Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 14 ☎

Secara paksa, Rachel melepaskan cengkeraman Jethro pada tangannya sebelum mereka masuk ke kamar kos Jethro. Sejak langkah pertama melewati gerbang masuk, Rachel sudah tahu indekosnya hampir kosong. Penghuninya pasti sekarang sedang berada di kampus bersama keahlian vandalisme mendadak mereka, atau dengan teriakan-teriakan kasar di depan gedung rektorat. Kalaupun ada yang tidak di sana, paling-paling kini sedang pulang ke rumah orang tuanya, atau sedang menikmati akhir pekan tanpa peduli dengan isu hangat yang merajalela di seluruh platform berita.

Rachel tahu Jethro akan marah padanya. Mungkin memperpanjang keributan mereka yang kemarin terhenti karena Rachel kabur dari rumahnya sendiri. Atau, entahlah. Tapi, apapun alasan Jethro akan marah, Rachel mau memperjelas sekali lagi padanya, "Kita udah putus. Kan kemarin gue udah ngomong sama lo, kita putus. Ngapain lo bawa gue ke sini? Nggak usah lo sentuh-sentuh gue. Nggak ada consent bagi lo untuk ngelakuin itu."

Jethro berdengkus. Laki-laki itu berbalik dengan supertenang. "Emangnya bisa, kita putus? Bisa, seorang Rachel hidup tanpa Jethro?"

Harga diri Rachel merasa benar-benar tergores mendengarnya. Jelas, ia merasa sakit hati dan tidak dianggap mampu dengan pernyataan begitu. Akan tetapi, ini bukan waktu yang tepat untuk mendebatkannya atau bersendu-sendu ria dengan mempertanyakan sendiri kebenaran dari pernyataan Jethro.

Lagi pula, sekarang Rachel pikir ia sudah punya sedikit kekuatan. Setidaknya, kata putus yang sudah berani ia katakan kemarin siang jadi kekuatannya, untuk terus melawan Jethro dan berkata bahwa laki-laki itu tidak berhak lagi mengatur-atur hidupnya.

Sambil menggeleng dan tertawa mengejek, Rachel meludah pada ujung sepatu Jethro. Sepatu yang ia belikan enam bulan lalu sebagai hadiah ulang tahun untuk Jethro. Rachel sudah lupa dan tidak peduli dengan harganya yang mencapai angka jutaan. Rasa hormatnya sudah tidak ada untuk Jethro, titik. "Lo pikir selama ini lo biayain hidup gue, Je?"

"Berani ya ngomong kayak gitu?" Jethro ikut terpancing, jelas. Tatapannya teralihkan dari ujung sepatunya yang kini basah dengan cara menjijikan. "Aku tuh ngajak kamu ngomong baik-baik, tapi kelakuan—"

"Apa?!" Rachel menyentak meski pada akhirnya tangannya bergetar saking takutnya dengan reaksi Jethro selanjutnya.

"Dengerin dulu bisa nggak, sih, Rachel!" suara Jethro meninggi. Bahkan, Rachel yakin seisi indekos bisa mendengarnya. Rachel sampai melihat sekitar, memastikan tidak ada orang yang sedang menyaksikan keributan yang sangat jarang terjadi ini. Jethro tidak pernah berteriak padanya di tempat umum. Bahkan ketika ia berang sekalipun.

Rachel memilih untuk diam.

"Kita ngobrol di dalem," tegas Jethro dengan nada bicara yang sudah merendah dan jauh lebih tenang. Laki-laki itu melepas sepatunya, kemudian membuka pintu kosannya yang terkunci. Akan tetapi, sebelum membukakan pintu untuk Rachel, laki-laki itu menadahkan tangannya. "HP. Aku nggak mau kamu curang, dan aku nggak mau liat ada temen-temenku tiba-tiba dateng gara-gara kamu."

Tanpa melawan, Rachel memberikan ponselnya dengan mudah ke tangan Jethro. Ia manut saja, sambil berpikir bagaimana caranya nanti ia harus meminjam ponsel Jethro dan menelepon salah satu di antara Omar atau Diandra.

Setelah menerima ponsel Rachel, Jethro membukakan pintu, sambil menonaktifkan ponsel Rachel, lalu menyimpannya ke dalam saku. Begitu pintu ditutup, Rachel duduk pada bean bag yang ada di sudut ruangan, sementara Jethro melangkah ke sisi lain ruangan untuk mengambil air mineral dan memberikannya kepada Rachel.

"Denger ya, Chel. Tadi tuh keadaannya bahaya. Liat sendiri, kan, vandalisme di mana-mana, semua orang desek-desekan, teriak-teriak, marah-marah. Itu bukan tempat di mana kamu seharusnya ada," tutur Jethro lembut.

Lembut sekali sampai Rachel rasanya ingin tertawa saking laki-laki ini jago memanipulasi segala ucapannya. Sadar ini bukan waktu yang tepat untuk menertawakan Si Presma dengan segala perhatian hangatnya, Rachel memilih untuk mengangguk manut, "Iya, Je. Cuma nemenin Diandra, kok. Tau sendiri, kan, Diandra harus liputan mendadak karena tadi pagi anak Layang Biwara cuma dia yang bisa dihubungi?"

"Ya, I know," balas Jethro sambil mengangguk. "Tapi, Chel, itu tetep nggak mengubah fakta bahwa adanya kamu di sana tuh, membahayakan diri kamu sendiri. Buktinya, kamu nggak ngekorin Diandra, kan? Diandra pergi sama Alvi, dan kamu sendirian. Kenapa, sih, nggak di rumah aja? Sesekali berpikir sebelum bertindak, gitu."

"Bahaya apanya, sih?" sungut Rachel. Nyatanya, ia tidak bisa menahan betapa muaknya melihat manipulasi Jethro dalam percakapan ini. "Gue nggak apa-apa kok tadi. Kalau gue nggak dikejar sama lo, ya, gue nggak akan jatoh, gue nggak akan luka, gue nggak akan kenapa-napa. Siapa yang harusnya berpikir sebelum bertindak? Elo, kan? Elo, Je, yang bikin gue celaka, bukan mahasiswa yang bahkan nggak ricuh. Mereka cuma teriak-teriakan dan main cat semprot, kok, nggak ada senjata tajam. Apa itu bahaya? Gue juga nggak ada di kerumun—"

"Too much," potong Jethro.

"Apanya yang too much sih? Itu tuh sesuai fakta!" Rachel tetap tak mau kalah. Jethro benar-benar sudah gila. Kalau terus manut, yang ada Rachel kalah lagi dan tidak bisa kabur dari sini. Tapi, kalau Rachel tidak manut, Jethro yang akan marah dan rencananya untuk menelepon Omar atau Diandra akan dipersulit. Serba salah.

Benar-benar Rachel harus memikirkan tiap kata-katanya, berusaha balik memanipulasi kalimatnya supaya Jethro jatuh kalah dengan percaya padanya. Astaga, sulit. Rachel tidak bisa memanipulasi ucapannya semahir Jethro. Laki-laki ini juga seperti dikaruniai fitur pendeteksi kebohongan di dalam otaknya sehingga Rachel akan ketahuan ketika mulai mencurigakan.

"Chel, aku ini Presiden Mahasiswa," tutur Jethro. Rachel diam, mendengarkan kalimat jemawa apa yang akan keluar lagi dari mulutnya. "Dari awal kuliah, aku aktif di Himajur, di BEM, bahkan aku dulu Ketua Layang Biwara angkatan sebelum Diandra. Kamu juga tau. Aku pernah, Chel, ada di posisi temen kamu, mendadak ditelepon buat live report atau nulis artikel dan berita tentang demo Omnibus Law tahun-tahun lalu. Harus ada di lokasi supaya data yang aku tulis sesuai dengan apa yang aku liat. Aku tau gimana ada di posisi Diandra, dan itu nggak gampang, Chel. Kita nggak pernah bisa memprediksi apa yang terjadi. Kamu bener, tadi nggak ada yang pegang senjata tajam, tapi kita nggak tau apa yang ada di kantong dan tas mereka."

Too much, Rachel membalas dalam hati. "Oke. Makasih loh atas perhatiannya, Presiden Mahasiswa kami yang sangat mementingkan rakyatnya," tutur Rachel sama lembutnya dengan Jethro. Perempuan itu bangkit dari bean bag yang didudukinya, membuat Jethro sigap turut berdiri. "Kalau gitu, gue permisi, ya?"

"Nggak," sangkal Jethro yang dengan tangkas meraih pergelangan tangan Rachel. "Stay di sini. At least, di sini aman."

Rachel menggeleng. "Lebih aman di rumah gue daripada di sini."

"Pokoknya kamu nggak akan ke mana-mana tanpa persetujuan aku, Chel."

"Gue laper, Jethro, dan gue mau pulang," balas Rachel sambil melepaskan cengkeram Jethro, yang seperti biasanya, kian dilepas, kian mengerat. "Apaan, sih. Lo gila, ya? Ini kosan laki, tau, nggak? Apa-apaan lo ngunciin gue di sini? Nanti jadi gosip, emang lo nggak malu apa? Katanya Presma, berarti citranya harus baik kan? Katanya jaga privasi, tapi dari tadi lo aja bentak-bentak gue, itu tuh bisa didenger tetangga kosan lo. Tadi bilang gue harusnya di rumah aja, sekarang gue mau pulang nggak boleh. Gimana sih? Sesekali berpikir sebelum ber—"

"Bangsat lo ya," tukas Jethro. Cengkeramannya semakin mengerat, membuat Rachel susah payah menahan diri untuk tidak meringis kesakitan. "Ngomong sekali lagi, coba."

"Elo yang bangsat!" sentak Rachel, yang jelas membuatnya malah semakin sengsara di sini. Tanpa jeda setelah umpatan itu selesai, Jethro mendaratkan kepalan tangannya pada wajah Rachel, tanpa sadar. Rahang Rachel mengeras. Tangannya ikut mengepal meski kini masih tertahan di dalam cengkeraman Jethro. Jethro benar-benar keterlaluan. "Segitu doang mukulinnya? Nggak lagi? Terus aja. Gue nggak akan ngelawan. Luka-luka dari lo belum pada hilang, Je, masih mau nambah? Bahu gue biru, tangan gue merah-merah, kacamata gue patah. Mungkin lo bikin gue mati di sini juga gue nggak akan ngelawan."

"Too much," tukas Jethro. "Kalau lo bisa dibilangin, gue nggak akan kayak gitu, Chel. Gue bingung harus pakai bahasa kayak apa sih supaya lo tuh nurut sama gue?"

"Ya gue emang nggak mau nurut sama lo, Jethro. Lo itu ngerti bahasa Indonesia, nggak, sih? Gue sama lo udah putus. Masih nggak ngerti?" Rachel membalas. Air mata mulai berlinang di pelupuk matanya, siap meleleh kapan saja ia sudah tidak tahan. Ia putus asa sekali rasanya dijebak di sini. Tidak bisa kabur, maju melawan pun pada akhirnya akan jadi bumerang untuk dirinya sendiri. "Sumpah, yang too much tuh siapa, sih, sebenernya? Lo ngerti, kan, kalau gue bilang gue laper dan mau makan, lo ngerti, kan? Tapi lo ngelarang gue untuk pulang. Sebenernya gue tuh harus kayak gimana, sih, Je? Tiga setengah tahun hidup gue lo setir, nggak punya pilihan. Setiap gue berpendapat, lo ngelawan. Ketika gue ngelawan balik, lo kasar. Gue kurang apa lagi? Semua—seisi hidup gue, seisi dunia gue, udah gue kasih ke lo, Jethro. Kurang apa lagi?"

Cengkeraman tangan Jethro mengendur. Laki-laki itu kembali duduk di pinggir kasurnya, menyugar rambutnya ke belakang. Helaan napasnya ikut frustrasi. Dalam hati, ia kecewa dengan dirinya sendiri.

"Gue dijemput sama Kak Devano pagi-pagi. Belum sempet sarapan, belum pulang. Masih nggak boleh, gue—"

"Oke, oke," interupsi Jethro. "Mau makan apa? Setelah lo makan, gue yang anterin lo pulang. This is my last wish, kalau emang lo bersikeras kita bakal putus. Tapi gue minta satu hal."

"What is it?"

"Apa yang udah berlalu, akan tetep jadi privasi yang nggak akan pernah kita bongkar. Apa pun itu. Baik dan buruk. Suka dan duka. Deal?" pinta Jethro. Rachel jelas tidak mau sepakat, tapi ia mengangguk, mengiakannya dengan cepat. Detik selanjutnya, Jethro memberikan ponselnya kepada Rachel, "Pakai HP gue. Lo order sendiri, dan jangan macem-macem. Gue mau ke kamar mandi dulu."

Sambil menerima pemberian ponsel dari Jethro, Rachel kembali duduk di bean bag. Gegas ia membuka aplikasi ojek online, memesan makanan cepat saji yang jaraknya tidak begitu jauh dari lokasinya, kemudian memantau pintu kamar mandi, memastikan Jethro takkan keluar dari sana dalam waktu cepat. Suara keran yang dinyalakan jadi aba-aba bagi Rachel. Selama keran masih menyala, ia yakin ia masih aman.

Buru-buru, Rachel menekan fitur kontak, mencari nama Omar di sana, kemudian menghapus nomornya dari kontak. Dengan cepat, Rachel menelepon ke nomor Omar, sambil berusaha tenang meski jantungnya lagi-lagi tidak bersahabat debarnya.

"Halo, Je. Lo ke mana, anjir? Buru—"

"Halo, Pak. Iya betul, pesanannya sesuai aplikasi, ya, titik penjemputannya juga sudah sesuai. Nanti kalau sudah sampai di depan, kabari aja ya, Pak. Saya yang turun dan ambil makanannya di bawah," ucap Rachel tanpa memedulikan Omar yang sedang berniat memarahi Jethro.

"Hah? Suara Rachel bukan sih?" Omar akhirnya sadar, dan Rachel bernapas lega. "Lo di mana? Butuh bantuan?"

"Iya Pak, di kos-kosan Ibu Herti, di seberang Universitas Reksabumi. Atas nama Jethro, ya, Pak. Nanti kalau di bawah ada orang, boleh tanya aja, semua kenal dengan Jethro."

"Chel, gue perlu bawa orang lagi nggak?"

"Hah? Eng ... nggak usah, Pak. Tapi, eng ... boleh, deh."

"Chel, udah mesen?" baru saja Rachel tenang karena Omar sudah mengerti kodenya, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Jethro keluar dari sana.

"Ha—U ... udah, Je. Sebentar, ini driver-nya lagi nanya-nanya," balas Rachel. "Halo, Pak. I-iya Pak, boleh. Oh iya, jangan ... yang ... apa namanya, jangan ... yang pedas ayamnya, Pak. Makasih."

Sambungan telepon langsung Rachel putus. Ia mengembalikan ponsel milik Jethro kepada pemiliknya. Dalam diam, doanya melangit, berharap Omar cepat tiba. Harusnya sih, cepat, karena demonstrasi sedang berlangsung di bagian depan kampus, dan indekos Jethro memang lebih dekat dari gerbang depan.

Jethro menerima ponselnya dari tangan Rachel bersama curiga yang mengangsur. Laki-laki itu langsung mengecek riwayat telepon keluar dan masuk. Tidak ada yang mencurigakan karena nomor Omar sudah Rachel hapus dari kontak, dan jelas Jethro tidak menghafal nomor Omar di luar kepala. Untuk sementara, Rachel aman.

Laki-laki itu masih menekuri ponsel, mengecek aplikasi yang sempat Rachel telusuri. Benar-benar tidak ada yang mencurigakan, namun, ketika akhirnya Jethro membuka WhatsApp, satu chat dari nomor yang tidak disimpannya membuat Jethro melirik tajam ke perempuan yang santai duduk di bean bag kesayangannya. Dari foto profilnya, Jethro hafal ini nomor sahabatnya.

Guna memastikan, Jethro kembali ke riwayat telepon, untuk mendapati fakta bahwa Rachel baru saja membohonginya. "Anjrit, licik lo, ya," tukas Jethro sambil meremas ponselnya. Laki-laki itu mendekat, siap menarik Rachel dari tempat duduknya. "Buat apa lo nelepon Oma—"

"Jethro, keluar lo!"

Baik Jethro maupun Rachel kini menatap pintu yang terkunci, masih dengan posisi tangan Jethro mencengkeram Rachel. Mata Jethro menajam. Laki-laki itu lantas melepaskan cengkeramannya, merapikan kemejanya, lalu melangkah seraya berdesis, "Bener-bener bangsat lo, Rachel."


[first published 20/07/2022 unedited]

an: rachel aman ya, pemirsa? :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro