BAB 19 ☎
Ruangan pribadi Pak Gunawan yang sering Rachel sambangi mendadak memiliki atmosfer yang berbeda. Supermencekam. Superdingin. Andai pria itu tidak menghubunginya untuk memberikan surat panggilan orang tua, Rachel mungkin takkan duduk di sini. Rachel masih mau membolos sampai beberapa hari ke depan.
Rachel tahu ini kelakuan Marson. Adiknya yang tidak berpikir panjang itu memutuskan untuk mengadu pada kedua orang tuanya soal permasalahan pribadi Rachel dan Jethro. Rachel jelas sudah menerima interogasi habis-habisan di rumah, sebelum akhirnya, dua hari lalu, ayahnya berkata bahwa pihak kampus akan segera tahu soal masalah ini untuk mendapatkan perhatian khusus.
Itulah kenapa kini Rachel duduk di hadapan Pak Gunawan, dosen pembimbing akademiknya, dengan lesu. Ia tampil berbeda hari ini, bahkan sampai membuat pria dengan uban keputihan itu menyempatkan diri untuk memandangi Rachel ketika perempuan itu masuk.
Kemeja flanelnya yang berlengan panjang itu kini tidak lagi membalut tubuhnya, diganti dengan baju model sabrina berlengan pendek yang memperlihatkan lengan serta keseluruhan bahunya dengan begitu jelas. Celana panjang yang selalu ia kenakan, kini berganti dengan rok pendek di bawah lutut. Sangat bukan Rachel.
"Kalau memang video itu benar adanya dan bukan rekayasa, saya mewakili seluruh dosen, turut berduka atas apa yang terjadi ya, Rachel. Mulai hari ini, PR kamu bertambah. Kalau memang kamu mau memenangkan gugatan ini, kamu perlu bukti yang cukup, Rachel. Dan harus kuat," terang Pak Gunawan sembari mengangsurkan amplop putih kepada Rachel.
Perempuan itu hanya mengangguk paham sambil menerima pemberian tersebut. "Sidang fakultas ini, maksudnya gimana ya, Pak?"
"Sidang ini tertutup, Rachel. Hanya kamu dan orang-orang terlibat yang akan tau. Kebetulan, kalian satu fakultas, dan ini memudahkan kami untuk menutup kasusnya rapat-rapat, supaya nggak ada mahasiswa yang tau. Kami perlu dengar klarifikasi dari kedua belah pihak."
Sekali lagi, Rachel mengangguk, meski rasanya belum sepenuhnya paham. "Boleh bawa saksi, Pak?"
Pak Gunawan membuat lengkungan penuh canggung di wajahnya. "Sayangnya, nggak, Rachel. Kecuali, kalau nanti permasalahan ini nggak bisa dituntaskan lusa dan kami butuh kesaksian orang lain, maka di sidang selanjutnya kalian boleh sama-sama membawa saksi."
"Oke, siap, Pak" Rachel rasa sudah cukup sesi tanya jawab ini. Perempuan itu meninggalkan kursinya, pamit dengan lirih, "Saya permisi dulu, Pak. Terima kasih."
Pria dengan kacamata itu mengangguk pelan, mempersilakan mahasiswa bimbingannya keluar dari ruangan. Rachel melangkah dengan lamban, sambil melihat surat yang perlu ia teruskan lagi pada kedua orang tuanya. Tertera keterangan waktu dan tempat di dalamnya. Tiga hari lagi Rachel harus kembali ke kampus untuk melaksanakan sidang pertanggungjawaban. Atas kasus yang menyeret-nyeret namanya dengan Jethro, yang entah atas ulah siapa, kini harus ditangani oleh wakil dekan.
Di tengah langkahnya yang lambat, tanpa memandang jalan di depannya, Rachel tiba-tiba menabrak seseorang. Refleks mendelik dan menyembunyikan surat di balik punggungnya, Rachel langsung mundur dari korban tabrakannya. "Eh, sori, sor—oh, elo. Nggak usah minta maaf, kali, ya?"
Rachel tersenyum kala menyadari mahasiswa yang ditabraknya adalah Jethro, mantan pacarnya. Di tangan laki-laki itu, ada amplop yang sama dengan yang Rachel miliki, dengan cetakan logo fakultas mereka pada bagian kanan bawah. Rachel pastikan Jethro baru saja dipanggil oleh pembimbing akademiknya sendiri untuk menerika surat yang sama.
"Chel, kapan kita bisa bicara?" tanya Jethro sambil menautkan kedua tangan di balik tubuhnya. Sekilas, pandangannya mengedar ke sekitar, memastikan bahwa tidak ada mahasiswa yang sedang berlalu-lalang di koridor.
Rachel membuka surat miliknya di depan mata Jethro. "Hari Senin, jam sepuluh pagi, di ruangan Pak Ari, WD III. Kalau lo nggak tau, ruangannya ada di sebelah ruang dosen di gedung ini. Permisi."
Kalau Jethro tidak tangkas meraih pergelangan tangan Rachel, perempuan itu pasti sudah lolos dan berhasil kabur dari koridor. Akan tetapi, satu poin untuk ketangkasan sang presiden, yang kini menahan Rachel dalam cengkeramannya sebelum berlari semakin jauh. "Empat mata, Chel. Kita harus bicara."
"Buat apa lagi, sih, Je?" Rachel menarik tangannya ketika sadar cengkeraman Jethro mulai makin kuat perlahan-lahan. "Lo denger, ya, Jethro. Semua ini bukan kehendak gue. Kalau lo berharap kita damai dan masalah ini nggak perlu terseret ke lingkungan kampus, ya gue juga berharap begitu. Sayangnya, ini termasuk kecerobohan rakyat lo sendiri, yang memilih buat nggak ngelindungin privasi presidennya."
"Rakyat gue?" ulang Jethro sambil menyeringai. Laki-laki itu berbalik badan hingga kini keduanya saling berhadapan dengan ego masing-masing. "Nggak usah manipulatif deh, Chel. Lo tuh bener-bener licik, ya. Setelah lo manggil Omar ke kosan gue, nyuruh orang buat upload itu ke lambe lurah, nggak semudah itu lo bohongin gue cuma karena lo udah minta videonya buat di-take down. Cuma permohonan take down tuh kurang angelic, Chel, asal lo tau aja."
"Maksud lo—"
"Dan, oh! Satu lagi," interupsi Jethro sebelum Rachel sempat marah. Setelah jarinya menunjuk-nunjuk kepada Rachel, laki-laki itu gegas mengambil ponsel di saku celananya, menampilkan layarnya kepada Rachel untuk perempuan itu membacanya dengan saksama. "Lo bener-bener gila, Rachel. Ini penulisnya Omar, loh, sahabat gue sendiri. Lo suruh Omar untuk nulis ini, berdasarkan apa yang terjadi di dalam hubungan yang bahkan kita sepakati buat jadi privasi berdua? Lo bukan cuma ngerusak nama baik gue, tapi persahabatan gue juga."
Kepercayaan diri Rachel seketika runtuh berantakan. Jantungnya berdetak tak keruan. Ini sudah supernyeleweng. Gegas, tanpa pamit, Rachel berlari pergi, meninggalkan Jethro. Betapa beruntungnya Rachel, Jethro tak sempat mengejar maupun memanggilnya, sebab dari ruang dosen, seorang office boy keluar. Rachel yakin Tuhan masih melindunginya.
Rachel berlari menuruni tangga, segera masuk ke toilet perempuan, menyembunyikan dirinya di salah satu bilik kosong untuk menelepon Diandra dan Omar secara bergantian. Kebetulan, Diandra yang mengangkat teleponnya, sehingga Rachel lantas mengadu, menyuruh perempuan itu untuk segera menemuinya di lobi sekarang juga.
Begitu Diandra menyetujui, dan setelah Rachel pikir di luar aman tanpa ada lagi jejak Jethro, perempuan itu keluar, duduk di kursi lobi, menunggu Diandra. Cukup lama, dan sangat cukup bagi Rachel untuk risau maksimal, takut Jethro kembali ke gedung fakultas dan menemuinya lagi.
"Feeling good already, Chel?" entah dari sudut mana, Diandra tiba-tiba mendatangi Rachel, dengan satu susu kotak rasa pisang. Diam-diam Diandra hafal sekali susu favorit Rachel. "Lo nggak ngabarin gue kalau masuk hari ini. Kenapa tadi nggak masuk kelas?"
Rachel celingukan, menyadari lobi gedung hampir kosong tanpa ada mahasiswa selain mereka berdua dan dua mahasiswa lainnya yang baru saja melintas di depan kursi mereka. Perempuan itu menerima pemberian Diandra, lalu tersenyum. "Worse, tapi, ya udah lah. Habisnya, gue udah nggak tau juga sih, Di, harus kayak gimana. Rasanya, aneh. Hati sama otak gue tuh, nggak bisa nemuin mufakat yang bijak. Di satu sisi, gue jujur marah banget sama Jethro karena ... ya, kalau lo belum tau, dia maksa gue minta admin lambe lurah buat take down videonya. Tapi di sisi lain, gue nggak mau kasus ini di-blow up lebih parah, Di. Gue mau damai aja."
Selagi Rachel meringis miris, Diandra mengusap punggungnya.
"Adek gue, Marson, ngadu ke Mami sama Papi. Sekarang ... lo pikir, gue masuk karena gue udah siap?" Rachel menggeleng lesu. Air matanya menitik di pipi. Dalam waktu singkat, ibu jarinya sudah mengusapnya habis. "Gue masuk untuk menuhin panggilan Pak Gunawan. Ada surat panggilan orang tua. Kasus ini dilaporin ke pihak kampus. Gue dipanggil, Jethro dipanggil, pihak kampus mau turun tangan. Jethro pasti terbukti nggak bersalah karena nggak ada bukti apa-apa yang bisa gue kasih."
"Chel, gue akuin gue nggak bisa bantu banyak selain ngasih lo dukungan penuh. Gimana pun, gue nggak bisa ngomong ke Kak Jethro. Nanti, nanti lo tenang, nanti gue coba ngomong sama Kak Ilyas, ya. Gue harap, Kak Ilyas bisa bantuin. Nggak apa-apa?" tutur Diandra.
Sahabatnya mengangguk, dan menyungging senyum paling lebar setelah sekian hari hanya menekuk bibirnya cemberut. "Jangan dipaksa ya, Di. Gue ... jadi keinget omongan lo. Urusan privasi ya privasi. Harusnya, anak BEM nggak usah ikut campur. Dan sekarang, itu harusnya berlaku juga buat masalah gue dan Jethro. Ini urusan kita, Di. Gue mau damai aja. Gue nggak akan menang, Di. Gue nggak punya buk—"
"Punya, kok."
Selain derap langkah yang terdengar cepat dan tegas dari anak-anak tangga, suara itu terdengar, menginterupsi ucapan Rachel. Kontan, Rachel dan Diandra menoleh ke sumber suara, mendapati Omar kini jalan mendekat, dengan senyum tercetak di wajahnya sembari ia menekuri layar ponselnya. Begitu tiba di hadapan Rachel dan Diandra, Omar menunjukkan apa yang baru saja dilihatnya di ponsel.
Layang Biwara Hari Ini
JETHRO DANIEL TANOESUDIBJO DIDUGA TERSANDUNG KASUS, KABINET KARSA MENGARSA KALANG KABUT KEHILANGAN PRESIDEN?
Sementara Diandra membelalak, Omar menampakkan senyum penuh kemenangan. Namun Rachel, tetap diam. Ia sudah tahu apa yang hari ini diterbitkan pada web Layang Biwara. Rachel juga sudah membaca tulisan Omar. Ia hanya bingung bagaimana caranya Omar bisa melompati birokrasi pemerintahan BEM, yang membuatnya bisa memublikasikan tulisan tersebut tanpa persetuan Jethro dan Ilyas, atau untuk saat ini, minimal Ilyas.
Inilah artikel yang tadi Jethro tunjukkan padanya. Rachel menelepon Omar untuk memprotesnya habis-habisan!
"Di, sebentar," pamit Rachel sambil beranjak, lalu menarik tangan Omar, menjauh dari lobi gedung fakultas. Omar mengikuti langkahnya, sampai berakhir pada bagian belakang gedung fakultas, di mana salah satu dari sekian banyak parkiran mobil berada. Rachel berhenti di balik salah satu mobil, tak peduli siapa pemiliknya. "Sebelum gue marah, gue mau dengerin dulu dari sudut pandang lo, Kak."
"Kenapa?" tanya Omar sambil menyandarkan sikunya pada bagian belakang mobil salah satu dosen, yang ia duga milik wakil dekan II.
Rachel menggeleng. "Kebalik," katanya. "Gue yang harusnya nanya. Kenapa lo lakuin itu, Kak?"
"Menjunjung tinggi visi misi Jethro dan Ilyas, dong. Lo waktu itu dateng, nggak, waktu mereka orasi? Mereka mau kita jadi wadah yang aman bagi tiap civitas academica. Maka gue, sebagai pejabat kementrian kabinetnya, harus bantu mereka buat mewujudkan cita-cita itu, Chel. ketika ada civitas academica yang nggak aman, kita harus memastikan mereka kembali aman. Lo, contohnya," terang Omar panjang lebar.
"Secara nggak langsung, itu melibatkan gue, dan lo nggak izin sama sekali sama gue, Kak?"
Omar sudah sangat percaya diri menjawab pertanyaan Rachel sebelumnya. Sikunya yang bersandar kini turun. Wajahnya berganti raut heran bukan main. "Jadi, lo nggak mau bawa masalah ini ke jalur hukum, Chel? Seenggaknya, pihak kampus, supaya dia kena skorsing, atau better, drop out?"
"Nggak."
"Kenapa?" Omar benar-benar penasaran.
"Karena percuma, Kak," jawab Rachel. "Gue sama Jethro ujung-ujungnya pasti balikan."
Omar mengernyitkan kening. Lirih, laki-laki itu bergumam,"What?"
Rachel hanya tersenyum sambil terkekeh singkat. Perempuan itu memutuskan untuk segera berbalik dan meninggalkan Omar di belakang mobil wakil dekan II.
"Rachel, yang percuma itu bukan bukti yang bakal beredar, tapi hubungan lo sama Jethro!" seru Omar tiba-tiba, ketika lawan bicaranya sudah melangkah pergi. Seketika, Rachel berbalik badan, menatap Omar dalam diam, seolah menunggu laki-laki ini melanjutkan kalimatnya. Omar mendekat, untuk bicara dengan suara lebih pelan. "Ada dua kesalahan pasangan yang nggak perlu kita maafin. Pertama selingkuh, kedua kekerasan fisik. Lo dapet salah satunya, Rachel, dan hal kayak gitu nggak akan berhenti dalam waktu yang singkat."
Perempuan itu mengedikkan bahu, lalu mengangguk. "Gue tau," katanya. "Tapi, Kak, gue minta maaf banget sama lo, karena ada sesuatu yang nggak akan memisahkan gue sama Jethro, dan cuma kita yang memahami itu. Jadi, tolong, just let us. Karena gue juga nggak akan ngerugiin lo kalau kita balikan. Oke?"
Sekali lagi, Omar memandangi kepergian Rachel, tanpa sempat bertanya lebih lanjut, mengingat ia juga harus menemui Alvi dan Ilyas untuk membicarakan penundaan acara DIREKTUR sampai adanya perkembangan mengenai kasus dugaan penyelewengan dana yang dilakukan rektornya.
☎
[first published 23/08/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro