rektor PLT. Sekarang."

Ilyas gerak cepat mengemas semua barang-barangnya ke dalam tas. Ia pamit pergi, meninggalkan ruangan yang semakin tegang. Langkahnya supercepat, membelah koridor gedung sekretariat, hingga lama-lama ia berlari menuju kantor rektorat. Bagai sudah hafal di luar kepala, kakinya langsung membawa raganya menuju ke lantai dua gedung, mencari nama Baharuddin yang masih tertera pada pintunya.

Laki-laki itu berhenti di depan pintu kaca yang buram. Napasnya benar-benar memburu. Jantungnya berdentum-dentum tak keruan. Tangan-tangannya gemetar kecil. Benaknya bahkan terasa begitu penuh hingga ia tidak bisa merencanakan obrolan apa yang harus diangkat duluan. Perlahan, Ilyas mendorong pintu tersebut sembari menuturkan salam, "Sore, Pak. Saya Ilyas, Wapresma Univ. Pak Andri bilang, Bapak memanggil saya ke ruangan, apa betul, Pak?"

Pria yang duduk di balik meja kerjanya itu menengadah hingga mata mereka bersua. Sejurus, tubuhnya lantas menegap. Pena yang ada di genggamannya segera beliau letakkan. Pria itu mengangguk. "Silakan, Ilyas."

Ilyas mengangguk dengan sopan. Dorongannya pada pintu semakin kuat hingga daun pintu kaca itu membuka lebih lebar untuk aksesnya masuk. Langkahnya lantas tertuju pada sofa di tengah ruangan. Laki-laki itu duduk setelah Pak Rusli, sang rektor PLT, duduk duluan.

Debar jantung Ilyas belum mereda. Meski bukan pertama kalinya bertamu ke ruang pribadi rektor, tidak biasanya Ilyas datang ke sini, apalagi sendirian. Kaki-kakinya tak berhenti mengetuk lantai, membuat lututnya terlihat bergetar.

"Saya terus terang saja ya, Ilyas," tutur Pak Rusli, yang Ilyas respons dengan anggukan. Kedua tangan Pak Rusli saling bertautan dan bertahan pada kedua kakinya, menumpu badannya yang sesaat beliau bungkukkan sedikit. "Ini soal Dies Natalis ... dan kabinet kamu."

Sekali lagi, Ilyas mengangguk, siap mendengarkan dengan fokus maksimal dan mencatatnya baik-baik di otak.

"Saya apresiasi semua waktu, semua tenaga, bahkan mungkin semua materi yang sudah kalian keluarkan selama beberapa bulan terakhir ini. Saya yakin persiapan kalian juga sudah matang dan tinggal eksekusi minggu depan. Hanya saja, dengan kejadian yang menimpa sekarang, saya kira ada baiknya agenda untuk Dies Natalis ini ditiadakan tahun ini ...."

Akurat sudah dugaan Ilyas. Ini adalah kabar buruk pertama yang masuk ke telinganya tanpa bisa ia bantah. Kabar buruknya juga, Ilyas harus mempertahankan mimiknya. Ia tidak bisa memberi protes begitu saja.

"... karena pada acara ini kita akan melibatkan banyak media dan sponsor. Tapi, karena kasus yang sekarang sedang marak—kamu tau sendiri, ya, kalian yang demo—soal rektor, ditambah lagi sekarang persoalan Jethro, presma kabinetmu, yang pasti akan menyusul, lebih baik acara Dies Natalis tahun ini ditiadakan, ketimbang kita harus menanggung omongan media karena menggelar pesta besar di atas musibah yang serius ini."

Ilyas mengangguk pelan, lesu pula. "Baik, Pak. Akan saya diskusikan lebih lanjut bersama para pengurus BEM dan panitia Dies Natalis di rapat selanjutnya, di hari Kamis."

Pak Rusli mengangguk paham. "Kemudian yang kedua, ini soal kabinetmu. Fakultas Ilmu Pendidikan sudah konfirmasi soal perkembangan kasus Jethro Tanoesudibjo. Saudara Jethro dinyatakan bersalah dan dipecat. Batas waktu saudara Jethro untuk cabut berkas adalah satu bulan, dan ini otomatis membuatnya lengser dari jabatan, sehingga kamu dan staf BEM harus segera mendiskusikan masa depan kabinet kalian. Segera buat pernyataan kalau kamu akan naik jabatan menggantikan saudara Jethro di sisa masa jabatan kalian."

"Baik, Pak."

Obrolan superserius itu berakhir beberapa menit setelahnya. Ilyas segera pamit untuk keluar dari ruangan. Desah berat mengawali langkahnya melintasi ambang pintu. Wajahnya memerah padam. Tangannya mengepal di sisa-sisa gemetar yang masih ada. Derap langkahnya lambat namun kuat. Ilyas marah total.

Bahkan jauh lebih marah rasanya ketika tanpa sengaja, ia berpapasan dengan Diandra di pintu keluar. Refleks keduanya berhenti melangkah, saling bersitatap dalam diam. Diandra tersenyum sekilas, lalu mendahului langkahnya memasuki gedung rektorat. Sementara Ilyas diam, memandangi kepergiannya tanpa berani menyapa.

Juta rasa bersalah langsung menghujaninya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro