Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 07 ☎

Laju mobil Omar sejak tadi tak kunjung turun kecepatannya, tetap berkutat pada kecepatan 90 kmph nyatanya membuat pikirannya ikut tak keruan seperti klakson-klakson di luar yang meneriakinya. Aneh. Kenapa juga siang-siang begini ia harus memikirkan kedekatan Jethro dengan staf baru di divisinya?

Ya, meski sejujurnya Omar tidak memiliki masalah dengan kedekatan tersebut—yang bahkan hanya karena Jethro mengantarnya pulang dan sudah mengenalnya jauh sebelum Omar. Akan tetapi, firasatnya benar-benar buruk. Ia sudah kenal dengan Jethro sejak semester pertama perkuliahan. Hampir 24/7 bersama Jethro membuatnya sudah hafal di luar kepala siapa Jethro Daniel Tanoesudibjo. Lagian, laki-laki itu tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun selama dua tahun terakhir. Omar bahkan tidak menyangka Jethro bisa ambil langkah cepat dengan cara menawarkan tumpangan pada Rachel. Padahal, beberapa waktu lalu Jethro menjatuhkan Rachel di depannya dengan menyebut kerjaannya tidak beres.

Patutnya Omar bersikap biasa saja. Mungkin Jethro memang jujur mengenai pekerjaan Rachel yang katanya tidak beres itu, tapi entah kenapa, rasa-rasanya ada yang berjalan tidak sesuai dengan jalurnya di sini. Jethro bisa sinis tentang Rachel pada awalnya, tapi kenapa sekarang laki-laki itu justru melindungi Rachel? Bahkan, saat Jethro mengadakan rapat internal dengan stafnya, Jethro protes karena ada Rachel—sang mahasiswa tahun pertama—di dalam divisinya.

Omar menggelengkan kepalanya, berusaha keras mengusir nama Rachel yang berputar di dalam benaknya. Dalam hati pula ia berbisik, jangan, jangan, jangan, dan jangan. Jangan pernah ada apapun di antara keduanya. Ditambah lagi, jika memang Jethro berniat mendekati Rachel, maka Omar tidak mau menggagalkan perjuangan sahabatnya sendiri. Toh, kelihatannya Jethro jauh lebih pantas bersanding dengan Rachel.

Tiiiiin!

Suara klakson dari mobil belakang menyentaknya kembali dari lamunan panjang. Omar segera sadar ia baru saja akan menabrak mobil yang melintas ketika akan mundur untuk meluruskan posisi parkirnya. Laki-laki itu menghela napas, mengembalikan fokusnya seperti sedia kala. Omar tidak boleh terlibat kisah asmara dengan sesama panitia, apalagi dengan mahasiswa seperti Rachel yang kelihatannya memiliki potensi untuk jadi bagian dari lembaga besar kemahasiswaan di kemudian hari.

Begitu mobilnya lurus dan sejajar dengan mobil di sebelah kanannya, Omar lekas melepaskan seat belt yang mengekang tubuhnya. Ia meraih ransel di kursi penumpang, lalu turun dari mobil untuk segera melangkah menuju kantin, sebab tiga temannya sudah berkumpul dan menunggu di sana.

Gelegar tawa di meja yang hanya diisi oleh tiga orang itu seketika terhenti ketika Omar datang bersama ransel yang tersampir di sebelah bahunya. Satu per satu dari mereka sudah siap meninju balik kepalan tangan Omar yang mengudara, melayangkan bro-fist. "Asyik banget, bahas apa?" tanya Omar sambil menaikkan kedua alisnya beberapa kali.

"Hus, hus, nggak ada. Ini nih, si Devan sama Ilyas, ngarang bebas aja kerjaannya, jodoh-jodohin gue sama Rachel gara-gara kemarin nganterin balik," balas Jethro, membuat cengir di wajah Omar seketika luruh. "Jangan ngada-ngada, ya."

Omar terkekeh, menyembunyikan sedikit kekecewaan yang bahkan ia tidak tahu kenapa bisa timbul di ruang kecil dalam hatinya. "Ya elah, kayak baru kenal aja, lo, Je. Dari semester satu bareng kita-kita di BEM, ya kali nggak jujur. Ya nggak, Yas, Van?"

"Yoi!" seru Ilyas semangat. "Eh, lagian ya, Je, kalau lo mau sama Rachel, nih, lo tau sendiri gue lagi deket sama adeknya Devan, si Diandra. Diandra juga sahabatnya Rachel. Gila, takis! Apa perlu kita atur jadwal buat double date?"

Menanggapi ledekan Ilyas, Devan tertawa sambil mengangguk. "Asli! Gue bisa nih bujuk Diandra buat bantuin lo ngeluluhin hatinya Rachel. Gokil, link lo banyak, Je! Masih nggak mau? Modelan Rachel nih, ya, beuh, gue rasa bakalan sold out dua bulan lagi kalau lo nggak buru-buru!"

Jethro hanya bisa senyum-senyum sambil tetap menyesap jus mangganya. Andai mereka semua tahu apa yang terjadi di balik layar. "Hadeh, jangan aneh-aneh deh, lo pada. Lagian ya, nggak perlulah bantuan-bantuan begitu. Kalau gue emang mau Rachel, gue bisa dapetin dia. Mau minggu depan juga bisa. Masalahnya, gue nggak suka sama Rachel."

Ilyas, Omar, dan Devano saling tatap satu sama lain, masih dengan wajah penuh menggoda. Mereka jelas tidak percaya Jethro tidak memiliki ketertarikan pada Rachel. Secara, perempuan secantik Rachel, mana bisa ada laki-laki yang tidak terpana pada pandangan pertama? Bahkan Ilyas mau mengakui kalau ia tertarik pada Rachel seandainya tidak ada Diandra yang sedang dijaga hatinya.

"Eh, bentar, gue jadi keinget sesuatu deh," potong Devano. "Omong-omong soal Rachel sama Diandra, gue jadi inget, masa iya belum lama ini Diandra nanya sama gue, katanya, penyuapan tuh haram nggak. Gila, gue rasa otaknya lagi digadai itu bocah. Bisa-bisanya nanya kayak gitu."

Melihat Devano tertawa terbahak-bahak atas ceritanya sendiri yang menganggap adiknya bodoh, Omar ikut tertawa meski lebih pelan, begitu pula dengan Ilyas yang tertawa sambil menggerayangi tengkuknya, ikut malu dengan kelakuan gebetannya. Sementara Jethro diam. Ia bahkan hampir saja terbatuk karena mendengar cerita tersebut.

"Emang ada yang mau nyuap dia, Van?" tanya Jethro, tak kehilangan keseriusannya.

"Gue, gue!" sahut Ilyas cepat, yang lantas mendapatkan timpukan tisu dari Omar. "Yeh, gue serius. Van, lo bilang sama Diandra, itu nggak apa-apa kok. Jadi kapan gue bisa dinner sama Diandra, calon kakak ipar? Besok, mungkin, ya? Besok malem minggu. Eh, Je, lo mau ikut malmingan, nggak? Ajak si Rachel."

Sejujurnya, Jethro sedang benar-benar serius menanggapi cerita Devano. Meski pertanyaan Diandra terdengar bodoh, tapi tidak ada yang tahu, jangan-jangan itu adalah sebuah pertanda yang harus ia gali kebenarannya. Lagian, Jethro ingat sekali sebentar lagi ada acara konferensi bersama rektor dan dekan, dan Diandra sedang menjabat dalam kepanitiaan sebagai bendahara. Satu tanda tanya, Jethro mau mencatat hint ini untuk ia telusuri lebih lanjut di kemudian hari.

"Aneh lo pada, kayak nggak pernah liat cewek cantik aja," tukas Jethro sambil tertawa, berusaha kembali pada topik semula ketimbang harus mengekspresikan keseriusannya dalam hint dari Devano.

"Ya lagian, di antara kita berempat, elo doang yang belum keliatan deket sama cewek selama kuliah, Je. Ditaksir sana-sini, dari yang seangkatan sampai adik tingkat, semua lo skip," balas Omar sambil menepuk-nepuk pundak Jethro. Sesaat, matanya tertuju pada jari-jari tangan Jethro yang memutar sedotan di dalam gelasnya. Ia baru sadar sahabatnya itu mengenakan cincin hitam di jari manisnya. Sepertinya Omar pernah melihat yang serupa, tapi entah di tangan siapa. "Tapi masih suka cewek, Je?"

"Ye, sembarangan." Jethro tertawa. "Gue nggak deket sama cewek tuh karena mau fokus kuliah. Lagian, gue juga presma, terlalu sibuk lah buat sekedar ngurusin cari cewek, tebar pesona sana-sini."

Omar hanya mengedikkan bahu sambil menaikkan alisnya beberapa kali dengan Ilyas dan Devano, seolah tengah bertukar sinyal. Obrolan mereka perlahan-lahan mulai tergiring ke topik lain. Tidak ada lagi nama Rachel dan Diandra disebut-sebut. Dalam tiga puluh menit ke depan, empat laki-laki yang bercengkerama dengan ramai itu memutuskan untuk menyudahi makan siang mereka sebab jam istirahat akan segera habis. Ilyas dan Devano melangkah ke arah yang berbeda, sementara Omar dan Jethro yang sejurusan, jalan seiringan menuju gedung fakultas mereka.

Tidak ada obrolan apapun di antara keduanya. Jethro memimpin jalan, dan Omar mengekorinya dengan langkah sedikit lebih lamban. Bahkan hingga tiba di kelas pun, keduanya tak bertukar cakap. Baik Jethro maupun Omar lantas memilih kursi di bagian tengah ruangan, duduk bersebelahan, lalu mulai menyibukkan diri dengan ponsel masing-masing. Air muka Jethro tidak bisa berbohong. Penuh serius dan seperti sedang menyimpan kecurigaan.

Dalam hati, Omar bertanya-tanya sendiri, apakah Jethro masih saja memikirkan persoalan suap-menyuap yang tadi Devano ceritakan?

"Mar, track record-nya Pak Baharrudin tuh bagus, ya?" sambil meletakkan ponselnya dalam keadaan layar menyala menampilkan artikel yang tidak bisa Omar curi baca, Jethro menoleh padanya, bersama pertanyaan serius tersebut. Oke, pertanyaan di dalam hati Omar terbukti, Jethro memang masih menyeriusi ucapan Devano. "Lo pernah tau, nggak, sebelumnya dia ngejabat di mana?"

Omar tidak gila-gilaan informasi begituan, jelas ia tidak tahu riwayat pekerjaan Pak Baharrudin yang kini menjabat sebagai rektor di kampusnya. Lagi pula, selama dua tahun terakhir ini, segalanya terlihat baik-baik saja. Tidak pernah ada kasus apapun tercium yang asalnya dari gedung rektorat. Kenapa Jethro mendadak setidakyakin ini dengan integritas Pak Baharrudin?

"Je, lo mau nelusurin? Diandra kan pure cuma nanya? Lagian, kalau emang dia megang kunci atas dugaan yang sama dengan lo, gue rasa Diandra bakal ngusut kasusnya duluan. Dia kan anak Layang Biwara," balas Omar. Sejurus ia celingukan, memastikan tidak ada mahasiswa yang mencuri dengar. Suaranya pun memelan, semakin meminimalisir ada yang mencuri dengar obrolannya dengan Jethro. "Dan kalaupun terbukti terjadi kasus penyuapan, baik itu antara Pak Baharrudin dengan mahasiswa, atau antara pihak manapun di kampus, gue rasa Diandra dan anak-anak media bakal langsung nerbitin berita itu, Je."

Jethro berdengkus. "Ya iya, itu kalau udah terbukti. Nah, kalau belum? Berarti kan kita harus telusurin bareng-bareng, Mar."

Kali ini Omar mengalah. Toh, ia setuju kalau memang ada hal ganjil yang terjadi, baik dalam kasus yang ringan maupun berat. Itu sudah menjadi sumpahnya pada hari pengukuhan sebagai kementrian advokasi pada kabinet kerja yang dipimpin Jethro dan Ilyas.

"Lo belum lama kemarin bantuin Diandra buat permohonan dana, ya?" tanya Jethro, yang belum lelah mengupas lebih banyak petunjuk. Omar mengangguk. "Lo nemenin Diandra ke WR, nggak?"

Sekali lagi Omar mengangguk. "Iya, gue nemenin, dan proposalnya udah diajuin ke kantor WR, tapi baru turun dua jutaan. Katanya, sisanya paling lambat bakal dikasih seminggu sebelum acara. Kalaupun misalnya bakal ada halangan, mereka diminta pakai uang kas UKMnya dulu, terus bakal diganti sesuai jumlah di LPJ setelah acara selesai."

"Loh, kayaknya Dies Natalis juga gitu, deh. Freya bilang, baru turun dua juta, padahal kita ngajuin sampai dua puluh jutaan, karena ini acara besar banget, dan semua dosen pun bakal terlibat. Katanya sih, bakal diangsur selama beberapa bulan ke depan, berhubung acara Dies Natalis juga masih bulan Juni."

Omar diam. Entah kenapa, Jethro sukses menggiring pikirannya hingga kini ikut merasakan curiga. Kalau bisa jujur pun, Omar juga merasa ini benar-benar ganjil. Seharusnya, dana untuk keperluan program kerja tiap organisasi, baik di tingkat kampus, fakultas, UKM, dan prodi, akan turun pada awal masa pengukuhan. Mereka sudah naik takhta sejak Januari silam, dan ini sudah memasuki pertengahan Maret, tapi Omar bahkan tidak pernah tahu kalau ternyata perkara anggaran biaya untuk Dies Natalis saja harus tersendat begini.

Jangan-jangan, bukan hanya Dies Natalis, tapi juga proker-proker di BEM Fakultas dan Himajur? Astaga, kelas pertama hari ini bahkan belum dimulai, tapi pikiran Omar dan Jethro sudah sama-sama penuh karena cerita dari Devano yang bahkan tidak penting bagi Devano sendiri.


[first published 31/05/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro