BAB 17 ☎
Rachel hanya bisa melihat motor Marson terparkir ketika perempuan itu turun dari mobil Omar lima menit lalu dan sudah memastikan mobilnya pergi dari kawasan rumahnya. Bisa Rachel pastikan kedua orang tuanya tidak ada di rumah, atau mungkin Marcell juga tidak ada. Dengan superlambat dan waswas, Rachel melangkah, hendak membuka pintu depan rumahnya ketika tiba-tiba saja pintu ditarik dan Marson berdiri di baliknya, seolah sedang menanti-nanti kepulangan kakak perempuannya.
"Pintu dikunci, tapi kuncinya ditaruh di bawah keset, lampu nggak dinyalain padahal pergi sampai malem—oh, ralat—perginya sampai besoknya, dan nggak ngabarin Mami Papi sama sekali kalau lo nginep nggak tau di mana. Ci, gue semalem pulang jam sebelas, betapa paniknya masih disuruh nyari lo ketika lo nggak ada di rumah jam segitu," kata Marson sambil bersedekap. Laki-laki itu menghela napas berat. "Lo katanya mau nonton sama Ko Jethro. Kok sampai nginep-nginep, Ci?"
Wajah Rachel yang sudah kusut tak keruan, ditambah sembap matanya yang tak mampu disembunyikan, kian parah penampilannya. Perempuan itu menengadah, menatap adiknya yang sedikit lebih tinggi darinya. "Gue putus sama Jethro."
Marson mendelik, tak percaya bahwa sembap mata kakak perempuannya berasal dari kejadian tersebut, yang bahkan ia pikir takkan pernah terjadi di sepanjang hidup kakaknya. "Kok bisa? Waktu itu gue tanya, katanya, Ko Jethro sehat?"
"Hah?" Rachel mengernyit. Ia menggeleng-geleng, sambil mendorong tubuh Marson untuk menyingkir dari ambang pintu. "Emang sehat, terus apa hubungannya? Udahlah, gue mau istirahat."
Sadar kakak perempuannya berusaha menghindar, Marson tersenyum kecil sembari menutup pintu. Laki-laki itu berujar dengan santai tanpa berbalik untuk menatap Rachel, "Denger ya, Chel. Tadi tuh keadaannya bahaya. Liat sendiri, kan vandalisme di mana-mana, semua orang desek-desekan, teriak-teriak, marah-marah."
Langkah Rachel berhenti saat itu juga. Memang Marson yang bicara, tapi, mendadak suara Jethro memenuhi gendang telinganya sekali lagi setelah hampir dua jam berlalu. Perempuan itu berbalik, "Mars, lo denger dari mana?"
Senyum Marson semakin lebar. Laki-laki itu balik badan, balik menatap bola mata kakak perempuannya yang masih begitu basah bak baru selesai hujan. "Aduh," gumam Marson sambil menggerayangi tengkuknya dan mengedarkan pandangan ke sembarang arah. "Sejujurnya gue merasa aneh banget, sih, buat ngakuin kalau gue posesif sama lo. Tapi, kayaknya, kali ini dugaan gue bener, ya, Ci? Ko Jethro selama ini abusive, ya? Kok nggak pernah bilang sama gue, Ci?"
Rachel mematung di tempat dalam keadaan lidah kelu. Bahkan untuk menyangkal dengan tergagap-gagap pun rasanya ia tak sanggup lagi. Selain Rachel sudah tidak punya energi untuk membela nama baik Jethro, ia pikir sekarang hal itu sudah tidak diperlukan lagi.
"Mars, lo ...." Rachel terbata-bata, tangannya mengepal, perasaannya tak keruan saking frustrasinya. "Lo ... denger dari mana?"
Marson mengedikkan bahu sambil melangkah mendahului Rachel. "Temen gue yang nge-tag gue di Instagram. Dia kenal lo—I mean, kenal suara lo, karena lo sering teriak-teriak ke gue waktu gue main game online di kamar. Mungkin lo nggak tau, kalau ada yang namanya voice chat di game, dan karena suara lo kedengeran, jadi, ya mereka kenal sama suara lo."
Rachel mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan penjelasan yang manapun, baik tentang temannya yang memberi kabar, hingga tentang voice chat yang Marson sebut-sebut. Akan tetapi, Rachel lebih tidak mengerti kenapa suara itu bisa Marson dengar dari Instagram. Apa yang terjadi selama ponselnya disita oleh Jethro?
"Mars, no, no, no, wait. Ini ... ini apa, sih, maksudnya?"
Marson berdengkus. Laki-laki itu segera duduk di sofa ruang tamu, lalu menunjuk sofa di seberangnya dengan lima jari mengadah, mengisyaratkan Rachel untuk segera duduk. Tak membangkang, Rachel gegas duduk, menghadap adiknya dengan raut bingung tak terelakkan. "Jawab gue dulu, Ci. Ko Jethro tuh, selama ini abusive sama lo?"
"Nggak," jawab Rachel cepat.
Lamat-lamat, senyum Marson terlukis di wajahnya. Jawaban Rachel mengudara terlalu cepat, mudah bagi Marson untuk mendakwa pengakuan itu sebagai kebohongan, namun, ia tak menolak untuk tetap menjalani permainan ini dengan Rachel. "Tapi, Ci, kayaknya ini masalah serius, deh. Mami Papi pasti keseret ...." Marson memberi jeda untuk menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kembali. "Kecuali lo mau milih opsi gue yang hajar si Jethro."
Belum habis heran yang mengerubung di benak Rachel, adik semata wayangnya itu kini menaruh ponsel di atas meja, memperlihatkan salah satu posting pada akun lambe lurah kampusnya. Tergesa, Rachel merampas benda tersebut sebelum Marson sempat mendeskripsikan apa yang sedang ditampilkannya.
Hati Rachel pecah berkeping-keping dalam sekejap. Ia tidak tahu siapa yang sudah berani merekam suara secara amatir begini ketika keributan tadi terjadi. Namun, ketimbang hal itu, Rachel lebih khawatir sebab kini videonya sudah dilihat hingga ribuan kali, dengan ratusan komen membludak, yang ketika Rachel lihat, banyak sekali teman-temannya yang menandainya di kolom komentar.
Tubuhnya serasa melemas. Rachel langsung menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Matanya basah lagi, tenggorokannya tercekat, dadanya benar-benar terasa sesak. Rachel meletakkan ponsel Marson kembali ke atas meja. Air matanya sudah tak terbendung lagi. Sebulir dua bulir jatuh begitu saja, yang segera ia seka. Rachel gegas beranjak dari ruang tamu, hendak meninggalkan Marson dengan rasa malu yang kini mengerubung di dalam hatinya.
Bertahun-tahun Rachel menutupi semua ini dari semua orang, pada akhirnya terkuak juga, tanpa campur tangannya sendiri.
Melihat Rachel yang berlalu tanpa pamit membuat hati Marson ikut patah. Rachel adalah satu-satunya saudara perempuan yang dimilikinya di antara tiga laki-laki lainnya. Sejak kecil, Marson selalu berpikir, tugasnya dan dua kakak laki-lakinya adalah menjaga Rachel, si putri satu-satunya di dalam rumah ini.
Dari kejauhan, Marson bisa melihat Rachel menghilang di balik pintu kamarnya yang tertutup dengan begitu lembut. Tak lama, isak tangisnya terdengar sangat jelas. Laki-laki itu tak berkutik dari sofa tempatnya duduk. Ponselnya masih tergeletak di atas meja dan video yang sama terus berulang-ulang, membuatnya mendengar teriakan Jethro lagi dan lagi.
Tangan Marson mengepal, penuh dongkol.
Marson menghela napas berat, ia menyugar rambutnya frustrasi. Mungkin akan lebih frustrasi lagi jika ia masih harus mendengar tangis Rachel untuk beberapa jam ke depan. Maka, setelah mengumpulkan keyakinan sepenuh hati, Marson gegas beranjak, melangkah ke depan pintu kamar Rachel, mengetuknya lembut.
Tidak ada jawaban. Rachel masih sibuk menangis dan susah payah menahan isak tangisnya yang semakin tak keruan. Marson putuskan untuk memutar kenop pintu, masuk tanpa izin pemiliknya.
Rachel duduk di pinggir ranjangnya, menekuri ponselnya sendiri, yang Marson tebak, sudah dua tahun belakangan ini tidak dipakai dan hanya memenuhi laci barang bekas. Marson mendekat untuk duduk di sebelahnya, mendapati Rachel sedang membaca banyak direct message dari teman-temannya. Marson bahkan bisa melihat dengan jelas, banyaknya notifikasi yang masuk, masih menandai Rachel pada postingan yang baru saja Rachel lihat.
"Mars gue lagi nggak mau diganggu," tutur Rachel sambil berusaha merampas kembali ponselnya, yang sayangnya, Marson lebih tangkas darinya. "Gue butuh waktu sendiri, please. Lo tuh, mau ngorek hidup gue sampai mana? Perasaan iba lo tuh nggak akan pernah bikin gue berubah pikiran untuk jadi ceritain semuanya ke lo, Marson. Please. Urusan gue dan Jethro adalah urusan punya gue dan Jethro. Gue nggak mau melibatkan banyak orang."
"Bahkan ketika udah kayak gini, lo masih bilang ini urusan lo, Ci?" Marson tertawa sarkas. Laki-laki itu menggeleng pelan. "Gue—"
"Ya karena ini emang hubungan gue sama Jethro, Mars!" sentak Rachel. Matanya semakin memerah, penuh air mata dan kemarahan yang menyatu padu. "Mau lo coba sampai kapan pun, dan apa pun yang terjadi, nggak akan pernah bisa bikin gue dan Jethro pisah, Mars. Lo ... lo nggak akan ngerti!"
Sekali lagi, Marson lihat air mata Rachel rebas, bahkan semakin deras. Ia mencoba untuk menenangkan Rachel dengan cara mengusap lengannya, tapi Rachel langsung menolaknya. Boleh Marson akui, tangkisannya cukup kuat. Laki-laki itu memilih untuk bergerak mundur. Diletakkannya ponsel milik Rachel di sebelah pemiliknya, sementara ia segera bangkit dari kasur Rachel. "Mami sama Papi bakal denger soal ini, Ci."
"Keluar dari kamar gue, Mars."
Marson mengedikkan bahu. Ia berdesah, sambil sekali lagi melihat kakak perempuannya kembali menunduk dalam dan menyeka air mata setelah titah itu keluar dari mulutnya dengan superlesu dan lirih. Lambat, Marson mengangguk, kemudian berbalik dan meninggalkan Rachel sendirian, mempersilakannya hanyut dalam duka dan luka.
Rachel kembali meraih ponselnya, kembali menyelam dalam puluhan direct message demi mencari nama Omar. Akan tetapi, belum sempat Rachel menemukan nama yang dicari, satu pesan masuk menyita perhatiannya. Nama Jethro tampil di notifikasinya, mengirimkan direct message.
Jthdaniel: sent a post by lambelurah.reksabumi
Jthdaniel: lo bener-bener gila, ya, Rachel. Selain sahabat gue, siapa nih anak kosan gue yang diem-diem udah lo rekrut buat mencemarkan nama baik gue?
Rachel menggigit bibir bawahnya, memejamkan mata, dan meremas ponselnya kuat-kuat. Menurut Rachel, justru laki-laki ini yang sudah hilang akal. Jahat sekali ia bisa menuduh Rachel seperti ini. Rachel tidak tahu Jethro melakukan riset di mana, tapi tuduhan ini benar-benar tak berdasar dan sangat ngawur.
Buru-buru sebelum membalasnya, Rachel mengabadikan pesan tersebut dalam screenshot, siapa tahu kelak ia akan berubah pikiran dan mau mengadukan Jethro pada pihak berwajib di kampus. Rachel mengetikkan balasan sambil sibuk menyeka air mata, sambil menahan isak tangisnya.
Namun, tepat sebelum Rachel mengetikkan kata pertamanya, Jethro menelepon. Rachel bahkan kaget Jethro masih menyimpan nomor tak terpakai ini di dalam barisan kontaknya. Astaga. Kelihatannya, Tuhan memang belum memisahkan keduanya, dan jauh di dalam relung hatinya Rachel tahu, mungkin sampai kapan pun, kata pisah di antara dirinya dan Jethro, takkan pernah ada.
Rachel menerima telepon dengan tangan gemetar, tak menerima sapaan apapun selain sunyi mengisi sepuluh detik pertama telepon mereka. Selanjutnya Jethro menghela napas dengan berat. "Hubungin admin lambe lurah sekarang, suruh mereka take down videonya, Rachel."
Mata Rachel mengedar ke sekujur ruangan, memandang satu per satu cetakan foto polaroid yang menghias dinding, puluhan fotonya bersama Jethro ditempel di sana, membentuk simbol hati. Perempuan itu memejam untuk melepaskan sebulir lagi air matanya. "Je, itu bukan ulah gue ... demi Tuhan ... gue nggak akan sempet nyuruh orang untuk ngelakuin itu."
"Tapi lo punya hak buat minta admin lambe lurah take down videonya, Rachel." Jethro tidak peduli. Satu-satunya hal yang jadi prioritas Jethro sekarang adalah video tersebut harus dihapus sebelum menyebar lebih luas dan disaksikan lebih banyak orang, mengingat nama Jethro sedang melangit karena artikelnya yang dimuat pada situs resmi Layang Biwara. "Emang, lo nggak malu, ya, kalau video kayak gitu tersebar?"
"Kita bisa nggak sih, bahas ini lain kali? Kalau emang lo merasa hancur karena nama baik lo tercoreng, harusnya lo bisa mikir gimana perasaan gue, Je. Tiga tahun loh, Jethro. Tiga tahun ... gue nerima semua itu, gue nggak pernah sanggup dan berani untuk speak up. Tuhan tuh ada, Je, nggak pernah tidur. Tuhan tau, mungkin ini emang cara yang tepat, mewakili gue untuk speak up," balas Rachel, yang mendadak superberani. Setidaknya, kini Rachel tahu, banyak yang akan berpihak padanya.
Jethro tertawa sarkas di seberang. "Lo bener-bener cewek paling licik yang pernah gue temuin, Rachel. Lo ngejebak gue," tukasnya. "Sekarang gue tanya, apa rencana lo? Mau laporin gue, dan ngeliat gue drop out, luntang-lantung nggak kuliah, cuma gara-gara keegoisan lo yang nggak menganggap hubungan ini privasi? Gue akuin, lo berhasil udah ngerekrut Omar jadi backup. Congratulations."
Lidah Rachel kelu. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa Jethro bicara begitu padanya. Rachel egois? Laki-laki ini benar-benar sinting, tapi, kenapa Rachel tidak pernah menyadarinya sama sekali?
Sayangnya, tidak bisa dimungkiri bahwa Rachel tetap takkan bisa berhenti mencintainya, apa pun yang terjadi. Rachel mau melindungi Jethro sebagaimana laki-laki itu selalu menerimanya dalam keadaan apa pun. Maka, tanpa paksaan, jari-jari Rachel membawa tampilan ponselnya pada akun lambe lurah, meninggalkan pesan secara personal melalui direct message, dengan supersopan meminta video tersebut untuk segera dihapus.
☎
[first published 10/08/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro