Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 08 ☎

Sore sudah hampir habis. Matahari sudah sedang dalam perjalanan pulangnya, meninggalkan lembayung keunguan yang cantik di luar gedung sekretariat BEM. Mobil-mobil sudah berbaris menuju pintu keluar, menyambut jam pulang kuliah. Sekretariat BEM bahkan sudah sepi. Di dalam ruangan, hanya ada tiga orang termasuk Jethro. Ia sedang mengerjakan tugas di mejanya sendiri; ada Freya yang sedang merapikan map-map di dalam bok khusus; dan ada Lydia yang tengah menemani Freya beberes.

Dalam hitungan menit, tanggung jawab Jethro mengerjakan tugas usai. Laki-laki itu bersandar di kursi kerjanya, menyaksikan Freya dan Lydia yang kompak beberes. Di tangannya masih ada bolpen yang ia mainkan di antara jari-jarinya yang kurus dan panjang.

"Seleksi untuk pengisi acara pentas seni Dies Natalis udah sampai mana progress-nya, ya, Frey? Kalian tau, nggak?" tanya Jethro tiba-tiba, membuat pekerjaan Freya dan Lydia terjeda sejenak untuk seadar menoleh ke arah Jethro. "Terus, yang handle acara game untuk dosen di auditorium tuh, siapa, ya?"

Freya dan Lydia saling tatap sejenak, seolah tengah bertukar pikiran dan akhirnya mencapai mufakat, bahwa Freya-lah yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Gadis itu meletakkan tumpukan map yang ada di tangannya, lalu beralih pada satu fail di dalam boks dengan tulisan "Dies Natalis 2022".

"Seinget gue, seleksinya masih dalam proses dan masih online gitu, sih, Kak. Anak-anak acara dan peserta masih kurasi video yang di-submit mahasiswa sama portofolio mereka. Nah, buat yang handle-handle gitu kita kurang tau, deh, karena itu udah urusannya anak acara sama peserta. Belum keluar tuh datanya siapa yang bakal tanggung jawab untuk siapa," terang Freya sambil membaca susunan panitia di dalam proposal kegiatan yang baru diambilnya. "Koor acara sama peserta sih, Devano sama Megan. Mungkin nanti gue tanya lagi, deh, sama mereka. Kenapa emangnya, Kak?"

Jethro menggeleng. "Nggak apa-apa, nanya aja," jawabnya tenang. "Terus, soal anggaran biaya, gimana, Frey? Lo udah follow up lagi?"

Freya mengernyit heran. "Kita baru ngomongin RAB kemarin sore, perasaan. Belum bisa follow up lagi, Kak, karena terakhir gue follow up ke WR itu baru dua minggu lalu. Kenapa? Kan, masih Juni juga?"

Jethro diam. Gerak jarinya yang memutar-mutar bolpen di tangannya lantas berhenti. Ia merasa pertanyaan itu sedang jadi jebakan untuknya. Apakah Jethro perlu berterus terang kepada Freya dan Lydia soal kecurigaannya mengenai biaya? Tidak. Jethro dan Omar baru saja menangkap kecurigaan ini tiga hari lalu di hari Jumat. Mungkin mereka harus menahannya dulu sampai satu pertanda terungkap lagi. Atau, kalau perlu, ia bisa bicarakan ini di rapat kelak, siapa tahu ada korban-korban calon 'disuap' lainnya selain Diandra.

"Ya, nggak apa-apa, gue nanya aja, Frey."

Freya mengangguk-angguk, meski hati kecilnya tidak yakin kakak tingkatnya itu hanya bertanya tanpa tujuan jelas. Namun, seolah tak peduli, Freya langsung mengalihkan perhatiannya kembali guna mengusir curiganya atas pertanyaan-pertanyaan Jethro.

"Kak Lyd, nanti tolong follow up juga ya ke anak-anak, siapa aja yang butuh dana urgent, biar gue bisa prioritasin, karena kemarin bener-bener baru turun dua juta, dan kita aja perlu persiapan pra-acara, kan. Kalau butuh apa-apa, bilang aja, gue rasa uang kas juga bisa nutup dulu, biar nanti dana dari kampus kita pakai buat gantiin uang kas yang dipakai," ujar Freya. Lydia hanya mengangguk sambil mengibas-ngibaskan celananya yang berdebu.

"Nggak ada donatur, apa, ya?" keluh Jethro yang masih adem-ayem duduk di kursinya. "Maksudnya, ini kan acara besar, punya kampus, dan yang partisipasi juga semua civitas academica. Pesta besar-besaran gini, masa kita kover pakai uang kas, sih?"

Perhatian Lydia dan Freya kembali jatuh pada Jethro. Ya, sedikit banyak, mereka memang setuju dengan Jethro. Ini acara tahunan kampus yang tidak pernah absen diadakan pada akhir bulan Juni. Susunan acaranya beragam, begitu pula dengan venue-nya yang tersebar pada beberapa titik di kawasan kampus. Ada penampilan dari beberapa UKM dan perwakilan fakultas, ada permainan, berbagai jenis lomba, hingga pemutaran video dokumenter mengenai sejarah kampus.

"Emang prosedurnya begitu, kalau Kak Jethro belum tau," tutur Freya. "Udah rahasia umum kok. Mau acara univ, acara fakultas, acara jurusan, bahkan sampai UKM pun, pasti ujung-ujungnya kover pakai uang kas dulu, baru nanti diganti setelah LPJ dinaikin ke rektorat."

Jethro sejenak diam, sambil menggigit bibir bawahnya yang terlipat ke dalam. Sepertinya ia sudah terlalu banyak pikiran sampai-sampai urusan keuangan seperti itu ia tidak tahu bagaimana prosedurnya. Laki-laki bermata sipit itu memijat pelipisnya, menatap nanar ujung kaus kaki hitamnya. "Ya udah, deh. Gue bakal terus follow up soal anggaran biaya nih, karena krusial banget. Kalau ada apa-apa, berkabar ya, Frey. Pokoknya, kalau ada sesuatu yang ganjil, bilang sama gue atau Ilyas. Gue cabut dulu, deh, udah sore. Lyd, lo pegang kunci, ya."

Baik Lydia maupun Freya sama-sama mengangguk sembari memandangi kepergian Jethro. Sampai pintu kaca tertutup rapat dan bayang-bayang Jethro di baliknya menghilang, dua gadis yang masih berada di dalam ruangan itu saling sikut satu sama lain, kemudian bersitatap dalam waktu lama.

"Mencurigakan banget deh si Jethro," dakwa Lydia. Freya lantas mengangguk setuju. "Jangan-jangan, dia mulai ngendus kasus-kasus nggak bener, nih, Frey. Mau ikut selidikin, nggak?"

Freya mengernyit. "Kasus apaan, Kak?"

Lydia berdecak. "Ya ngomongin duit, kasus apaan lagi emangnya yang berurusan sama duit—eh, bentar. Lo nggak aneh-aneh, kan, Frey?"

"Dih, gila lo, Kak!" sanggah Freya cepat. Gadis itu membelalak sambil menggelengkan kepalanya, "Walaupun gue setahun di bawah kalian, tapi integritas gue sebagai bendahara nggak perlu dipertanyakan, kali. Gue tuh, ya, udah khatam banget nih sama keuangan duniawi. Dari jaman SMP, gue selalu jadi kandidat tunggal bendahara kelas dan OSIS."

Lydia tertawa puas mendengar pembelaan dari Freya yang tidak mau ia sangkal lagi. Lydia percaya. "Udah yuk, ah. Udah mau malem, Frey."

Freya mengangguk, setuju untuk segera pulang. Gadis itu pun memasukkan satu boks file yang tersisa ke dalam rak, lalu keduanya mengemas barang masing-masing. Obrolan ringan mengisi langkah keduanya meninggalkan sekretariat. Blok demi blok mereka lewati hingga tiba di gerbang depan kampus. Baik Freya maupun Lydia langsung mengeluarkan ponsel masing-masing untuk mengecek order mereka pada aplikasi ojek online.

"Eh, Kak, sini dulu," titah Freya sambil menahan pergelangan tangan Lydia untuk tidak melanjutkan langkahhya hingga ke luar gerbang. Dari jarak jauh, matanya menangkap sosok laki-laki dengan Kawasaki KLX merah, berdiri saling berhadapan dengan seorang perempuan bertubuh lebih pendek. Mereka bersembunyi di balik dinding, tapi dari titiknya berdiri, Feeya bisa melihat mereka dengan jelas, meski tak sepenuhnya yakin bahwa itu adalah Jethro, kakak tingkatnya. "Kak Jethro bukan, sih?"

Lydia menaikkan pandangannya, beralih dari layar ponselnya yang menampilkan chat dengan driver ojeknya. Matanya memicing, mencari kebenaran atas pertanyaan Freya. Ia menggeleng, "Nggak tau, Frey, gelap. Burem juga."

Freya menggerayangi tengkuk. "Iya, sih," sahutnya. "Tapi, sama siapa itu ya, Kak? Perasaan, Kak Jethro nggak punya pacar, deh. Kayaknya lagi ribut, tuh, Kak."

"Astaga, Frey!" Lydia menjitak adik tingkatnya yang satu itu. "Jangan buruk sangka lo, ah. Bukan Jethro, kali. Di kampus kan yang motornya begitu bukan cuma Jethro."

Meski jauh di lubuk hatinya masih yakin laki-laki itu adalah Jethro, tapi pada akhirnya Freya memilih untuk tak melanjutkan percakapan. Toh kalaupun misalnya diam-diam Jethro punya pacar, itu bukan urusannya. Freya tidak perlu ikut campur.

Namun, rasa penasarannya seperti tidak surut-surut. Bahkan sampai Lydia meninggalkannya di gerbang depan kampus karena ojeknya datang duluan, Freya masih menunggu sambil terus melirik ke arah yang sama. Ia sangat yakin itu adalah Jethro, dan, astaga keributan yang tidak bisa Freya curi dengar itu masih berlanjut! Raut wajah si laki-laki samar-samar bisa Freya lihat, memerah padam penuh amarah. Sesekali, perempuan di hadapannya juga tersentak, mungkin kaget karena bentakan dari pacarnya itu.

Lama Freya menunggu, laki-laki yang masih ia yakini sebagai Jethro masih berada di sana, dan dengan kurang ajar, Freya masih saja mengintip keributan mereka. Hingga tiba-tiba, satu tamparan keras melayang ke pipi perempuan malang itu. Kacamata yang bertengger di hidungnya pun jatuh, membentur aspal. Freya membelalak sambil menelan ludah, tak percaya dengan apa yang sedang dilihat dengan mata kepalanya sendiri.

Astaga, Tuhan. Freya tahu ini adalah dosa terbesarnya hari ini, tapi Freya akui ia tidak bisa tinggal diam begitu saja. Ponselnya yang sedari tadi ada di tangan kirinya, ia angkat. Secara sembunyi-sembunyi, Freya mengambil video keributan tersebut, meski tak ada lagi tindak kekerasan di dalamnya. Jantungnya berdebar kacau sekali. Pikirannya keruh, sibuk sekali memikirkan, jika itu benar Jethro, maka siapa perempuan malang yang ditampar itu?

"Kak Freya?"

Freya tak bisa membendung keterkejutannya kala suara itu membuat tangannya secepat kilat ditarik dan rekamannya diusaikan. Ia melihat kedatangan driver ojek online-nya, sejenak memastikan bahwa nomor pelat yang tertera di motor sama dengan pada aplikasi. Freya mengangguk, dengan terbata-bata meminta helm kepada pria yang akan mengantarnya menuju stasiun malam ini.

"Eng ... Pak, lewat komplek ini boleh, nggak?" tanya Freya sambil mengenakan helmnya.

Si bapak mengernyit heran. "Tapi lebih jauh, Neng. Muter-muter dulu. Keluarnya juga jadi lebih jauh jalannya, nggak apa-apa?"

Freya mengangguk mantap, membujuk si bapak untuk tetap lewat jalur tersebut dengan janji ia akan memberikan tip setelah tiba di tujuan nanti. Tak butuh waktu lama, negosiasi tersebut berakhir mendapat persetujuan. Freya gegas naik ke jok belakang, menutup kaca helmnya rapat-rapat, lalu berkata jika ia sudah siap.

Deru mesin mulai terdengar. Lampu depan motor menyala terang, menyorot pada jalir yang akan mereka lalui, dan dengan cepat pula, Freya bisa lihat pertengkaran itu terjeda. Tempo debar jantungnya kian cepat. Dengan laju rendah, motor yang ditumpanginya melintas di jalan yang Freya inginkan.

Tak perlu Freya repot-repot menatap dengan tegas pada dua sejoli yang bersembunyi di balik dinding salah satu rumah itu. Hanya dengan lirikan singkat, ia akhirnya tahu, bahwa laki-laki itu memang Jethro, presiden mahasiswanya, dan perempuan malang itu adalah ... Rachel? Astaga, sejak kapan Rachel dan Jethro punya masalah sampai harus ada keributan ini?

Pikiran Freya jadi semakin penuh. Bukannya tenang karena akhirnya tahu siapa yang sedang ribut, ia justru memikul beban baru kini. Ternyata, selama ini Jethro dan Rachel memiliki hubungan tidak sehat begini? Padahal mereka kelihatan tidak dekat di kampus. Bagaimana bisa?

Ck, sial. Semakin banyak pertanyaan, maka semakin kacau isi pikirannya. Freya harusnya tidak peduli dengan hubungan rahasia apapun di antara keduanya, tapi, melihat adik tingkatnya mendapatkan tamparan sebegitu kerasnya, ia jadi bertanya-tanya sendiri: mana yang harus Freya taruh di prioritas teratas? Privasi orang lain, atau keselamatan sesama perempuan?


[first published 07/06/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro