Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 09 ☎

Embusan napas Rachel begitu berat. Sudah hampir satu jam ia berdiri di depan cermin, mencoba semampunya menutupi bekas lebam di bahunya yang tak kunjung hilang. Setidaknya ini tidak separah saat pertama kali. Rachel yakin kali ini ia berhasil menutupinya dengan concealer meski mungkin perlu boros-boros dalam pemakaiannya. Ia tidak punya pilihan lagi selain mencoba ini. Ibunya meminta Rachel mengenakan gaun yang sudah beliau siapkan, yang sayangnya, harus menampilkan bahunya tanpa terbalut sehelai pun benang.

"Ci!" pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, dan Rachel bisa melihat siapa oknum yang membuka pintu tanpa izin itu dari cermin besarnya. Marson, adik bungsunya, kini berdiri di ambang pintu. Keduanya saling tatap melalui cermin, lalu laki-laki dengan kemeja putih itu seketika tersadar apa kesalahannya. "Eh, iya, lupa. Sori-sori, Ci. Habisnya Cici lama banget siap-siapnya. Nanti terlambat kata Mami. Keluarganya Ci Michelle udah berangkat."

Ya, Rachel tidak bisa menyalahkan Marson sepenuhnya karena ia membuka pintu kamarnya begitu saja tanpa diketuk. Ia akui, memang sudah satu jam terbuang-buang untuk bersolek di depan cermin, fokus pada luka lebam yang ada di bahunya.

"Ci, kok pakai softlens?" tanya Marson, semakin tidak sopannya mulai melangkah ke meja belajar Rachel di mana kayak perempuannya meletakkan kacamata serta wadah softlens di sana. "Kacamatanya kok patah, Ci?"

Rachel menyelesaikan usahanya menutupi lebam di bahunya. Setidaknya usahanya sukses untuk menyamarkan bekas luka yang Jethro tinggalkan minggu lalu. Kini, perempuan itu berbalik untuk meraih sling bag dengan tali rantai yang elegan dan lantas meninggalkan Marson yang masih menelusuri meja belajarnya. "Ayo, Mars! Kata Mami nanti terlambat, keluarganya Ci Michelle udah berangkat."

Tangan Marson yang semula hendak meraih kacamata patah tersebut segera diurungkan. Kakaknya memang jarang sekali kreatif. Sering kali ia mengutip kata-kata orang lain untuk diulang. Laki-laki berusia dua tahun di bawah Rachel itu meninggalkan ruangan dengan langkah lamban, dengan mata yang masih sesekali menyorot pada meja belajar Rachel. Meski tidak membicarakannya secara langsung, tapi Marson tahu tadi Rachel sedang menutupi lebam di bahunya, dan, kacamatanya pecah. Ia jadi bertanya-tanya, apa yang habis Rachel lakukan sampai mendapatkan lebam dan kacamata pecah begitu.

Akan tetapi, ketimbang memikirkannya, Marson kini lebih sibuk untuk fokus pada acara keluarganya. Kakak tertua mereka, Marcell, akan bertunangan dalam waktu dekat. Malam ini, dua keluarga mengadakan pertemuan makan malam sebagai bentuk keakraban, khususnya untuk kedua orang tua mereka.

Diam-diam, Marson curiga, sepertinya kakak laki-lakinya dan calon istrinya itu memutuskan untuk menikah karena nama mereka yang mirip. Marcell dan Michelle. Unik, kan, kalau akan dicetak di selembar undangan mewah dengan emboss emas nanti? Fixed, Marson yakin dugaannya benar.

"Marssssss! Cepetan!" teriak Rachel yang entah kenapa sudah sampai di ambang pintu utama rumah, lengkap dengan heels yang menghias kakinya. Sepertinya Marson terlalu lama melamun. Laki-laki itu langsung berlari, menyusul ketertinggalannya.

Rachel masih berdiri di ambang pintu, menunggu adiknya untuk mengikat tali sepatu dan turut keluar dari rumah. Keduanya bersitatap kala Marson melewati pintu. Dengan cepat, Rachel merapatkan jaket yang dikenakannya, jelas-jelas menutupi lebam di bahunya. Jelas-jelas, Marson juga menyadari pergerakannya.

"Ayo, cepetan Ci," ujar Marson ketika Rachel masih sibuk mengunci pintu yang mendadak susah diputar kuncinya. Marson bahkan sampai berbalik untuk membantunya, membiarkan Rachel masuk ke mobil duluan.

Sepanjang perjalanan mereka diisi dengan obrolan yang hanya terfokus pada cerita Marcell tentang pacarnya. Sementara Rachel dan Marson, yang duduk di kursi terbelakang, saling diam. Rachel memandangi jalan raya di luar jendela sambil memainkan ujung rambutnya dengan jari. Sementara Marson, menyaksikan satu-satunya kakak perempuannya, kelihatan menghindari tatapan Marson.

Kalau sudah seperti ini, Marson sangat yakin sedang ada yang Rachel tutupi, yang sebenarnya ia sudah tahu bahwa Marson sudah mencium keganjilan. Marson mendekatkan kepalanya ke telinga Rachel, berbisik pelan, "Ci, Ko Jethro sehat?"

Gerakan jari Rachel di ujung rambutnya terhenti. Kini perempuan itu menoleh ke adiknya, berpikir cukup lama, lalu mengangguk. "Sehat. Kenapa?"

Marson menggeleng. "Nggak, cuma nanya aja."

Rachel tidak merespons lagi. Ia tahu privasinya sedang dalam bahaya sekarang. Semakin Rachel menanggapi, maka semakin Marson mencoba untuk mendobrak lebih jauh. Terakhir kali Marson bersikap seperti ini, Marson mendapatkan setengah informasi yang diinginkannya. Ia berhasil tahu kalau Rachel pernah pulang sekolah dengan keadaan pusing yang bahkan membuatnya hampir pingsan ketika menaiki tangga. Marson berhasil meneliti dan mendapatkan informasi bahwa Rachel baru saja pulang dari rumah Jethro. Rachel tahu, sejak saat itu Marson sudah menduga yang tidak-tidak mengenai Jethro.

"Itu bahunya kenapa, Ci?" tanya Marson lagi sambil melirik ke bahu kiri Rachel. Tuh, kan. Rachel curiga Marson bisa membaca pikirannya, dan kini sedang membaca isi pikirannya sehingga Marson tahu bahwa Rachel sedang menghindari sejuta pertanyaannya.

"Kejatohan boks di sekret BEM. Lagi beresin arsip proposal," kilah Rachel asal.

"Terus, kok kacamatanya pecah?" pertanyaan kedua terbit. "Kejatohan lampu sekret BEM?"

"Pas kejatohan boks itu, kacamatanya jatoh juga. Karena kaget boksnya jatoh, jadi kacamatanya keinjek, nggak sengaja," terang Rachel dengan kemampuan bohongnya yang sepertinya di bawah KKM.

Seolah percaya dengan ucapannya, Marson mengangguk-angguk, namun lantas tersenyum miring kala ia memalingkan pandangannya ke lain arah. Usia Rachel yang hanya terpaut dua tahun dengan Marson membuat mereka jadi sangat dekat sejak kecil. Ketika dulu dua kakaknya yang lain sudah fokus dengan sekolah, Rachel dan Marson akan jadi dua adik yang setia menunggu kepulangan mereka di rumah, dan itulah yang membuat keduanya begitu dekat. Saling berbagi sarapan, berbagi makanan ringan, berbagi mainan, bahkan saling membuat tangis satu sama lain. Dengan kedekatan seperti itu sejak kecil, maka Marson tahu kapan kakaknya tidak baik-baik saja. Termasuk sekarang.

Marson jadi memikul tanggung jawab untuk lebih melindungi kakak perempuan satu-satunya.

Laki-laki yang belum genap tujuh belas tahun itu berdengkus. Sudah lama ia curiga dengan Jethro. Hanya saja, kakaknya juga mahir menutup-nutupi privasinya, sehingga Marson kadang ingin menyerah saja mencari tahu tentang hubungannya dengan Jethro.


Freya duduk di bangku Jethro selagi pemiliknya tidak ada di dalam ruangan. Sudah dua menit kursinya berputar searah dengan jarum jam, lalu sebaliknya, dan berbalik lagi. Ia tampak gelisah sekali. Di tangannya masih tergenggam ponselnya yang menampilkan video semalam. Ia benar-benar mengabadikan keributan antara Jethro dan Rachel. Kemudian, Freya tidak bisa berbohong bahwa ia mendadak khawatir dengan Rachel.

"Frey, bantuin gue bacain ini mendingan daripada bengang-bengong gitu, lo." dari sudut ruangan, Regina menyambit Freya dengan bola-bola kertas hasil ia merenyukkan catatan tak terpakainya. "Dari tadi muter kanan, muter kiri. Gue yang pusing, tau."

Mendapati bola kertas dari Regina mendarat tepat di dahinya membuat Freya langsung menoleh ke sumber suara. Perempuan itu lekas mengalihkan tampilan ponselnya, tidak lagi mengulang-ulang video yang didapatinya semalam. Ia melangkah ke arah Regina, lalu membacakan apa yang Regina pinta, membantunya mengerjakan tugas.

Berulang kali Freya mendiktekan tiap-tiap kalimat untuk Regina ketik ulang di dalam Microsoft Word, berulang kali pula gadis itu kehilangan fokus hingga harus mencari lagi kata terakhir tempatnya berhenti. "Gi, kalau kita submit video ke Lambe Lurah, identitas kita kebongkar, nggak?"

Tangan Regina yang sibuk menari di atas papan ketik, seketika berhenti. Matanya yang menyorot pada layar pun teralihkan, memicing pada Freya. "Maksud lo?"

Freya meremas buku di tangannya, lalu menghela napas. "Ya, misalnya—eng, lo tau kan, Gi, kalau akun lambe lurah tuh suka nerima video dari mahasiswa via DM, WA, atau apapun? Nah, kalau misalnya gue ngirim, menurut lo, identitas gue—"

"Stop, stop, stop," celetuk Regina. "Sebentar. Ini lo nemu gosip apaan, Frey, sampai mau ngirim video ke lambe lurah kampus?"

Freya menggigit bibir bawahnya, mengalihkan perhatian ke mana-mana. "Nggak, bukan gue, Gi," dalihnya. "Jadi, temen jurusan gue tuh bilang, dia nemuin gosip gitu dari mahasiswa ... apa ya, katanya, kalau nggak salah dari anak FSRD, deh. Nah, terus ... dia nanya sama gue. Gue kan, nggak tau. Jadi, gue nanya sama lo."

"Gosipnya gede?"

"Gosip gede tuh kayak gimana, Gi?" Freya bertanya balik. Seingat dia, tidak ada tuh tingkatan gosip besar dan kecil. Gosip ya gosip saja sudah. "Heboh, maksud lo?"

Regina mengangguk. "Sama aja."

Freya berpikir lagi. Ia tahu gosip ini akan sangat cepat menyebar dan menghebohkan seluruh civitas academica. Freya sudah membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Citra baik Jethro akan tercoreng, begitu pula dengan BEM tingkat universitas. Atau, jika gosip ini memungkinkan untuk melebar lebih luas lagi, nama kampusnya akan ikut terseret. Risikonya terlalu besar. Freya akan sangat malu berada di dalam kabinet kerja Jethro. Tidak menutup kemungkinan akan ada satu dua orang yang berpikir bahwa seluruh staf Jethro sedang bahu-membahu turut menyembunyikan ketidaksehatan hubungan Jethro dengan Rachel.

Miris. Akan terlalu banyak yang perlu Freya korbankan jika ia melaporkan kelakuan Jethro di luar kampus pada lembaga gosip terbesar di kampus. Tapi, hatinya jadi ikut bertanya-tanya. Inikah keputusan yang tepat, dengan menyembunyikan tidak kekerasan yang terjadi antar mahasiswa?

Freya jadi penasaran, ada berapa banyak orang yang diam-diam sudah tahu tentang hubungan mereka selain dirinya. Apakah mereka ikut tutup mulut karena khawatir akan merusak citra banyak pihak?

"Siapa, sih, Frey? Kepo nih gue. Anak FSRD, siapa? Emang gosipnya kenapa?"

Pertanyaan bertubi-tubi itu justru membuat Freya semakin pusing kepala. Kalau Freya menceritakan apa yang semalam dilihatnya, maka pertanyaannya akan bertambah lagi. Regina, sebagai kementerian pemberdayaan perempuan di dalam kabinet, apakah akan memilih untuk mengangkat kasus ini, atau justru memendamnya sendiri dan membiarkan? Sebab, mau bagaimanapun, apa yang Rachel alami dan Jethro lakukan adalah sebuah ruang privasi mereka sendiri yang tidak boleh mereka campuri.

"Gi, kapan-kapan aja, deh. Gue nggak dapet izin buat ceritain ke orang lain sama temen gue. Nanti kalau dia jadi ngirim ke lambe lurah juga kita bakal tau."

Regina mengerucutkan bibir. Jelas, ia kecewa dengan tidak bocornya gosip yang mungkin akan heboh itu. Akan tetapi, Regina sadar pada posisinya. Ia tidak boleh mendobrak privasi orang lain yang tidak melibatkan dirinya.

"Sampai mana tadi, Gi? Lanjut, ya," tutur Freya. Gadis itu mulai membacakan kembali kelanjutan materi yang sedang Regina salin ke dalam fail tugasnya. Regina kembali fokus pada tugasnya, mendengarkan tiap-tiap bacaan Freya dengan saksama.

Dalam satu jam, tugas Regina selesai. Mereka juga langsung bersiap, mengemas barang masing-masing untuk segera masuk ke kelas. Akan tetapi, di tengah kesibukan mereka masing-masing, pintu ruangan terbuka dan menampakkan Rachel di sana, dengan keringat yang mengucur dari pelipisnya.

"Kak, maaf, gue disuruh minta data RAB dari Kak Freya. Boleh, nggak?" ujar Rachel dengan napas yang masih tersengal-sengal. Ia seperti habis berlari-lari tanpa ampun.

Freya diam, memandangi Rachel cukup lama. Penampilannya memang agak berubah. Perempuan itu sudah tidak pernah dikucir kuda seperti kali pertama masuk ruangan ini, lalu sekarang kacamatanya terlihat miring karena bagian tengahnya patah dan dipaksa menyambung lagi dengan lem. Sekencang apa, sih, tamparan Jethro semalam sampai kacamata Rachel serusak itu?

"Frey! Bengong mulu lo!" tukas Regina membuat Freya langsung tersadar dari lamunannya akan Rachel dan Jethro. Gegas, Freya membuka laci, mengambil lembaran berisikan data yang Rachel minta.

Freya menyodorkannya pada Rachel sambil bertanya, "Disuruh siapa, Chel?"

"Sama Kak Jethro, Kak."

"Lo lagi makan siang sama Kak Jethro, emangnya? Kok nyuruh lo?"

Rachel mengernyit. Sepertinya sadar kalau Freya curiga dengannya. Buru-buru gadis itu menggeleng. "Nggak, Kak. Tadi kebetulan ketemu, terus Kak Jethro buru-buru, jadi gue disuruh minta. Ini Kak Jethro nungguin, makasih, Kak Freya!"

Perempuan itu langsung berbalik dan kembali berlari, membuat peluh berbondong-bondong membasahi wajahnya lagi, membuat pipinya memerah karena lelah yang bergumul.


[first published 15/06/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro