Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 11 ☎

"Eh, ada Rachel. Malem-malem begini masih nugas?" sapaan hangat tersebut datang dari balik punggung Rachel, membuat Rachel dan Jethro serempak menoleh ke sumber suara di mana ibu Jethro menyapa. Rachel mengangguk sopan, menyungging senyum. "Bawain minum yang enak, lah, Ko. Masa kamu bikinin teh doang buat Rachel."

Jethro, yang sedang duduk bersama ponselnya di sofa, mengangguk. "Iya, Mam. Chel, mau minum apa? Itu tehnya juga udah mau habis," tanyanya pada Rachel yang masih membantu mengetik tugas miliknya.

"Iya gampang, nanti aku ambil sendiri aja ke belakang," jawab Rachel tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Waktunya tersisa dua jam sebelum deadline, sementara Rachel dan Jethro masih harus melengkapi empat sub-bab dan satu bab kesimpulan sebelum tugas ini siap dikirim ke surel dosen Jethro.

Ibu Jethro tak berlama-lama di ruang tengah. Wanita itu segera masuk ke kamarnya, meninggalkan Rachel dan Jethro untuk fokus dengan tugas. Ini memang bukan kali pertama Rachel berkunjung ke rumah Jethro untuk sekadar main atau membantu laki-laki itu mengerjakan tugas. Sedikit banyak Rachel pun sudah paham betul bagaimana keadaan rumah Jethro. Tahu tiap inci lantainya dan letak ruangan, tahu di mana ia bisa menemukan barang-barang yang dibutuhkan, bahkan tahu bagaimana keadaan di rumah Jethro yang menurut Rachel semestinya jadi privasi tersendiri.

"Chel, besok kayaknya aku mau ketemu temen kamu, deh. Gimana, ya, biar ketemunya nggak pakai janjian dulu?" Jethro beranjak dari sofa, bergabung dengan Rachel duduk di lantai. "Bantuin aku bisa, nggak?"

Jari-jari Rachel berhenti sejenak. "Emangnya kalau janjian kenapa?"

"Takutnya dia kepikiran aku mau ngomongin apa. Takutnya dia udah nebak dan malah nyiapin jawaban. Jadi, mending nggak sengaja ketemu, terus aku ajak ngobrol aja empat mata," terang Jethro. Rachel hanya mengangguk-angguk, sudah menebak juga apa yang akan Jethro bicarakan dengan Diandra. Pasti ada keterkaitannya dengan obrolan pada rapat tadi sore. "Bantuin ya, Chel. Besok makan siang di kantin."

Sekali lagi, Rachel mengangguk sambil mengcungkan ibu jari. "Oke. Gampang kok."

Percakapan mereka usai. Keduanya kembali fokus pada tugas yang hampir selesai. Hingga menjelang batas waktu pengumpulan, mereka sudah selesai. Rachel gegas pamit pulang kepada kedua orang tua Jethro yang kebetulan belum tidur dan masih bekerja di meja makan.

Jethro ikut pamit, hendak mengantar Rachel pulang dan akan langsung kembali ke indekosnya. Tidak ada percakapan berarti dalam perjalanan pulang mereka, pada awalnya. Tidak sebelum Jethro melirik Rachel melalui kaca spion dan membuka percakapan dengan prasangka, "Kayaknya, Omar suka sama kamu deh, Chel."

Jelas, Rachel terkesiap. Dekapannya pada pinggang Jethro mengendur. Kepalanya yang semula bersandar pada punggung pacarnya, kini terangkat untuk balik menatap laki-laki itu dari spion kiri. "Hah? Ngaco banget. Dia kayaknya emang baik aja, nggak, sih? Maksud aku, mungkin dia merasa bertanggung jawab karena dia yang bawa aku ke kepanitiaan, Je."

Sunyi menyerbu sesaat. Jethro berdengkus. Mendengar pacarnya bisa membuat kesimpulan seperti itu membuat Jethro yakin betul kalau Rachel sebenarnya diam-diam juga memperhatikan tiap-tiap atensi yang Omar berikan. Jelas ini tanda bahaya di dalam hubungannya. Selain karena tidak rela Rachel sedekat itu dengan Omar, Jethro juga mengantisipasi supaya hubungannya tetap jadi rahasia.

"Tapi dia tau kamu udah gede, Chel. Masa, pulang di bawah jam sepuluh aja khawatir?"

Bibir bawah Rachel ia gigit pelan. "Ya, kamu juga. Waktu Kak Omar ngajak rapat internal, kamu juga nunjukkin khawatir gitu di depan dia. Mungkin, dia cuma nerusin kekhawatiran kamu. Lagi pula, khawatir ke temen itu kan hal yang wajar?"

"Chel, dia sampai nanya-nanyain kamu kenapa, loh. Sampai bilang kamu boleh hubungin dia ketika butuh apa-apa. That's what special friends do, Rachel."

Rachel menggeleng sambil terkekeh pelan. Dengan yakin, ia menjawab, "That's what friends do, Jethro."

"Chel—"

"Sssttt. Udah, kamu nggak usah khawatir. Kan, kamu tau aku nggak akan ke mana-mana, Je. Kalaupun dugaan kamu ternyata bener, kenyatannya itu nggak akan ngubah status kita, Je."

Jethro kini memilih diam dan fokus mengendarai motor. Rachel memang benar. Apa pun yang terjadi, takkan pernah ada sesuatu yang bisa menyudahi hubungan mereka. Jethro tahu, Rachel tidak akan punya alasan untuk meninggalkannya, apa pun yang terjadi kelak.


Setelah salat Jumat selesai dan anak laki-laki baru keluar dari masjid kampus, Rachel dan Diandra sudah sedang makan siang di kantin. Diandra fokus menyantap ayam rica-rica yang masih memenuhi setengah piring, sementara Rachel tetap makan sedikit demi sedikit sambil terus melihat ke sekelilingnya. Jethro belum kelihatan batang hidungnya.

"Chel, buruan makan. Keburu nggak enak," ujar Diandra sambil mencolek suwiran ayamnya ke sambal milik Rachel. "Bagi sambel, ya. Lo nggak suka, kan?"

Rachel mengangguk. "Iya, ambil."

"Nyariin siapa, lo? Kak Omar ya? Cie elah, dibawa ke sekret BEM apa dibawa ke relung hati sih, lo, Chel?" ledek Diandra sambil tertawa puas, membuat Rachel langsung mendelik. "Jam segini mah, Kak Omar masih shalat Jumat palingan, Chel. Nanti juga ke sini, sama temen-temennya. Sama Kak Ilyas, Kak Jethro, sama abang gue. Tungguin aja, lagi. Gue juga mau liat Kak Ilyas, nih, hehe."

Cerocosan Diandra nyatanya membuat Rachel semakin risau menunggu kedatangan Jethro. Perempuan itu tetap tidak henti-hentinya mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin yang superpadat dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Tak lama, setelah Diandra menghabiskan makanannya sendiri, akhirnya empat laki-laki itu datang.

Rachel bengong. Jethro datang bersama tiga temannya. Astaga, padahal laki-laki itu bilang ingin bicara empat mata dengan Diandra! Ini sih ramai sekali. Jangan-jangan Diandra akan dikeroyok dengan jutaan tanda tanya dari mereka? Gila, Rachel tidak mungkin membiarkan sahabatnya dipojokkan oleh empat kakak tingkat ini.

"Hei, Chel, Diandra," sapa Jethro, membuat Rachel meneguk ludahnya tanpa sadar. "Boleh duduk di sini, nggak? Penuh banget nih kantin."

Diandra yang belum selesai menenggak jus jeruknya, lantas menoleh, mendapati empat laki-laki yang satu di antaranya ia tunggu-tunggu, akhirnya datang. Superantusias, Diandra mengangguk. "Iya, Kak, silakan. Boleh kok, kita juga udah mau selesai. Nih tinggal nungguin Rachel."

Namanya disebut-sebut, Rachel menyungging senyum tipis pada Jethro. Perempuan itu mulai fokus dengan makan siangnya sementara empat laki-laki itu duduk di meja panjang yang sejak tadi ia tempati hanya berdua dengan Diandra.

Jethro duduk di sebelah Rachel, dengan Omar di sebelahnya lagi. Sementara Devano duduk di antara Diandra dan Ilyas, setelah menarik tangan Ilyas untuk menjauh sambil bilang, "Nggak boleh ya, ngelangkahin ipar. Minggir-minggir, Yas."

Basa-basi empat laki-laki itu dengan Rachel dan Diandra berjalan mulus sekali. Dari yang pada awalnya membahas hubungan antara Diandra dan Ilyas yang mulai semakin dipublikasikan, sampai digiring membahas program kerja UKM Layang Biwara yang akan dilaksanakan dalam dua minggu ke depan, yang tak lain dan tak bukan ialah DIREKTUR, alias Diskusi Bersama Rektorat Universitas Reksabumi.

Rachel sudah tidak ikut campur. Perkara kabar-kabar soal Layang Biwara sudah jadi pembahasan yang lumrah di antara para pengurus BEM dan pengurus Layang Biwara itu sendiri, dan Rachel tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut, sehingga ia memilih untuk diam.

"Omong-omong soal acara DIREKTUR, gue boleh ngobrol sama lo nggak, Diandra?" tanya Jethro, yang langsung mendapat tatapan kaget dari empat orang lainnya. Semua orang di meja itu kecuali Diandra sudah tahu apa yang akan Jethro bicarakan. Tapi, mereka tidak tahu kalau Jethro benar-benar tergesa begini. Bahkan makan siang pesanan mereka belum tiba. "Empat mata aja sih, supaya privasinya terjaga. Supaya lo nggak terintimidasi juga sama kita kalau rame-rame. Gimana?"

Diandra menggaruk tengkuknya, meringis sambil menatap Rachel. Perempuan itu mengangguk, seolah memberi Diandra kekuatan untuk menerima ajakan Jethro. "Kapan, Kak?"

"Sekarang? Lo ada kelas?"

"Buset," desis Devano lirih, hampir tak terdengar kecuali oleh Diandra.

Tatapan Diandra kembali tertuju pada Rachel. "Chel, lo nggak apa-apa ke kelas sendiri?"

"Ng—"

"Nggak apa-apa, dong," potong Jethro cepat. Pandangannya tertuju pada pacarnya. "Udah gede, tau gedung fakultasnya di mana. Kalau nggak berani sendiri, bisa dianter sama Omar, kan sefakultas."

Rachel balik menatap Jethro. Ia tahu ini adalah sindiran atas semua sikap Omar kepadanya akhir-akhir ini. Demi menghindari segala kesalahpahaman, apalagi dari Diandra, Rachel langsung menyangkal. "Gue bisa kok balik sendiri, Di. Nggak apa-apa, dan nggak usah dianter sama Kak Omar."

Sementara tiga orang di depan Rachel tidak bisa mendeteksi marabahaya di antara Jethro dan Rachel, Omar justru sebaliknya. Jika, Ilyas dan Devano hanya menganggap percakapan barusan sebagai bentuk perhatian Jethro pada sahabat Diandra yang akan kembali ke fakultas sendirian, maka Omar tidak berpikir demikian. Laki-laki berambut keriting itu tahu, Jethro sedang menyindirnya karena obrolan semalam. Bagus sekali, ini jadi memperkuat dugaan Omar tentang Jethro dan Rachel yang terlibat hubungan di balik layar.

Setelah sepakat untuk segera mengasingkan diri dari teman-temannya, Jethro dan Diandra pergi dari meja yang mereka tempati, pergi entah ke mana. Semua pasang mata di meja itu memandangi kepergian keduanya hingga keluar dari kantin, lalu hilang sebab terlalu jauh dan keadaan yang ramai. Kini, tersisa Rachel bersama tiga laki-laki lainnya. Devano dan Ilyas segera makan ketika pesanannya tiba, sementara Omar lebih memilih untuk membungkus makanannya dan akan makan di kelas.

"Eng ... Kak, gue cabut duluan, deh. Soalnya ada kelas," pamit Rachel sambil mengemas barang-barangnya ke dalam tas.

Devano dan Ilyas mengangguk, mempersilakan Rachel untuk segera angkat kaki dari meja ini. Lalu Omar ikut beranjak dari kursinya, "Gue juga ada kelas. Bareng aja, Rachel."

Rachel sebenarnya sengaja hendak pergi duluan, supaya Omar makan dulu bersama teman-temannya. Jelas ini bukan ide yang bagus. Cepat atau lambat, Jethro akan tahu kalau Rachel dan Omar benar-benar jalan berdua menuju gedung fakultas. Meski memang setujuan dan tidak ada apa-apa di antara mereka, tapi fakta bahwa Jethro akan cemburu tetap tidak bisa ditampik. Sementara, tidak mungkin Rachel menolak. Toh, tujuan mereka memang sama.

Kini, sambil tetap melangkah bersisian dengan Omar, Rachel hanya bisa berharap Jethro tidak melihat mereka. Semampunya, Rachel mempercepat langkah, dan tidak bicara dengan Omar. Bodo amat kalau ia dianggap songong kepada senior. Rachel lebih memilih bermasalah dengan Omar ketimbang dengan pacarnya sendiri!

Tentu, Omar menyadari langkah Rachel yang besar-besar. Perempuan itu kelihatannya sedang menghindar. Dari balik badan Rachel, diam-diam Omar tersenyum. Satu-satunya hal yang bisa Omar perbuat untuk menahan langkah Rachel adalah dengan satu tanda tanya, "Lo sama Jethro tuh, pacaran, ya?"

Senyum Omar semakin melebar kala perempuan di depannya memperlambat langkah, mulai menyetarakan dengan tempo langkah Omar. "Maksudnya?"

"Kok maksudnya? Ya, pacaran. Lo nggak ngerti pacaran?"

"Bukan. Maksud gue, kenapa pertanyaan itu bisa lo tanyain, Kak? Penelitian metode apa yang lo lakuin sampai bisa menyimpulkan kalau gue sama Kak Jethro pacaran?" balas Rachel.

Omar mengedikkan bahu. "Gue nanya kok ditanya balik, Rachel?"

"Karena tuduhan lo nggak berdasar, Kak."

"Kalau emang tuduhan gue salah, lo bisa jawab nggak instead of nanya-nanya gue penelitian pakai metode apa buat dapet kesimpulan kayak gitu," balas Omar sambil menyungging senyum lagi. "Sori, gue nggak bermaksud ngorek privasi kalian kok. Cuma dugaan aja. Karena, Jethro kelihatannya suka sama lo, deh. Mau gue bantuin, nggak, sampai jadian sama Presma kita tercinta?"

Rachel berdesah gusar. Kesalahan kecilnya barusan sepertinya fatal sekali. Rachel baru sadar ia sedang bicara dengan Omar, sahabat Jethro yang bahkan namanya sudah sering ia dengar jauh sebelum Rachel masuk ke kampus ini. Pasti segala gerak-gerik Jethro dan Rachel terbaca sekali oleh Omar. "Makasih loh, Kak, tapi maaf banget, gue nggak tertarik. Gue mau masuk BEM tahun depan, soalnya. Jadi, gue nggak mau kalau nanti bakal dituduh masuk lewat jalur orang dalem, apalagi Kak Jethro kan Presma."

Omar mengangguk. "Oke. Sama-sama, loh."

Diskusi pendek mereka usai. Langkah keduanya selanjutnya terpisah di lobi gedung fakultas. Rachel berbelok dan naik melalui tangga sebelah kanan, sementara Omar terus melangkah lurus menuju kelasnya di pojok. Omar benar-benar tidak puas dengan jawaban Rachel, tapi kini ia semakin yakin dengan dugaannya.


[first published 30/06/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro