BAB 16 ☎
Ruangan seketika hening kala Omar membuka pintu kaca dengan gusar. Obrolan-obrolan ramai dari tiap kubu seketika terhenti. Sekilas, Omar menyapu pandangannya ke tiap sudut ruangan. Jethro tidak ada di sini, dan ia sadari bahwa ada beberapa mahasiswa non-pengurus BEM yang berada di sini, seperti Diandra dan Alvi yang kini sedang sibuk berdua, mungkin bahu-membahu merangkum hasil liputannya untuk segera mereka unggah pada website Layang Biwara. Sementara, di sudut lain ruangan, Ilyas turun dari meja kerja Jethro yang didudukinya, setelah menghentikan permainan gitarnya yang jadi alunan musik halus sejak tadi.
"Eh, bentar. Ini maksudnya apa, ya? Cuma karena Jethro mundur di demo dan hilang begitu aja, lo mau lengserin dia dengan alasan tidak berperilaku baik? Are you serious, Omar Syarief?" ujar Ilyas, jadi yang pertama kali menanggapi protes Omar dengan supertenang. "Kita bahkan belum denger penjelasan Jethro. Kita nggak tau dia ke mana. Siapa tau emang urgent?"
Omar tertawa renyah, terang-terangan mengejek pendapat Ilyas. "Urgent? Lo tuh kenal nggak sih, sama Jethro? Apa emangnya yang lebih urgent buat dia ketimbang BEM?"
Ilyas menggelengkan kepalanya dan tertawa. Baru kali ini ia berselisih pendapat dengan sahabat perjuangannya sendiri selama di kampus. "Kok lo jadi nyolot gitu, sih? Kita nggak tau loh apa yang bikin Jethro cabut kayak tadi. Siapa tau emang ada yang lebih urgent untuk saat ini—apapun itu, ya ... dirinya sendiri, mungkin? Kita harus nunggu Jethro dulu, Mar."
"Dirinya sendiri?" ulang Omar. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, setuju dengan pernyataan tersebut. "Lo bener, Yas. Jethro lagi mentingin dirinya sendiri sekarang, dan asal lo tau aja—"
"Kak Omar." Freya cepat menginterupsi. Semua pasang mata kini tertuju pada gadis pemberani yang menyelak keributan antara Omar dan Ilyas. Gadis itu menghela napas, "Sori gue interupsi. Udah, Kak. Ini belum tepat waktunya buat bahas Kak Jethro yang tiba-tiba pergi. Kita urusin dulu, ya, urusan kita bersama, bukan urusan pribadi Kak Jethro."
Omar berdengkus. Kini semua orang menatap ke arahnya dengan raut beragam. Beberapa anak perempuan dan junior takut, namun beberapa anak seangkatannya justru heran dengan kedatangannya bersama amarah yang tiba-tiba meluap.
Enggan berlama-lama dan malah makin kalut pikirannya, Omar memutuskan untuk meninggalkan ruangan. Freya sudah melangkah untuk mengejar Omar keluar ruangan, tapi Ilyas lantas meraih pergelangan tangan Freya, lalu menggeleng dengan tenang. "Biarin dia sendiri, Frey. Gue tau kok. Gue tau tadi mereka bertiga kejar-kejaran di kerumunan."
Freya mendelik. Semua orang kini menyaksikan drama kecil-kecilan ini.
"Kejar-kejaran? Siapa yang kejar-kejaran?" Diandra kini ikut campur. Gadis itu berhenti mengetik sejenak. "Kak Jeth—jangan bilang sama anak cewek?"
"Loh, gue pikir ini cuma antara sebagian kecil doang. Ternyata lo juga udah pada tau?" Freya berdesah berat. Ia melepaskan pegangan tangan Ilyas yang tak kuat itu. Gadis itu berbalik dan menghadap Ilyas terang-terangan. "Kalau gitu, kita harus selesaiin semua kekacauan ini. Gue tau, itu urusan privasi Kak Jethro, tapi, kalau ceweknya udah berani speak up begini ke orang lain, itu artinya dia bener-bener butuh bantuan. Please."
"Tapi, Frey, ini urusan Jethro. Biarin dia selesaiin masalahnya sendiri. Kita juga nggak tau apa yang terjadi sama mereka, kok. Jangan ngurusin urusan orang, urusan kita udah banyak. Kita harus mempertanggungjawabkan kesaksian kita atas penyelewengan dana yang lagi dibahas di mana-mana, dan gara-gara itu, kita harus tunda kegiatan DIREKTUR tahun ini," balas Ilyas.
"Ya—" Freya terbata-bata. Gadis itu rasanya sudah frustrasi duluan. "Ya udah deh."
Tanpa menanti respons Ilyas, Freya memutuskan untuk keluar dari ruangan, menyusul Omar yang jejaknya sudah hilang dari koridor.
Kini, Ilyas yang menanggung frustrasi. Laki-laki itu memijat pelipisnya kemudian menyugar rambutnya yang hitam. "Sebentar, deh. Ini ada apa sih, sebenernya? Cuma urusan Jethro kabur dari orasi, kan? Dia cuma ngejar adik tingkat kok tadi. Terus kenapa? Sama sekali nggak bahaya. Paling-paling juga ada yang mau mereka obrolin."
Semua orang di dalam ruangan menggeleng. Tidak ada yang tahu apapun. Sementara Adam dan Asyraf, yang sempat terseret jadi saksi atas keributan Omar dengan Jethro siang tadi, kini sibuk saling sikut satu sama lain. Mereka sepakat untuk tidak mengatakan apapun sebelum mendapatkan persetujuan dari Omar.
"Lyd," bisik Devano, sedikit menyenggol Lydia yang duduk di sebelahnya. Devano memberikan ponselnya kepada Lydia.
Tanpa ragu, Lydia menerima pemberian ponsel dari tangan Devano, bergantian menyaksikan apa yang baru saja Devano tunjukkan kepadanya. Sebuah video amatiran pada akun lambe lurah kampus. Videonya memang tidak jelas, bahkan hanya berupa tirai putih yang bergoyang karena tiupan angin yang tak kencang. Akan tetapi, fokusnya ada pada suara yang mengisi. Meski samar dan terasa jauh sekali, Lydia masih bisa mendengar suaranya dengan bantuan earphone yang Devano berikan.
Sangat mudah bagi Lydia untuk mengenali suara Jethro berteriak-teriak di dalam video tersebut. Segala caci-maki yang keluar dari mulutnya, terus-menerus dibalas oleh perempuan yang sedang jadi lawan adu mulutnya, yang tak disangka-sangka, adalah Rachel, mahasiswi semester dua yang baru kemarin sore Omar bawa ke struktur kepanitiaan acara besar untuk pertama kalinya.
Tangan Lydia gemetar. Ia tidak menyangka bahwa apa yang sempat Freya curigai beberapa waktu lalu, benar adanya. Dua sejoli yang sedang bertengkar malam itu benar-benar Jethro dan Rachel.
"Kak Ilyas," panggil Lydia.
"No, no, no," potong Devano.
Lydia menggeleng, sambil tetap menahan ponsel milik Devano di tangannya. "Kak, ini nggak bener. Sumpah, udah satu jam sejak ini di-upload ke akun lambe lurah, masa nggak ada yang sadar?"
Dalam sekejap, Devano menyesali perbuatannya sendiri. Fixed, runyam sudah citra baik kabinetnya dengan satu kesalahan fatal sang presiden. Entah siapa oknum yang mengirimkan video ini pada admin lambe lurah, tapi Lydia benar, video tersebut sudah diunggah sejak satu jam lalu, dan kini sudah mendapati hingga 216 komentar. Ini akan jadi gosip fenomenal.
Semua orang langsung mengambil ponsel masing-masing, mencari sendiri akun lambe lurah kampus pada laman Instagram masing-masing untuk melihat gosip yang baru saja Lydia ungkap.
Kalau boleh diadu, mungkin jantung Diandra-lah yang kini berdetak paling cepat di antara semua orang. Gadis itu tak bisa berkutik di depan layarnya. Pertahanannya untuk tidak menangis, langsung buyar. Matanya berkaca-kaca. Diandra menyesal sudah membawa Rachel ke kampus hari ini.
"Kak Alvi, nitip laptop," ujar Diandra tergesa sambil mengoper laptopnya ke pangkuan Alvi. Gadis itu lekas beranjak, hendak berlari keluar dari ruangan. Namun, kakaknya sendiri, segera menarik lengannya, tidak mempersilakan Diandra pergi. "Gue mau ke rumah Rachel!"
"Gue tau, Di, tapi ini belum waktunya lo temuin Rachel. Biarin dia tenang dulu. Lagian kita juga nggak tau mereka ada di mana," sahut Devano sambil tetap mempertahankan cengkeramannya yang terus-terusan Diandra coba untuk lepaskan.
"Nggak!" sentak Diandra. "Lo nggak bisa nahan gue buat pergi, Bang. Ini Rachel, sahabat gue! Lo nggak berhak buat ngelarang gue ketemu Rachel!"
Devano tetap menggeleng. "Di, lo dengerin nggak sih, videonya? Dengan kejadian kayak gitu, apalagi sampai ada yang nyebarin begitu, Rachel pasti nggak akan mau ketemu siapa pun—"
"Gue sahabatnya, Devano!" tak gentar Diandra membentak abangnya sendiri.
"Jethro juga sahabat gue, Diandra!"
Rasa-rasanya, semua orang sedang dalam emosi yang tidak stabil hari ini. Setelah Devano balik menyentak adik semata wayangnya, cengkeraman laki-laki itu mengendur. Atmosfer di dalam ruangan kecil itu kembali tegang. Deru napas Diandra dan Devano saling adu cepat dengan tempo jantung mereka masing-masing. Keduanya saling tatap dan kini geming.
Amarah semua orang pecah hari ini.
Setelah keheningan panjang, Diandra tersenyum mengejek, lalu menertawakan Devano. Ketika laki-laki itu lengah, Diandra melepaskan cengkeramannya. "Gue orang pertama yang dihubungin Rachel ketika kemarin dia putus sama sahabat lo itu. Kalau di saat kayak begitu aja Rachel butuh gue, apalagi di saat kayak gini?! Ini masalah serius untuk Rachel, dan pelakunya itu sahabat lo! Hati nurani lo di mana ngelarang gue nenangin Rachel di saat kayak gini? Harusnya kalian yang mikir dua kali kalau kalian berpikir mau nolongin Kak Jethro. I stand by Rachel's side!"
Diandra melenggang pergi, meninggalkan satu orang lagi dirundung frustrasi mendalam. Devano menendang angin sambil berdecak kesal. "Bangsat."
Langkah Diandra cepat, keluar dari gedung tempatnya bernaung. DIlihatnya kawasan kampus sudah mulai sepi. Massa yang tadi memadati pelataran gedung rektorat sudah bubar sepenuhnya. Hanya tersisa kaleng-kaleng cat yang dibuang sembarangan oleh beberapa mahasiswa tidak bertanggung jawab, lengkap dengan juta warna berantakan yang memenuhi dinding gedung hingga aspal bak tengah dibuka pameran vandalisme.
Di tengah langkahnya menuju gerbang depan, Diandra terus menelepon Rachel meski hasilnya nihil. Tidak ada jawaban apapun. Ponsel Rachel bahkan tidak aktif. Diandra terus-menerus menghubungi Rachel. Seharusnya perempuan itu masih ada di sekitar kampus atau di indekos Jethro sekarang.
Sambungan telepon Diandra beralih pada nomor Omar. Tak seperti Rachel, laki-laki itu lantas menerima teleponnya pada detik pertama. "Kak Omar, lo di mana?"
"Di mobil, lagi lihatin lo bolak-balik panik," jawab Omar cepat, membuat Diandra langsung celingukan mencari keberadaan mobil Omar. "Sini. Ada Freya juga di mobil gue. Nissan March putih."
Diandra berbalik badan dan langsung menemukan letak mobil Omar yang memang tidak jauh dari posisinya berdiri. Gadis itu segera menyudahi sambungan teleponnya, kemudian berlari kecil masuk ke mobil Omar. Di dalam memang ada Freya, dan kalau Diandra boleh menebak, mereka pasti sedang membicarakan permasalahan Rachel dan Jethro.
Pintu bagian depan Diandra tarik. Gadis itu masuk ke kursi penumpang, langsung menyandarkan tubuhnya dan mengembuskan napas berat. "Kalian udah tau dari lambe lurah duluan?"
Omar dan Freya saling tatap sekilas. Perempuan yang duduk di kursi belakang itu pertama kali menggeleng, "Gue ... sebenernya gue udah tau lama, Di. Gue sama Kak Lydia nggak sengaja liat mereka berantem. Tapi, waktu itu Kak Lydia kayak nggak percaya gitu. Terus—oh, gue sempet videoin. Gue sempet hampir kirim ke lambe lurah, sebenernya, tapi ... gue nggak tega. Gue nggak mau ikut campur urusan pribadi mereka, karena, toh Rachel nggak pernah minta tolong, kan?"
Tatapan Diandra beralih ke Omar, seakan meminta penjelasan dari sudut pandang Omar. Laki-laki yang cepat peka itu menghela napas, mempersiapkan diri untuk bercerita. "Terlalu banyak clue yang bisa gue baca dengan mudah, Di. Rachel tiba-tiba nggak pernah dikuncir; Rachel selalu pakai baju tertutup; kacamata Rachel patah; bahunya biru; Jethro selalu protektif ketika gue nawarin tumpangan ke Rachel; ditambah lagi, mereka pakai cincin yang sama."
"Kok gue nggak pernah tau kalau lo tau sedetail itu, Kak?" tembak Freya cepat.
Omar terkekeh. "Oh, satu lagi, gue juga tau kalau lo nyembunyiin sesuatu, Frey. Ternyata, video itu yang lo sembunyiin?"
Kening Diandra mengernyit. Gadis itu berdesah sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Kok gue merasa gagal jadi sahabatnya Rachel, ya, Kak? Gue nggak pernah peka semua itu. Gue baru tau Rachel pacaran sama Kak Jethro ketika kemarin sore dia ke rumah gue. Itu pun, mereka udah putus, dan gue denger sendiri Rachel ditampar pas nelepon gue."
Freya mengusap lengan Diandra lembut. "Nggak, Di. Ini tuh, pilihan Rachel sendiri buat nyembunyiin. Kita juga harus ngehormatin pilihan dia. Tapi, toh sekarang kita tau, kan, ternyata Rachel butuh pertolongan, ketika tadi siang dia nelepon Omar."
Sebelum Diandra sempat bertanya, Omar sudah mengangguk dan memberikan penjelasan, "Gue yang pernah nawarin dia buat nelepon gue kalau butuh bantuan. Dan, gue rasa, dia lebih milih buat nelepon gue ketimbang elo karena, tadi dia pakai hapenya Jethro. Nggak mungkin kan, Jethro nyimpen nomor lo? Dan, keadaannya, tadi Rachel ada di kosan Jethro, nggak mungkin lo bisa gerak cepet untuk ke sana karena gue berani jamin lo nggak tau di mana kosan Jethro. Jangan cemburu karena gue jadi emergency call-nya Rachel, ya, Di."
"Ye, bercanda aja lo," tukas Freya sambil menyikut Omar. "Tapi, bener loh, Di, kata Kak Omar. Tadi, sebenernya gue mau cari lo, tapi kan, lo lagi liputan. Jadi gue adalah satu-satunya cewek yang bisa Kak Omar seret buat ke kosan Kak Jethro. Gitu kronologisnya."
Diandra mengangguk-angguk. "Kak, possible nggak, kalau kasus ini kita laporin ke pihak kampus? Ya, bukannya mau ganggu privasi orang, sih, tapi kan ... ini menyangkut nama baik kabinet kalian. Kayaknya, anak-anak BEM harus rapat lagi, ya?"
☎
[first published 03/08/2022 unedited]
an: guys aku nulisnya deg-degan :') semuanya jadi ribut gara-gara jethro sama rachel :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro