Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10 ☎

Rachel masih mengamati satu per satu orang di dalam ruangan. Semuanya mendengarkan laporan tiap-tiap staf, pun mendengarkan respons Jethro dengan saksama. Sementara Rachel, yang merasa tidak sedang berkepentingan untuk tahu laporan mingguan secara mendetail, memilih untuk mengamati tiap orang di dalam ruangan. Sesekali matanya menangkap figur Jethro yang duduk berseberangan dengannya. Hubungannya dengan Jethro belum membaik sejak beberapa hari lalu ketika Jethro menamparnya karena Rachel lagi-lagi menuntut agar hubungan mereka tidak lagi dijadikan rahasia.

Entah apa yang ada di pikiran Jethro sebenarnya sampai ia setakut itu untuk kembali memublikasikan hubungannya seperti dulu ketika mereka masih sekolah. Harusnya, Rachel berhak tahu lebih dari sekadar alasan menjaga privasi sebagai Presma. Rachel yakin, alasan aneh itu hanya sebuah karangan yang sebetulnya tidak valid.

"Oh iya, Frey, gue mau follow up lagi soal anggaran. Sori, ini emang krusial banget soalnya, kan. Ini acara besar, dan rasanya nggak mungkin kalau kita nutup biaya puluhan juta pakai uang kas." Pandangan Jethro beralih pada Freya.

Diikuti sorotan dari semua orang di dalam ruangan, Freya mengangguk pelan. "Tadi pagi gue udah follow up lagi, Kak, ini fixed banget kita jadinya harus kover dulu pakai uang kas, seenggaknya untuk rangkaian pra-acara kayak kegiatan seleksi performer dan sebagainya. Gue udah coba akalin sih, pokoknya, gimana caranya kita harus kompres banget biaya supaya nggak besar, dan sebisa mungkin mahasiswa nggak perlu kolektif dan nggak perlu ngandelin danus kayak tahun lalu. Salah satunya, sori banget, gue jadi meniadakan uang konsumsi pas rapat begini. Gue nanti bakal terus pantau perkembangan permohonan dana, dan bakal terus gue push supaya dana diganti setelah acara selesai."

Semua orang menganga lebar mendengar penjelasan panjang Freya. Acara pesta besar-besaran yang digagas oleh Rektor sendiri bahkan tidak mendapatkan perhatian khusus mengenai pendanaan. Bagaimana bisa?

Jethro baru akan merespons ketika ia melihat salah seorang anak perempuan di lingkaran itu mengangkat tangannya, memohon izin untuk bicara. "Iya, silakan, Chika."

Gadis dengan rambut pendek ikal itu mengangguk, lalu mulai memberi penjelasan tak kalah panjang, "Walaupun gue bukan staf bendahara, tapi sori, gue agak ikut campur urusan keuangan ini. Kebetulan, gue bendahara di Himajur Despro. Kayak yang kita tau, ya, pertengahan semester lalu—yang mana udah sekitar tiga bulanan, anak Despro punya acara jurusan. Kasus yang kita temuin ini sama. Kita diminta untuk pakai uang kas Hima dulu, dengan janji akan diganti maksimal seminggu setelah LPJ naik ke fakultas dan univ. Tapi, bahkan sampai sekarang, sampai udah demise ke angkatan gue, belum pernah ada uang kas Himajur yang diganti."

Sekilas, tatapan Jethro dan Omar beradu. Ini adalah pertanda yang harus dicatat demi kelancaran penyelidikan kecil-kecilan mereka. Hanya melalui tatapan, Omar tahu apa yang sedang Jethro pikirkan. Laki-laki itu mengangguk-angguk, lalu beralih memandang Chika, "Lo atau senior lo udah pernah coba follow up itu, Chik?"

Chika mengangguk mantap. "Udah, Kak. Dulu sih dua minggu sekali gitu, tapi katanya emang tunggu kabar aja, pasti akan dibalikin, katanya."

Satu lagi telapak tangan terangkat, berasal dari seorang perempuan yang duduk berseberangan dengan Chika. Jethro mengangguk, mempersilakan ia bicara. "Kasus yang sama dialami sama Himajur sipil, Kak. Acara angkatan 2018, bahkan. Acaranya di tahun 2020 akhir, dan ini udah 2022. Berarti udah satu tahun lebih."

Freya membelalak. Perempuan yang barusan bicara adalah teman seangkatannya yang memang menjabat pada BPH Himajur Teknik Sipil, jurusannya sendiri. "Hah, yakin lo, Mel? Kok gue nggak tau?" tanya Freya.

*BPH: Badan Pengurus Harian

Amel, yang mendapat pertanyaan itu, mengedikkan bahu. "Lo nggak pernah jabat di Himajur, Frey, wajar nggak tau. Dan ini kasusnya punya anak 2018," jawabnya tenang. "Menurut gue, nggak wajar aja, Kak, acara dari tahun 2020 belum diganti, tapi acara di tahun 2022 ini dijanjiin hal yang sama. Yang ada, kita keburu demise kalau nunggu dana balik dari Rektor."

Jethro memijat pelipisnya, berdesah gusar. Dugaan kilatnya karena obrolan bersama teman-temannya di kantin kini membuat cemasnya kian membesar. Jethro harus melakukan penyelidikan panjang dan mengumpulkan lebih banyak bukti. Astaga, masa jabatannya pasti akan terasa panjang sekali.

Laki-laki dengan mata sipit itu berdesah untuk kesekian kalinya. "Oke, oke. Thanks buat laporannya, Chika dan Amel. Ini bakal berisiko besar kalau kita usut, tapi itulah yang harus kita lakukan. Anak-anak LPM dan Layang Biwara boleh ya, stand by dan selalu update soal ini. Sekiranya ada bukti-bukti lain mengenai tindakan yang nggak menyenangkan ini, bisa banget dikumpulin. Kita nggak boleh diem aja ketika kampus kita mulai terancam citra dan akreditasinya."

Semua orang mengangguk sigap. Ini jadi catatan bagi tiap-tiap orang di dalam ruangan tersebut, untuk memantau dengan kritis pergerakan oknum-oknum mencurigakan di kawasan kampus. Rapat kembali dilanjutkan. Jethro tetap memimpin dengan tenang. Giliran Devano yang kebingungan, tenggelam dalam dugaannya bahwa Jethro mengusung obrolan barusan karena ceritanya tentang Diandra beberapa waktu lalu.

Rapat selesai satu jam setelahnya. Segala hal yang perlu dibahas hari ini mereka tuntaskan. Pukul tujuh lewat tiga puluh, rapat resmi ditutup oleh Jethro, dan semua orang dipersilakan untuk meninggalkan ruangan. Satu per satu beranjak, begitu pula dengan Rachel yang berdiri sambil tetap bicara dengan Omar yang sedang memberikan beberapa informasi kepada Rachel.

"Jadi, pra-acara Dies Natalis kan udah mau dimulai, nah gue minta lo buat selalu ikut ya, Rachel. Lo harus ada di lokasi untuk live report di Instagram. Maaf, boleh gue pinjem HP lo, untuk login ke akunnya?" tutur Omar.

Rachel mengangguk paham. Perempuan itu segera meraih ponsel di sakunya, membuka aplikasi Instagram, kemudian memberikan benda tersebut kepada Omar. Rachel memerhatikan tiap gerakan jari-jari Omar, khawatir sewaktu-waktu ibu jari Omar akan meleset dan malah menekan tombol home. Bukannya apa-apa, tapi masalahnya, ada fotonya dengan Jethro sebagai wallpaper. Untuk Rachel sih, tidak masalah, tapi Jethro? Rachel belum siap perang dunia lagi.

"Sip, udah sukses login. Makasih banyak, ya, Rachel. Nanti buat template Instastory-nya, eng ... desainnya udah ada, nanti gue kasih akses ke foldernya anak desain, nanti lo bisa download dari sana." Omar mengembalikan ponsel Rachel. Sekali lagi, Rachel mengangguk, membuat rambutnya tersibak sedikit, dan Omar menyadari sesuatu. "Eh, kenapa itu, Rachel?"

"Ha—oh, nggak, Kak. Nggak apa-apa, kok. Ini kepentok gitu waktu itu ... udah lama juga, dan udah mau sembuh kok," balas Rachel, terbata-bata dan terbaca sekali kebohongannya.

Mata Omar memicing. "Beneran? Kayak bukan bekas kepentok. Kacamata lo juga. Patah? Lo habis kenapa, Rachel?"

Jantung Rachel berdebar kencang sekali kini. Sayang sekali tidak ada cermin untuk tahu sudah sepanik apa wajahnya. Perempuan itu juga melihat figur Jethro di balik badan Omar, sedang memantau percakapan mereka, sedari tadi, tanpa Omar sadar. "I-iya, Kak. Jadi waktu itu tuh, gue lagi beresin kamar, kan. Terus ini kepentok, nah, karena kaget, kacamata gue jatoh. Pas gue mau ambil, malah keinjek, patah."

Dalam diam, Jethro menutup mulutnya, menahan tawa. Pacarnya mungkin harus belajar mengarang cerita yang jauh lebih baik daripada ini. Atau, Jethro yang perlu mengajarinya, barangkali.

Seakan tidak mau berlarut-larut mengorek privasi orang lain, Omar memutuskan untuk percaya-percaya saja meski kenyataannya tidak sama sekali. Laki-laki itu mengangguk, lalu berujar dengan hangat, "Oke deh. Tapi, kalau lo butuh bantuan gue, entah itu karena urusan organisasi atau lo punya masalah sama orang lain, feel free buat hubungin gue ya, Rachel. Anggep aja, nomor gue adalah emergency call, jadi lo bisa hubungin gue kapan aja untuk pertolongan."

Rachel terbengong. Ia tidak mau salah mengartikan kehangatan tersebut, tapi, meskipun ia tidak salah mengartikannya, Rachel khawatir justru Jethro yang salah mengartikannya. Satpam 24/7-nya itu masih menyaksikan perbincangan mereka. Rachel bisa melihat dengan jelas perubahan ekspresi Jethro.

"Eng ... just in case you need it, Rachel. Gue nggak maksa," tutur Omar, yang sadar Rachel sudah terlalu lama diam. "Oke deh, kalau gitu, boleh pulang, udah malem juga nih. Lo pulang sama siapa?"

Omar mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan dengan cepat Jethro langsung mengalihkan perhatiannya dari mereka. Gila. Bahkan Rachel tidak tahu kalau laki-laki itu mahir sekali bermain peran. Ketika mata Omar sudah menangkap figurnya, Jethro sudah sibuk dengan barang-barangnya yang sedang dikemas.

Di ruangan, hanya tersisa Jethro, Freya, Ilyas, dan mereka berdua. Tentu saja, tidak ada di antara mereka yang sudah janjian dengan Rachel. Di antara mereka semua, tidak ada yang akan pulang ke rumah kecuali Freya, dan tidak mungkin perempuan itu mengantar Rachel pulang, karena Freya bahkan akan naik ojek online. "Kayaknya ini pada balik ke kosan semua. Lo dijemput? Atau, gimana?"

"Kenapa, Mar?" tanya Jethro, akhirnya bergabung ke dalam lingkaran diskusi. "Rachel lo nggak dijemput? Mau bareng gue?"

"Oh, lo nggak balik ke kos, Je?" tanya Omar. "Makalah buat besok udah selesai? Nggak mau garap bareng anak-anak di kosan?"

Jethro mengangguk. "Iya, gue nanti ke kosan. Tapi gue harus pulang dulu, ambil sesuatu. Nanti gue kabarin, Mar," jawabnya sambil menaikkan alisnya dan tersenyum. "Gimana, Rachel? Mau bareng?"

Rachel tersenyum kikuk. "Boleh deh, Kak. Gue belum dijemput juga soalnya," balas Rachel.

Diam-diam, Freya yang masih duduk di depan laptopnya, mencuri dengar percakapan mereka. Freya heran kenapa pasangan tidak akur itu bisa manipulatif begini. Padahal, bahkan Freya masih sakit hati menyaksikan secara langsung Rachel yang ditampar oleh Jethro, tapi korbannya sendiri, justru memilih untuk tetap bersama laki-laki itu dan bersikap sebaik itu?

Freya menggelengkan kepalanya cepat. Ia tidak boleh ikut campur. Barangkali Rachel dan Jethro memang sudah berbaikan. Freya bersyukur ia urung mengirimkan video bertengkar mereka ke akun lambe lurah. Lagi pula, Freya baru sadar satu hal. Jika Jethro mudah sekali melayangkan tamparan kepada pacarnya, lantas bagaimana nasib Rachel selanjutnya jika video itu tersebar? Di balik rasa malunya, Freya yakin Jethro akan menghardik Rachel habis-habisan.

"Ya udah, gue pamit ya," ujar Jethro.

Omar menggangguk, lalu kepalan tangannya mengudara, siap ditinju sebagai salam perpisahan. Jethro dan Rachel meninju kepalan tangannya bergantian, dan untuk sesaat, Omar terpaku melihat jari-jari Rachel. Bukan karena jarinya yang putih dan sangat mulus dengan kuku jempol yang cantik dan bersih, melainkan karena cincin hitam polos yang ada di jari tengahnya.

Cincin itu sama dengan yang pernah Omar lihat di tangan Jethro. Sayangnya, Omar tidak punya hak untuk mempertanyakannya. Lagi pula, apa urusannya juga. Namun, hal tersebut justru makin memperdalam tanda tanyanya mengenai hubungan yang Jethro dan Rachel jalani di balik layar.

Bahkan sampai kepergan keduanya, Omar masih menyimpan pertanyaan itu sendiri.

"Mar, bareng nggak lo ke kosan?" kini Ilyas menghampiri, menyikutnya sambil melontar tanya.

"Duluan aja, Yas. Masih ada yang harus gue beresin," sahut Omar sambil berbalik, mendapati kini hanya ada Freya dan dirinya di dalam ruangan setelah kepergian Ilyas. Matanya berserobok dengan Freya secara otomat. Mudah sekali bagi Omar menyadari bahwa Freya sejak tadi sedang menyaksikan percakapannya dengan Jethro dan Rachel. "Frey, lo nggak kemaleman, nih, jam segini belum pulang?"

"Sebentar lagi gue pulang," jawab Freya, berusaha tenang. "Lo sendiri nggak pulang, Kak?"

"Iya, mau pulang. Mau bareng ke gerbang? Gue tungguin sampai ojek lo dateng, ya? Udah malem soalnya." Omar membentuk lengkungan di bibirnya. Ia segera mengambil ranselnya di sudut ruangan, bersiap-siap untuk pulang, melangkah seiringan bersama Freya tanpa ada percakapan apapun.

Langkah mereka cukup lamban. Omar berjalan sambil memakan camilan milik Freya yang masih tersisa sejak rapat tadi. Sementara pemiliknya sendiri, melangkah dalam diam, beberapa kali kedapatan menggigit bibir, tampak supergelisah.

"Frey," panggil Omar.

Lamunan gadis itu lantas buyar. Freya menengadah, balik menatap Omar yang kini melirik ke arahnya. "Iya, Kak?"

"Kapan-kapan, sharing, yuk. Kayaknya, lo punya jawaban buat pertanyaan gue," pinta Omar. Freya mengernyit. Ia baru saja akan bertanya maksud dari ajakan tersebut, tapi tiba-tiba sebuah lampu kekuningan menyorot tajam ke arah mereka. Ada satu motor yang berjalan mendekat. "Tuh, udah dateng ojeknya. Hati-hati, ya, Frey."

Freya mengangguk, percakapan mereka usai begitu saja. Bagus sekali, Omar meninggalkannya dengan tanda tanya. Jangan-jangan, Omar juga tahu hubungan antara Jethro dan Rachel?


[first published 22/06/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro