Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 06 ☎

"Di," panggil Rachel, membuat langkah Diandra melambat. "Kalau kita punya hubungan sama Pres—eng, anak BEM, maksud gue, itu lebih baik dirahasiain, ya?"

Diandra mengernyitkan kening. Matanya beralih pada orang-orang yang duduk di satu meja bersamaan, yang jelas ia tahu beberapa di antaranya ada Jethro dan Omar. "Hah, kok lo nanya sama gue?" Diandra bertanya balik sambil menimbang-nimbang dugaan, siapa yang sedang Rachel taksir di antara lima laki-laki itu, yang dua di antaranya adalah bagian dari kabinet BEM periode sekarang, termasuk Omar. "Nggak juga, sih. Bang Devan nggak pernah tuh bahas-bahas jangan deket atau jadian sama anak BEM. Lagian, gue sama Kak Ilyas aja biasa-biasa aja."

Tatapan Diandra kembali beralih setelah ia membalas senyum dari Omar. Ya, di antara dua laki-laki yang dikenalnya di gerombolan itu, hanya Omar yang menyadari kehadiran Rachel dan Diandra, dan hanya dia pula yang tersenyum. Jangan-jangan? Tidak, tidak mungkin. Diandra buru-buru menampik dugaannya.

Sementara Diandra masih sibuk dengan pikirannya sendiri, Rachel mengangguk-angguk pelan. Selama ini ia percaya pada Jethro dan segala ucapannya, seakan ia buta dan tuli akan opini lain yang mengerubung. Namun, kini Diandra membuka matanya. Diandra benar. Ilyas dan dirinya saja bisa seakrab dan sehangat itu di kawasan kampus. Maka, kenapa Jethro dan Rachel harus menyembunyikan hubungannya berkedok menjaga privasi? Ilyas menjabat sebagai Wakil Presma, dan sudah pasti ia selalu bersanding dengan Jethro. Kalau Ilyas saja boleh, harusnya Jethro juga!

"Chel, woi!" Diandra menepuk bahu Rachel cukup keras. "Lo suka sama siapa anak BEM?"

Rachel terkekeh, kemudian menggeleng.

"Kak Omar?" Dugaan pertama, Diandra ajukan. Rachel mendelik, lalu tertawa, seolah mengejek dugaan tak berdasar tersebut. "Kak Jethro?"

"Heh, emang lo pikir jatuh cinta segampang duduk sebelahan di perpus, terus tumbuh benih-benih cinta? Ini bukan FTV, kali!" balas Rachel masih dengan sisa tawanya. Perempuan itu lantas mencengkeram pergelangan tangan Diandra untuk membawanya melangkah lebih cepat menuju kios yang menjual makanan ringan di ujung kantin. "Udahlah, ayo. Nggak usah dibahas lagi, ah."

Diandra mengerlingkan mata, lalu berdecak sebal. "Awas aja lo, ya. Mentang-mentang gue utang cerita, lo jadi nggak cerita-cerita, ya, sama gue."

Cengiran Rachel melebar. Kini, ia menarik lengan Diandra ke dalam dekapannya. "Makanya, lo cerita dulu, dong. Udah lama ya sama Kak Ilyas?" tanyanya. Dua gadis itu berhenti melangkah ketika tiba di kios yang menjajakan makanan-makanan ringan. Sesaat, mereka berpisah untuk mengambil makanan masing-masing, membayar ke Ibu penjual, lalu segera beranjak pergi dari kantin, menuju ke kelas sebelum mata kuliah selanjutnya dimulai.

Sambil membuka tutup botol minuman teh yang dibelinya, Diandra memulakan pembicaraan mereka, setelah memastikan kelas cukup sepi dan tidak ada yang mencuri dengar obrolan. "Gue sebenernya udah kenal dia lama. Terus, mulai deket sama dia gara-gara waktu itu ngeliput wawancara kandidat paslon dua presma, setelah debat kandidat. Waktu itu, Kak Ilyas kayak udah kenal kalau gue tuh adiknya Bang Devan. Terus, ya ... ehehe, it happens. Gue nggak tau gimana cara jelasinnya, tapi lo ngerti, nggak, sih? Gue mulai deket sama Kak Ilyas dari situ, dan, makin lama makin deket, sampai akhirnya gue pernah jalan sama dia, pertama kali itu dua bulan lalu."

Rachel menggarisbawahi pengakuan Diandra. Dua bulan lalu. Dua bulan lalu mereka sudah bersahabat, Jethro dan Ilyas juga sudah naik takhta. Kenapa Rachel baru tahu semua ini dua bulan setelahnya?

Oh, barangkali inilah timbal balik yang pantas ia dapatkan karena menyembunyikan hubungannya dengan Jethro bahkan di depan sahabat terbaiknya di kampus. Rachel menghela napas pelan, ia tidak boleh kecewa dengan Diandra.

"Lo gimana, Chel?" Diandra menyenggol bahu Rachel, membuat Rachel tiba-tiba meringis dan memegangi bahu kirinya. "Eh, kenapa lo? Sakit? Baru juga gue senggol dikit."

Sontak sadar dengan reaksi dirinya sendiri, Rachel buru-buru menutupi rasa sakitnya. Gadis itu menggeleng sambil sibuk kembali merapikan rambutnya yang tergerai serta bajuny hingga menutup bahunya dengan sempurna. "Nggak, cuma kaget aja, ini tiba-tiba nyenggol kursi jadinya, nggak apa-apa kok, Di."

Diandra mengerucutkan bibir, peka bahwa Rachel sebenarnya sedang tidak jujur. "Beneran, Chel? Sori, sori."

Rachel mengangguk seiring dengan senyumnya terbentuk. "Iya, santai aja."

"Jadi siapa, nih? Kak Omar atau Kak Jethro?" todong Diandra lagi, membuat Rachel kembali berpikir keras. "Lo tau kan, mereka berdua sahabat abang gue, Chel. Sabi, lah, kalau lo mau minta bantuan sama abang gue. Atur strategi!"

Rachel tertawa lalu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh heran. "Astaga, Di. Udah, ah. Gue nggak suka siapa-siapa, cuma nanya aja. Itu juga karena gue tiba-tiba kepikiran lo gitu sama Kak Ilyas. Kan, lo tau sendiri Kak Ilyas wakil presma."

Sebelah alis Diandra terangkat. Iya, dia tahu Ilyas adalah wakil presiden mahasiswa, dan masalahnya apa? Diandra bahkan tidak menemukan kesalahan dalam data tersebut. Melihat Rachel menghela napas dan seolah memberi tanda-tanda akan bicara lagi, Diandra pun memilih untuk mendengarkannya.

"Lo kan UKM di media, ya, Di. Pasti tau, lah, dapurnya BEM, dapurnya kehidupan politik yang entah kotor entah bersih itu. Gue cuma khawatir aja, secara, kita maupun mereka nggak ada yang bisa jamin kalau Kak Jethro dan Kak Ilyas bakalan baik-baik aja sampai akhir jabatan. Ya, kan? Lo bisa keseret masalah kalau mereka ada masalah. Secara, lo tuh, ibarat, apa ya ... Ibu wapresma, gitu loh."

Penjelasan panjang itu Rachel akhiri dengan cengiran kecil. Jantungnya berdebar. Sebisa mungkin ia memarafrasakan apa yang Jethro katakan padanya. Obrolan mereka mendadak hening kemudian. Diandra sepertinya berpikir keras untuk mencerna ucapan Rachel.

"Tapi, Chel, menurut gue, sebagai mahasiswa, udah sepatutnya kita dewasa menanggapi permasalahan-permasalahan kayak gitu. Lo bener, kita emang nggak bisa ngejamin Kak Jethro dan Kak Ilyas sukses terus. Bahkan, pahit-pahitnya nih, ya, bisa aja suatu saat nanti mereka—ya Allah, amit-amit—bikin masalah dan dilengserkan dari jabatannya. Tapi, kita seharusnya udah dewasa buat nggak menyangkutpautkan kinerja mereka sama kehidupan pribadi. Yang bikin kesalahan. misalnya, Kak Jethro dan Kak Ilyas, maka gue, apapun status gue nanti sama Kak Ilyas, nggak boleh dilibatkan. Kecuali gue membantu dalam masalah yang mereka perbuat. Gitu, Chel."

Rachel bengong, kalah telak dengan argumen yang Diandra berikan. Baik, sekarang pikirannya semakin terbuka hanya dengan mendengar pendapat Diandra. Sepertinya, Diandra bisa Rachel nobatkan sebagai pahlawan yang membuka mata dan logikanya. Lagi pula Diandra benar. Memangnya, siapa yang mau peduli dengan urusan privasi di balik sekretariat BEM?

Seharusnya, Jethro yang tidak melebih-lebihkannya di sini. Lihat saja nanti, Rachel tidak akan bergerak mundur sebelum Jethro mau mengakui hubungannya dengan Rachel di depan publik. Setidaknya, pada teman-temannya, supaya segala sesuatunya lebih mudah. Lagi pula, Rachel pikir, akan lebih baik jika sahabat-sahabat Jethro tahu tentang hubungan mereka. Mereka jadi bisa makan siang bersama-sama dengan Ilyas dan Diandra. Rachel juga pasti bisa mendukung Jethro secara terang-terangan, tidak mengendap-ngendap seperti sekarang.


Sekretariat BEM Universitas masih sepi ketika Rachel membuka pintunya. Hanya ada tujuh orang di dalam termasuk Omar, koor divisinya, Regina, kakak tingkatnya, beberapa kakak tingkat lainnya, dan dua orang staf divisi yang seangkatan dengannya. Setelah mengucap salam, Rachel masuk, lalu duduk di sebelah Regina yang tengah memainkan ponselnya.

Untuk sesaat, semua pasang mata tertuju kepada Rachel. Tidak sedikit orang yang menyadari bahwa penampilan Rachel tampak berbeda dari biasanya hanya karena rambutnya kini digerai, tidak seperti minggu lalu. Regina sih sudah tidak asing, sebab sering bertemu dengannya di gedung fakultas.

Permainan gitar Omar bahkan sampai terjeda karena matanya menangkap figur Rachel yang mendadak tampak begitu dewasa dengan rambut tergerai. Ia bahkan baru sadar kalau Rachel memiliki rambut yang begitu indah dengan warna kecokelatan di bagian bawahnya, membaur dengan warna hitam legam pada bagian atasnya.

Satu per satu orang mulai berdatangan, entah sendiri-sendiri atau segerombol, dan sampai setengah jam ke depan, peserta rapat akhirnya rampung, dengan Jethro sebagai pemimpinnya pun sudah ada di dalam ruangan. Mula-mula, laki-laki itu bilang akan ada banyak yang dibahas hari ini, mewanti-wanti seluruh stafnya untuk bersiap jika nanti mereka harus pulang agak terlambat, khususnya bagi mahasiswa tahun pertama.

Laporan demi laporan bergantian dipaparkan dari tiap-tiap koordinator divisi, berurutan dari sekretaris hingga terakhir koordinator divisi HPD, Omar. Rachel mendengarkan, sambil sesekali mencatat beberapa hal penting di buku catatan kecilnya yang selalu ada di dalam tasnya. Perempuan itu mendengarkan tiap-tiap kata yang keluar dari mulut Omar dengan saksama.

Sesekali, Rachel melirik jam di tangan kiri Omar—yang kebetulan duduk di sebelah kanannya. Jarumnya jelas terus berputar, membawa waktu melangkah semakin sore dan malam, hingga akhirnya, rapat ditutup tanpa Rachel tahu bagaimana keadaan langit di luar. Menurut arloji di tangan kiri Omar sih, ini pukul 8.30, maka Rachel pastikan ia sudah tertinggal momen matahari terbenam, bahkan bulan sudah bertugas lama di atas sana.

Tiap orang mulai mengemas barang-barangnya. Omar yang semula duduk di sebelahnya, kini langsung bangkit untuk mengemas barang-barangnya sendiri. "Eh, kalian pulang nggak pada naik umum, kan?" tanya Omar pada segerombol anak-anak tahun pertama yang jadi staf beberapa temannya. Pandangannya terakhir kali berlabuh pada Rachel.

"Nggak, Kak. Aman kok, Putri sama gue, Jeni sama Luthfi, Nabila bareng pacarnya, terus Firda bareng Afif, nah Rachel sama ... eh, sama siapa, Chel?" Ari, salah satu dari mereka mengabsen. Pandangannya kini jatuh pada Rachel yang masih berdiri dan menyimak. "Lo udah ada barengan, belum?"

"Kalau belum ada barengan, sama gue juga sabi, Chel. Jangan pulang sendiri, udah malem," celetuk Omar cepat, yang jelas membuat Rachel dan Jethro tertegun. Tangan Jethro yang semula begitu aktif merapikan dokumen di meja kerjanya, kini lantas melambat geraknya. "Atau udah ada barengan?"

Rachel tersenyum dengan begitu sopan, "Udah minta jemput, Kak, aman kok."

"Rachel bareng gue aja, deket kok rumahnya," ujar Jethro tegas, seolah memberi peringatan pada siapapun untuk tidak mendekat pada Rachel.

Ya, Jethro pikir kalimatnya sudah cukup dimengerti dan bisa membuat semua orang mundur dan tidak menawarkan tumpangan pada pacarnya, namun, tiba-tiba Omar ikut campur kembali, "Beneran nggak apa-apa, Je? Lo kan pulang ke kosan? Emang, rumah lo di mana, Rachel?"

Jethro mengangguk, tanda ia tidak masalah jika harus mengantar Rachel pulang. "Gue malam ini pulang ke rumah dulu, ada urusan sama bokap, biasa," kilahnya. "Nggak apa-apa, Chel, pulang sama gue? Atau mau bareng Omar?"

Jelas itu bukan sebuah pertanyaan murni dari mulut Jethro. Rachel sudah tahu kunci jawabannya. Perempuan itu mengangguk. "Iya, Kak, nggak apa-apa. Kak Omar, gue bareng Kak Jethro aja. Kebetulan, rumah gue dan Kak Jethro emang deket kok, karena dulu kan satu sekolah juga."

Senyum Jethro mengembang. Pintar sekali pacarnya memberikan respons. Jethro bangga Rachel bisa membuatnya unggul satu tingkat meski secara implisit. "Ya udah, kalian boleh pulang, takut makin kemaleman juga soalnya. Makasih ya udah ikut rapat hari ini. Rachel, sebentar ya, gue beresin ini dulu, baru kita pulang."

Rachel mengangguk. Satu per satu mahasiswa angkatan Rachel yang tadi sudah dapat pasangan pulang pun meninggalkan ruangan, diakhiri dengan Omar yang ikut pamit. "Rachel, gue duluan ya. Je, duluan, nitip Rachel ya, anterin sampai rumah."

Jethro mengacungkan ibu jarinya. Begitu pintu tertutup dan menenggelamkan Omar di baliknya, tatapan Jethro kembali pada Rachel, "Nitip Rachel ya, anterin sampai rumah."

Rachel berdecak. Ia segera menyampirkan tote bag ke bahunya. Sambil berlalu meninggalkan Jethro, Rachel menyindir, "Wajar, lah, kan Kak Omar nggak tau kalau Jethro si presma pacaran sama Rachel, anak semester dua yang masih buta di kampus ini."

Secepat kilat, tangan Jethro mendarat pada pergelangan tangan Rachel, membuat perempuan itu menghentikan langkahnya secara paksa, dan menahan sakit akibat cengkeraman Jethro yang begitu keras. Tatapan Rachel sama marahnya dengan Jethro kini. Ia bahkan sudah tahu Jethro akan protes.

"Kamu tuh mau sampai kapan, sih, bahas ini? Belum cukup penjelasanku?"


[first published 24/05/2022 unedited]

an: halo guys. aku belum selesai nulis cerita ini, tapi udah mendekati akhir. aku udah nulis sampai bab 20an, dan kayaknya, kalau nungguin selesai baru rutin update, aku malah jadi lupa terus buat update :'))

jadi, mulai sekarang, aku bakal rutin update cerita ini setiap hari selasa yaaa<3 feel free to remind me kalau aku sekip. tapi, aku bakal update versi unedited karena aku gatau kapan aku akan selesai nulis ini dan kapan bisa ngedit. jadi kalau ada typo, masih nemu plot hole nantinya (di versi unedited) feel free buat komen<3 i'd appreciate it a lot<3

gt ges. luv u.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro