BAB 27 ☎
"Diandra!"
Langkah Diandra terhenti mendengar suara yang tak asing. Menemukan orang yang memanggilnya, Diandra lantas melangkah kepadanya. Kedua alisnya terangkat sekilas sebelum kepalanya celingukan mencari sosok lain yang kemungkinan ada di sekitarnya. "Kenapa, Kak Omar?"
"Rachel ada?"
Diandra refleks menoleh ke belakang, ke arah pintu tempatnya keluar barusan. "Ada kayaknya. Tapi lagi sama Deandy."
"Masih ngapain?"
"Eng ... ya, nggak tau," balas Diandra sambil menggerayangi tengkuk dan menggigit bibir bawahnya. "Ngomongin urusan angkatan, kali, ya?"
"Oh, oke."
Penuh canggung, Diandra mengangguk. "Iya, Kak. Kalau gitu gue cabut duluan, ya, gue ada urusan," pamit Diandra.
Tak mau mempertanyakan urusan pribadi Diandra, Omar hanya mengangguk, mempersilakannya pergi duluan. Dia bisa melihat Diandra langsung berbalik tanpa sepatah kata apa pun. Langkahnya juga cepat, seolah sengaja buru-buru meninggalkan gedung fakultas dan menghindari Omar. Dalam beberapa detik, figur tubuhnya sudah menghilang dari jarak pandang Omar, pun karena akhirnya Omar melihat figur lainnya pada pintu ruangan di depannya.
Rachel keluar bersama laki-laki yang Omar duga sebagai Deandy, partner Rachel sebagai ketua angkatan di jurusannya. Tanpa perlu usaha lebih, dari titiknya berdiri Omar sudah bisa mencuri dengar sedikit percakapan mereka. Tidak panjang, hanya sekilas salam pamit karena Rachel harus segera pergi, lalu perempuan itu berterima kasih dan memohon maaf sekaligus pada Deandy.
Detik selanjutnya, Rachel menghampiri Omar. "Kan gue bilang nggak usah dijemput ke kelas, Kak," protesnya sambil memandang sekitar. Mau ia sadar ataupun tidak, jauh di dalam hatinya Rachel sudah yakin setelah ini akan beredar lagi gosip-gosip miring yang akan berangsur dari mulut ke mulut. Rachel lantas melangkah, meninggalkan Omar yang jelas-jelas menantinya keluar dari kelas.
Berbeda dengan Rachel yang terlalu khawatir dengan paparazi yang takkan segan memublikasikan lagi dokumentasi privasinya, Omar terlihat begitu tak acuh. Bahkan setelah Rachel melangkah dengan cepat meninggalkannya, laki-laki itu justru segera menyetarakan langkah. "Kalau gue maunya jemput lo di kelas, emangnya kenapa? Lagian kan kita sefakultas, jalan buat ke lapangan juga sama, kebetulan gue juga baru selesai kelas, nah apa lagi alesan bagi gue buat nggak jemput lo sekalian?"
"Lo tuh, selalu gitu, ya, Kak?" Seketika langkah Rachel melambat seiring ia bertanya dengan nada—yang sebisa mungkin—tanpa menghakimi sepihak.
"Gimana?" Omar sedikit mencondongkan tubuh ke Rachel sambil menautkan kedua tangannya di belakang pinggangnya.
Rachel menoleh pada laki-laki yang kini kepalanya hampir sejajar dengan matanya. Perempuan itu tertawa mengejek, "Maksain apa yang lo mau."
Sejurus, Omar terkejut mendengar respons tersebut. Kakinya langsung membeku hingga langkahnya terhenti. Ia sibuk memainkan lidah di pipi, lalu menggigit bibir bawahnya dan meringis. Sementara Rachel terus melangkah, mendahuluinya menuju lapangan di Fakultas Keolahragaan.
Sisa perjalanan mereka hening. Rachel tetap memimpin langkah, sementara Omar setia mengekor di belakang punggungnya, hingga keduanya tiba di tribune tempat biasa mereka duduk. Rachel memilih kursi duluan, lalu disusul Omar yang duduk di sebelah kirinya. "Gue bukan maksain apa yang gue mau, Rachel," belanya tiba-tiba. "Gue cuma ngelakuin apa yang menurut gue bener dan perlu dilakuin."
"Tapi, lo tuh nggak perlu ngelakuin ini, Kak," balas Rachel. "Lo kan tau sendiri keadaannya lagi kayak gimana. Ini lo yakin, setelah ini nggak akan ada foto atau video paparazi-paparazi yang dikirim ke lambe lurah?"
Omar mengangguk, "Ya lo juga tau sendiri kan keadaannya lagi kayak gimana? Sekarang gue tanya sama lo, emangnya Jethro udah berhenti ngejar-ngejar lo?"
Rachel berdecak sebal. "Ck. Kok jadi Jethro, sih?"
"Ya, kan emang kenyataannya begitu?"
Mata Rachel menajam. Dalam hitungan detik, mood-nya sudah lebur. Meskipun ia mengerti Omar hanya ingin melindunginya dari bertemu si berengsek satu itu, tapi tetap saja kedatangannya akan jadi tanda tanya lain bagi orang yang tidak tahu apa-apa. Namun, Rachel memilih untuk mengalah. Sebab seberapa keras pun mencoba, ia tahu takkan pernah bisa melembutkan kekeraskepalaan Omar.
"Mau ngobrolin apa?" Rachel segera mengalihkan pembicaraan.
Yang mendapatkan pertanyaan tak langsung memberikan jawaban. Omar mengeluarkan dua kaleng minuman dari dalam tasnya, satu untuk Rachel, dan satu untuk dirinya sendiri. Setelah menenggak sejenak, baru Omar memulakan pembicaraannya dengan tampang serius.
"Gue mau minta maaf dulu sebelumnya sama lo," tutur Omar pelan. Persis seperti Rachel sebelumnya, kini nada bicaranya sudah jauh lebih tenang. "Lo kan udah beberapa kali—empat, ya, kalau nggak salah?—nggak ikut rapat Dies Natalis. Dan keadaannya juga lagi begini, jadi gue coret nama lo dari kepanitiaan."
"Oh." Rachel mengangguk-angguk paham. Omar meneliti ekspresinya yang begitu netral. Seolah tak senang maupun kecewa. Detik selanjutnya, matanya semakin menyipit seiring dengan bibirnya membentuk senyum kecil. "Makasih, loh. Gue juga lagi mikirin gimana caranya supaya gue bisa keluar aja dari kepanitiaan. Karena gue ... nggak minat lagi. Gue bahkan, eng, kalau lo tau, tadi itu gue habis ngobrol sama Deandy, itu karena gue juga mengundurkan diri jadi ketua angkatan."
Kali ini Omar terperanjat. Tetapi, bukannya merasa lega, justru Omar yang kecewa dengan informasi barusan. Tak mau menampik rasa penasaran yang tiba-tiba menggebu, laki-laki itu melontar tanya, "Kenapa harus mengundurkan diri juga? Gue denger, lo malah suka banget gabung organisasi? Lo juga anak PMK, kan, sama Regina?"
"I ... yes, gue juga keluar dari PMK. Karena ...." ucapan Rachel menggantung di sana sesaat. Tatapannya yang mendadak kosong menyorot lurus pada pusat lapangan yang ramai. Kakinya berayun-ayun. "Bersosialisasi sama orang lain tuh sekarang bikin gue khawatir gitu. Gue udah nggak nyaman ketemu orang-orang. Selalu ada pikiran negatif."
"Contohnya?"
"Kira-kira, mereka tuh masih mau temenan sama gue, nggak, sih? Kalau gue masih jadi pengurus, bukannya itu malah malu-maluin? Gue udah dicap sebagai drama queen karena nyeret Jethro ke kasus yang sifatnya pribadi begini. Jadi, kayaknya I'm better off alone."
Omar mengangguk paham. Keadaan lalu berubah hening. Suara peluit dari wasit di pinggir lapangan menyita perhatian keduanya, meski sejujurnya, tidak ada satu pun dari Rachel dan Omar yang menyimak jalannya pertandingan futsal yang ramai disaksikan mahasiswa.
"Lo masih ada kelas, nggak?"
Rachel menggeleng singkat tanpa menatap balik Omar.
"Pulang, yuk? Atau nungguin Diandra? Dia lagi ada urusan di Layang Biwara, kan?"
"Pulang aja," balas Rachel cepat. Perempuan itu segera menarik tote bag-nya yang tergeletak di kursi sebelah, kemudian berdiri. "Tapi, gue nggak mau lewat pintu depan."
"Muter, gitu?" Omar mengernyit. Rachel hanya mengangguk. "Gue parkirnya di depan, Chel, di belakang gedung sekret."
Tak acuh, Rachel mengedikkan bahunya dan berbalik sambil berjalan mundur. "Ya kan bisa muter ke belakang. Kalau nggak, ya nggak apa-apa, lagi. Gue kan bisa pulang sendiri," sahutnya penuh ceria. Seolah beban-bebannya luruh seketika. Tetapi, justru bukan itu yang Omar lihat. Bukan senyumnya yang ceria, melainkan sekadar senyum kikuk. "Gue nggak mau lewat komplek depan kampus, Kak."
Omar menyusul Rachel untuk segera berdiri. "Lo cuma nggak mau lewatin kosannya Jethro, ya, Rachel?"
Senyum Rachel langsung memudar, berganti dengan kekehan renyah yang begitu dipaksakan. Bahkan untuk menjawabnya dalam hati, Rachel merasa miris sekali. Betapa aneh perasaan asing ini. Setelah bertahun-tahun bolak-balik ke bangunan tersebut tanpa memperbesar segala masalah yang terjadi di dalamnya, kini semuanya berubah.
Rachel merasa begitu aneh. Kenapa juga sebuah bangunan tak bersalah yang bisu itu bisa membuatnya bersedih bahkan menangis hanya dengan melihatnya? Seolah, semua kepingan luka yang selama ini ditanam, sudah waktunya menuai. Rachel merasa mentalnya melemah. Kacau. Rasa-rasanya, ia tidak pernah sehancur ini sebelumnya. Selalu ada Jethro yang membuatnya tenang dan merasa dunia sudah lengkap.
Akan tetapi, sekarang, bahkan untuk mengingat wajahnya saja membuat Rachel muak.
"Soal rencana lo waktu itu, Chel, lo mau gue aturin jadwal konseling? Gue kenal kok sama orang-orang di UPT LBK." Seusai hening selama beberapa langkah, Omar kembali menyetarakan langkah, dengan tawaran yang entah kenapa Rachel terima kali ini. Perempuan itu mengangguk pelan, dan Omar langsung memahaminya. "Nggak usah banyak khawatir lagi, ya, Chel. You will get better soon."
☎
"Di." untuk yang entah ke berapa kalinya siang ini, Raisa menyikut Diandra. "Diliatin Pak Gunawan, lo dari tadi nggak merhatiin."
Kepala Diandra yang bertumpu pada kepalan tangannya, lantas terangkat. Perhatiannya terpusat ke depan kelas, di mana Pak Gunawan sedang menerangkan materinya dengan bantuan slide presentasi. Sejurus, pria itu menaruh perhatian pada Diandra, lalu berdeham sebelum melanjutkan penjelasannya. Dan sekali lagi, perhatian Diandra beralih. Dilihatnya sekeliling ruangan yang hening. Bukan hanya Diandra yang tidak menaruh perhatian. Di antara sebagian mahasiswa yang mencatat materi, ada sebagian kecil yang sesekali bermain ponsel. Ada yang mengobrol dengan suara superpelan. Ada yang seolah mencatat materi padahal sedang menggambar. Dan perhatian Diandra berakhir pada meja baris kedua dari depan, tempat di mana Rachel duduk.
Akhir-akhir ini Rachel selalu duduk di depan. Sahabatnya itu bersikap tidak seperti biasanya sejak deklarasi tegasnya di perpustakaan beberapa waktu lalu. Banyak keputusan yang Rachel ambil tanpa Diandra duga. Baru-baru ini, kabarnya Rachel sudah dipecat dari kepanitiaan Dies Natalis oleh Omar, mengundurkan diri dari PMK—Persekutuan Mahasiswa Kristen, pun mengundurkan diri sebagai wakil ketua angkatan. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba bagi Diandra. Ia khawatir dengan Rachel, tapi sekarang, untuk mendekati Rachel saja Diandra sangsi.
Sedikit demi sedikit, jarak membentang di antara mereka, memutus jembatan persahabatan yang selama ini terbangun. Dan hari ini, Diandra merasa keputusannya untuk tidak mendekati Rachel duluan adalah sesuatu yang egois. Akan tetapi, di samping kecewa yang mendekam di hatinya, Diandra pikir kini Rachel juga turut menjauhinya. Perempuan itu selalu sendirian. Tidak pernah memulai percakapan dengan siapa pun di kelas, tidak pernah turut serta dalam riuh-riuhnya kelas yang kosong tanpa dosen. Rachel bahkan selalu langsung pulang setelah kelas berakhir.
Termasuk sore ini. Setelah Pak Gunawan mengakhiri kelas dan keluar dari ruangan, maka Rachel adalah mahasiswa pertama yang mengekori langkahnya. Mata Diandra mengikuti gerakannya yang tanpa ragu sedikit pun. Tak bisa Diandra mungkiri bahwa ia pun sebetulnya khawatir dengan keadaan Rachel setiap harinya.
"Sa, nanti fotoin catetan lo, ya. Gue nggak nyatet apa-apa tadi!" ujar Diandra tergesa sembari mengemas barangnya lalu berlari keluar ruangan. Ia hendak mengejar Rachel, tapi begitu tiba di ambang pintu, perempuan yang dikejarnya sudah menghilang entah di tikungan mana. Justru yang ditemuinya adalah beberapa kakak tingkat jurusan lain yang keluar dari ruangan sebelahnya.
Salah satu di antaranya adalah Omar, yang seketika berhenti melangkah ketika langkah Diandra terhenti sesaat. "Diandra, kebetulan banget," kata Omar, lantas menyita perhatian Diandra pada detik yang sama. Keduanya bersitatap. "Boleh ngobrol sama lo, nggak?"
☎ ☎ ☎
an: halo! aku nggak tau ini udah lebih berapa minggu sejak terakhir kali aku update huhu :') i'm so sorry, aku akhir-akhir ini bener-bener hectic karena ada schedule dan nggak sempet untuk update ceritanya jethro, apalagi gama. jadiiii, karena minggu depan aku juga nggak akan sempet untuk update karena ada acara selama seminggu full, jadi hari ini aku update double yaw sama bab 28 nantiii <3
hihihi enjoyyy~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro