BAB 28 ☎
Tidak seperti siang lain, hari ini WiFi Corner kampus cukup sepi. Dari sepuluh kursi yang tersedia, hanya empat di antaranya yang terisi. Tiga orang duduk di satu sudut, dan satu lagi menempati sudut yang lebih jauh. Maka ini jadi pilihan yang tepat bagi Omar memilih WiFi Corner sebagai tempat mengobrol dengan Diandra.
"Di sini aja, nggak apa-apa?" Omar menempati satu meja kosong di tengah ruangan. Menandainya dengan buku modul tebal yang sedari tadi masih ada di dalam genggamannya. Diandra hanya mengangguk, kemudian turut duduk di satu meja dengannya. "Sori ya, mendadak. Lo nggak ada acara, kan, tapi?"
Diandra menggeleng. "Nggak kok, Kak. Nggak apa-apa."
"Lo lagi banyak pikiran ya, Di?" tembak Omar setelah menyodorkan sebotol kopi yang entah sejak kapan sudah dibeli sebelum bertemu dengan Diandra. Diandra bahkan curiga Omar punya banyak sekali stok minuman instan di dalam tasnya karena ia selalu saja memberikan minuman ketika sedang bersama orang lain. Dengan sungkan, Diandra menerima pemberian Omar, tanpa langsung menjawab pertanyaannya. "Kalian gimana?"
Diandra mengulum bibirnya, sedikit memaksakan senyum tipis guna mengusir canggung. "Kalian ini siapa maksudnya, Kak?"
Seketika, Omar berhenti menenggak minumannya sendiri ketika sadar pertanyaannya taksa di telinga Diandra. Laki-laki itu segera menjauhkan bibir botol dari mulutnya, menenggak habis kopi di dalam mulutnya, lalu mengelap sedikit sisa yang membasahi bibirnya. "Eng ... Rachel?"
Bibir Diandra membulat membentuk huruf o. Ia kemudian menggeleng. "Dia nggak pernah nyamperin gue, dan begitu juga sebaliknya. Gue ... nggak tau sih, Kak, gimana ya ngomongnya? Kind of, mutual feelings aja, gitu? Rachel mungkin kecewa karena gue nggak dukung keputusan dia, dan gue pun kecewa karena ... ya, karena setelah apa yang gue korbanin, dia malah plin-plan sama keputusannya sendiri."
Omar menanggapi dengan anggukan selagi otaknya berusaha mencerna perkataan Diandra. "Ilyas ya, Di?"
Senyum Diandra getir, sangat dipaksakan. Lamat-lamat, gadis itu mengangguk. Dagunya kini bertumpu pada tutup botol yang masih menyegel rapat kopi pemberian Omar. Ditatapnya Omar yang duduk tenang di hadapannya. "Sebenernya Rachel nggak bisa disalahin juga sih, tapi, ya ... aduh, gue nggak tau deh, Kak. Kusut banget rasanya mikirin antara Rachel sama Kak Ilyas. Ditambah Jethro. Jangankan mikirin mereka, gue sama abang gue aja sekarang jarang ngobrol gara-gara masalah ini. Gue udah nggak pernah berangkat kuliah sama dia."
Omar mangangguk tanpa kata. Tangannya mulai sibuk memainkan botol di atas mejanya. Melihat reaksi Omar, jelas Diandra sadar kalau laki-laki ini sedang mau menyimak sampai ceritanya tamat.
"Kayaknya, gue nggak bisa Kak, kalau deketin Rachel dalam waktu dekat ini. Kedengeran egois, tapi gue beneran kecewa aja. Walaupun itu hak dia juga, sih, buat nentuin pilihan, tapi kan...."
"Gue ngerti." Omar menginterupsi sambil menegapkan badannya yang tersandar ke punggung kursi. "Dia kayaknya juga lagi ngindarin lo. Bukan cuma lo, sih, tapi semua orang."
Diandra mengangguk setuju. Ia tahu yang satu itu. "Kabarnya nyebar cepet banget ya, Kak?" tanyanya. "Dari mulai keluar PMK, lo coret dari kepanitiaan, terus dia ngundurin diri dari ketua angkatan. Berarti, sekarang dia nggak punya kegiatan apa-apa selain kuliah."
Omar mengangguk. "Terus, lo sama Ilyas gimana, Di?"
Diandra menggeleng pelan. "Nggak ada satu pun dari gue dan Kak Ilyas yang coba buat kontak duluan, Kak. Kita juga nggak pernah ketemu di kampus. Dia nggak pernah ke kantor Layang Biwara, gue juga selalu menghindar dari sekret BEM."
Selagi Omar terus menyimak, Diandra terus menjelaskan secara garis besar bagaimana hubungannya sekarang dengan Ilyas. Sebagaimana ia merasa kehilangan Rachel hari ini, perasaan itu pula yang dimilikinya untuk Ilyas. Dan sebagaimana ia merasa bersalah pada Rachel, perasaan yang sama untuk Ilyas juga ia rasakan.
Setiap kali Diandra berhasil mengumpulkan keberanian dan melatih dirinya sebelum jujur akan perasaannya, tantangan selanjutnya selalu saja tak ada celah baginya untuk bicara kepada Ilyas maupun Rachel. Rachel selalu menghindar bahkan sebelum Diandra melangsungkan pergerakan, sementara Ilyas tak pernah lagi bertemu dengannya di sudut manapun di kampus. Maka, jika hubungannya dengan Ilyas dan Rachel akan resmi usai, mungkin Diandra perlu mempersiapkan dirinya mulai dari hari ini.
☎
Sekretariat BEM hampir kosong. Hanya ada Ilyas sendirian yang sejak setengah jam lalu menyandarkan bokongnya pada pinggiran meja, sambil membaca ulang notulensi dari awal rapat hingga yang terbaru beberapa hari silam. Sesekali kepalanya mengangguk, entah memahami tiap tulisan tangan Lydia, entah mengikuti tempo musik yang sedang mengalun dari ponselnya.
Tak lama, derap langkah terdengar mendekat. Samar-samar, Ilyas bisa melihat siapa yang ada di balik pintu kaca. Laki-laki itu tengah membuka sepatunya untuk kemudian diletakkan dengan rapi di dalam rak. Dalam sepuluh menit ke depan, tebakannya membuahkan hasil. Yang datang memang Jethro, orang yang ditunggunya.
Keduanya bersitatap sekilas. "Doing good, Je?" tanya Ilyas.
Kikuk, Jethro mengangguk dan menyungging senyum selebar yang ia mampu.
"Gimana update-nya? Masih belum ada keputusan dari fakultas lo?"
Jethro menggeleng singkat sambil menggigit bibir bawahnya begitu resah. "Belum. Tapi ini kabar bagus, sih. Gue rasa Rachel juga nggak bisa ngasih bukti apa pun, makanya belum diterusin," katanya. Penuh percaya diri.
Bagai sahabat superbaik yang sudah mendalami rasa percayanya pada Jethro, Ilyas mengangguk-angguk. Untuk sekarang ini, bukan hanya Jethro yang berharap kasus ini akan segera selesai dan memberi kabar baik untuk pihak Jethro. Ilyas harap, sahabatnya aman. Ia tidak mau siapa pun di dalam kabinetnya terseret masalah yang merugikan begini. Sebab, dampaknya akan berkepanjangan. Jika nanti Jethro terbukti bersalah, Ilyas akan tersandung. Belum lagi jika ada orang yang berasumsi kalau Ilyas melindungi Jethro sekarang.
Ah, rumit.
"Sori ya, Yas, jadi chaos banget nih gara-gara si Rachel." Jethro mendengkus sambil merangkul Ilyas yang sedang membaca ulang notulensi di tangannya. "As soon as possible gue bakal beresin ini kok. Semoga bisa clear sebelum Dies Natalis. Berapa hari lagi, Yas?"
Ilyas segera menutup buku di tangannya, lalu menoleh pada laki-laki di sebelahnya. "Dua mingguan lagi, Je," jawabnya cepat. "Good luck, Je. Sori gue nggak bisa bantu apa-apa selain support. Gue harap lo menang, Je."
Jethro mengangguk. "Pasti, Yas. Tuhan nggak tidur, tau siapa yang nggak bersalah dan manipulasi cerita."
Sekilas, Ilyas memandang Jethro. Kepercayaan diri begitu kental di wajahnya. Laki-laki itu ikut tersenyum, sebelum melayangkan kepalan tangannya untuk bro fist. Jethro menyambutnya dengan hangat, lalu perbincangan mereka mulai silih berganti, meninggalkan topik mengenai Rachel dan cerita manipulasi buatannya.
Satu per satu orang kemudian berdatangan. Ada Freya yang langsung sibuk bersama Lydia. Ada Devano yang datang bersama beberapa bungkus makanan hasil jasa titip untuk teman-temannya. Ada Omar yang duduk di sebelah Freya dan Lydia, sibuk dengan laptop dan tugasnya sendiri.
Masing-masing orang memiliki lingkarannya sendiri kini. Omar bersama Lydia dan Freya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing sambil sesekali mengobrol. Jethro bersama Ilyas dan Devano sedang menyantap makan siang yang terlambat berjam-jam. Dan ada empat orang lainnya di sudut lain ruangan, tengah mengurus keperluan acara.
"Mar, Besok sore ke sekret sabi, nggak?" di tengah heningnya ruangan, Jethro tiba-tiba berbalik badan dan menghadap ke arah Omar. Omar yang semula menekuri layar laptop, kini menengadah untuk menatap Jethro di sudut seberang. Ia diam. "Gue mau rapat koor. Jam tiga, ya?"
"Besok tuh berarti Sabtu? Gue udah ada janji, sori," balas Omar.
"Tumben, Mar. Biasa juga Sabtu sama kita, lo," celetuk Devano yang kini ikut masuk ke dalam obrolan. "Emang acara seharian banget?"
Omar melirik ke sekelilingnya, meyakinkan dirinya untuk memberikan jawaban yang akan membungkam tiga serangkai itu tanpa perpanjangan adu argumen. "Gue udah janji sama Rachel nemenin dia konseling. Jadwalnya jam dua sampai jam empat sore, jadi nggak bisa."
Semua orang, tak terkecuali yang tidak ikut campur dalam obrolan, bersitatap satu sama lain dengan teman di satu lingkarannya. Sementara Devano dan dua orang lain di sebelahnya meringis dengan begitu kikuk. Dalam hitungan detik, mereka hanya mengangguk-angguk dan memutus obrolan begitu saja.
Sadar mereka takkan memberikan respons selain segera berbalik badan lagi, Omar mengutarakan, "Sori, ya."
Alih-alih Devano yang memberi respons, Jethro mengangguk duluan dan menyungging senyum. "Iya, nggak apa-apa. Santai aja, lagi. Nanti staf lo aja satu orang suruh dateng ya, Mar, gue minta tolong lo kabarin di grup HPD."
"Oke, nanti gue kabarin," pungkas Omar. Dengan begitu, obrolan mereka resmi berakhir. Semua perhatian kembali pada urusan masing-masing. Selang beberapa menit, Omar meninggalkan ruangan duluan, meninggalkan canggung yang masih tersisa di antara sahabat-sahabatnya yang sedang makan di salah satu sudut ruangan.
Jethro mendengkus sambil menyelesaikan suapan ayam bakar terakhirnya. "Kok Omar bisa, ya, kemakan manipulasi murahannya Rachel?" tanyanya lirih sambil memandangi pintu yang sudah rapat. "Sampai-sampai Omar kenceng banget dukung dia dan jatohin nama gue."
Baik Devano maupun Ilyas tidak memberikan respons apa pun selain kedua mata mereka saling berjumpa, seolah tengah bertukar pikiran. Tiba-tiba, mereka ikut bertanya-tanya, kenapa Omar sampai sebegitunya kepada Rachel? Apa yang sebenarnya Omar tahu tentang hubungan Jethro dan Rachel, tapi tidak diketahui publik?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro