BAB 26 ☎
Di sudut meja perpustakaan, Diandra adalah satu-satunya orang yang sudah pasang wajah malas. Lima belas menit lalu Rachel meneleponnya dan bilang kalau ia perlu bicara. Tentu saja Diandra datang, tapi, yang pertama ditemuinya justru Omar, sementara Rachel sendiri datang paling terakhir.
"Ini ada apa, ya, gue sama Kak Omar disuruh ke sini?" Diandra celingukan, memastikan bahwa takkan ada lagi tamu undangan yang Rachel ajak bergabung di meja yang hanya cukup untuk empat orang ini.
Rachel tersenyum kikuk. Ia tahu Diandra masih superkecewa dengannya karena beberapa waktu lalu Rachel menjabarkan alasan-alasan kenapa ia ingin mengundurkan diri dari persidangan kurang masuk akal ini.
Tanpa Omar dan Diandra tahu, sudah dua hari Rachel hampir tidak tidur. Sekalinya tidur, ia hanya akan menyambut mimpi buruk hingga pagi menjelang, atau sampai tengah malam ketika ia akhirnya terbangun secara paksa. Pikiran Rachel superkacau. Segala pikiran negatif dan kekhawatiran memenuhi benaknya. Rachel superbingung.
Tapi hari ini, Rachel sudah membulatkan keputusan. Untuk yang kesekian kali, perempuan itu menghela napasnya. Ia masih duduk di kursi perpustakaan, di hadapan Omar dan Diandra. Secara sengaja perempuan itu mengundang Omar dan Diandra ke perpustakaan, untuk sekadar mengumumkan, "Gue beneran mau mengundurkan diri. Gue nggak akan laporin semua bukti yang masuk. Jethro bakal bebas."
Meski sama-sama terkejut dengan pernyataan tersebut, tapi Omar dan Diandra memberi reaksi yang berbeda. Diandra terbakar amarah, tanpa peduli sedang berada di sudut perpustakaan yang jadi ruang baca umum, gadis itu menggebrak meja yang membatasi dirinya dengan Rachel. "Hah? Gila lo, ya?!" tudingnya. "Terus gue sama Kak Omar selama ini ngapain bantuin lo? Semua mahasiswa ngapain ada di pihak lo, kalau ujung-ujungnya begini?!"
"Di—"
"Apa!" sentak Diandra, seolah lupa bahwa sahabat abangnya ini adalah kakak tingkat yang masih perlu dihormatinya. Gadis itu menunjuk-nunjuk Omar tanpa hormat. "Lo mau belain Rachel sama pilihannya? Bukannya lo sendiri, ya, yang awalnya batu banget, penginnya Kak Jethro lengser secara tidak terhormat? Sekarang kok lo jadi begini, sih? Kalian tuh kenapa, sih?"
"Ya makanya dengerin gue dulu, Di." Omar masih tenang.
Tetapi Diandra enggan menghiraukan. Gadis itu segera menarik tasnya, bersiap pergi dari perpustakaan yang sudah ia buat gaduh. Berungtunglah dia, Mbak Finna sang penjaga perpustakaan sedang ke lantai atas, sehingga Diandra tidak balik disembur sederet omelan pedas. "Gue nggak ngerti jalan pikiran lo, Rachel. Hubungan gue sama Kak Ilyas hancur gara-gara dia belain Jethro. Sekarang elo malah jadi iba sama Jethro. Gue ... anjir, gue nggak habis pikir. Kalian gila."
Tepat sebelum melangkah pergi, tatapan sinis Diandra berlabuh pada mata Omar yang bulat. Semenjak kasus ini terdengar di mana-mana, Diandra pikir betapa keras kepalanya Omar akan mempermudah segalanya. Tetapi ternyata laki-laki itu bisa lembek juga cuma karena punya perasaan terhadap Rachel. Cemen. Diandra resmi memutus dukungannya pada Rachel dan Omar. Ia takkan berpihak pada siapa pun mulai hari ini. Dan kepergiannya dari perpustakaan siang ini, meninggalkan luka mendalam bagi Rachel.
"Gue ... tau, lo juga pasti sama kecewanya sama Diandra," tutur Rachel lirih. Suaranya bergetar. Tatapannya tertuju pada jari-jari di pangkuannya yang bergerak gelisah, saling bertaut satu sama lain. "Kayaknya, kalau lo nggak dukung gue lagi, atau nggak perlu ada buat gue lagi, semuanya bakal mulus-mulus aja ke depannya. Gue jadi nggak perlu mikirin pendapat orang lain tentang keputusan gue buat mengundurkan diri."
Omar bersandar pada punggung kursi, menggigit bibir bawahnya dengan mata menatap lurus pada Rachel. Tangannya bersilang di depan dada. Selang tiga detik setelah hening mendominasi, laki-laki itu berdecak dan mengangguk pelan. "Iya, gue juga kecewa. Tapi, gue coba buat ngerti, Rachel. Gue tau apa isi pikiran lo, dan gue coba buat ngeliat segalanya dari sudut pandang lo."
Rachel diam. Ia bahkan tidak mengerti apa yang sedang Omar bicarakan sekarang.
"Rachel, gue cuma mau make sure kalau lo bikin pilihan itu sesuai hati lo. Untuk hidup tenang, lo nggak harus ngegores harga diri lo sendiri. Wajar kalau Jethro juga mau menang dari lo. Kalian sama-sama mau menang, tapi lo juga berhak dapet keadilan, dan Jethro pun pantes nerima balesan setimpal atas apa yang udah diperbuat sama dia sendiri. Apa yang dia tanam, ya itulah yang harus dia tuai," tutur Omar.
Kalimat panjang itu diakhiri dengan senyum lebar di wajah Omar, tanpa Rachel melihatnya. Perempuan itu masih menatap kedua punggung tangannya yang bertumpu di pangkuan. Bukannya terbantu, Rachel jutru semakin bimbang.
"Gue nggak akan ganggu keputusan lo selama lo nggak minta pendapat gue, Rachel," ujar Omar sekali lagi, sembari tangannya meraih ponsel di atas meja dan menarik ransel ke sebelah punggungnya. Laki-laki itu mendekatkan kepalanya untuk berbisik, "Gue cuma mau bilang sama lo, meski tanpa Jethro, lo masih berharga kok, Chel. Lo bisa hidup, dan lo selalu boleh nentuin pilihan lo sendiri. Nggak usah mikirin orang-orang yang nggak mikirin lo."
Untuk kali terakhir, Rachel samar-samar melihat bibir Omar melengkung, sebelum laki-laki itu akhirnya beranjak pergi dari meja yang mereka tempati. Kata-katanya tertaut pada pikirannya kemudian. Rachel boleh menentukan pilihannya sendiri.
☎
Hari-hari bergulir, dan Omar sudah menanti jadwal rapat mingguan Dies Natalis. Selain acara semakin dekat dan segala persiapan hampir rampung, Omar rasa ia perlu menemui Rachel, mengingat perempuan itu tidak pernah lagi menghubunginya sejak ia meninggalkannya di perpustakaan dua hari lalu. Sore menjelang, dan lingkaran rapat hanya kekurangan satu orang. Jethro sudah membuka diskusi, tapi pikiran Omar belum terfokus di sini.
Rachel tidak datang.
Bahkan sampai rapat berlangsung setengah jalan, batang hidung perempuan itu belum kelihatan. Pintu kaca ruangan di pojok lorong itu tetap tertutup rapat tanpa adanya peserta rapat yang bergabung lagi.
Dan, harapan Omar betul-betul runtuh seluruhnya, menyadari waktu terus berjalan tanpa ia sempat melihat kedatangan Rachel. Rapat berakhir setelah dua jam. Rachel mangkir.
"Omar." Panggilan itu diiringi dengan langkah Lydia yang mendekat pada Omar yang masih duduk di lantai ruangan bersama ponsel yang ditekurinya. Sejurus, Omar menoleh untuk memastikan siapa yang menghampiri, kemudian kembali memandang layarnya yang penuh kesibukan. "Staf lo nggak ikut rapat udah empat kali, sama hari ini lima. Gimana nih tindakannya?"
Tanpa perlu meminta kepastian siapa yang Lydia maksud, Omar sudah tahu. Alih-alih menanggapi ajakan implisitnya untuk berdiskusi, laki-laki itu langsung membuat keputusan sepihak, "Ya udah, keluarin aja."
Lydia mengernyit. Ia ingat sekali bahkan di luar kepalanya, dulu Omar yang memutuskan untuk merekrut Rachel setelah menggugurkan seluruh peserta dari rekrutmen terbuka. "Yakin? Lo yang bawa loh, ini? Dies Natalis nggak diundur, Mar, udah tinggal sebulan, mau cari gantinya di mana?"
Omar yakin. Ia mengangguk mantap. "Nggak apa-apa. Urusan dokumentasi, nanti gue sama anak-anak gue yang atur. Kita bisa diskusi kok. Aman. Kita anggep aja Rachel nggak ada di kepanitiaan. Tinggal nanti nggak usah bikinin sertifikatnya. Nggak apa-apa kok."
"Kok lo bikin keputusan sepihak begitu?" sergah Jethro yang sedari tadi menyimak pembicaraan antara Omar dan Lydia dari sudut ruangan. "Diskusi dulu lah, sama yang bersangkutan, takutnya dia keberatan."
Semua orang mendadak tegang dan Omar menyadarinya dengan cepat. Respons yang sudah cukup untuk membuatnya enggan berlama-lama di dalam sekretariat BEM. Maka, laki-laki itu segera beranjak dari posisinya, meninggalkan Lydia yang masih dikerubung tanda tanya, pun memikat perhatian Jethro lebih dari sebelumnya.
"Lagian, toleransinya tuh absen di rapat sampai enam kali. Belum sampai limit, kok. Masih bisa dibicarain, kan dulu elo juga yang ngajak dia," ujar Jethro, masih mencoba untuk mendapatkan respons dari Omar yang acuh tak acuh.
Mendengar betapa bersikerasnya Jethro membicarakan perkara absensi Rachel yang sudah menyentuh angka lima, membuat Omar pada akhirnya kembali berhenti melangkah. Laki-laki itu berdecak. "Ck, ribet lo. Kalau gue mau nama dia dicoret ya berarti dicoret, lah. Gue koornya, berarti gue berhak keluarin dia dari jajaran staf gue kalau emang dia nggak kompeten. Kenapa sih pada protes aja?"
Detik selanjutnya, Jethro tidak mendapatkan kesempatan untuk bicara. Omar sudah telanjur meninggalkan ruangan dan menutup pintu rapat-rapat. Kini, semua orang saling canggung satu sama lain. Masing-masing kepala menyibukkan diri dengan apa pun yang bisa mereka sibukkan. Sementara Jethro sendiri, sibuk menahan diri untuk tidak meluapkan amarah.
Omar melangkah begitu cepat setelah sepatunya membalut kakinya dengan sempurna. Sesekali tempo langkahnya dipercepat, setengah berlari hingga napasnya habis, lalu kembali berjalan dengan santai. Ia parkir cukup jauh dari gedung sekretariat, maklum kalau perjalanannya cukup panjang dan melelahkan.
Ia butuh waktu lima menit untuk akhirnya bisa membuka kunci pintu mobilnya secara otomatis dari jarak dekat. Alarmnya berbunyi, dan langkahnya dipercepat. Omar gegas masuk dan melempar ranselnya ke jok belakang. Deru mesin mulai terdengar. Lampu bagian depan mulai menyorot. Seatbelt segera Omar tarik, melindungi tubuhnya di balik setir.
Tarikan napasnya panjang, lalu diembuskan melalui mulutnya. Perlahan tangannya mendarat pada setir untuk mencengkeramnya. Mobilnya yang sudah siap laju akhirnya turun ke jalan setelah Omar berusaha mengumpulkan konsentrasinya.
Omar akui, keputusan untuk mencoret nama Rachel dari jajaran staf HPD adalah hal yang begitu impulsif. Sekarang Omar justru merasa bersalah. Namun kadung terjadi. Omar sudah telanjur mengumumkan di depan mata seluruh menteri kabinet Karsa Mengarsa, bahwa pada hari ini, secara resmi, Rachel dipecat dari kepanitiaan Dies Natalis.
Di tengah laju mobilnya yang semakin cepat, tangan kiri Omar dengan lincahnya meraih ponsel di saku celananya, membuka lockscreen, lalu mencari nama Rachel di kontak sambil sesekali memperhatikan jalan. Omar melakukan panggilan dan mengaktifkan loudspeaker sembari menanti jawaban.
Yang tentu saja tidak memakan waktu lama.
"Halo, kenapa Kak Omar?" suara Rachel membuat Omar refleks melihat layar, memastikan teleponnya benar-benar sudah diangkat.
"Rachel, besok nonton futsal, yuk. Anak BK 18 sparing sama Psikologi 19," ujar Omar.
"Mau ngomongin apa?" Rachel membalas, membuat Omar terkekeh karena ajakannya mudah sekali ditebak. "Jam berapa?"
"Ada, besok gue kasih tau. Sore jam empat. Gue jemput di kelas, ya?"
Selama beberapa detik, Omar tak mendapatkan respons apa pun. Rachel diam, begitu pula dirinya yang menanti jawaban. "O–oh, oke. Tapi gue ke lapangan sendiri aja, nggak apa-apa. Nggak usah dijemput."
Cukup singkat, tapi Omar puas dengan persetujuannya. Tak lama, sambungan telepon terhenti. Ruangan kembali hening. Omar kembali sibuk dengan isi pikirannya. Bagaimana ia harus memulai pembicaraan penting ini besok sore?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro