Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 22 ☎

Ketika Omar berusaha menjawab menurut sudut pandangnya, Rachel sudah buru-buru mengalihkan pembicaraan, yang jelas membuat Omar jadi tidak enak hati untuk mengutarakan pendapatnya. Laki-laki itu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mata Rachel langsung berlinang, yang berusaha keras ia alihkan dengan cara menyaksikan pertandingan futsal dengan saksama.

Mereka tidak bertahan lama-lama di lapangan futsal. Sebelum jam makan siang, keduanya sudah meninggalkan lokasi, segera bertandang ke kantin sebelum tempat itu ramai karena banyak kelas mulai dibubarkan. Ketika datang, kantin sudah cukup ramai. Hanya ada beberapa meja kosong, dan Rachel memutuskan untuk duduk di meja paling pojok, menghindari bagian tengah kantin supaya tidak jadi pusat perhatian. Omar asal setuju tanpa mempertanyakan kenapa Rachel memilih meja tersebut.

Rachel dan Omar sepakat untuk bagi tugas. Rachel menjaga meja supaya tidak ditempati, dan Omar memesan makanan. Tak butuh waktu lama bagi Rachel menanti kembalinya Omar ke mejanya. Sembari menunggu, perempuan itu menyusuri tiap-tiap aplikasi pada ponselnya. Mencoba meyakinkan diri, ia kembali mengaktifkan akun Instagramnya, melihat lagi puluhan pesan masuk yang sudah masuk sejak ia belum menonaktifkan akunnya. Semuanya mempertanyakan keadaan Rachel serta kebenaran kabar yang dianggap simpang siur itu.

"Serius banget, lo. Ini jam istirahat, kali," celetuk Omar yang tiba-tiba datang, membuat Rachel langsung kehilangan keseriusan di wajahnya. Secepat kilat, ia meninggalkan laman Instagram, meletakkan ponsel di pangkuannya, lalu menyungging senyum untuk menyambut kehadiran Omar. "Habis ini ada kelas, nggak?"

Rachel mengangguk.

"Mau masuk?"

Sekali lagi, perempuan dengan rambut ash brown itu mengangguk. "Iya, Kak. Udah lama banget gue bolos. Takut jatah absen limit," balasnya. "Lo ada kelas?"

"Ada. Nanti bareng aja."

Menanggapinya, Rachel hanya tersenyum. Percakapan mereka berhenti di sana. Makanan pesanan mereka sudah dibawakan, dan keduanya memutuskan untuk fokus menyantap hidangan makan siang tanpa bicara.

Omar makan dengan cepat sementara Rachel begitu lamban dan sibuk celingukan ke sekitar. Entah apa yang dicarinya, tapi Rachel terus saja memandangi tiap penjuru kantin secara bergantian. Alhasil, begitu selesai makan, Omar hanya diam, memandangi perempuan di seberangnya yang menyendok soto daging dan nasi sedikit demi sedikit, tanpa minat.

Benar-benar butuh waktu lama bagi Rachel untuk menyelesaikan makan siangnya. Dua kali lipat waktu yang Omar habiskan. Begitu selesai, keduanya gegas meninggalkan kantin. Rachel mengekor Omar yang melangkah dengan cepat dan tegas, meski berdesakan di tengah lautan manusia.

Samar-samar, telinga Rachel menangkap suara yang bersumber dari meja di dekatnya. Segerombol anak perempuan yang tidak sempat ia lihat wajahnya, sedang saling berbisik dengan sesamanya, membicarakan Rachel dan Omar yang siang ini jalan seiringan.

Rachel mau memperlambat langkah untuk mendengarkan, namun Omar tetap mengayunkan kaki dengan cepat. Langkahnya memang besar-besar sekali karena tubuhnya yang tinggi. Mau tidak mau, Rachel urung mencuri dengar lebih jauh. Ia tetap mengikuti Omar sampai keluar dari kawasan kantin yang sumpek bukan main.

Ketika akhirnya bisa bernapas lega dan menyetarakan langkah dengan Omar, beberapa mahasiswa yang berlalu-lalang memandang ke arahnya. Entah karena sedang bersisian dengan Omar, entah karena wajahnya yang sedang tak keruan karena habis menangis.

Rachel menoleh pada Omar, memastikan laki-laki itu juga menyadari tatapan dari orang-orang asing ini. Akan tetapi, tidak. Omar tetap menatap lurus ke jalan di depan matanya. Entah sengaja tak acuh, entah memang tidak menyadarinya. Perlahan, Rachel memperlambat langkahnya untuk tidak sejajar dengan laki-laki itu.

"Rachel." Tapi laki-laki itu justru berbalik badan dan menghentikan langkahnya sejenak. "Gue mau shalat dzuhur dulu. Lo mau duluan?"

Pertama-tama, langkah Rachel ikut berhenti. Kepalanya menengadah untuk balik menatap Omar. Ia diam sejenak, berpikir panjang. Rasa-rasanya Rachel punya sangat banyak pertimbangan untuk sekadar memberikan jawaban. "Shalat dzuhur tuh lama, nggak?"

Omar menggeleng, "Nggak, kok. Paling-paling lima sampai sepuluh menit. Kalau lo mau nungguin, ntar ke fakultas bareng, gue anter ke kelas sekalian, sampai ketemu Diandra dan aman."

Sampai ketemu Diandra dan aman. Rachel menggarisbawahi kalimat tersebut, menanamkannya dengan baik di dalam pikirannya. Tawarannya tidak bisa Rachel tolak. Kampus hari ini mungkin sedang tidak aman. Rachel tidak tahu Jethro sedang ada di mana. Bagaimana jika laki-laki itu tiba-tiba muncul dan mereka akan ribut lagi? Oh, tidak. Rachel tidak mau membayangkannya. Ia bersedia menunggu Omar salat.

Langkah mereka yang semula tertuju pada gedung fakultas, kini berbelok menuju masjid kampus yang berlainan arah. Omar menyuruh Rachel menunggu di depan masjid, di dekat pintu khusus anak perempuan, sementara laki-laki itu meninggalkannya, melangkah menuju pintu khusus anak laki-laki.

Rachel diam, celingukan melihat betapa ramainya masjid pada jam-jam makan siang begini. Hampir semua orang mengenakan jilbab, dan ia merasa bagai orang hilang. Tangannya tak lepas dari atas dadanya, memegangi liontin yang mengalung di lehernya. Banyak orang yang melihatnya. Rachel sebenarnya ge-er dan berprasangka mereka sedang memandanginya karena kasus bodoh yang menyeret namanya kemarin. Akan tetapi, kemudian ia cuci pikiran buruknya. Mungkin, mereka memandangi Rachel karena sedang menyimpan tanda tanya di benaknya, bagaimana bisa seorang berkalung salib sepertinya singgah di rumah ibadah umat agama lain.

Tapi, bodo amatlah. Rachel tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang hanya dirinya sendiri. Di sini, Rachel aman, sebab Jethro tidak mungkin ada di sekitar sini.

Sesuai perkataan Omar, dalam sepuluh menit laki-laki itu sudah kelihatan. Ia keluar dari pintu yang sama dengan tempatnya masuk tadi. Segera, Rachel beranjak dari kursinya, berlari kecil menuju Omar yang sedang mengenakan sepatunya. Barulah tujuan mereka kini kembali seperti semula, menuju gedung fakultas.

"Kelas di lantai berapa?" tanya Omar begitu mereka menginjakkan langkah pertama pada anak tangga menuju lantai atas. "Gue di lantai tiga."

"Di lantai tiga. Ruang 307," balas Rachel cepat.

Omar hanya mengangguk, lega karena bebannya berjalan tidak terlalu berat. Sisa perjalanan mereka tidak diisi obrolan apa pun. Satu per satu anak tangga terus mereka langkahi, hingga tiba pada lantai ketiga gedung. Tanpa perlu melihat plang nomor ruangan yang tertera pada pintu, Omar sudah hafal yang mana ruang 307. Ia memimpin, dan berhenti pada pintunya yang tertutup. "Sebentar," ujarnya.

Rachel tak berkutik, manut dengan enteng. Dilihatnya laki-laki itu membuka pintu ruangan, lalu mengedarkan pandangan seolah tengah mengabsen tiap mahasiswa yang ada di dalam, sampai menemukan perempuan yang dicarinya. "Diandra!" panggilnya. Yang dipanggil lantas berdiri dari kursinya, menghampiri Omar. "Nah, udah ya, Rachel. Gue ke kelas, ya. Nanti kalau pulang mau gue anter ke halte, ke stasiun, atau mau bareng gue, call aja, ya. Nomor gue udah ada, kan, ya? Waktu itu gue DM."

Abai dengan tanda tanya di wajah Diandra, Rachel menyungging senyum pada Omar dan mengangguk. "Makasih, Kak," tuturnya. Omar mengangguk. Sekilas, laki-laki itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya pada Diandra, entah apa artinya, rachel tidak paham dan tidak mau tahu. Ia lebih memilih untuk segera memeluk sahabatnya. "Di! Gue kangen banget sama lo!"

"Wow, wow, sebentar." Diandra kembali melepaskan dekapan erat Rachel. "Gue harus seneng karena lo akhirnya kuliah, atau harus nanya dulu nih, kenapa gue nggak tau lo hari ini masuk?"

Rachel tertawa lepas, bagai tiada beban. Perempuan itu menarik Diandra masuk ke kelas, menempati kursi langganan mereka di bagian tengah. Senyum Rachel tak luntur-luntur dari wajahnya. "I'm fine!"

Bukannya lega, Diandra malah mengernyit dan bertanya-tanya sendiri dalam hatinya. I'm fine, katanya? Rachel ini sepertinya bodoh sekali, tidak bisa akting. Jelas-jelas Diandra bisa melihat matanya yang sembap, wajahnya yang supersendu bekas menangis, serta senyumnya yang terlalu dipaksakan. Bagaimana fine?

"Oke, fine, fine, tapi lo tau kan, kalau lo nggak perlu bohong-bohong sama gue?"

Bibir Rachel langsung mengerucut. Ia bisa lihat Diandra tidak ikut tersenyum ketika bibirnya melebar tadi. Wajah khawatir Diandra tidak bisa disembunyikan, dan tanpa Rachel tahu, itulah yang Diandra lihat juga. Wajah menyedihkan Rachel tidak bisa disembunyikan. Sama sekali. Kini Rachel tertawa renyah, lebih seperti mengejek dirinya sendiri. "Gue tadi pagi habis sidang. Ditunda, Di. Kalau gue mau menang, ya gue harus cari bukti. Kalau nggak, ya, tuduhannya dicabut. Kita bakal bersikap biasa-biasa aja kayak nggak ada apa-apa. Nama baik gue ... astaga, kayaknya mendingan gue yang pindah kampus aja, ya, Di?"

Kian kemari, nada bicara Rachel kian lesu. Semua kebahagiaan yang dipaksakan melekat pada wajahnya, sirna seketika. Diandra mengulum rasa penasarannya sendiri. Tangannya meraih telapak tangan Rachel, menggenggamnya hangat. "Chel, sori. Gue nggak bisa ngeyakinin Kak Ilyas karena dia keukeuh ngedukung Jethro. Tapi, tapi, tapi lo jangan khawatir, ya. Masih ada Kak Omar. Gue sama Kak Omar bakal ada terus. Kita bantu lo sampai dapet bukti, ya, Rachel."

Masih sama lesunya, Rachel mengangguk. Tanpa mereka tahu, di luar kelas masih ada Omar yang bersandar di balik dinding yang dekat dengan meja Rachel dan Diandra. Samar-samar, Omar mendengarnya. Laki-laki berambut keriting itu berdesah berat. Ia tidak mau mencuri dengar lebih banyak lagi, sehingga langkahnya segera menjauhi Omar dari ruang kelas Rachel dan Diandra. Dengan tempo yang cepat, ia segera masuk ke ruang kelasnya sendiri yang berjarak dua pintu dari ruangan Rachel.

Pada langkah pertama memasuki ruangan, matanya langsung menangkap figur Jethro, duduk di kursi pada baris yang biasa mereka tempati. Wajahnya masam tak tertolong. Kedua alisnya bertaut, marah bercampur bingung. Matanya yang sipit kian tajam. Pandangannya tertuju pada meja yang kosong di depan matanya. Dua jarinya setia memutar bolpoin hitam. Seketika langkah Omar tak secepat sebelumnya. Ia menyambar kursi di sebelah Jethro, duduk di sana tanpa menyapa sahabatnya.

Seakan tidak memedulikan kehadiran Omar, Jethro sendiri tetap memandangi permukaan mejanya yang bersih, sambil tetap memainkan bolpoin. Sesekali, Omar menoleh ke arahnya, tapi Jethro tidak sekali pun mengindahkan meski sadar. Pada akhirnya, Omar balik bersikap tak acuh. Ia menyibukkan dirinya dengan ponsel, berbalas pesan dengan Freya, bernegosiasi untuk mendapatkan video yang katanya pernah Freya rekam, untuk dijadikan bukti bahwa Jethro benar bersalah.

"Setelah betrayal begini, lo masih bisa duduk di sebelah gue seakan nggak punya dosa?" tiba-tiba, pertanyaan itu terlontar dengan begitu dingin dan kaku. Perhatian Omar lantas beralih pada laki-laki di sebelahnya, tetap diam dan menanti kelanjutan kalimatnya. "Lo jahat banget, Mar, demi Tuhan. Dibayar berapa lo sama Rachel sampai bisa bantuin dia nyebarin hoaks menyangkut nama baik gue?"

Menurut Omar, ini sudah bukan pertanyaan lagi, tapi tuduhan gamblang. Ibu jarinya yang sedang mengetik, seketika berhenti. "Hoaks? Elo kali yang nyebarin hoaks demi nama baik lo sendiri? Setelah bukti yang di-upload ke lambe lurah, lo masih nyangkal kalau bukan elo pelakunya, Je? Punya akal sehat nggak si—"

"Bangsat!" pekik Jethro. Bolpoin di tangannya seketika ia banting ke lantai. Tangannya mengepal dan memukul meja. Kini tatapannya tertuju pada Omar, tepat setelah ia berdiri dan menarik kerah sahabatnya. Dan begitulah awal dari terpusatnya atensi semua orang pada Jethro dan Omar di tengah ruangan. Ruangan seketika sunyi sepenuhnya, menyadarkan Jethro bahwa ia tidak bisa menyemburkan amarahnya di sini. Nama baiknya harus tetap terjaga.

Meski tatapannya menajam dan begitu mematikan, cengkeramannya pada kerah Omar segera terlepas. Tanpa kata, laki-laki itu meninggalkan ruangan, meninggalkan tanda tanya besar dalam keheningan yang diciptakannya.

[first published 16/09/2022 unedited]

an: hlooo gais! first of all, maaf ya karena jadwal update-nya jadi absurd karena aku hectic banget dan suka lupa update :') hwhwhw. btw aku habis baca lagi dari bab 22 ini sampai sekitaran bab 26. sekarang aku tau kenapa kalian kesel sama jethro :D

tahan dulu ya keselnya, disimpen dulu, karena jethro bakal makin ngeselin :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro