BAB 15 ☎
Omar sudah sigap sekali di depan pintu kayu dengan nomor 023. Ia bisa mendengar suara kunci diputar di balik pintu. Gagang pintu perlahan dibuka oleh pemiliknya, dan ketika daun pintu di hadapannya akhirnya terbuka, Omar langsung menarik kerah laki-laki di hadapannya.
"Wei, wei, apa nih maksudnya?" ujar Jethro yang berusaha tenang. Ia melihat satu per satu orang yang berdiri di balik badan Omar. Ada dua laki-laki yang mana adalah stafnya sendiri, serta Freya di belakang mereka. "Rame banget. Ngapain?"
Omar segera mendorong laki-laki di tangannya. Langkahnya perlahan memasuki kamar kos Jethro, membuat penghuninya mundur perlahan. "Elo yang ngapain!" sentaknya keras, bahkan hingga membuat tetangga kamar sebelah keluar dari persembunyiannya sejak satu jam lalu. "Ngunciin anak gadis di dalem kosan laki-laki? Sakit lo, ya?!"
"Anak gadis?" Jethro tertawa renyah, menimbulkan tanda tanya pada benak tiap orang yang baru saja menggerebeknya. "Tanya sendiri tuh sama anaknya. Dia yang mau ikut sama gue."
Tatapan semua orang kini tertuju pada Rachel yang masuk duduk di bean bag. Kedua tangannya saling tergenggam satu sama lain. Kepalanya menunduk dalam. Ia sibuk mengumpulkan keberaniannya seperti sebelum-sebelumnya. Matanya terpejam, helaan napasnya berat sekali.
"Rachel—"
"Biar gue aja, Kak," interupsi Freya cepat. Satu-satunya gadis yang ikut serta dalam aksi penggerebekan itu masuk ke kamar kos Jethro, mendekat pada Rachel. Tangannya yang hangat lantas menangkup kedua tangan Rachel yang saling tergenggam. "Lo mau di luar aja, nggak, Chel? Biarin Kak Omar yang ngomong dulu sama Kak Jethro."
Rachel menurut. Ia melangkah meninggalkan Omar dan Jethro dengan pikiran kosong. Sumpah, maksud Rachel hanya ingin meminta pertolongan untuk kabur, bukan untuk memperkeruh suasana. Mungkin Jethro benar, Rachel seharusnya berpikir sebelum bertindak.
Keduanya duduk di lobi indekos. Rachel masih diam dan terus-menerus menautkan tangannya. Freya bisa melihat dengan jelas ketakutannya. Gadis itu mengulurkan tangannya di depan Rachel, "Chel, pegang tangan gue."
Tanpa membantah, Rachel menautkan lima jarinya ke tangan Freya yang hangat. "Kenapa, Kak?"
Freya menggeleng, "Nggak apa-apa. Supaya lo sadar aja, kalau lo tuh sekarang nggak sendirian. Nggak usah takut, Chel. Ada gue di sini."
Sekilas, Rachel mengangguk, sebelum akhirnya menengadahkan kepalanya untuk melihat lantai dua bangunan, mengamati pertikaian yang samar-samar terdengar dari kamar kos Jethro.
Refleks, Freya ikut menoleh ke atas, memandangi Omar yang berdiri di depan pintu kamar Jethro. Sepertinya kakak tingkatnya yang satu itu tidak dipersilakan masuk ke kamar Jethro. Freya sudah bisa menebak alasannya, sih. Omar bertiga, dan Jethro sendirian. Jelas Jethro takut mendadak dikeroyok di dalam.
Sepuluh menit berselang. Omar tetap tidak masuk ke kamar kos Jethro, dan akhirnya memutuskan untuk melangkah mundur, setelah laki-laki itu mengancam Jethro tegas-tegas, "Simpen penjelasan dan pembelaan lo baik-baik, Jethro. Gue bakal bawa masalah lo ke kampus. Mending lo cepet-cepet cari kampus baru, ya. Kasus lo bakal gede dan nggak akan ada harapan buat wisuda di sini."
Freya dan Rachel yang menyaksikan dari jauh terbengong. Omar berbalik badan, membawa dua bodyguards-nya melangkah pergi, sementara Jethro masih membatu dalam posisinya. Tiga laki-laki itu gegas turun, menghampiri Rachel dan Freya di lobi.
"Dam, lo balik ke kampus, suruh Ilyas mundur dan bubarin massa. Anak BEM yang laki suruh stand by di kampus, pastiin mahasiswa nggak ada yang demo lagi. Anak-anak cewek suruh pada pulang aja atau stay di sekret. Nanti sore gue balik ke kampus," titah Omar pada salah satu dari ekornya, Adam. "Dan ... Rachel, lo pulang sama gue, ya?"
Rachel hanya mengangguk. Tanpa kata, ia mengikuti langkah empat kakak tingkatnya, dan berpisah di kerumunan. Adam yang punya tugas dari Omar langsung menjemput Ilyas, sementara dua orang lainnya menuju ruang sekretariat BEM, dan ia sendiri mengikuti Omar menuju parkiran mobil.
Menit pertama Rachel terkunci di dalam ruangan yang sama dengan Omar, keduanya saling diam. Omar masih hanya mencengkeram setirnya sambil menunggu mesin mobilnya memanas. Deru napasnya memburu, jantungnya masih berdebar tak keruan karena pertikaian singkat tadi dengan sahabatnya sendiri.
"Rachel," panggil Omar sambil menarik perseneling dan membawa mobilnya mundur dari lahan parkir. Perempuan di sebelahnya hanya bergumam menanggapi, tanpa mau memalingkan pandangannya dari jendela, melihat gedung rektorat yang berjarak tidak jauh dari posisi mereka.
Massa belum benar-benar bubar, bahkan masih ada segelintir mahasiswa yang mengocok kaleng cat semprotnya untuk kemudian mereka meninggalkan kata-kata keji lagi pada dinding yang selalu bersih itu.
"Seatbelt, Rachel," tutur Omar lembut. Kontan, Rachel menoleh ke badannya sendiri, menyadari bahwa ia belum mengenakan seatbelt. "Lo udah makan atau belum? Mau gue teleponin Diandra, nggak? Supaya dia nemenin gue nganter lo pulang."
Selagi tangan dan matanya mulai sibuk dengan seatbelt, Rachel menggelengkan kepalanya. "Nggak usah. Jangan bilang Diandra dulu soal ini, Kak."
"Emang ... ah, oke. Iya, gue nggak akan bilang." Omar manut. Ia ingin tahu alasannya, tetapi, sepertinya mempertanyakannya sekarang bukanlah waktu yang tepat. Tangan Rachel bahkan masih bergetar. Wajahnya masih sendu bukan main. Matanya sembap. "Tapi, gue nggak bisa janji kalau Freya, Adam, sama Asyraf nggak cerita ke anak BEM di sekret. Belum lagi, anak-anak kosannya Jethro yang denger. Sori, Rachel."
Rachel berdesah berat. Punggungnya bersandar pada kursi. Tatapannya yang kosong memandang ke jalan raya yang terbingkai di kaca depan. "Kak, possible nggak, kalau masalah ini nggak perlu kita bawa sampai ke buku kasus?"
"Rachel, kita bahas ini nanti lagi, ya. Biar gue sama anak-anak yang atur. Soal nanti lo tetep nggak mau, itu sepenuhnya hak lo," ujar Omar. "Pokoknya, kalau ada apa-apa, lo boleh selalu hubungin gue, Rachel."
Hanya anggukan singkat yang jadi respons Rachel. Keadaan mobil kembali hening. Omar menyetir dengan fokus, sementara Rachel memutuskan untuk tetap diam menyaksikan tiap tikungan yang mereka lalui, dengan sesekali saling tanya-jawab mengenai alamat menuju rumah Rachel.
Begitu tiba di pelataran rumahnya, Rachel perlahan melepaskan seatbelt yang melindungi dirinya di kursi penumpang. Untuk kesekian kalinya dalam dua jam terakhir, perempuan itu menghela napas dan mencoba menormalkan detak jantungnya. "Kak Omar, makasih banyak, ya. Gue ... nggak tau bakal jadi apa di sana kalau lo nggak dateng."
Bibir Omar membentuk lengkungan lebar, rasanya puas sekali sudah membantu Rachel siang ini meski hanya sedikit. "Makasih juga udah hubungin gue, Rachel. Now you know you can count on me."
"Gue boleh minta nomor lo lagi nggak, Kak?" pinta Rachel. "HP gue sama Jethro."
Omar mendelik. "Hah? Kok lo nggak bilang?" pertanyaannya malah melenceng. "Nanti gue ke kosannya, gue ambil HP lo—"
"Nggak usah, Kak," tolak Rachel sembari menggeleng pasrah. "Percuma. Semua bukti dan jejak yang ada di HP gue pasti udah dihapus sama Jethro. Jangan ke kosan Jethro lagi, Kak. Gue nggak mau lo berantem lagi."
"Serius, Rachel?"
Rachel mengangguk. "Makasih, Kak Omar. Nanti nomornya DM aja, ya. Gue kayaknya perlu istirahat."
"Take your time."
Dengan langkah lambat, Rachel keluar dari mobil. Omar masih menyaksikan tiap langkahnya, sampai perempuan itu menghilang di balik pintu rumahnya yang besar. Kedua tangan Omar kembali mencengkeram setir. Tarikan napasnya dalam. Dengan keputusan yang mantap, Omar menancap gas kembali ke indekos Jethro.
Ia berlari kecil menuju lantai dua, mengetuk pintu kamar sahabatnya. "Je!"
Akan tetapi, bukannya Jethro yang meresponsnya, justru laki-laki yang menempati kamar di sebelah Jethro. Laki-laki itu keluar dari kamarnya setelah mengintip dari balik tirai. "Jethro udah cabut. Tadi setelah lo pergi."
Rasa kecewa langsung mengepung. Pintar sekali sahabatnya yang satu itu, sudah kabur saja dari persembunyiannya. "Ke mana ya?" tanya Omar pada laki-laki yang memberinya kabar. Laki-laki yang ia tidak kenal namanya itu hanya menggeleng. "Kalau gitu gue mau ngobrol sama lo aja deh. Sabi?"
"O-oh, boleh sih," katanya terbata-bata. Perlahan tapi pasti, laki-laki itu membuka pintu kamarnya sendiri, mempersilakan Omar untuk masuk. "Sini aja."
Omar mengangguk, kemudian mengekor ke dalam kamar yang isinya serupa dengan milik sahabatnya. Omar melepaskan sepatunya, lalu mengulurkan tangannya pada laki-laki asing itu. "Oh iya, gue Omar, jurusan BK 2019."
Laki-laki itu mengangguk sambil menjabat tangan Omar. "Azmi, Sipil 2019."
"Gue to the point aja deh, Mi. Lo tadi denger nggak mereka ngapain aja? ... eng, maksud gue, pasti tadi sempet ribut, kan, mereka? Lo denger, nggak, mereka ngeributin apa?"
Samar-samar, Azmi mengangguk. Bukannya ia mencuri dengar dengan sengaja, hanya saja, dinding yang tipis membuat suara Jethro dan Rachel terdengar dengan jelas sekali. Apalagi dengan fakta bahwa Jethro sempat membentak Rachel yang Azmi yakin, membangunkan banyak penghuni indekos apatis yang sedang menikmati akhir pekan mereka.
Dengan penuh sabar dan detail, Azmi menjelaskan pada Omar apa saja yang didengar dan diingatnya, yang untungnya, adalah semua ucapan-ucapan penting dari mulut mereka, seperti ketika Jethro menasihati Rachel bahwa berada di tengah kerumunan pendemo adalah hal yang seharusnya tidak Rachel lakukan, sampai pada kemarahan Rachel sampai mengatai Jethro dengan kasar.
"Gue tuh nggak pernah tau, deh, kalau Jethro suka bawa ceweknya ke sini. Sering?" tanya Omar.
Azmi menggerayangi tengkuknya. "Ya ... nggak sering, sih, Mar," jawabnya. "Gue pernah liat dua atau tiga kali. Cuma bantuin Jethro ngerjain tugas, tapi, Mar."
"Dan lo diem aja ada cewek dibawa masuk ke kosan?"
"Ya, gimana ya, Mar. Kosan kita kan emang texas. Lagian, Jethro selalu punya uang tutup mu—"
"Lo disogok sama Jethro cuma buat nyembunyiin hubungan mereka? Anjir, sinting lo, ya?! Lo berarti tau kalau mereka suka ribut dan Jethro suka mukulin dia?" Omar tiba-tiba berang. Air mukanya yang tenang sudah tidak bisa terlihat lagi di wajahnya.
Merasa serta-merta dicap buruk hanya perkara uang sogokan, Azmi ikut tersentil amarahnya. Laki-laki itu lantas membalas, "Hubungan mereka itu udah privasi mereka, Mar. Gue nggak bisa ikut campur karena Jethro kasar sama ceweknya. Lagian, gue nggak punya bukti kalau Jethro emang kasar. Mereka nggak pernah berantem di depan mata gue, dan nggak mungkin gue main gerebek kayak lo tadi. Dan satu lagi, sekarang realistis aja, lo posisiin diri lo sebagai anak kos yang jauh dari orang tua lo. Apa nggak akan tergiur lo sama uangnya Jethro, yang bisa lo dapetin cuma dengan syarat tutup mulut?"
"Tapi tetep aja itu uang har—"
"Lo nggak akan pernah relate karena lo bahkan kuliah naik mobil, Omar," pungkas Azmi. Giliran Omar yang tutup mulut. Laki-laki itu memilih untuk hanya mengangguk dan mencoba memahaminya dari sudut pandang Azmi. "Lo cuma mau nanya tentang Jethro dan Rachel, kan? Gue tau banyak dari apa yang gue denger. Bahkan sebelum Rachel masuk kampus kita. Gue punya bukti rekaman suara kalau lo mau."
"Kirim ke e-mail gue," titah Omar.
Azmi meraih ponselnya di atas meja. "Dua juta, ya? Rekam jejak selama kurang lebih dua tahun terakhir. Cukup kan, buat jadi bukti kuat supaya Jethro kalah di sidang drop out?"
"Sinting lo ya," dakwa Omar sambil menggeleng. "Hati nurani lo di mana, gila? Dua tahun jadi saksi, dan sekarang masih mau lo jual?"
Azmi mengedikkan bahu sambil menggulir rekaman demi rekaman di layar ponselnya. "Mar, hari gini, Jakarta mana ada yang gratis, sih?"
"Kita nggak perlu dibayar untuk sekedar punya hati yang baik dan tulus pada sesama," pungkas Omar. Laki-laki itu memilih untuk tidak bernegosiasi lagi. Omar lekas angkat kaki dari kamar kos Azmi. Persetan dengan bukti seharga dua juta yang dijualnya. Penghuni indekos masih banyak. Omar akan cari bukti lagi nanti.
Sambil kakinya membawa meninggalkan indekos Jethro, jari-jari Omar bergulir di layar ponselnya. Laki-laki itu mengirimkan pesan kepada Jethro tanpa ragu.
Omar: Gue tunggu 3x24 jam klarifikasinya, Jethro. Atau gugatan gue buat lengserin lo dari jabatan secara tidak terhormat bakal keluar, ditambah laporan ke pihak kampus atas tuduhan lo tidak berperilaku baik. Tq.
Sekarang, laki-laki itu melangkah cepat menuju ruang BEM, melewati sisa massa yang masih duduk-duduk di pinggir trotoar dan kursi-kursi. Seperti instruksinya, mereka sudah bubar dan tidak seramai tadi. Para pengurus BEM juga kini berkumpul di dalam ruang sekretariat, menunggu kedatangan Omar dengan obrolan mereka dengan kelompok masing-masing.
"Gue nggak mau tau, pokoknya mulai sekarang kita harus kumpulin bukti kalau Jethro nggak berperilaku baik. Dia harus lengser dan drop out. Titik."
☎
[first published 26/07/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro