BAB 21 ☎
"Postingan ini, betul?" Pak Ari, sang Wakil Dekan III, menampilkan hasil screenshot akun lambe lurah pada layar proyektor di depan ruangan. Entah dari mana asalnya hasil screenshot tersebut beliau dapatkan. "Postingan ini sudah di-take down atas permintaan kamu sendiri, Rachel. Betul?" pria berambut putih itu bertanya lagi.
Pelan, Rachel mengangguk dan tetap menunduk. Jethro yang duduk di sebelahnya masih melirik padanya, dihunjam rasa bersalah jauh di balik rasa menangnya. Melihat Rachel mengangguk, Pak Ari menggeser tampilan layar proyektor, kini memperlihatkan hasil screenshot berupa pesan Rachel kepada akun lambe lurah di Instagram.
"Boleh saya baca dengan jelas di depan kedua orang tua kalian?" tanya Pak Ari.
Tidak ada jawaban. Pria itu memutuskan untuk mendikte apa yang tertera si layar dengan suara lantang dan tegas. "Selam—"
"Biar saya saja, Pak," selak Rachel cepat. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Wajahnya mulai bersimbah peluh, hasil gugup dan panik sekaligus. Pak Ari mempersilakan, kemudian Rachel mengangkat kepalanya, membaca apa yang ada di layar. "Selamat sore, Kak. Saya Rachel, Pendidikan Sejarah 2021, mantan pacar Jethro Daniel yang di video. Mohon maaf sebelumnya video saya dan Jethro sudah menimbulkan keributan, dan sekarang justru mengundang berita simpang siur yang nggak tervalidasi kebenarannya. Mungkin kalian nunggu saya dan Jethro angkat suara mengenai hal ini. Maka dari itu, dengan ini saya ...."
Genang air mata sudah tak terbendung lagi. Rachel menatap layar yang memburam di balik kacamata dan air matanya. Dadanya terasa begitu sesak. Apa yang sedang dia bacakan keras-keras di depan kedua orang tuanya ini adalah kekeliruan dan sebuah paksaan, yang sayangnya tidak memiliki bukti.
Semua orang di dalam ruangan menatap Rachel, tak terkecuali Jethro. Tatapan iba menyorot dari tiap-tiap kepala. Semua orang kemudian tersadar, bahwa rachel tidak akan kuat melanjutkan bacaannya. Pada akhirnya, Jethro yang ambil alih. Laki-laki itu berdeham, meneruskan kalimat Rachel dengan tegas, "Dengan ini saya mewakili Jethro dan diri saya sendiri, menyatakan bahwa dugaan kekerasan fisik itu tidak benar adanya. Video ini dikirim oleh oknum tidak dikenal dan tidak bertanggung jawab. Tidak ada kekerasan fisik yang terjadi, dan keributan itu hanyalah cekcok antarpasangan yang lazim terjadi. Saya mohon kesediaannya untuk menghapus postingan tersebut."
Pak Ari mengangguk, lalu mengetuk meja dengan dua jarinya. "Bapak Ibu dari saudari Rachel, sampai di sini sudah jelas, ya, bahwa Rachel sendiri yang meminta video tersebut untuk dihapus. Maka, tuduhan Bapak Ibu akan kami cabut, dan permasalahan ini cukup diselesaikan dengan cara kekelua—"
"Tapi Jethro maksa saya untuk take down videonya, Pak," celetuk Rachel lirih. Sebulir air matanya tiba-tiba jatuh. Perempuan itu masih menunduk ketika menghapus air matanya. Seketika, ruang WD III yang sedang disulap jadi tempat persidangan, hening sepenuhnya. Lagi-lagi Rachel jadi pusat perhatian semua orang. "Saya mungkin nggak punya bukti, tapi saya berani bersumpah atas nama Tuh—"
"Nggak usah bawa-bawa sumpah sama Tuhan," sergah Jethro bagai tak ada beban. Nada bicaranya tidak marah, tidak meninggi sama sekali. Masih supertenang. "Sekarang begini, Rachel. Kalau memang kamu merasa saya yang memaksa, buktinya mana?"
Mata Rachel yang basah memicing. Ia ingin tertawa keras untuk Jethro, tapi sayang ia tidak mampu. Perempuan itu hanya sanggup tersenyum mengejek. "Heh, ada bukti maupun nggak ada bukti, seenggaknya saya jujur! Nggak kayak kamu!"
"Terus apa artinya kejujuran tanpa pembuktian?"
Perdebatan kecil itu kian sengit. Tujuh orang dewasa lain yang ada di dalam ruangan sampai kelabakan memisahkan keduanya. Tidak ada yang mau mengalah. Tiap Rachel menyebutkan satu kejujuran, Jethro menampiknya, dan seterusnya begitu. Mungkin keributan ini terdengar ke ruangan sebelah, atau mungkin ke koridor gedung fakultas, bahkan?
"Oke, oke, cukup!" Pak Ari mengetuk meja lagi, menghentikan keributan dua sejoli yang tidak lagi sefrekuensi di depannya. Pria itu menarik napas dalam-dalam ketika akhirnya suara Rachel dan jethro sudah tidak memenuhi udara. "Terus terang saya nggak percaya, ya, dengan tuduhan yang diberikan kepada Jethro. Apalagi, awalnya ini berasal dari akun gosip kampus dan artikel dari Omar Syarief, yang mana dua-duanya sama sekali tidak terlibat dengan hubungan kalian berdua. Tapi karena kamu, Rachel, sekarang justru bersikeras kalau Jethro salah, maka saya putuskan untuk menunda sidang ini sampai waktu yang belum bisa kita tentukan. Saya butuh bukti dari kamu—dari kalian berdua, ya, lebih tepatnya. Kita akan adakan pertemuan di lain waktu. Pihak kampus akan mengontak akun lambe lurah agar segera menutup akun. Saya mau permasalahan ini selesai di meja ini, secepatnya."
Jethro berdengkus. Ia melirik perempuan di sebelahnya penuh amarah. Ia kecewa betapa Rachel ingkar dengan janjinya sendiri. Akan ia cari siapa pemeran di balik semua kekacauan yang Rachel dalangi ini. Titik.
Sementara kedua orang tuanya masih bicara, Rachel segera angkat kaki. "Saya permisi," pamitnya sembari melangkah mencak-mencak, keluar dari ruangan. Tidak ada yang mengejarnya. Ia melepas pintu ruangan tanpa tertutup, menyusuri koridor yang kosong. Air matanya tidak terbendung lagi. Rachel benar-benar kecewa pada semua orang.
Seharusnya, permasalahan ini hanya jadi konsumsinya bersama Jethro. Akan tetapi, tangan-tangan tidak bertanggung jawab itu gatal sekali! Telanjur sudah nama baiknya runyam. Semua orang mungkin akan mengecapnya sebagai ratu drama kampus yang memanipulasi berita bohong tentang presiden mahasiswa.
"Eh, sori-sori."
Refleks, Rachel mundur selangkah ketika melihat seseorang terhuyung karena bertabrakan dengannya di tikungan menuju tangga. Buru-buru, Rachel menyeka habis air matanya dan balik menatap laki-laki yang bertabrakan dengannya. "Eh, sori, Kak. Sori, gue nggak sengaja," tuturnya.
Laki-laki yang sebelumnya juga merasa bersalah itu geming, menatap Rachel yang kembali menunduk, jelas sekali menutupi wajahnya yang basah karena air mata yang bercucuran penuh drama. "Eh, lo nggak apa-apa?" tanyanya. "Sori ...."
"Rachel?" kali ini, suara Omar yang datang dari balik punggung laki-laki yang ditabraknya. Rachel mendelik, lalu memutuskan untuk segera kabur dari dua laki-laki tersebut. Tak perlu pikir panjang, Omar menepuk temannya dan berbalik, mengejar Rachel yang kabur. "Aduh, eh, lo duluan aja. Gue ada urusan."
Tentu saja Rachel mendengar perkataan Omar barusan. Derap langkahnya juga langsung terdengar, semakin lama semakin dekat sebab langkah Omar jauh lebih besar dan cepat. Dan Rachel tahu, usahanya untuk kabur akan sia-sia dan hanya membuang energi. Perempuan itu berhenti melangkah, lalu berbalik, dengan berani menatap Omar yang harus mengerem mendadak. "Kak Omar...."
Sesaat, Omar menilik penampilan Rachel dari atas ke bawah, kemudian kembali pada wajahnya. Kosmetik di sekitar matanya—yang Omar duga namanya adalah eyeliner atau maskara—sedikit luntur. Pipinya yang biasa memerah, kini kian padam. Bibirnya bergetar, persis dengan suaranya barusan. Sekujur wajahnya dibasahi air mata. Omar menghela napas, "Ikut gue, yuk, mau nggak?"
"Ke mana?"
"Hm...." Omar mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil terus bergumam. "Nonton futsal. Katanya, hari ini anak Sipil 19 sparing sama Arsitektur 18."
Jawaban itu sangat jauh di luar dugaan Rachel, tetapi, ia hargai usaha Omar untuk mengajaknya menonton futsal. Walaupun Rachel tidak mengerti bagaimana permainan itu berlangsung, tapi ia manut saja. Katanya mereka akan menonton futsal di lapangan milik Fakultas Keolahragaan di sisi kiri kawasan kampus.
Selagi Omar jalan duluan, Rachel mengikuti. Langkah mereka tidak diisi obrolan apa pun. Mereka hanya bicara ketika Omar bilang ia akan ke warung dulu untuk membeli minuman sebelum akhirnya keduanya sampai di lapangan yang dituju. Tidak begitu ramai, mungkin karena pada pukul segini, umumnya mahasiswa sedang kuliah. Hanya ada sepuluh orang pemain di dalam lapangan, lalu empat hingga lima orang lainnya di tribune, yang Omar sebut sebagai pemain cadangan anak Sipil dan Arsitektur. Mereka semua duduk di sisi kiri tribune. Sementara di bagian tengah, ada beberapa penonton, entah yang memang sengaja datang, atau yang tidak sengaja lewat.
Rachel tetap melangkah mengekori Omar selagi matanya menyaksikan bola yang digiring kian-kemari oleh tiap-tiap kaki yang berbeda. Tak lama, setelah sekian meter melangkah, keduanya berhenti sebelum mencapai pojok tribune. Tempat duduk yang Omar pilih tidak cukup strategis untuk menyaksikan pertandingan dengan baik, maka tidak heran kalau bagian ini kosong. Rachel tidak bisa mendengar obrolan orang lain di sekitarnya, dan sudah ia pastikan pula, siapa pun yang duduk di sisi lain tribune, takkan mendengar percakapan mereka di sini.
"Gue mau ngajak lo nonton futsal, tapi kalau lo mau sambil cerita, boleh loh," kata Omar sembari membuka kaleng minumannya, lalu menenggaknya dengan percaya diri, meski ia sadar Rachel sedang memperhatikannya lekat-lekat. Tanpa menoleh pada perempuan di sebelahnya, Omar kembali berujar, "Tapi kalau nggak mau, juga nggak apa-apa. Gue cuma mau lo tau aja sih, Rachel, kalau gue, Diandra, atau siapa pun, ada buat lo kalau memang lo butuh. Lo nggak sendirian."
Samar-samar, Rachel mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada bola yang berlarian di lapangan rumput. Perempuan itu menghela napas sambil membuka tutup botol minumannya sendiri. "Artikel lo di-take down itu permintaan lo sendiri, Kak?"
Dari sekian banyak praduga yang timbul di pikiran Omar, ia tidak menyangka bahwa pertanyaan itulah yang akan Rachel berikan untuk pertama kalinya. Laki-laki itu terkekeh renyah dan menggeleng. "Ilyas yang minta Alvi buat take down. Nggak apa-apa, lah. Masih banyak cara lain. Yang penting, artikelnya udah sempet naik dan banyak yang udah baca. Semakin gampang buat reach ke kata menang. Mungkin."
Rachel tersenyum kikuk. "Sidangnya ditunda di pertengahan, Kak. Gue disuruh nyari bukti kalau Jethro emang bersalah. Kalau gue nggak dapet bukti, ya paling-paling gue yang dituduh drama queen. Biarin lah, ya? Udah telanjur juga. Toh, semua orang tuh taunya kita nggak kenapa-napa karena gue bikin pernyataan kayak gitu di DM-nya lambe lurah."
Omar memajukan bibir bawah, lalu mencecapnya. "Dan lo nggak mau cari bukti karena lo tau pada akhirnya kalian bakal balikan dan semua ini sirna?"
Sekilas, Rachel menatap Omar. Perempuan itu menggeleng pelan sambil terkekeh. "Kak, lo kan cowok, ya. Bayangin, deh, kalau calon pacar, atau calon istri lo, mungkin, itu cewek yang udah ... eng ... you know, maybe? ... udah ... nggak vir ... gin, lo ... lo tetep mau sama dia, nggak?"
Kaleng minuman Omar ditarik perlahan dari bibirnya. Ia terlalu kaget mendengar pertanyaan itu, tapi entah kenapa, saking kagetnya ia tidak mampu mengekspresikannya. Laki-laki itu diam, keduanya bersitatap lama dalam kesunyian. Ingar-bingar lapangan futsal, teriakan tiap pemain dan penonton, peluit-peluit yang berisik, semuanya bagai tak bersuara.
"Sori, maksud lo gimana, ya, Rachel?"
Rachel diam dan tersenyum, membuat Omar jadi langsung mengerti dan tergagap seketika. Buru-buru, ia meletakkan minumannya di kursi tribune. "Oh—oh, oke, gue paham. Jadi, cuma karena itu, makanya lo bilang kalian bakal balikan?"
Hanya anggukan yang Rachel berikan sebagai jawaban. Ketika senyum di wajahnya akhirnya luntur, perempuan itu kembali memalingkan pandangan, menyaksikan pertandingan futsal. "Kinda."
"Dan, kalau gue boleh tau, Rachel, kenapa lo cerita ini ke gue?"
Rachel mengedikkan bahu. "Lo inget, nggak, waktu lo gerebek gue sama Jethro di kosan, lo marah ke Jethro karena dia ngunciin anak gadis di kosan. Di situ, Jethro ketawa. Jadi, feeling gue, ya cuma elo, Kak Freya, dan dua cowok—siapa itu namanya yang lo ajak—yang bakal ngerti kalau seandainya gue bilang gue nggak akan putus sama Jethro."
Omar mengangguk-angguk, mengerti. "Lo mau denger jawaban gue?"
Mau, tapi sayangnya Rachel mendadak kecewa karena justru mendapatkan pertanyaan balik. Perempuan itu sudah lebih dulu menyimpulkan, "Mungkin nggak mau, ya. Lagian, siapa juga sih, yang mau sama cewek rusak?"
☎
[first published 10/09/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro