Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 13 ☎

Rachel menghabiskan waktu hingga satu setengah jam hanya untuk menceritakan pada Diandra tentang hubungannya bersama Jethro yang sudah terjalin hampir empat tahun lamanya. Tangisnya sudah pecah sejak menit kelima belas. Riasan wajahnya sudah tak keruan. Berlembar-lembar tisu di kamar Diandra sudah terbuang-buang. Rachel tetap tak henti mengusap pergelangan tangannya yang masih memerah.

Diandra berdesah berat ketika cerita itu akhirnya berhenti dan selesai pada kata putus yang bahkan ia dengar sendiri di telepon tadi. Namun, meski cerita Rachel usai, tidak dengan air matanya. Tangis Rachel benar-benar kacau hingga tak berhenti sesenggukan. Perempuan itu memeluk lututnya dan menenggelamkan kepalanya di sana, membasahi jins yang dikenakannya.

Tidak ada yang bisa Diandra lakukan selain berusaha menenangkan Rachel. Tangannya tetap mengusap punggung Rachel tanpa henti, tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk memberikan semangat. Rachel barangkali hanya sedang butuh pelukannya. Ia rapuh sekali.

"Chel, sori ya ... selama ini gue nggak pernah peka kalau lo ada di posisi sulit kayak gini." Diandra menarik Rachel ke dalam dekapnya, membiarkan perempuan itu menangis membasahi kaus miliknya.

"Di ...." Suara Rachel bergetar. Ia balik memeluk Diandra. "Tolong jangan bilang ke siapa-siapa soal ini, ya. Termasuk ke Kak Ilyas, abang lo juga. Nggak ada yang tau gue pacaran sama Jethro. Bahkan temen-temen SMA kita pasti mikir kita udah putus karena udah lama nggak upload foto bareng. Please."

Lesu, Diandra mengangguk. Meski rasanya tidak tega kalau masalah serius ini tetap dibiarkan dan Rachel mungkin akan tetap mendapatkan perlakuan keji, tapi ia masih mau menghargai keputusan Rachel. Diandra tahu, sahabatnya bijak. Rachel pasti tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Dekapan mereka mengendur. Rachel menyugar rambutnya dengan jari. Kedua ibu jarinya kemudian mengusap matanya sendiri yang basah, membuat kosmetiknya luntur tak keruan. Senyum Diandra mengembang tipis. "Sumpah, lo kuat banget Chel nanganin semua ini sendirian. Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungin gue. Lo bisa hubungin siapapun yang lo percaya, Chel. Oke? Lo tau, kan, lo nggak akan sendirian?"

Sesaat, Rachel teringat Omar. Laki-laki itu pernah mengatakan hal serupa. Senyumnya mengembang tipis, menyadari adanya orang-orang yang jauh lebih hangat ketimbang Jethro. "Kak Omar pernah bilang begitu ke gue, Di. Waktu dia liat luka lebam di bahu gue, dan kacamata gue yang patah. Katanya, kalau gue butuh bantuan apa pun, gue bisa hubungin dia. Dan ... Jethro cemburu. I wonder, gimana ya pertemanan mereka? Gue takut, gara-gara gue, malah pertemanan mereka rusak. Padahal, Kak Omar juga cuma bersikap baik, bukan karena suka sama gue. Tapi Jethro nggak berpikiran begitu."

Kedua tangan Diandra kini mendarat di lengan Rachel, meremasnya pelan. "Bagus, dong!" serunya. "Kak Omar bener kok. Dia emang baik, dan lo jangan pernah nyia-nyiain kesempatan itu, Chel. Kalau suatu hari nanti, lo kenapa-napa sama Kak Jethro, dan nggak memungkinkan bagi gue buat nolongin lo, hubungin Kak Omar juga, ya?"

Rachel mengangguk, manut. Air matanya sudah berhenti total, meski isak tangisnya masih tersisa. Rachel harap, keputusan untuk menyudahi hubungannya dengan Jethro adalah hal yang tepat meski ia mengatakannya secara impulsif. Selama ini, Rachel tidak pernah berani menyudahi hubungannya. Ada yang mengganjal di dalam hatinya setiap ia mau melakukannya.

"Di, abang lo...."

Diandra menggeleng. "Nggak di rumah. Dia di sekret sama anak-anak BEM. Dari tadi Kak Ilyas emang nge-chat gue, cerita kalau Kak Jethro tuh malah nggak ada di sekret. Padahal, lagi rame di sana. Pada rapat gara-gara artikel semalem booming banget."

Rachel hanya mengangguk-angguk paham. Iya, dia ingat kalau sejak semalam, artikel tulisan Jethro dimuat pada situs resmi Layang Biwara dan sudah tersebar di mana-mana.

"Kak Jethro keren, Chel," gumam Diandra. "Artikel dia belum dua puluh empat jam nangkring di web kita, yang akses sekarang udah belasan ribu. Bener-bener pecah. Terus, sekarang Pak Baharuddin udah dibawa KPK buat pemeriksaan terkait dugaan penyelewengan dana. Pas lo nelepon itu, gue udah liat beritanya baru pada terbit di Detik, Kompas, Tribun, dan banyak breaking news di TV."

Rachel menghela napas berat. Laki-laki kebanggaannya sedang mengharumkan citra kabinet Karsa Mengarsa yang dipimpinnya.

"Tapi, Tuhan Maha Adil ya, Chel. Nggak ada manusia yang sempurna."

Rachel tahu maksud ucapan Diandra. Ia mengangguk tipis, setuju dengan pernyataan tersebut. Diandra memang benar. Tuhan Maha Adil. Di balik kesempurnaan Jethro di layar, Rachel korbannya yang jatuh bangun bersamanya di balik layar. Rachel membisikkan dirinya sendiri, Tuhan Maha Adil, Tuhan Maha Adil. Maka, dengan begitu Rachel yakin, ia akan segera mendapatkan keadilan atas semua ini.

+ + +

Setelah menangis semalaman penuh, Rachel memutuskan untuk menginap di rumah Diandra. Ia masih takut kalau Jethro tiba-tiba datang untuk menjemputnya. Lagi pula, ini akhir pekan. Rachel dan Diandra tidak perlu bepergian ke mana-mana, seharusnya. Akan tetapi, pagi-pagi, sekitar pukul delapan, Diandra ditelepon oleh Devano, mengabarkan adik semata wayangnya itu untuk segera bersiap, karena ia diharapkan hadir ke kampus untuk meliput demonstrasi yang mendadak pecah di kampus, sebagai perwakilan dari Layang Biwara. Hanya Diandra yang bisa Devano hubungi dengan cepat sebelum ia menghubungi Alvi untuk menyuruh anak-anak buahnya turut hadir ke kampus.

Pukul delapan, Devano sudah tiba dengan mobilnya di rumah, menjemput Diandra, yang entah kenapa mendadak ada Rachel di kursi belakang mobilnya. Sebelum kembali menancap gas untuk segera ke kampus Devano menatap adiknya, seolah meminta penjelasan tentang kenapa ada sahabat Diandra yang mengekor. Sejak kapan juga Rachel sudah ada di rumahnya, pagi-pagi begini?

"Panjang ceritanya, lo nggak akan mau denger, Bang. Udah, cepetan jalan. Gue barusan udah hubungin Kak Alvi. Dia udah berangkat. Anak-anak Layang Biwara yang pada ngekos juga langsung ke kampus," ujar Diandra tergesa-gesa sembari menarik seat belt menyilangi dada.

Devano manut. Diandra benar, takkan ada waktu untuk mendengar cerita panjang tentang kenapa Rachel tiba-tiba ada di rumahnya dengan mata sembap dan wajah sendu tak berbentuk. Ini seperti bukan Rachel yang biasa ia lihat di kampus, yang setiap harinya bagai model iklan sampo dengan rambut badai membahana.

"Semalem nginep di sekret, ya, Bang?" tanya Diandra.

"Di kosan Jethro. Lebih tepatnya, kita sih, yang nahan Jethro di sana. Gue nggak tau, deh. Jethro kalau hari Sabtu Minggu tuh emang selalu nggak bisa diajak ke mana-mana, kan. Alesannya ya, acara keluarga lah, gereja lah, banyak deh. Tapi, kemarin tuh kan, kayak udah genting banget. Dia baru bisa dateng pun gara-gara Ilyas ngabarin kalau berita Pak Baharuddin udah nyebar ke mana-mana," terang Devano panjang lebar.

Rachel menyimak sambil tetap menyandarkan kepalanya ke pintu kiri mobil. Ia tahu Diandra sedang memandanginya dari spion di dalam mobil. Tentu saja Rachel tahu kalau Jethro tidak pernah mau diajak keluar dengan teman-temannya pada akhir pekan. Jethro selalu bersamanya pada waktu-waktu tersebut.

"Minggu-Minggu begini, demo apaan? Kan, orangnya juga lagi ditahan."

Devano terkekeh mendengar pertanyaan Diandra. "Emang," katanya, setuju. "Gue juga nggak tau, tuh. Ini sebenernya bukan kerjaan kita. Kayaknya, mahasiswa pada nggak sabar aja buat nunggu instruksi dari BEM. Jadi, mereka gerak sendiri. Bukan demo, tapi lebih ke, ngerusak gedung rektorat. Kayaknya, yang pada dateng duluan juga anak-anak Himajur sama UKM. Mungkin para korban yang uangnya udah seribu tahun ditahan di dompetnya si Bahar."

"Oh." Diandra hanya mengangguk-angguk. Keadaan mobil seketika hening.

Mereka tiba di kampus setelah satu jam perjalanan. Benar-benar padat dengan mahasiswa. Mungkin jumlah mereka tidak sebanyak ini sebelumnya, namun video-video amatir yang tersebar di seluruh penjuru Instagram dan Twitter membuat para mahasiswa ini berdatangan semakin banyak dan kini memblokir akses masuk mobil Devano menuju parkiran.

"Bang, gue turun di sini aja, deh. Gue cari Kak Alvi, ya," ujar Diandra sambil melepaskan seat belt-nya. "Chel, lo ikut turun atau mau di mobil?"

Seketika, Rachel tersentak dari lamunannya menyaksikan kerumunan manusia yang sedang marah-marah di luar sana. "Hah? Oh, gue ikut!" balasnya sambil cepat-cepat ikut membuka pintu. Devano ditinggalkan sendirian di mobil, dibiarkan mencari jalan menuju parkiran lain, sementara Diandra dan Rachel lantas bergabung dengan kerumunan, mencari sosok Alvi di antaranya.

Sepanjang jalan yang mereka lalui sudah tidak keruan. Aspal yang semula bersih bak jalan baru rampung, kini sudah digambar-gambar dengan cat semprot. Gambar-gambar tikus bertebaran, dengan kata-kata makian yang tak kalah memenuhi sepanjang jalan. Sampah-sampah ditinggalkan sembarangan, begitu pula adanya jas almamater yang jatuh di jalan, entah milik siapa.

Lautan manusia pemarah ini berisik bukan main. Mereka semua berteriak-teriak, dan lautan ini semakin membludak pada halaman gedung rektorat. Di sanalah puncak kemarahan mereka. Sepanjang dinding gedung yang putih itu mereka corat-coret. Banyak sekali hasil vandalisme tak beraturan dari tangan-tangan berbeda. Salah satunya yang cukup menggelitik Diandra sampai mendiktenya adalah tulisan di sisi kiri gedung, "Profesor Doktor Baharuddin Rusdi, M.Pd, dalam kurung Magister Penyelewengan Dana? Gokil!"

Lima menit menyelam dalam lautan manusia, mereka menemukan Alvi, justru sedang meneduh di bawah pohon yang agak jauh dari kerumunan. Diandra gegas menarik Rachel untuk ikut dengannya, membelah kerumunan di depan gedung rektorat. Tak jauh dari titik mereka berlari pula, ada Ilyas dan Jethro yang sedang berdiri di atas podium jadi-jadian yang terbuat dari tumpukan palet kayu milik anak-anak FSRD. Pidato tegas Jethro seketika melambat, hingga megafon di tangannya lekas direbut oleh Ilyas.

Kini suara Ilyas yang terdengar ke mana-mana. Berulang-ulang pula laki-laki itu menoleh ke pintu kaca di belakang punggungnya. Pintu gedung rektorat memang tertutup rapat, tapi Ilyas yakin, ada orang di dalam, setidaknya jajaran Wakil Rektor dan beberapa Dekan. Sebab, Ilyas tadi melihat adanya mobil milik seorang Wakil Rektor di parkiran ketika ia berpisah dengan Devano di mobilnya.

Sementara Ilyas meneruskan orasi Jethro yang tertunda, Jethro sendiri bergeming. Matanya mengekori langkah dua pasang kaki yang tergesa-gesa menyibak lautan manusia. Diandra memimpin, sambil menarik Rachel yang mengikuti di belakangnya. Akhir dari langkah mereka berhenti pada Alvi yang tengah berteduh di bawah pohon.

Dalam hati, Jethro berhitung. Ketika Diandra dan Alvi berdiskusi lalu pamit pada Rachel, perempuan yang kemarin siang meninggalkannya itu tetap berdiri di bawah pohon yang sama, tempat semula Alvi berteduh. Kesempatan emas. Gegas, Jethro melompat turun dari tumpukan palet kayu yang jadi pijakannya. Kini Jethro yang membelah lautan manusia, mendekat pada Rachel yang kelihatan masih kegerahan karena habis berdesak-desakan.

"Je!" tepat sepuluh meter sebelum Jethro menggapai Rachel, suara Omar terdengar. Laki-laki itu datang dan mendekat. Jethro melihat Rachel langsung menyadari keberadaannya. Perempuan itu langsung berlari kabur.

"Bentar, Mar. Gue ada urusan dulu!" Jethro berteriak balik sebelum Omar sampai di sampingnya. Ke mana Rachel berlari, maka itulah tujuan Jethro berlari. Keduanya saling kejar-mengejar, mendorong paksa dengan susah payah orang-orang yang berkerumun. "Rachel!"

Rachel sempat menoleh, tapi langkahnya justru semakin cepat, tidak tentu arah. Ia tidak tahu ke mana destinasinya. Rachel hanya ingin pergi ke tempat yang sepi. Ia yakin pelariannya akan berhasil, seandainya tidak ada mobil yang tiba-tiba melintas dengan klakson bertubi-tubi yang memekakkan telinganya, sehingga Rachel terpaksa mengerem langkahnya hingga terhuyung dan jatuh.

"Mau ikut, atau mau dikejar?" dalam hitungan detik, bahkan ketika Rachel baru sempat berdiri, suara Jethro sudah menyapa gendang telinganya. Jantung Rachel yang sudah tak keruan detaknya, kini semakin menjadi. Ia tetap tidak berbalik badan meski matanya menyapu sekitarnya. Satu hal yang Rachel sadari, tidak ada siapa pun di antara mereka. Ini bagian belakang kampus, dan semua orang sudah pasti sedang berada di bagian depan, di gedung rektorat. "Mau kabur sampai ke ujung Antartika pun, Chel, nggak akan bisa lari lebih cepet. Kamu tau, kan?"

Rachel menghela napas pelan. Ia berbalik badan pada akhirnya, balik menatap Jethro yang sudah terbakar sumbu amarahnya. Cukup jauh di belakang punggung Jethro, Rachel bisa melihat seseorang bersembunyi di balik pilar. Tidak kelihatan jelas, tapi Rachel bisa melihat kulitnya yang gelap dan rambutnya yang keriting.

Sial. Harusnya Rachel bisa ribut di sini saja dengan Jethro karena keadaan yang sepi. Tapi laki-laki yang bersembunyi di balik pilar itu mengurungkan rencananya. Dengan berat hati, Rachel mengalah, "Lo mau apa?"

"Cuma ngobrol." Jethro mengulurkan tangannya yang dingin, menggandeng Rachel keluar dari kawasan kampus melalui gerbang belakang. Langkah mereka berakhir di indekos Jethro.


[first published 13/07/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro