Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 29 ☎

Di balik kaca yang takkan terlihat dari luar mobil, Omar memperhatikan tiap-tiap mahasiswa yang hilir mudik melewati mobilnya yang sedari tadi terparkir di belakang gedung fakultasnya. Kampus cukup ramai bahkan pada akhir pekan. Ada mahasiswa yang datang untuk rapat organisasi, untuk mengerjakan tugas kelompok, untuk sekadar menumpang koneksi di Wi-Fi corner, atau bahkan untuk kelas pengganti.

Terhitung sudah dua jam sampai akhirnya Rachel kembali ke mobilnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah cepat, lantas membuka pintu sisi kiri untuk menempati kursi penumpang. Punggungnya langsung tersandar dengan lemas, matanya berkaca. Omar memandanginya dalam beberapa detik pertama, sebelum akhirnya memberi pertanyaan.

"Gimana, Chel?"

"Minggu depan disuruh balik lagi, Kak," jawab Rachel cepat. Omar mengangguk-angguk, hendak memberi respons lagi, tetapi Rachel buru-buru menarik seat belt dan berujar, "Kak, lo udah makan?"

Cukup lama Omar bergeming, memikirkan jawaban yang sebenarnya sudah ada di luar kepalanya. Jari-jarinya yang bertengger di setir itu mengetuk. Volume musik yang mendominasi, ia kecilkan sedikit. "Belum, sih. Makan, yuk?"

"Yuk."

Tanpa memberikan respons terlebih dulu, Omar gegas menarik seat belt menyilangi dadanya. Sejurus, ia mengecek kaca spion, memastikan sudah berada di posisi yang pas, untuk kemudian ia membawa mobilnya pergi dari lahan parkir dan kawasan kampus melalui pintu belakang.

Pada menit pertama mobil Omar meninggalkan gerbang kampus, keduanya sudah disapa jalan raya yang padat. Banyak kendaraan bermotor yang mengisi tiap celah kosong di sepanjang jalur. Dan sayangnya, tidak ada obrolan apa pun di antara keduanya. Hanya canggung yang mendominasi ruangan, bersama alunan lagu yang tiada henti-hentinya berputar.

Sesekali Omar menoleh kepada penumpangnya, memperhatikan perempuan itu sibuk sekali mengabsen tiap-tiap kendaraan yang menyalip mobil mereka. Kepalanya sesekali bergerak, mengikuti laju beberapa kendaraan yang bervariasi.

Ketika pada akhirnya mereka menyambut jalanan yang lowong dengan suka cita, Omar menyadari Rachel menaruh perhatian pada motor yang setia melaju di depan mobil mereka. Wajahnya yang sejak tadi tak menggambarkan ekspresi apa-apa membuat Omar sulit menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Tetapi untuk yang satu ini, Omar sudah menyimpan praduga.

"Chel," panggil Omar. tak ada respons. Mata Rachel tetap menyorot pada motor merah yang sama, yang bahkan mereka tak kenal siapa pengendaranya. Omar berdeham, sebelum mengulang panggilannya, "Rachel, lo mikirin apa?"

Perempuan itu menoleh dengan lambat, membulatkan matanya dan memasang tampang superpolos. "Motor depan mirip Mario, ya, Kak," sahutnya sambil terkekeh kecil. "Gue kangen, deh, pulang sekolah dijemput, pulang kampus dianter. Tapi, di saat yang sama, gue juga benci semua itu pernah terjadi sama gue."

Sekali lagi, Omar menilik objek yang jadi pusat perhatian Rachel. Ia tersenyum miris. Motor KLX merah di depan mobil mereka yang membuatnya terbengong dan kilas balik pada memori-memorinya dengan Jethro. Mario, namanya, motor yang semua orang kenal.

"Chel, KLX merah di dunia ini kan nggak cuma Mario," ujar Omar, berusaha mengalihkan pikiran Rachel yang terpaku pada nama itu.

Rachel mengangguk. "I know," katanya. "Tapi kan, nggak gampang Kak, lupa begitu aja setelah apa yang gue laluin sama dia."

"I know," ulang Omar. "Kalau gitu, gue yang bakal bikin lo lupa sama dia. Omar Syarief to the rescue."

Mendengar pernyataan yang terbit dengan penuh percaya diri itu, Rachel tertawa, seolah sudah melupakan motor merah di depan yang kini bahkan sudah melaju ke lain arah. Tanpa Rachel tahu, Omar bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Dan Omar mungkin takkan pernah tahu, kalau Rachel menganggap laki-laki itu hanya sedang menghiburnya.

Dalam hitungan detik setelah perpisahan dengan motor merah asing tadi, Omar membawa mobilnya belok kiri, mengundang tanda tanya di benak Rachel, yang bahkan sebelum diutarakan, sudah Omar jawab, "Lo nggak sibuk, kan? Gue mau ngajak lo main setelah kita makan."

Rachel mengernyit, "Mal Taman Anggrek, ngapain?"

"Makan, jalan-jalan, apa pun yang bisa dilakuin di sini," jawab Omar. "Yang pasti sih bukan berkebun."

Kini sebelah alis Rachel terangkat sambil kepalanya menggeleng. Ia terkekeh pelan. "Humor lo jelek banget ternyata."

"Tapi lo ketawa," tukas Omar tak mau kalah. Senyumnya turut terbit kala melihat bibir Rachel melengkung lebar menahan tawanya.

"Karena saking jeleknya, jadi gue mau apresiasi sedikit, seenggaknya lo udah keluar effort, lah, ya."

Mendengar cemoohan begitu, Omar ikut tertawa setelahnya. Refleks, tangan kirinya mendarat pada puncak kepala Rachel untuk mengacak rambutnya dengan gemas. Seketika, tawa Rachel berhenti, membuat Omar ikut tersadar apa yang baru saja dilakukannya. Ruangan mendadak hening, keduanya saling tatap dalam diam, sebelum akhirnya kembali pecah dalam tawa yang melegakan.

Omar tetap mengemudi, menuju parkiran bawah tanah. Menemukan spot kosong untuk mobilnya beristirahat, Rachel lantas menunjuknya, yang dituruti oleh Omar segera. Keduanya tak membuang banyak waktu. Begitu mobil terparkir, baik Omar maupun Rachel serentak membuka pintu mobil dan keluar. Sesaat, Omar menyugar rambutnya di hadapan spion, lalu mengunci pintu setelah memastikan Rachel sudah keluar dan siap.

"Chel, mau makan apa?" Omah mendahulukan Rachel, memimpin langkahnya sedikit lebih cepat. Rachel yang masih menyisir sedikit rambutnya dengan jari hanya bergumam sambil terus melangkahkan kakinya, berusaha menyetarakannya dengan langkah Omar. "Jangan bilang terserah, tapi."

"Tebak gue lagi pengin makan apa," tantang Rachel.

Seketika, Omar menyernyit sembari kakinya mendaratkan langkah pertama pada anak tangga eskalator yang berjalan. "Kok jadi tebak-tebakan?"

"Ya nggak apa-apa, dong."

"Oke." Omar menerima tantangannya. Kini matanya mengedar, sambil otaknya berusaha mengingat-ingat ada gerai apa yang pernah ia temui di dalam mal besar ini. "Gue tebak, lo mau Ramen Sei Rock-Ya?"

Di luar dugaan Omar, mata Rachel membulat, diisi penuh dengan binar antusias. Mulutnya terbuka lebar seolah tak menyangka. "Ih, kok lo tau?"

"Emang beneran?"

Anggukan Rachel selanjutnya menambah kesan antusias yang sudah melekat pada dirinya. Senyumnya melebar sejadi-jadinya, enteng memvalidasi keraguan di benak Omar. Akan tetapi, dengan penuh curiga, Omar memicing, meneliti tiap inci wajah Rachel, mencari ketidakseriusan di wajahnya.

"Dih, apa sih, Kak? Nggak percayaan banget?" Rachel mendorong Omar sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya. Dia yang kini memimpin langkah, menuju gerai Ramen Sei Rock-Ya yang betul-betul akan mereka tuju.

"Rachel ini cara lo bilang terserah, ya? Lo sebenernya nggak punya pilihan, kan?" tuduh Omar.

Keduanya bersitatap. Rachel yang berusaha menahan tawa, sementara Omar yang berusaha menemukan kebohongan di wajah Rachel. Detik-detik berlalu, Rachel tak memberi jawaban selain tawanya pecah. "Gue jadi nggak heran kenapa lo sama Jethro bisa blow up kasus besar di kampus. Teliti ya, lo, baca tingkah laku orang."

Senyum Omar mengembang, puas menerima pujian terselubung pada kalimat Rachel. "Kita belajar buat itu."

Tiba pada gerai pilihan yang tak berubah, baik Rachel maupun Omar serempak mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari kursi kosong, yang kemudian ditemukan Rachel. Satu-satunya meja untuk empat orang yang kosong di pojok ruangan lantas jadi pilihan mereka. Rachel yang menemukannya memimpin langkah, lalu duduk, disusul oleh Omar yang kemudian duduk di hadapannya.

Selagi Rachel melihat daftar menu, Omar tampak sibuk mengeluarkan seluruh isi kantong celananya. Ponsel, kunci mobil, dompet, semuanya ia keluarkan dan letakkan di pojok kiri mejanya. Matanya kemudian jatuh pada figur Rachel di depannya, memandang mata cokelatnya yang terhalang kacamata. Omar baru saja menyadari kalau Rachel mengenakan kacamata baru. Bukan lagi kacamata patah yang entah sudah berapa lama sempat bertengger di wajahnya itu.

"Gimana tadi, Rachel?" Omar menyugar rambutnya dengan gugup, harap-harap cemas Rachel tidak mau membagikan apa yang tadi dibicarakannya selama sesi konseling. "Lega, nggak?"

Semula, Rachel tetap fokus membaca menu di depan matanya. Perempuan itu mengangguk pelan. Alih-alih menjawab pertanyaan Omar secara gamblang, Rachel justru memutarbalikkan pertanyaan sambil menengadahkan kepalanya. "Kak, kalau udah di-diagnose gitu bahaya?"

Mendadak, obrolan ini terdengar serius. Kedua tangan Omar terlipat di atas meja, dengan tangan kanan di atas dan jari-jarinya yang mengetuk permukaan meja tanpa suara. "Emang apa katanya tadi?"

"Ini lo pengin tau karena kepo, ya, Kak?"

Sontak, sebelah alis Omar terangkat. Ia terkekeh renyah sambil menggelengkan kepalanya, sebelah tangannya yang mengetuk-ngetuk meja kini mendarat pada pelipis untuk memijatnya. "Ini lo prasangka buruk atau cuma khawatir, ya, Chel?"

"Menurut lo, Kak?"

Omar mendengkus. Rasa-rasanya, ia sudah bisa menyimpulkan sendiri jawaban yang tepat tanpa perlu menunggu konfirmasi dari yang terlibat. "Oke, gue ngerti," ujarnya. "Jadi gue jawab duluan. Gue bukan kepo. Gue pengin tau karena gue merasa perlu tau. Selama ini kan lo selalu bareng gue, Chel."

Sejurus, Rachel berusaha mencerna kalimat tersebut. Ia menarik napas dalam-dalam setelah akhirnya menentukan menu yang akan dipesannya, kemudian gantian dengan Omar yang bahkan belum memilih menu. Begitu lekat, Rachel memandang Omar yang mulai fokus menatap buku menu. "Gue tadi cerita banyak tentang Jethro, Kak. Dari mulai masalah gue sejak SMA sampai sekarang. Bahkan sampai apa yang gue rasain sekarang, gue ceritain. Tapi ... gue belum cerita banyak tentang apa yang bikin hubungan gue sama Jethro toxic."

Omar mengangguk. Sesekali ia menatap Rachel yang terus bercerita dengan rinci.

"Terus, katanya gue tuh cemas berlebihan even sama hal-hal kecil yang mungkin nggak akan terjadi. Terus juga, katanya, ini tuh semacam post-trauma gitu? Gue nggak terlalu ngerti, tapi itu yang gue inget," lanjut Rachel.

Sekali lagi, Omar mengangguk. "Lo nanya nggak, kenapa itu bisa terjadi sama lo?"

"Bu Dahlia—psikolognya—bilang gara-gara gue udah terbiasa nggak punya kebebasan sama Jethro gitu, sih. Kayak ... eng, apa namanya?—kalau sama Jethro itu kan, apa-apa ditentuin sama dia, jadi, katanya gara-gara itu, gue jadi banyak khawatir gitu. Kayak nggak percaya diri sama pilihan gue sendiri. Terus juga ... katanya, gue lost interest sama banyak hal yang dulunya gue suka tuh juga karena itu. Hal yang paling gue suka, justru yang bikin gue paling sakit hati pada akhirnya. Gitu."

Kini, cukup lama Omar diam. Meski baru mengenal Rachel, tapi ia sudah bisa melihat perbedaannya. Hal-hal kecil yang membuatnya teringat kepada Jethro akan selalu Rachel hindari, dan Omar melihatnya sendiri secara langsung. Hal-hal yang selalu jadi semangatnya, kini semuanya Rachel tinggalkan.

"Tapi, Rachel, lo tau nggak, kalau mulai sekarang, lo udah bisa nentuin apa pun sesuai kemauan lo?" tutur Omar seiring dengan segaris senyum terbentuk. "Kan Jethro udah bukan siapa-siapa lo, jadi lo udah nggak perlu mikirin pendapat dia. Hidup lo tuh punya lo. Please underline that, Chel. Lo punya hak buat nentuin pilihan lo sendiri. Agree?"

Pandangan Rachel terpaku pada mata Omar yang bulat. Perempuan itu tidak memberi respons apa pun bahkan ketika lima jari Omar mengudara, siap melakukan high-five. Terlalu lama Rachel terbengong, Omar terkekeh, lalu menarik tangan Rachel untuk melakukan high-five dengannya. "You couldn't agree more, Rachel."

Senyum Rachel sedikit melebar setelah tangannya dipertemukan dengan tangan laki-laki di hadapannya. Jantungnya mendadak berpacu cepat. Omar dan segala pilihan katanya begitu magis. Bagaimana Rachel harus menahan dirinya untuk tidak menjatuhkan hati padanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro