BAB 20 ☎
Sudah lima belas menit Diandra bolak-balik mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Belasan meja dan kursi lain yang semula kosong, kini beberapa di antaranya sudah terisi. Ruangan dengan cahaya temaram dan instrumental mengalun halus itu mendukung penuh suasana hatinya yang kacau. Apalagi pendingin ruangan yang semakin lama rasanya semakin mencekik dan memaksanya untuk berulang-ulang mengusap lengannya.
Setelah sekian lama, pada akhirnya teman nongkrongnya mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. Dilihatnya Diandra yang sibuk mengabsen keadaan sekitar sambil mengaduk minumannya hingga minuman cookies and cream itu kini bercampur tak keruan warnanya.
"Di, lo kenapa? Sori, ya, gue masih chat sama Alvi buat minta take down artikelnya Omar, dan konfirmasi lagi kalau acara DIREKTUR bakal hold buat tahun ini. Baru aja selesai." Ilyas meraih punggung tangan Diandra yang mengetuk-ngetuk meja dengan pelan. "Sori. Urgent banget. Lo tau sendiri, kan, BEM lagi bener-bener kacau. Setelah kita berhasil bawa Pak Baharrudin ke KPK, sekarang malah penggugatnya yang kesandung kasus, dan pelakunya malah sahabat kita sendiri, Di. Gue ... jujur gue stres mikirinnya. Omar tuh, nggak pikir panjang banget sampai artikelnya bisa dimuat ke Layang Biwara. Kok bisa sih, Di?"
Diandra berdesah. Sekilas, tatapannya menyorot pada tangan Ilyas yang mengusap punggung tangannya. Diandra kemudian menatap laki-laki di hadapannya, yang harusnya menikmati malam minggu dengan damai tanpa urusan kampus. "Lo sahabatnya Kak Omar, Kak. Gue rasa, lo juga tau betapa keras kepalanya dia. Ibaratnya, he gets what he wants."
Senyum canggung tampak di wajah Ilyas. Ya, Diandra memang benar. Omar selalu ambisius dalam mengejar apa pun yang diinginkannya. Jika ia mau Jethro lengser dari jabatannya, maka segala cara akan dilakukannya. Semua orang akan ia bujuk untuk bergabung dengannya. Si perfeksionis yang ingin segalanya sempurna sesuai rencana.
Akan tetapi, biar bagaimana pun, meski barangkali caranya salah, Diandra mendukung keputusan Omar untuk melengserkan Jethro dari jabatannya, dengan tuduhan yang sama: berperilaku tidak baik.
"Tapi ini salah, Di. Ini sahabat kita sendiri, dan ini nama baik kabinet kita sendiri. Gue heran, kok bisa dia tega begini? Kalau reputasi kabinet kita hancur cuma karena satu kesalahan kecil begini, mau jadi apa akreditasi kampus kita, apalagi setelah adanya kasus Pak Baharrudin?" bantah Ilyas, yang kini sudah Diandra pahami. Gebetannya ini berada di pihak Jethro, sang kriminal yang akan terbukti bersalah, cepat atau lambat.
Diandra mengernyit. "Lo ada di pihak Kak Jethro?"
Ilyas tak menjawab, dan Diandra sudah mendapatkan jawabannya dari reaksi yang Ilyas tunjukkan.
Gadis itu mengangguk. "Kak, lo tau, kan, kalau Kak Jethro salah?"
"Gue tau, tapi lo nggak akan ngerti seberapa rumitnya, Diandra," balas Ilyas masih dengan supertenang. Genggamannya semakin erat pada tangan Diandra, semakin menghangatkan tangannya yang dingin karena suhu ruangan. "Kita mau menyelamatkan banyak orang, bukan cuma satu. Dengan adanya kasus Pak Baharrudin, akreditasi kampus kita udah terancam kacau. Kalau ada kasus lagi yang terungkap, apa kata media? Mau jadi apa Universitas Reksabumi? Kita, bakal lulus dari kampus tidak terakreditasi, mau jadi apa?"
Kencannya hari ini akan kacau, dan sekarang Diandra berusaha mengikhlaskannya. Urusan hatinya memang bisa ia anggap penting, tapi, kesejahteraan sahabat dan masa depannya, nyatanya tak kalah penting di matanya. Diandra rasa, ia punya akses khusus menuju hati Ilyas, maka kali ini saja, ia mau memanfaatkannya demi kepentingan sahabatnya.
Sekarang Diandra mengerti sudut pandang Ilyas dan teman-temannya. Ini adalah kepentingan seluruh civitas academica, yang mana di dalamnya pun termasuk Rachel dan Jethro. Akan tetapi, Diandra tetap bersikeras pada prinsip dan dakwaannya, ini sudah ngawur dan melenceng dari visi misi Jethro dan Ilyas sejak naik takhta.
Perlahan, Diandra menarik tangannya dari genggaman hangat Ilyas. "Buat apa kita melindungi penjahat, Kak?" tanya Diandra. "Kenapa nggak sekalian aja kita tutup mulut tentang kasus penyelewengan dana Pak Baharrudin itu? Toh, tujuannya sama, kan? Sama-sama menjaga akreditasi kampus?"
"Maksud lo apa sih, Diandra? Gue nggak ngerti kenapa lo tiba-tiba egois begini, berpikir bahwa nyelamatin satu orang itu jauh lebih penting ketimbang nyelamatin satu kampus," balas Ilyas. Laki-laki itu menggeleng. "Lagian, urusan Rachel dan Jethro ya urusan mereka. Privasi mereka, loh, itu. Kita nggak perlu ikut campur. Mereka udah dewasa, Di. Kecuali mereka minta tolong, kita nggak perlu turun tangan."
Diandra tertawa sarkas. New character unlocked. Gadis itu tahu Ilyas sama seperti kayak laki-lakinya, akan membela habis-habisan sahabatnya dan setia kawan. Tetapi Diandra tidak pernah tahu bahwa mereka pun sama, sedang membela kesalahan fatal yang semestinya tidak perlu ditoleransi dengan alasan apa pun.
"Kak, lo serius, nih, bilang begini? Gue yang ngeliput lo sama Kak Jethro orasi, loh. Gue tau apa visi-misi kalian. Bukannya katanya mau jadi wadah yang aman bagi tiap-tiap civitas academica?" Diandra tak sanggup menahan amarahnya. Alisnya bertaut, wajahnya memerah, matanya menajam, dan nada bicaranya perlahan meninggi. "Bukannya lo tau, kalau Rachel termasuk ke dalam kategori civitas academica?"
"Gue udah bilang lo nggak akan ngerti seberapa rumitnya ini, Diandra. Lo bener, Rachel emang termasuk civitas academica, tapi civitas academica bukan cuma Rachel seorang. Gue juga turut sedih sama apa yang Rachel alami. Tapi, Diandra, banyak yang harus jadi korban kalau kita cuma belain Rachel. Gue cuma melakukan yang terbaik buat kampus. Ini demi seluruh mahasiswa, dan lo juga. Ini demi kebaikan kampus, Di."
"Kebaikan kampus?" Diandra menyeringai sambil menggelengkan kepalanya. Setelah tangan kirinya ditarik dari genggamannya, kini tangan kanannya berhenti mengaduk minuman. "Ini cuma demi kalian para petinggi BEM. Kalian nggak mau nama baik kabinet kalian hancur, makanya kalian mau ngelindungin Kak Jethro."
"Dian—"
"Lo ngerti nggak sih, Kak, nanti bakal serepot apa gue dan anak-anak media—anak-anak Layang Biwara? Kita harus bohong ke publik juga soal Kak Jethro. Bakal dibuang ke mana kepercayaan civitas academica ke media kampus, Kak? Integritas kita sebagai jurnalis kampus akan dipertanyakan," celoteh Diandra tanpa henti. "Turut sedih bullshit. Omongan dan aksi lo nggak sejalan, Kak. Gue nyesel udah memberikan hak suara gue pada pemimpin yang salah."
Ilyas terbengong. Matanya menangkap tiap gerakan Diandra. Diandra meraih ponsel di atas mejanya untuk kemudian ia simpan ke dalam tas kecilnya. Untuk kali terakhir malam ini, Diandra menyungging senyum sebelum meninggalkan meja makannya.
Tangan Ilyas terkepal di atas meja, dengan satu tangannya lagi meremas ponsel kuat-kuat. Hampir saja ia kelepasan dan memukul meja kayu di depannya. Jauh di lubuk hatinya, Ilyas tahu ia semestinya mengejar kepergian Diandra, namun, entah kenapa, kakinya enggan beranjak. Ilyas ingin tetap teguh pada pendiriannya sendiri. Ia berdiri untuk Jethro, presidennya.
Laki-laki itu menyugar rambutnya frustrasi. Punggungnya bersandar pada kursi yang didudukinya. Ilyas memejamkan matanya, berpikir dalam-dalam. Ia yakin sekali keputusannya sudah sangat tepat. Rasanya, terlalu egois jika Ilyas harus mendukung Rachel seorang dan mengorbankan akreditasi kampusnya. Ribuan orang akan kena imbas setelah hari kelulusannya kelak, jika hari ini Ilyas salah langkah. Maka, dengan penuh kesadaran, seluruh jiwa dan raganya tetap berpihak pada nama yang sama. Jethro Daniel Tanoesudibjo.
+ + +
Fakultas Keolahragaan Universitas Reksabumi selalu ramai tanpa mengenal waktu. Pagi jadi lahan jogging dan senam, siang bisa jadi lahan karate dan taekwondo, malam pun akan jadi lahan basket dan futsal yang sering berebut lapangan. Bahkan di akhir pekan sekalipun. Diandra tahu inilah tempat yang perlu ia datangi ketika butuh melihat keramaian. Entah sejak kapan pastinya, tapi Devano yang pertama mengenalkannya pada lingkungan ini, ketika Diandra menemani kakak laki-lakinya futsal bersama anak-anak BEM yang lain.
Diandra ingat sekali, ini tempat pertama kali ia melihat Ilyas, beberapa tahun silam, ketika Devano masih menjadi mahasiswa baru. Keduanya bahkan saling kenal karena bergabung dengan tim futsal yang sama, sampai akhirnya bertemu dengan Omar dan Jethro beberapa bulan setelahnya.
Ilyas selalu mencuri perhatiannya, bagai prince charming pada film-film putri kerajaan. Bahkan ketika laki-laki itu tidak ada di sini pun, pikiran Diandra tetap penuh dengan namanya. Sayang sekali. Diandra rasa, ia benar-benar jatuh hati.
Gadis itu menghela napas. Ia merapatkan lagi pelukan pada kedua lengannya sendiri. Malam semakin larut, dan dingin semakin mencekam. Pandangan Diandra tak berhenti menyapu tiap sudut dan sisi lapangan, mulai dari lapangan sepak bola di depan matanya hingga lapangan bulutangkis di sisi lain. Sosok yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang.
"Kok malem mingguannya nggak sama Ilyas, Di?"
Itulah suara yang ditunggu-tunggunya selama duduk di tribune lapangan utama yang sedang dipakai untuk pertandingan sepak bola antar dua jurusan—yang bahkan Diandra tidak tahu dari mana.
Omar duduk di kursi yang sama, setelah memberikan satu kaleng minuman bersoda. Diandra hanya tersenyum tipis, membuat Omar diam sesaat untuk mengamati ekspresi perempuan itu. "Bujuk rayunya gagal, ya?"
Lagi, senyum canggung Diandra tampak di wajahnya. Gadis itu menunduk dalam, kecewa dengan rayuannya sendiri yang tidak berhasil pada pujaan hatinya. Ia merasa bersalah pada Omar. Harusnya, Diandra bisa mencuri hati Ilyas, tapi kenyataannya, laki-laki itu tidak goyah. Prinsipnya kuat.
"Nggak apa-apa, Di." Omar berdesah. Diletakkannya minuman kaleng miliknya sendiri, kemudian ia menumpu kedua tangannya ke belakang. Tatapannya tertuju pada langit temaram yang diisi bintang-bintang yang sama redupnya. "Kita nggak selalu menang, tapi kita harus punya mindset, bahwa kalah itu lebih baik daripada kita nggak melakukan apa pun."
Diandra mengangguk pelan, mencengkeram minuman kalengnya dengan kedua tangannya. "Artikel lo beneran di-take down ya, Kak?"
Omar menaikkan kedua alisnya bersamaan. Senyumnya masih lebar. Tubuhnya kembali tegap, tangannya kembali meraih minumannya untuk kemudian ia tenggak. "Jelas, dong. Secara jabatan, gue bawahannya Jethro dan Ilyas, Di. Alvi lebih manut sama mereka ketimbang sama gue. Meskipun, ya ... mungkin Alvi berada di pihak yang sama dengan kita?"
Diandra mengangguk pelan, memberi Omar keyakinan bahwa Alvi memang turut berpihak pada Rachel.
"Nggak apa-apa," tutur Omar. "Birokrasi emang rumit, Diandra. Kabinet kita rumit. Kita semua rumit. Terlalu banyak kepala, dan kita nggak bisa nyetir semuanya untuk menuju ke tujuan yang sama. Tapi nggak apa-apa. Kalau kita salah, kita nggak boleh maksa orang ikut salah, dan kalau kita bener, kita nggak berhak maksa orang untuk ikut meyakini kebenaran kita."
Barisan kalimat itu terdengar pilu, Diandra bisa merasakannya. Mereka baru saja melangkah untuk menolong kekacauan ini, tapi pada langkah pertamanya, mereka bahkan sudah dipukul mundur. Menyedihkan.
"Di."
Diandra menoleh.
"Gue baru kenal Rachel kemarin sore. Setelah apa yang gue lakuin ke Rachel, gue nggak tau apa yang bakal jadi balesan dia nantinya. Gue minta tolong sama lo, please, please, please, jangan pernah berpindah pihak, ya? Rachel butuh kita, Di, terlebih elo, sahabatnya," tutur Omar.
Diandra tertegun. Ia belum pernah melihat Omar memohon. Selama ini, Diandra hanya tahu Omar suka memerintah sesuka hati. Si perfeksionis penuh ambisi. Bibir Diandra membentuk lengkungan tipis.
"Kenapa lo malah senyum?"
"Gue baru pertama kali denger lo minta tolong, bukan nyuruh."
Mendengar pengakuan itu, Omar terkekeh sambil menggeleng. Bibirnya ikut mengurva, bahkan lebih lebar dari milik Diandra. "I think I like her."
Diandra memilih untuk tidak memberikan respons apa-apa. Keduanya kini saling diam, mulai menyaksikan pertandingan sepak bola yang sejak tadi ramai. Meski tidak mengerti aturan mainnya, tapi Diandra cukup menikmati sisa malamnya di sini. Setidaknya, ia merasa tenang. Diandra tahu ia sedang mendukung orang yang tepat.
☎
[first published 30/08/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro