Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 25 ☎

"Chel, ketika gue tau maaf nggak akan cukup untuk nebus semua ini, maka apa yang mampu?" pertanyaan itu muncul dengan nada penuh penyesalan.

Rachel menggeleng. Ia bahkan tidak tahu apa yang setara untuk membayarkan kesalahan yang Jethro perbuat selama ini. Jangankan menjawab pertanyaan Jethro dengan benar, sampai sekarang, justru Rachel masih mencoba berpikir secara obyektif, meneliti sekujur ekspresi Jethro, mendeteksi tiap gerak wajahnya. Rachel bimbang. Bahkan untuk menyimpulkan ini sebagai nada penyesalan atau hanya sebatas manipulasi, Rachel rasanya tidak mampu.

Tidak bisa dimungkiri, Rachel pun mau bebas. Ia tidak mau berurusan dengan birokrasi kampus yang ribet. Tidak mau jadi buah bibir. Tidak mau bermusuhan dengan siapa pun. "Gimana caranya supaya persidangan kita dibatalin? Gue nggak mau bawa-bawa pihak kampus. Biarin masalah ini selesai secara baik-baik, Je. Toh, kita udah masing-masing sekarang, atau...."

"Atau?"

Cukup lama keduanya terdiam dan saling pandang. Jethro menanti jawaban, sementara Rachel berpikir begitu dalam. Perempuan itu berusaha menjernihkan kembali pikirannya. Ia menggeleng, lalu menyungging senyum selebar yang ia mampu. "Nggak," kilahnya. "Pulang, yuk?"

Kecewa maksimal dengan responsnya, Jethro berdecak sebal sambil mematikan sisa bara di ujung rokoknya. "Ck, gue belum selesai, Rachel."

"Tapi gue mau pulang, Jethro," rengek Rachel sambil mengerucutkan bibirnya. "Udah malem."

Refleks Jethro melirik pada jam dinding. Sudah pukul sepuluh. Ia mengalah pada akhirnya. Jethro beranjak dari sofa sambil menarik jaketnya dari punggung sofa. Ia melangkah ke ruangan lain untuk mengambil kunci mobil, sementara Rachel sudah lebih dulu keluar untuk mengenakan sepatunya.

Begitu Rachel selesai mengikat tali sepatunya, Jethro sudah siap di dalam mobil. Rachel menyusul masuk, lalu mobil segera melaju meninggalkan garasi rumah Samuel. Keduanya saling diam, saling sibuk memandangi jalan raya melalui kaca depan.

Musik secara acak mengalun, dari jazz hingga EDM, semuanya bergantian secara rata, membuat atmosfer ruangan terasa campur aduk tiap menit berlalu. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi, membelah jalan yang hampir kosong menuju pergantian hari.

"Rachel."

Rachel hanya bergumam menanggapinya.

"Satu-satunya cara untuk hidup tenang sekarang ini tuh, sebenernya sederhana," cetus Jethro. Rachel sabar menanti kelanjutanya meski menyita waktu cukup lama. Ada keraguan di dalam hati Jethro untuk mengutarakannya, dan Rachel bisa merasakannya dengan jelas. Laki-laki itu sampai harus menghela napas untuk mengumpulkan keberaniannya. "Kita selesaiin urusan persidangan ini tanpa perlu ngumpulin bukti kesalahan gue."

Rachel mendelik. "Tanpa apa? Sebentar, lo—"

"Iya, iya, iya, Rachel," potong Jethro lagi lebih tergesa, menghindari Rachel untuk salah paham duluan. "Gue tau gue salah, gue juga udah ngakuin itu kok. Tapi Chel, demi kedamaian dan privasi kita sendiri, ayolah, kita udahin aja semuanya. Kita nggak perlu perpanjang debat di meja hijau. Cukup dengan pernyataan bahwa lo memang bener minta video itu di-take down, selesai. Nggak ada pihak yang bersalah, karena video itu emang bukan kehendak kita. Kasus ditutup, kita kuliah dengan aman, nyaman, nggak digosipin sana-sini, nggak perlu memecah-belah mahasiswa jadi kubu lo atau kubu gue. Enak, kan?"

"Sumpah," gumam Rachel lirih. "Lo bener-bener maunya kayak gini, Je?"

"Emangnya lo nggak mau, Chel, hidup tenang?" Jethro membalas.

Sekarang Rachel yang betul-betul tidak habis pikir kenapa ada manusia seegois dan semanipulatif ini. Rachel akui, ia memang ingin tenang, bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri dari permasalahan ini dan menyelesaikannya dengan cara tersebut. Akan tetapi, mendengar permintaan itu dari mulut Jethro membuat keputusan ini terdengar begitu egois. Bagaimana bisa Jethro memikirkan dirinya sendiri saja?

Nama baik Rachel akan dicoreng sebagai perempuan dramatis yang membuat kebohongan pada publik!

"Je, ini bukan kehendak gue. Kita sampai ditarik ke buku kasus dan harus ngelewatin proses ini, bukan kemauan gue," tukas Rachel. "Dari awal, ini bukan kehendak gue. Bukan gue yang kirim video itu ke lambe lurah, bukan gue yang nyuruh Kak Omar buat nulis artikel, bukan gue yang laporin permasalahan ini ke fakultas. Semuanya bukan gue!"

"Tapi elo dalangnya, Rachel!" runtuh sudah kelembutan yang sedari tadi Jethro pertahankan. Amarah kembali mengelilinginya. "Lo tuh sejak masuk ke kepanitiaan Dies Natalis, udah terprovokasi sama Omar!"

"Omar?!" ulang Rachel sambil tertawa mengejek. "Temen lo itu nggak ngapa-ngapain, Je! Dia kok yang mau nulis artikel itu, dia juga yang milih buat dukung gue, tanpa gue minta. Kalau lo bilang begini karena dia jadi emergency call gue, maka seharusnya lo yang mikir secara jernih! Ketika hidup gue lagi terancam di dalem kosan anak laki, dan di saat bersamaan gue punya jalan keluar, maka bodoh kalau gue nggak ambil jalan itu!"

Jethro mendengkus. Hatinya terluka ketika mendengar Rachel membela Omar, laki-laki yang bahkan baru dikenalnya kemarin sore. Cukup lama Jethro terdiam, menelan pembelaan Rachel terhadap Omar yang terngiang berulang-ulang di atas kepalanya. Dugaan-dugaan bermunculan, dan semua itu menyakiti perasaannya, tanpa bisa ia mungkiri.

"Rachel." Suara Jethro bergetar. Tangan kirinya memutar tombol volume hingga musik hampir tak terdengar. Laju mobilnya melambat menuju pemberhentian. "Do you love him?"

Mobil berhenti kemudian, dan Rachel memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Buru-buru Rachel melepaskan seat belt yang melindunginya. "Makasih, Je."

"Nggak," sangkal Jethro, menahan pergelangan tangan Rachel tepat ketika perempuan itu hendak mendorong pintu. "Jawab gue dulu. You really love him? Lo tau kan lo nggak akan pernah bisa bohong sama gue?"

Rachel tetap diam. Ia bahkan tidak tahu jawabannya. Mana sempat Rachel memikirkannya di bawah tekanan seperti sekarang ini. Tetap tanpa jawaban gamblang, Rachel menarik tangannya hingga terlepas dari cengkeraman Jethro yang kuat.

Melihat reaksi Rachel, Jethro terkekeh. "Gue menyimpulkan reaksi lo sebagai persetujuan," terangnya. "Ya, liat aja nanti. Good luck deh, sama emergency call lo itu. Meskipun kita semua tau kalau kalian cuma buang-buang waktu, sih. Nggak akan berhasil."

Tepat sebelum membanting pintu dan berlari pergi, Rachel mencela, "Bacot."

☎️

@sekennyasiapanih wkwkwk anjir padahal baru koar-koar karena jeje abusive, cenah

@dihkepoamatlu dah ketauan ini mah, kepanasan kali ya naik KLX, maunya naik march uhuy

@eskimstobeli bagus deh kalau rachel a.k.a acel sekarang sama omar, berarti udah sanggup ngelepasin si toxic #westandbyrachel

@bacotklean haduh kasian si jethro, baru diagung-agungin gegara ngelaporin baharuddin, malah kesandung kasus, mana ditinggal sama rachel, wkwkwk. #westandbyrachel

@istriseungyoon apaan dah pada, jethro kan belum terbukti salah njir. di akun lambe yg lama aja rachel buat pernyataan gitu #jethrobelumbersalah

@wonpilgantengimnida woy itu yang belain jethro lu pada kenapa si? mending ke psikiater dah bela-belain kriminal. gue punya bukti dia abusive. dm guys

@backupkelurahan @wonpilgantengimnida boleh dong kak biar sekampus tau siapa yang bersalah sebenernya xixixi #westandbyrachel tapi #jethrobelumbersalah

@wonpilgantengimnida @backupkelurahan bayar min

@lariadawibu sianying malah jualan

Rachel mendesah berat. Sudah lima menit ia duduk di pojok tribune lapangan utama Fakultas Keolahragaan. Rasa penasarannya tak terbendung ketika melihat tulisan "183 comments" yang tampak pada pos pertama di akun @backupkelurahan. Ya, video berdurasi lima detik yang memperlihatkan figur Rachel dan Omar sedang duduk berhadapan dan mengobrol penuh riang itu menyita perhatian banyak orang dan semakin memecah-belah kubu dari yang semalam sudah diklasifikasikan oleh Jethro.

"Hei, sori lama."

Kontan Rachel menoleh, menyadari Omar datang dan segera duduk di sebelahnya setelah memberikan sekaleng minuman pada Rachel. "Kak, gue kayaknya sebentar lagi gila, deh," cetus Rachel tanpa mau mendebatkan ke mana saja laki-laki ini sampai terlambat lima menit. Mendengar pernyataan tersebut membuat Omar langsung menaikkan sebelah alisnya, heran. "Lo tau nggak sih kalau kita sekarang masuk akun gosip?"

Omar mengangguk supersantai. "Tau, lah. Kan semua temen gue pada update gosip dan laporan ke gue kalau mereka liat muka gue jadi postingan pertama di akun backup itu. Kenapa? Nggak usah dipikirin, Rachel. Yang ada lo makin stres."

"Gue ...." Rachel memberi jeda pada ucapannya untuk mengambil napas dalam-dalam. "...capek, anjir."

Omar tak berani mendekat bahkan ketika suara Rachel kian lirih, ketika air mata Rachel menetes untuk yang pertama kalinya siang ini. Perempuan itu menunduk dalam, menutupi wajahnya di balik rambutnya yang tergerai. Tanpa sengaja, Omar melihat ponsel di genggaman Rachel, menyadari apa yang sedang Rachel saksikan selama menunggu kehadirannya di tribune. "Chel, sori," tuturnya lirih sembari mengambil alih ponsel Rachel dari pemiliknya. Omar segera menutup laman yang sedang Rachel tekuni. "Gue ngerti, Chel. Gue ngerti lo capek hadapin semua ini. Makanya, stop dengerin kata orang lain, ya? Kita fokus sama jalan keluar buat masalah lo sama Jethro, jangan pikirin yang nggak penting."

Dengan kedua tangannya, Rachel menyugar rambutnya ke belakang, kembali memperlihatkan setengah wajahnya dengan posisi merunduk. "Kak," panggil Rachel. "Sebelum beneran gila, kayaknya gue harus selamatin diri duluan nggak, sih?"

Omar terdiam sesaat, sibuk mencerna maksud pertanyaan Rachel sambil tangannya terus-terusan memutar ponsel Rachel di antara jari-jarinya. "Lo ... mau konseling?"

"Kinda," jawab Rachel sambil mengangkat kepalanya kembali sejajar dengan Omar. "Tapi, gue takut."

"Karena?"

"Ya karena permasalahan gue rasanya aneh aja buat diceritain ke—apa namanya, psikolog? Psikiater?—ya itulah, salah satunya. Kayak, kalau gue cerita gue terjebak di toxic relationship selama tiga tahun. Itu tuh aneh, Kak. Pasti, bakal dibilang—bahkan mungkin dari semua orang, ya—salah gue sendiri, ngapain mau-maunya bertahan tiga tahun padahal udah tau ancur-ancuran begini?"

Omar merasakan kegugupan dalam nada bicara Rachel. Kalimatnya terbata-bata, penuh keraguan. Tetapi, demi keprofesionalannya sebagai seorang teman, Omar segera menjawab dengan dukungan penuh. "Chel, nggak akan ada psikolog yang ngomong begitu. Mereka bahkan jauh lebih paham apa jalan terbaiknya buat lo ketimbang gue, mungkin. Kalau gue aja ngerti kenapa lo bisa bertahan selama itu sama Jethro, apalagi mereka yang profesional?"

"Lo tuh cuma nenangin gue atau ngomong sesuai apa adanya sih, Kak?"

Entah pertanyaan itu harus Omar sebut bodoh atau lugu, tapi yang pasti, reaksi pertamanya adalah tawa renyah darinya, yang kemudian mendapatkan tatapan makin bingung dari Rachel. Omar menggeleng-geleng, heran. "Chel, gue ngomong apa adanya, lah," katanya. "Habisnya lo pesimis duluan, sih. Lo tuh nggak akan di-judge, Chel, di sana."

Dengan sedikit paksaan, Rachel menyungging senyum, mencoba memercayai semua ucapan Omar hari ini yang bahkan belum bisa dibuktikannya sendiri.

Bibir Omar turut melengkung membentuk senyum yang sama. Ia mengembalikan ponsel ke telapak tangan Rachel, lalu melipat jari-jarinya untuk segera menggenggamnya erat. "Rachel, apa pun keputusan lo, gue bakal selalu bisa lo hubungin. Ketika lo ragu untuk ngelakuin sesuatu, gue selalu bisa lo hubungin buat kasih saran yang bisa kita diskusiin bareng-bareng. Please, Chel, gue nggak minta balesan apa pun dari lo, tapi please, pikirin diri lo sendiri dulu sebelum orang lain. Jangan pikirin gosip miring yang lo udah tau itu berita yang salah."

Rachel menyeka sedikit air matanya ketika sadar matanya kembali berkaca-kaca. Jantungnya berdebar-debar tak keruan. Rasa yang asing mengalir begitu saja ke dalam relung hatinya. Padahal, kini Rachel tahu ia tidak sendirian.

Akan selalu ada yang siap sedia mengangkat telepon kapan pun Rachel membutuhkannya.

☎️

[first publised on 27/09 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro