BAB 23 ☎
Payphone, This Love, Girls Like You, dan sederet lagu Maroon 5 lainnya bersipongang di tiap penjuru ruang kecil yang Rachel dan Omar tumpangi. Mobil melaju dengan kecepatan rendah yang stabil, membawa keduanya meninggalkan kawasan kampus dengan keheningan mencekam. Sudah setengah jam lamanya Rachel hanya mendengarkan lagu-lagu yang mengalun tanpa mendengar si sopir berkata barang sepatah kata.
Lagi pula, wajah Omar kelihatannya tidak sedang bersahabat. Ia bahkan bersikap dingin sejak berpapasan dengan Rachel setelah kelas terakhir mereka setengah jam lalu. Alih-alih mengajak Rachel mengobrol berbasa-basi menyenangkan, Omar tadi langsung mengajak Rachel untuk segera pulang.
Rachel sejujurnya tidak keberatan dengan hal itu, akan tetapi, rasanya begitu asing melihat Omar yang sedingin suhu mobil sore ini. Gadis itu berdehem pelan, tanpa memalingkan pandangan dari spion kiri yang sedikit dibasahi dengan sisa rintik hujan yang belum diseka. "Kak, di kampus ini, gosip tuh selalu nyebar dengan cepat, ya?"
Laju mobil sedikit melambat, dan Rachel sadari mereka kemudian berhenti sepenuhnya di balik mobil yang mengantre di belakang lampu lalu lintas. "Gosip apa lagi?"
"Kenapa lo berantem sama Jethro?"
Bagai paham tujuan obrolan ini, Omar mengangguk-angguk. Ia menyugar rambutnya, tersenyum tipis. "Udah sampai ke kuping lo, beritanya?" tanyanya, yang jelas tidak perlu Rachel konfirmasi kebenarannya. Omar menunggu jawaban, tapi Rachel tetap diam. Alih-alih menunggu lebih lama, ia memilih untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, "Gue nggak berantem. Dia nanya, gue dibayar berapa sama lo sampai rela betrayal dan nyebarin hoaks tentang dia."
Rachel tak berkutik. Hitungan mundur pada papan LED di atas lampu lalu lintas yang mendekati angka nol membuat Omar menjeda penjelasannya. Selang tiga detik, klakson saling beradu, deru kendaraan saling tak mau kalah. Omar kembali menancap gas dalam kecepatan serendah dan sestabil sebelumnya. Laki-laki itu berdesah pelan sebelum melanjutkan, "Gue balikin, bilang kalau dia yang nyebarin hoaks demi nama baiknya sendiri. Sebatas itu doang perdebatan gue. Dia yang ngatain gue bangsat, dia yang curi perhatian, dan dia yang akhirnya cabut sendiri. Yes, pasti akar gosipnya dari anak sekelas gue dan Jethro."
Keadaan kembali hening. Hanya ada suara deru mesin dari luar dinding mobil. Sesekali, Rachel menoleh pada laki-laki di sebelahnya. Omar tampak superfokus pada jalan raya, kembali datar tanpa ekspresi berarti. Lagu-lagu Maroon 5 kembali jadi satu-satunya suara yang menggaung. Rachel belum puas bertanya, tapi sepertinya, Omar sedang tidak bisa ia ganggu sering-sering, apalagi perihal masalah pribadinya.
Yang tidak sedikit pun Rachel sadari, diam-diam Omar memperhatikan dari ekor matanya. Omar tahu perempuan itu masih punya gudang pertanyaan yang tertahan di dalam pikirannya sendiri. Dan, dalam lima menit selanjutnya, ketika mobil Omar melewati gerbang utama kompleks rumah Rachel, baru perempuan itu bersuara lagi. "Kak Omar."
"Ya?"
"Maaf karena udah ngerusak persahabatan kalian," tutur Rachel lembut.
Omar mencengkeram setirnya semakin erat. Tubuhnya menegap. Laju mobilnya melambat kala ia membawanya berbelok di tikungan untuk tiba di deretan blok rumah Rachel. "Bukan salah lo, Rachel," sanggah Omar. "Ketika Jethro bilang gue betrayal, gue yang milih buat nggak nyangkal itu. Jadi, ya, ini emang pilihan gue, Rachel."
Bibir Rachel mengerucut. Alisnya bertaut. Ia semakin merasa bersalah dengan kebaikan yang telah Omar berikan selama ini. "Harusnya, lo nggak usah jadi emergency call gue, ya, Kak?" celoteh Rachel. "Mungkin waktu itu harusnya gue telepon Diandra aja, bukan lo. Kenapa jadi complicated begini, ya, Kak? Kalian kan, sahabat berempat. Cuma lo yang nggak berpihak sama Jethro, dan itu artinya, lo kehilangan tiga orang sekaligus, Kak. Gue juga ... bikin Diandra kehilangan kak Ilyas."
Omar mengambil jeda sebentar sebelum akhirnya terkekeh. "Rachel," ujarnya tenang. "Gue nggak apa-apa kehilangan temen ketika gue udah tau mereka merugikan dan nggak berharga."
Bertepatan dengan usainya kalimat itu, Omar menginjak rem, menghentikan mobilnya pada desrinasi akhirnya, rumah Rachel. Mata Rachel menyorot lurus pada bola mata Omar, dengan binar yang takkan bisa ia deskripsikan artinya. Rachel tidak mau besar kepala, tapi, bagaimana tidak?
Senyum Omar mengembang. Ia bisa melihat pipi Rachel memerah, meski tidak tahu apa penyebabnya. "Lo nggak perlu khawatirin urusan orang lain, Rachel," ucapnya. "We stand by Rachel. Banyak yang ada di pihak lo, kok. Gue, Diandra, Freya, dan banyak mahasiswa lainnya bakal bantuin lo. Kita bakal ngelakuin yang terbaik supaya Jethro kalah di sidang berikutnya."
Rachel mengangguk sembari menyungging senyum lebar. Perempuan itu kemudian segera pamit dari mobil Omar, segera turun dan meninggalkan laki-laki baik yang menemani hampir tiap langkahnya hari ini. Rachel masuk ke rumah lebih dulu, sebelum akhirnya Omar kembali menancap gas dan hilang ditelan jarak.
☎
Entah bagaimana, meski kini selalu dikelilingi orang-orang yang selalu menyayangi dan mementingkan dirinya di atas siapa pun, Rachel merasa ada yang salah pada dirinya. Rachel menerima dengan baik semua bantuan dari pihak mana pun yang diam-diam memegang bukti atas kekacauan hubungan antara dirinya dan Jethro, yang sangat tidak diduganya, ternyata sudah jadi rahasia banyak kepala. Bahkan salah satu orang yang selalu dekat dengannya, Freya, menyimpan bukti video.
Berulang-ulang Rachel memutar video yang Freya kirimkan padanya dan mengabaikan paparan materi Pak Gunawan di depan kelas. Suara Jethro terus-terusan berputar di benaknya. Suaranya yang keras dan tidak ramah. Tangannya yang dengan begitu ringannya mendarat pada pipinya. Semua itu berulang bagai kaset di dalam pikirannya.
Selain video dari Freya, Rachel juga menyimpan video kiriman seorang kakak tingkat setahun di atasnya, yang entah berasal dari jurusan mana. Perempuan itu mengirimkan videonya secara anonim dengan akun Instagram yang sengaja ia buat. Lagi-lagi, memori akan kekerasan yang Jethro berikan padanya terngiang tak keruan di dalam benaknya.
Rachel terpaksa mengingat semuanya kini. Hubungan yang selalu tersembunyi di balik dinding privasi, nyatanya tidak begitu. Pedih sekali mengingat bagaimana Rachel sampai berdebat begitu panjang dengan Jethro mengenai perkara go public yang supersepele. Sekarang, bahkan tanpa kehendak mereka, go public ini benar-benar terjadi. Hubungan rumit ini bukan lagi privasi antara keduanya, tapi justru mulai jadi konsumsi publik.
"Di...." Rachel begitu lesu meletakkan ponselnya dalam keadaan layar di permukaan meja. Sebelah tangannya memijat pelipisnya. Diandra yang tengah fokus mendengarkan presentasi Pak Gunawan, lantas menoleh. "Kayaknya, gue yang mundur aja, ya? Gue dari kemarin nontonin video-videonya, nggak tega deh, Di."
Diandra mengernyit heran. "Nggak tega gimana maksud lo?"
Kelingking kiri Rachel mengacung, ia tunjuk dengan telunjuk kanannya, seolah tengah berhitung. "Satu, video-video ini bakal kontroversial banget, Di. Gue udah liat semua yang masuk ke gue, entah mereka bantuin gue ngumpulin bukti atau pure sok polos nanya 'Ini beneran lo sama Jethro, Chel?'—kalau ini kesebar ke lebih banyak orang, gue bakal makin ngejatohin nama baik Jethro...."
Rachel ambul jeda sejenak untuk bernapas dan mengacungkan jari keduanya. "Kedua, Jethro tuh jahat di semua video ini, Di. Sementara yang kita—nggak, ralat, yang kalian semua tau selama ini, Jethro tuh anak baik sempurna yang nggak punya kekurangan. Bakal ada dua kemungkinan. Nama baik Jethro langsung jatoh, atau orang-orang berpikir kalau gue memanipulasi ini karena mereka lebih percaya Jethro nggak akan ngelakuin semua ini."
Kali ini, Diandra terpaksa turut mengabaikan penjelasan Pak Gunawan demi mendengarkan curhatan Rachel. Gadis itu mengangguk, mempersilakan Rachel untuk melanjutkan poin-poin berikutnya.
"Ketiga." Rachel berdeham. "Gue nggak tega sama Jethro, Di. Track record akademisnya bagus banget. Gue terlalu egois kalau mau ancurin semua itu. Kalau gue ngeluarin semua bukti video ini, Jethro fixed bakal dipecat secara nggak terhormat. Bukan cuma Jethro yang bakal sakit, tapi orang tuanya juga. Jadi...."
Sebelum Rachel sempat membuat kesimpulan atau melanjutkan pada poin nomor empat, Diandra menyetopnya dengan telapak tangan terbuka. "Keempat, Rachel," diktenya. "Ketika Jethro ngelakuin ini semua ke lo, dia nggak pernah mikirin perasaan lo dan perasaan keluarga lo, Chel. Gimana perasaan Mami Papi lo, abang adik lo. Ini tuh, harga yang pantes dia bayar atas kelakuannya sendiri selama ... berapa? Tiga tahun? Three fucking years, Rachel."
Rachel mengerucutkan bibir segera. "Di—"
"Oke, baik. Waktunya sisa lima menit, dan setelah ini saya masih ada rapat dengan wadek tiga, jadi saya izin meninggalkan kelas duluan." Kali ini bukan Diandra, melainkan suara Pak Gunawan yang menginterupsi Rachel. Seketika, pandangannya beralih pada pria yang sudah menutup laptopnya dan melangkah meninggalkan ruangan. "Sampai ketemu minggu depan."
Diandra berdeham, menaraik perhatian Rachel kembali padanya, dan menjelma lebih serius dari sebelumnya. "Rachel, please jangan mikir apa-apa. Kemauan lo itu justru egois, Chel," potong Diandra cepat. "Lo tau nggak sih, sejak sidang lo—apalagi siangnya itu kesebar gosip tentang Kak Jethro dan Kak Omar yang ribut, sekarang semua orang kayak udah pilih kubu mereka masing-masing, Chel. Nggak sedikit yang dukung elo. Please, Chel. We stand by you, dan itu artinya kita dukung lo buat menang dari bajingan itu."
Egois. Satu kata itu melekat pada benak Rachel. Bagaimana bisa Diandra menyebutnya egois karena ingin mengundurkan diri dari persidangan yang merugikan sebelah pihak ini? Rachel hanya ingin tenang, dan untuk kali ini, satu-satunya cara adalah menghentikan semua karut-marut ini. Mengalah, membebaskan Jethro dari tuduhan, dan menjalani kehidupan kampus dengan normal.
"Tapi, Diandra, ini menyangkut kehidupan pribadi gue yang harusnya nggak jadi konsumsi banyak orang," balas Rachel yang tetap tidak mau kalah dengan argumennya sendiri. "Lagian kenapa, sih, harus ada yang share video itu di lambe lurah? Kenapa sih, orang-orang nggak bertanggung jawab ini pada diem-diem videoin ketika mereka secara nggak sengaja liat gue sama Jethro berantem? Kenapa, sih, Di? Gue nggak mau jadi pusat perhatian untuk hal-hal negatif begini, Di. Ini bukan kehendak gue, dan ini bukan sesuatu yang gue pengin!"
Bukan hanya Diandra, tapi kini tatapan para mahasiswa yang masih tersisa di ruangan, tertuju pada Rachel. Jelas, sebab nada bicara Rachel kian meninggi dan menyita atensi. Seketika, ruangan hening. Kalau para pendukung Rachel mendadak terluka dan merasa Rachel tidak menghargai dukungan mereka, maka kali ini, Diandra merasakan hal yang sama, tiga kali lipat lebih dalam kecewanya.
Rachel mengedarkan pandangan untuk kemudian sadar semua orang memperhatikannya. Malu setengah mati, perempuan itu lantas menyeret tasnya dan pergi bersama binder dan alat tulis yang memenuhi tangannya, serta ponsel di sebelah tangannya. "Gue mau rapat Dies Natalis."
Semua orang di dalam ruangan tetap mematung. Rachel keluar dan meninggalkan pintu terbuka begitu lebar. Di sudut lain ruangan, Diandra mengepalkan tangan dan memukul meja. "Anjir lah," umpatnya.
"Di, Rachel kayaknya butuh waktu sendiri dulu. Pasti nggak gampang buat dia. Lo sabar, ya," ujar Raisa, cewek yang duduk tepat di belakang Diandra. Tangannya terulur ke punggung Diandra, mengelusnya lembut.
Anggukan jadi respons sebagian besar orang di dalam ruangan. Mereka setuju dengan Raisa. Akan tetapi, tidak dengan Diandra. Gadis itu tidak menyetujuinya. Ia berdesah begitu berat, menyisir rambut dengan kedua tangannya, penuh frustrasi. "Hubungan gue sama Kak Ilyas hancur gara-gara gue belain dia, Sa. Sekarang, kalau dia nggak mau dibelain, sia-sia dong?"
☎
[first published 20/09/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro