BAB 18 ☎
Hari-hari bergulir. Kursi di sebelah Omar langganan kosong selama tiga hari berturut. Gosip yang menyebar di akun lambe lurah sudah dihapus sejak beberapa hari lalu, dan sebagai gantinya, kini ada satu foto berupa screenshot bukti permintaan Rachel untuk menghapus postingan tersebut. Selain permintaan menghebohkan tersebut, kini namanya terseret-seret untuk masuk ke dalam lingkaran masalah. Semua orang tahu bahwa Omar yang datang menjemput Rachel, dan ia tidak bisa menampiknya. Berbagai omongan miring mudah sekali menyebar.
Ini benar-benar sebuah mimpi buruk yang belum pernah Omar bayangkan sebelumnya. Citra baik kabinetnya, citra baik kampusnya, citra baik sahabatnya, segalanya, berada di ambang kehancuran. Tiap malam Omar terjaga, menanti-nanti pembelaan Jethro atas permasalahan yang dibuatnya; menunggu Rachel memberikan klarifikasi padanya kenapa video tersebut harus dihapus; dan berpikir panjang mengenai niatnya untuk menggugat kelengseran Jethro dari jabatan terhormatnya.
Kamis tiba, begitu pula dengan jadwal rapat mingguan yang tetap harus berjalan demi kelancaran acara Dies Natalis. Ilyas memimpin rapat, menggantikan Jethro. Rasa-rasanya, pendingin ruangan di sekretariat BEM lebih mencekam. Nada bicara Ilyas selalu datar dan dingin, tanpa ada ekspresi di wajahnya. Omar bisa melihat laki-laki itu sama kacaunya. Bahkan, saking kacaunya, Ilyas berhenti bicara di pertengahan penjelasan panjangnya. Ia berhenti dengan begitu frustrasi, meremas kertas-kertas di tangannya, dan membantingnya begitu saja di lantai. "Kita nggak bisa ngomongin Dies Natalis dulu," katanya.
Semua orang di dalam lingkaran diskusi itu saling tatap satu sama lain, sudah menebak apa yang akan Ilyas katakan setelah ini, namun, tidak ada yang berani bicara, sementara Ilyas mengedarkan pandangannya ke seluruh orang secara bergantian. "Ini nggak ada yang tau Jethro sama Rachel kabur ke mana?"
Lagi, beberapa orang saling tatap dan bertukar jawaban seolah tengah saling baca pikiran. Beberapa sisanya menggeleng, dan tatapan Ilyas, berakhir pada Omar yang duduk tepat di seberangnya. Ilyas tak bicara apapun, hanya diam menatap Omar.
"Chat gue nggak pernah dibales sama Jethro. Rachel ... gue nggak tau. Hape dia disita sama Jethro waktu berantem, sampai sekarang mungkin belum balik. Gue udah coba pernah DM dan kasih nomor gue, tapi dia belum pernah hubungin gue," terang Omar. "Yas, ini udah hari Kamis. Kita nggak bisa gerak lambat dan nungguin Jethro terus. Baik Jethro maupun Rachel, nggak akan ada yang buka suara. Jethro nggak mungkin bisa pembelaan, dan Rachel nggak akan mau speak up soal ini."
Ilyas berdengkus. Setelah berhari-hari perang dingin dengan sahabatnya sendiri, mungkin inilah saatnya Ilyas benar-benar perlu berdebat dengannya. Laki-laki itu mengangguk tak acuh. "Kalau korbannya aja nggak mau angkat masalah ini, bahkan minta take down bukti yang kesebar, terus buat apa kita ngurusin ini, Mar? Ayo dong, fokus gue di sini adalah kita cari Jethro karena dia masih harus jadi pemimpin di sini."
Alis Omar menukik, amarah langsung menguasai dirinya. "Lo—anjir, lo gila, ya? Ini masalah serius dan terjadi di lingkungan kampus, loh, Ilyas. Bukannya itu visi-misi lo dan Jethro dulu, buat bikin kampus ini dan kita, gue ulangi, KITA, jadi wadah yang aman bagi tiap-tiap civitas academica?"
Nada bicara Omar jelas-jelas meninggi, dan kini semua orang menatapnya dalam rasa takut. Satu, takut Omar marah. Dua, takut Ilyas ikut marah.
"Gue rasa elo deh, yang gila," dakwa Ilyas sambil terkekeh. "Lo ngerti nggak sih, Mar, apa yang lagi kita alamin di sini? Akreditasi kampus kita terancam jelek karena rektor lo bikin masalah. Terus sekarang, lo mau lengserin presiden lo sendiri, apa ini nggak akan jadi berita besar? Mau jadi apa reputasi kampus kita, Mar?"
Lama hanya menunduk dalam, kini Devano mengangguk setuju. "Nama lo, nama gue, nama kita semua, udah tercatat sebagai kepala departemen dan staf di dalam kabinetnya Jethro dan Ilyas, Mar. Lo mau, CV lo ada riwayat organisasi yang jelek? Mumpung masalah ini belum ramai ke luar, lebih baik kita simpen sendiri. Kita selesaiin secara kekeluargaan."
Omar menganga lebar. Kuartet yang selalu dikenal supersolid, kini pecah. Satu pembuat masalah, dua pembela, dan satu yang kelak akan mereka cap sebagai pengkhianat. Omar benar-benar tak habis pikir bagaimana cara kerja otak Ilyas dan Devano sampai bisa bicara seperti itu.
"Gila, lo gila," tukas Omar sambil menggeleng-geleng dan tertawa sarkastik. "Lo lebih mikirin akreditasi kampus demi nolongin satu orang, yang mana kita tau adalah pelaku kejahatannya? Sumpah, pendidikan moral lo kayak gimana, tolol? Nggak pernah diajarin punya hati nurani, kalian? Jangan-jangan lo juga sekolah di yayasan tidak terakreditasi, ya, makanya attitude lo nol besar?"
Regina, yang kebetulan duduk di sebelah Omar, gegas mencengkeram lengan kemeja kakak tingkatnya, berusaha menahan amarah Omar yang menggebu-gebu. Nahasnya, Omar menarik tangannya dengan kasar hingga cengkeraman Regina pun terlepas. Semua orang diam, sementara lawan debat Omar sore ini masih saling tatap, seolah berdiskusi dalam diam. "Ayolah, masa kalian nggak berdiri di pihak yang sama kayak gue, sih? I stand by Rachel. Kalian ngapain belain penjahat?"
Ilyas menoleh ke sekitarnya. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, "Siapa yang sama gue pertahanin Jethro, dan nggak ngurusin urusan privasinya yang nggak melibatkan kita?"
Semua orang ikut celingukan, saling mencari teman terdekat mereka, barangkali ada yang akan ikut berpihak pada Jethro bersama Ilyas dan Devano. Satu per satu orang, dimulai dari Freya, bangkit dari posisi duduknya. Freya melirik tajam kepada Ilyas, lalu pergi ke kubu di seberangnya, memutuskan untuk berada di satu tim yang sama dengan Omar.
Lingkaran yang semula kondusif, kini terpecah. Di antara 23 orang yang ada, sebelas di antaranya duduk di balik punggung Omar, sementara sisanya berpihak bersama Devano dan Ilyas. Sejurus, Omar melihat orang-orang yang ada pada grupnya, menyadari bahwa timnya berjumlah lebih sedikit, dan didominasi anak-anak perempuan.
Omar mengangguk pelan sembari memusatkan perhatiannya pada Ilyas. "Lo boleh lebih banyak sekarang, tapi kita liat, ya, siapa yang bakal menang. Gue sih, nggak mau nyimpen bangkai di dalam kantong."
Usai bicara begitu, Omar meraih jaketnya yang tergeletak di lantai. Laki-laki itu segera meninggalkan ruangan, setelah berkata dengan cukup lantang, "Cabut, cabut. Katanya kita nggak bisa bicarain Dies Natalis dulu, kan? Berarti hari ini nggak ada rapat apa-apa. Mending atur jadwal, kita harus ketemu Alvi buat ngomongin acara DIREKTUR yang tahun ini ditiadakan."
Ruangan superhening. Semua pasang mata menyorot pada kepergian Omar di balik pintu kaca, melihat bayang-bayangnya meraih sepatu di dalam rak, buru-buru mengenakannya kemudian pergi.
"I'm out," ujar Freya sambil turut beranjak dari posisi duduknya. Gadis itu berlari cepat, menyusul langkah Omar yang entah sedang menuju ke mana. "Kak Omar!"
Omar menoleh sekilas, sudah tahu suara siapa yang meneriaki namanya. Laki-laki itu memperlambat langkah, menunggu Freya menyetarakan langkah dengannya. "Gue mau ke Alvi, supaya surat pernyataan gue menggugat Jethro buat lengser bisa ikut terbit besok sore, Frey. Mau ikut?"
Freya mengangguk dengan senyum kikuk terlukis di wajahnya. "Kak, Instagramnya Rachel udah deactive, dan katanya, dia nggak masuk sama sekali minggu ini. Tanpa ada Rachel, si korbannya sendiri, what's your plan? Lo nggak akan laporin Kak Jethro tanpa persetujuan Rachel, kan?"
Omar mengedikkan bahu sambil memamerkan satu amplop cokelat di tangannya. "Nggak tau, ya. Gue sih, pengin Jethro tau aja dulu kalau gue nggak main-main sama apa yang gue ucapin."
"Apa nih?" Freya merebut amplop cokelat di tangan Omar, membukanya sambil tetap mengikuti langkah Omar. Pada bagian depan amplop, tulisan tangan Omar yang bak ceker ayam itu memberinya petunjuk. Ini untuk Alvi, maka artinya, Omar bersungguh-sungguh akan menyebarluaskan artikel berisikan dugaan bahwa Jethro Daniel, presidennya, berperilaku tidak baik dan harus diturunkan dari jabatannya. "Kak, lo nggak punya bukti apa-apa."
"Oh ya? Kata siapa?"
"Jangan bilang lo bayar si Azmi-Azmi itu? Sumpah, gue kasih tau sama lo, ya, jangan pernah berurusan sama Azmi. Kerjaan dia emang bagus banget, tapi sama dia, semua hal dijadiin duit. Semua anak sipil kenal sama dia karena itu," terang Freya.
Omar terkekeh. "Frey, Frey. Gue nggak tolol-tolol amat ya, mau bayar dua juta buat itu. Gue milih jalur gratis, naikin artikel ini di Layang Biwara. Setelah itu, bukti bakal keluar dengan sendirinya kok dari mahasiswa. Gue yakin, nggak cuma kita yang resah sama video di lambe lurah. Banyak, banyak banget yang dukung Rachel."
Freya berdengkus. "Tapi, Kak, kita juga belum tau apa motif dari perlakuan Kak Jethro ke Rachel. Kita juga nggak tau, selama ini, kekerasan itu cuma dari Kak Jethro ke Rachel, atau justru mereka saling bales satu sama lain. Kita harus tau dulu sebelum—"
"Frey!" sergah Omar. Langkah mereka kini terhenti di depan salah satu gedung dengan beberapa mahasiswa yang masih berlalu-lalang hendak pulang. Dengan kasar, Omar kembali merampas amplop cokelat di tangan Freya. "Gue nggak minta lo buat berpihak sama gue, tapi, di saat lo udah menyaksikan dengan mata kepala lo sendiri, lo beneran masih ragu buat naikin artikel gue?"
Gadis yang jadi lawan perdebatan kecilnya diam. Ia celingukan, melihat ada segelintir orang yang menyaksikan keributan mendadak ini. Pandangannya kembali kepada Omar kemudian. "Gue bukan ragu. Gue cuma takut artikel lo ini malah jadi fitnah."
Omar terkekeh. "Itu namanya ragu, karena lo bahkan takut ini jadi fitnah. Padahal kita tau, ini bukan fitnah, kan?" pungkasnya. Laki-laki itu gegas berbalik badan, melangkah lebih cepat menuju gedung UKM, tanpa sadar bahwa Freya tidak lagi mengikuti langkahnya.
Gadis itu tetap tinggal di posisinya, kemudian pergi entah ke mana.
Tiba di depan pintu ruangan, Omar kembali menarik napas panjang, meyakinkan dirinya atas aksi yang akan dilakukannya. Omar tahu ini berisiko, tapi ia mau menjaga citra baik kabinetnya dengan cara segera ambil sikap atas apa yang terjadi.
"Kak Omar?"
Itu suara Diandra, dan Omar sudah sangat mengenalinya di luar kepala. Suaranya menginterupsi gerak tangannya yang hendak mengetuk pintu sebelum masuk. Omar berbalik, menatap Diandra yang masih berdiri tak jauh di belakangnya. "Eh, Di. Gue mau ketemu Alvi."
Diandra mengangguk lalu menilik penampilan Omar dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Tidak ada yang berbeda darinya selain adanya amplop cokelat di tangan kanannya. Diandra menunjuk pada benda tipis itu. "Kak Ilyas udah tanda tangan surat pemecatan Kak Jehro dari BEM?"
Kontan Omar melihat amplop bawaannya, menduga bahwa pertanyaan itu merujuk pada isi dari barangnya. "Ini?—oh, nggak. Ini gue baru mau ngegugat Jethro. Biar dia keluar dari kandang dan klarifikasi. Kalau nggak begini, dia bakal diem terus."
"Rachel udah tau?" Diandra siap mewawancara.
Omar diam, hanya menggeleng pelan.
"Nggak?"
"Nggak," ulang Omar.
"Kak, ini menyangkut Rachel. Gugatan lo ini menyangkut orang lain, jadi nggak akan bisa naik ke web sebelum Rachel tanda tangan surat persetujuan yang lo bikin," terang Diandra dengan tenang. "Sori. Gue bukan nggak dukung, tapi, itu aturannya. Kita selalu meminimalisir ada pihak yang tersakiti. Please kasih tau dulu ke Rachel sebelum lo kasih itu ke kepala redaksi, alias, Kak Alvi."
Omar tak berkutik di tempatnya berdiri. Ia memang belum pernah mengirimkan tulisan apapun ke redaksi Layang Biwara, maka ia memaklumi dirinya sendiri atas ketidaktahuannya. Akan tetapi, kalau harus meminta izin pada Rachel, ia bahkan tidak tahu caranya. Rachel dan Jethro menghilang bagai ditelan bumi. Bersamaan.
"Gue duluan, ya," pamit Diandra sambil berlalu melewati Omar.
"Eh, Diandra," panggil Omar tepat ketika satu kaki Diandra masuk. Gadis itu kembali berbalik. "Kalau Rachel masuk, kabarin gue ya. Bilang sama Rachel, dicariin Omar."
Diandra tak sempat memberikan respons, tapi Omar sudah berbalik dan pergi, setelah segaris senyum kikuk terbit di wajahnya. "Dicariin Omar?" gadis itu menggumam sendiri sambil tertawa. "Nanti temen gue geer, kayak mau tanggung jawab aja."
☎
[first published 18/08/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro