BAB 24 ☎
"...acara Dies Natalis bakal berjalan senormalnya. Kayak yang kita semua tau, update soal kasus Pak Baharuddin, sekarang beliau ditetapkan jadi tersangka, dan gue juga udah denger kabar dari WR, kalau untuk sementara ini, bakal ada Rektor PLT yang gantiin Pak Baharuddin untuk sementara waktu, dan—"
Pintu terbuka ketika Jethro sedang bicara di dalam lingkaran besar yang membulat di dalam sekretariat BEM. Rachel mengedarkan pandangan sekilas, untuk kemudian berakhir memandang Jethro, sang pimpinan rapat. "Sori, Kak, tadi kelasnya agak terlambat selesainya," tutur Rachel.
Dingin, Jethro mengangguk. Laki-laki itu tidak menatap Rachel lebih dari dua detik. "Iya nggak apa-apa, duduk," titahnya tak kalah dingin. Rachel hanya mengangguk pelan, lalu ambil posisi duduk di antara Omar dan Regina, seperti biasanya. "Oke, gue lanjut, ya."
Tak menunggu respons dari peserta rapatnya, Jethro melanjutkan rapat tanpa beban. Satu per satu koor divisi menyampaikan progress pekerjaannya secara bergantian, hingga dalam satu jam ke depan, semuanya usai dan Lidya selaku sekretaris membacakan hasil notula yang ditulisnya sejak awal berjalannya rapat.
Setelah Lidya selesai membacakan notula dan Jethro menyadari tidak ada pertanyaan apa pun dari peserta rapat sore hari ini, secara resmi rapat ia tutup. Seluruh panitia dipersilakan untuk meninggalkan ruangan tanpa terkecuali.
Ini adalah rapat Dies Natalis yang pertama kalinya setelah beberapa minggu bagi Rachel. Teman-teman seangkatannya sudah meninggalkan ruangan, sehingga Rachel pun turut berjalan keluar dari ruangan. Namun, baru saja ia membuka pintu dan hendak menjatuhkan langkah pertamanya di luar ruangan, suara Jethro langsung memenuhi gendang telinganya, "Rachel, tunggu di depan. Gue ada perlu."
Yang disebut namanya itu menoleh sekilas, balik menatap Jethro lalu mengangguk pelan. Ini bukan waktunya mendebatkan masalah di depan kakak tingkat lainnya, jadi Rachel memilih untuk manut, meski ia sempat melihat Omar tampak kecewa dengan keputusannya mengiakan Jethro.
Rachel menunggu tak jauh dari pintu ruangan, dan Jethro datang tak lama setelah kepergiannya. Wajahnya masih tanpa ekspresi, namun dengan penuh waswas ia memastikan tidak ada orang lain di koridor gedung sekretariat BEM. Jethro menghampiri Rachel, berdiri dalam jarak aman, tidak terlalu dekat. "Gue harus ngobrol sama lo, Rachel," katanya. Senyum Rachel mengembang kikuk. Ia mengangguk, mencoba memahami Jethro bahwa mereka memang perlu bicara secara empat mata. "Gue parkir di gedung depan, lantai tiga. Lo tunggu sana, ya, gue ambil tas dulu."
Sekali lagi, perempuan itu mengangguk manut. "Iya, Je," balasnya pelan. Rachel gegas berbalik badan dan segera meninggalkan Jethro sendiri. Tanpa jeda, kakinya melangkah meninggalkan gedung, sementara Jethro masih geming dan menyaksikan kepergiannya sebelum hilang di balik pintu utama.
Jethro berdesah, menyugar rambutnya ke belakang, lalu melangkah ke arah berbeda dengan Rachel. Ia kembali ke ruang sekretariat BEM, untuk segera mengemas barang-barangnya dan pamit pada empat rekannya yang masih ada di dalam ruangan. Untuk kali pertama dalam bertahun-tahun sejak saling kenal, Jethro tidak bersalaman maupun saling bro fist dengan orang-orang ketika pamit. Padahal, Ilyas sudah melayangkan kepalan tangannya, siap ditinju balik. Tetapi Jethro mengabaikannya dan memilih untuk langsung meninggalkan ruangan setelah sekali lagi berkata, "Gue duluan."
Dua kata itu keluar dari mulut Jethro dengan dingin, berbarengan dengan sinis matanya menyorot pada Omar yang berdiri di depan rak tepat di sebelah pintu keluar. Jelas, Omar menyadarinya, tapi memilih untuk tidak menghiraukannya. Ia hanya geleng-geleng pelan dan melanjutkan pekerjaannya sendiri.
Langkah Jethro besar-besar, berproses secara perlahan sampai akhirnya ia berlari dengan ransel di punggungnya dan jaket merah di sebelah lengannya. Jethro baru ingat kalau Rachel bisa saja mencuranginya. Astaga, ia baru ingat kalau perempuan itu licik. Bagaimana kalau Rachel tidak menemuinya di gedung parkir?
Kekhawatiran itu membuat langkah Jethro semakin cepat tiap menitnya. Ia memasuki lift dan menunggu kapsul itu bergerak naik dengan tergesa-gesa. Hingga pintunya terbuka di lantai tiga gedung, dan ia keluar dengan langkah supercepat, celingukan mencari Rachel. Keadaan gedung parkir sudah sangat sepi. Jika pada siang hari Jethro bisa melihat ada ratusan motor terparkir di sini, maka kini hanya ada dua belas motor tersisa, dengan penerangan yang sangat redup. Ia hampir tidak bisa mengingat di mana motornya berada.
Masih dengan tergesa, Jethro melangkahkan kakinya dengan cepat, ke arah motornya yang baru ia temukan beberapa saat setelah mencari. KLX merah itu masih terparkir sempurna tanpa bergeser sedikit pun. Laki-laki itu baru bernapas lega ketika disadarinya ada Rachel berdiri di sebelahnya, menatap ke luar gedung parkir dari celah kosong di atas dinding yang setinggi dadanya. Napasnya tersengal-sengal ketika Rachel menoleh karena mendengar derap langkahnya yang begitu tergesa.
"Kalau lo bilang gue bayar banyak orang buat nyebarin hoaks tentang lo, apa sekarang lo juga bayar orang buat nyebarin gosip tentang gue sama Kak Omar?" tanya Rachel, tak peduli lawan bicaranya masih membungkuk dengan tangan bertumpu pada lutut dan sibuk mengatur napas.
Jethro menyeka keringat di dahinya sebelum kembali berdiri dan menghadap perempuan di sebelah motornya. Merasa tak sempat lagi untuk mengatur napasnya hingga stabil, dengan napas masih setengah tersengal, kini Jethro merespons, "Maksud lo apa?"
Rachel melihat layar ponselnya, membacakan kabar apa yang baru ditemukannya pada akun baru dengan username @backupkelurahan, yang sudah jelas adalah akun baru setelah akun lambe lurah dibekukan atas permintaan pihak kampus. "Putus dari Jeje, udah dapet Omar aja nih, si Acel," dikte Rachel, membacakan caption yang tertera pada posting pertama dari akun tersebut. "Mereka ngepos video gue sama Kak Omar makan di kantin. Dan, apaan, coba nih? Mereka bikin nama panggilan buat gue sama lo, Je!"
Alis Jethro bertaut, wajahnya yang penuh peluh dan menampilkan raut lelah, kini sirna secara pasti. Semburat merah di wajahnya yang seputih susu bukan lagi mewarnai kelelahannya berlari, tapi kemarahan atas tuduhan yang baru saja Rachel berikan. "Apa-apaan lo nuduh gue yang nyebarin hoaks kayak gitu? Buat apa juga?"
"Nah!" pekik Rachel sambil kian mencengkeram ponsel di tangannya. "Lo nggak terima, kan, dituduh nyebarin hoaks? Gue juga sama, Je! Buat apa gue nyebarin hoaks tentang lo—yang—" perempuan itu terbata-bata. Hampir saja ponsel di tangannya ia banting saking frustrasinya. "Anjir, kita bahkan tau itu bukan hoaks!"
"Sumpah, Rachel, gue malem ini pengin ngajak lo ngobrol secara baik-baik, loh, sejujurnya. I need you so bad, Rachel." Intonasi Jethro merendah, mendadak lesu. Dan melihatnya tepat di depan mata membuat Rachel langsung dikerubung iba. Amarahnya yang menggebu-gebu, kepalan tangannya yang begitu kuat, semuanya perlahan luruh. "Ini semua terjadi karena kelalaian kita, Chel. Kita, bukan cuma lo, bukan cuma gue, tapi kita. Makanya, ayo kita cari jalan keluar bareng-bareng."
Lesu yang melekat pada raga Jethro, dengan mudah menular. Rachel rasanya tidak punya kuasa dan energi untuk menolak. Ketimbang harus ribut lebih lama di gedung parkir, ia putuskan untuk manut, bahkan ketika Jethro membuat keputusan secara sepihak bahwa mereka malam ini akan pergi ke tempat yang tidak Rachel ketahui.
Di sepanjang perjalanan mereka saling diam. Jethro fokus mengendarai motornya, sementara Rachel sibuk meneliti tiap tikungan tempat mereka berbelok. Semakin jauh motor Jethro melaju, maka semakin asing jalan ini di mata Rachel. Dari jalan raya utama di depan kawasan kampus, hingga ke jalan demi jalan yang semakin kecil, sampai motor Jethro, satu jam setelahnya, berhenti pada garasi salah satu rumah pada jajaran kaveling yang penuh dan cukup sepi.
"Ini rumah tante gue, tapi orangnya lagi keluar kota, udah dua mingguan. Di dalem cuma ada sepupu gue, si Samuel, kalau lo inget," ujar Jethro, menjawab pertanyaan di benak Rachel yang ia tahu tidak berani Rachel ungkapkan. Sembari memimpin langkah Rachel meninggalkan garasi sambil melepaskan helm di kepalanya. "Nggak usah khawatir, gue nggak macem-macem. Nanti pulang gue anter. Samuel ada mobil kok."
Rachel hanya mengangguk tanpa kata. Kakinya terus melangkah, mengekori Jethro hingga masuk ke ruangan pertama rumah tersebut. Jethro tetap jalan beberapa langkah di depannya, untuk menyalakan lampu tiap-tiap ruangan, lalu menyalakan televisi di ruang tengah. "Sini, Chel," ujarnya sambil melepaskan jaket kulitnya untuk ia sampirkan pada punggung sofa.
Selang beberapa saat, suara pintu terbuka terdengar dari lantai dua, diikuti dengan derap langkah seseorang menuruni tangga hingga setengah jalan. Rachel bersitatap dengannya tanpa sengaja. Ia duga laki-laki itulah yang Jethro sebut Samuel. Rachel belum pernah bertemu dengannya, hanya sekadar mendengar namanya, mengenalnya sebagai sepupu yang paling dekat dengan mantan pacarnya itu.
"Chel, ini Samuel." Jethro memperkenalkan. "Sam, ini Rachel."
Rachel hanya merespons dengan senyum dan anggukan, sementara Samuel mengangguk dengan begitu cuek. "Gue di atas nggak apa-apa kan, Je?" tanya laki-laki yang masih berdiri di pertengahan tangga.
"Santai, Sam," balas Jethro. "Gue nggak lama, tapi nanti pinjem mobil, nganterin Rachel balik."
Sekali lagi, Samuel mengangguk, sebelum berbalik badan dan berlari kembali ke kamarnya. Rachel masih mematung dan sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ketika Jethro sudah dengan begitu santainya duduk di sofa, menyaksikan kesibukan Rachel.
"Nggak usah naik mobil juga ng—"
"Nggak," potong Jethro cepat. Pandangannya cepat beralih dari Rachel ketika perempuan itu menoleh kepadanya lalu turut duduk di sofa. Rachel perhatikan dalam diam, tangan Jethro membuka laci di bawah meja, mengeluarkan asbak serta sebungkus rokok dari dalam sana. Setelah mengapit satu batang rokok di antara bibirnya, laki-laki itu melanjutkan, "Kalau gue bilang gue anter naik mobil, ya gue anter naik mobil."
"Lo ngerokok lagi?" Rachel mengalihkan topik sebelum debat soal naik mobil akan jadi panjang dan berujung jadi keributan.
"Lagian, Chel, orang rumah lo udah hafal motor gue. Kalau gue anterin, yang ada gue digebukin di tempat." Abai dengan pertanyaan Rachel, laki-laki itu memantik api dari korek gasnya, membakar ujung rokok di mulutnya. "Gue stres, Chel. Gue nggak punya pelarian apa pun selain ngerokok. Tanggungan gue tuh, jadi banyak banget sekarang."
Bibir Rachel mengerucut. Kalau selama ini Rachel pikir ia stres sendirian, maka malam ini, Rachel tahu tanggungan Jethro sudah pasti jauh lebih banyak. Belum lama ini, Jethro dan teman-temannya yang melangsungkan demo pada rektor atas dugaan penyelewengan dana. Sampai saat ini, tuduhan tersebut masih jadi tanggung jawabnya. Belum lagi kini urusan privasi mereka tercium oleh khalayak ramai. Nama Jethro yang sempurna, runtuh dalam sekejap. Integritasnya sebagai Presiden Mahasiswa dipertanyakan. Visi-misinya dipertanyakan. Segala hal di dalam hidupnya jadi pertanyaan publik yang entah kapan akan terjawab.
"Chel, sekarang cuma lo satu-satunya jalan keluar. Orang tua gue udah nggak berpihak sama gue setelah mereka liat video kita di kosan, dan ... lo tau?" tutur Jethro sambil sesekali menyesap rokoknya sebelum mengembuskan asap ke udara. Pertanyaannya menggantung di sana, begitu pula dengan penjelasannya. Jethro berbalik, kini duduk memunggungi Rachel. Jari-jarinya bergerak dengan cepat, melucuti satu per satu kancing kemeja yang dikenakannya, lalu memperlihatkan punggungnya yang penuh gurat merah tak beraturan. "Ulah Mami, Chel. Gue nggak tau sih ini pantes gue dapetin atau nggak, but it hurts, more than just physically."
Rachel berdesah gusar, makin iba rasanya melihat bekas luka di punggung Jethro yang masih kelihatan baru. Belum sempat Rachel berkomentar, Jethro sudah kembali mengenakan kemejanya lagi, lalu kembali duduk menghadap ke meja di depannya seraya mengancing kembali kemejanya.
"Je, ini...." Rachel meraih pergelangan tangan kiri Jethro, ketika perempuan itu melihat gurat kemerahan lainnya yang mencolok di sana. Sontak pandangan Jethro ikut tertuju pada objek yang Rachel lihat. "Ini pasti elo, kan?"
Jethro masih memandangi inisial JR yang tercetak hitam di atas kulitnya, kini seolah dicoret dengan darah. Samar, Jethro mengangguk. "JR. Jethro Rachel. Ketika gue bikin tato di sini, nulis nama lo, gue kayaknya terlalu meromantisasi hubungan kita, Chel. Merasa kalau lo sama pentingnya dengan denyut nadi di tubuh gue. Dan ketika gue akhirnya sadar kalau gue nyakitin lo, rasanya nggak pantes banget inisial ini masih ada di sini, Chel. Gue nyakitin lo kayak begini, Chel. Berdarah-darah."
"Jethro...."
"Chel, ketika gue tau maaf nggak akan cukup untuk nebus semua ini, maka apa yang mampu?"
☎️
[first published on 27/09 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro