BAB 04 ☎
Sudah lima belas menit Rachel bolak-balik mematut dirinya di cermin. Sejujurnya, lemari pakaiannya menyimpan begitu banyak baju-baju yang jauh lebih bagus ketimbang hanya kaus dan kemeja flanel kotak-kotak berlengan panjang. Rachel juga selalu mau mengenakan baju-baju itu lagi untuk kuliah atau sekadar kencan, tapi, tidak mungkin.
Siang ini saja, sudah ada tiga baju yang urung Rachel kenakan dan kini malah tergeletak di kasur. Berulang-ulang Rachel berganti pakaian dan memandangi penampilannya di depan cermin. Lebam biru yang ada di bahu kirinya belum juga memudar sejak dua malam lalu. Itulah kenapa sejak kemarin Rachel menutupinya dengan rambut yang digerai, dan kini ia tidak bisa kencan dengan pakaian yang terbuka pada bagian bahunya.
Rachel berdesah. Ia melepas lagi blus yang baru saja ia coba semenit lalu. Tangannya kembali bertualang pada deretan baju-bajunya di dalam lemari. Satu per satu bajunya ia sibak, mencari yang paling pas untuk ia kenakan siang ini. Dan, pilihannya jatuh pada turtleneck lengan panjang berwarna abu-abu muda yang berada di pinggir kiri. Rachel menariknya untuk segera memadukannya dengan celana kulot denim sepanjang mata kaki.
Cocok sudah. Di antara baju lainnya, hanya ini yang akhirnya sukses menutupi lebam di bahunya secara sempurna. Rachel segera membereskan baju-bajunya yang berserakan di atas kasur, segera menutup pintu lemari, lalu beralih ke meja rias. Polesan satu per satu kosmetik menempel di wajahnya, yang ia akhiri dengan semprotan setting spray, dan kacamata yang segera bertengger di hidungnya.
Sesaat, ia memandangi pantulan dirinya lagi di cermin. Senyumnya mengembang seiring dengan ponselnya bergetar, menampilkan nama Jethro di layar. Rachel gegas bangkit dari posisinya, menerima telepon tersebut sambil menarik sling bag di balik pintu kamarnya. Tergesa-gesa, Rachel melangkah keluar dari kamarnya. "Halo, By, kamu udah sampai?"
"Udah, nih. Aku tunggu depan, ya."
"Nggak mau masuk dulu?" langkah Rachel mendadak melambat. Dari dalam rumah, ia bisa melihat ada motor merah di depan, dan ia yakin itu motor Jethro. "Mami sama Papi ada di rumah."
"Oh ya? Tumben. Ya udah, aku turun aja. Kamu nggak usah buru-buru gitu, ah, jalannya." Jethro terkekeh, membuat Rachel langsung tersipu malu. Langkahnya melambat menuju rak sepatu di belakang rumah. Bersamaan dengan ia menarik sepasang sepatu kets hitam dari rak, gerbang depan rumahnya terbuka, lalu suara Jethro terdengar seiring dengan pintu rumah diketuk, "Permisi, Om, Tante."
Kedua orang tua Rachel yang sedang duduk di ruang tengah dan menyaksikan televisi, lantas menoleh, tak segan-segan membiarkan Jethro masuk tanpa perlu mereka persilakan dulu. Jethro bergabung dengan kedua orang tua Rachel di ruang tengah setelah menyalami mereka. "Om, Tante, Jethro mau jalan sama Rachel, hehe."
"Astaga, Je, kayak baru kenal aja," gurau Jani, ibunda Rachel, sambil menepuk bahu Jethro. "Boleh, boleh. Mana Rachel-nya? Udah siap dia? Rachel!"
"Iya, Mi, sebentar!" balas Rachel entah dari sudut rumah sebelah mana. Tak lama, perempuan itu datang bersama sepasang sepatu di tangan kirinya, dan ponsel di tangan kanannya. "Ya udah, Rachel langsung jalan ya, Mi, sama Jethro. Cuma nonton bioskop, kok. Nggak lama kan, ya, Je?"
Jethro mengangguk, menyetujui pernyataan Rachel. Dua sejoli itu pamit untuk segera pergi, dengan Jethro memimpin jalan keduanya keluar dari rumah. Selagi Rachel sibuk mengenakan sepatunya di teras, Jethro menunggu di atas motor sambil memanaskan mesin.
"Nggak biasanya kamu pakai turtleneck pas jalan sama aku," tutur Jethro ketika dilihatnya Rachel melangkah mendekatinya. Laki-laki itu menyibak rambut Rachel ke belakang telinga sebelum mengenakan helm ke kepala pacarnya. "Karena ... itu, ya?"
Sambil tetap membiarkan Jethro merapikan helm di kepalanya, Rachel tersenyum kikuk. "Ya kalau nggak begini, bekas lebamnya bakal keliatan, By. Aku nggak pede."
Jethro berdesah. Sesal dan rasa bersalah langsung menghunjam bertubi-tubi. Dipikir-pikir, bodoh sekali Jethro bisa sampai kelepasan karena emosi sesaat. "Maaf, By. Aku nggak bermaksud buat ngelukain kamu. Aku kemarin bener-bener lagi pusing dan banyak pikiran, ditambah lagi tugas itu. Kamu kan tau sendiri, aku nggak pernah terlambat, jadi aku panik banget waktu kemarin tugasku belum selesai, padahal masih ada banyak yang harus kuurusin."
Telapak tangan Rachel mendarat pada pundak Jethro untuk mengusapnya lembut. Senyumnya juga mengembang, tanda ia tidak keberatan dengan apa yang telah Jethro lakukan padanya dua hari lalu. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan juga nggak sengaja kayak gitu. Aku juga ngerti kok."
"Tapi aku juga sampai ngomong kasar ke ka—"
"Jethro Daniel Tanoesudibjo," potong Rachel penuh sayang. "I said it's okay, kamu juga nggak sengaja, kan? Aku ngerti kok. Udah, ya? Berangkat, yuk?"
Tidak ada jawaban apa pun dari Jethro selain persetujuan untuk segera berangkat. Rachel pun sekali lagi memastikan helmnya sudah benar, lalu naik ke jok bagian belakang. Jethro menarik kedua tangan Rachel untuk mendekapnya, lalu menancap gas dalam kecepatan tinggi menuju Mal Taman Anggrek, sesuai kesepakatan mereka untuk nonton di sana.
Tiba di mal, Jethro dan Rachel lantas menuju lantai teratas, mengantre untuk membeli tiket, kemudian kembali keluar dari lobi bioskop untuk makan terlebih dahulu. Gerai Marugame Udon satu lantai di bawah jadi pilihan mereka. Sembari menunggu waktu hingga waktu semakin dekat pun mereka habiskan di sana dengan obrolan-obrolan kecil. Dari penuh topik hingga hening dan saling sibuk dengan ponsel masing-masing.
Rachel menyusuri laman Instagram demi mengisi kekosongan. Melihat satu per satu pos teman-temannya, termasuk Instastory yang baru Jethro unggah dan kini profilnya berada di bagian paling kiri di layarnya. Rachel membukanya, melihat foto pemandangan di depan mata Jethro, yang mana adalah Rachel sendiri, namun tanpa wajah yang kelihatan.
Perempuan itu mengernyit sambil menekan layar ponselnya agar unggahan tersebut tidak bergeser. "Udah masuk ke tahun kedua sejak kamu nggak pernah lagi publikasiin hubungan kita," tutur Rachel tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Kenapa, sih, By? Emangnya, beda ya, sama jaman sekolah dulu? Kita kan pacarannya udah tiga tahun lebih?"
Jethro mendengkus. Sejujurnya ia malas sekali membahas perihal pamer hubungan yang Rachel romantisasi bahasanya jadi "mengakui" hubungan. Menurut Jethro, mengunggah foto bersama Rachel artinya ia memamerkan hubungannya. Dulu memang Jethro butuh itu, jelas karena Rachel pernah masuk jajaran siswi tercantik di SMA Chakra Buana, yang nominasinya dipilih langsung oleh seluruh warga sekolah. Dengan award yang mengangkat namanya itu, tentu saja Jethro harus menunjukkan pada dunia bahwa Rachel adalah miliknya. Tapi di kampus? Jangankan sampai menyabet juara award aneh-aneh begitu di sini, terlihat di publik saja Rachel tidak.
Secara sadar, Jethro selalu mengatur taktik supaya Rachel tidak terlalu aktif pada organisasi mana pun yang berpotensi membuat namanya melejit di kalangan mahasiswa. Apalagi dengan status Jethro sebagai Presiden Mahasiswa, bisa-bisa mereka jadi gosip yang selalu hangat dan tidak lagi punya privasi di dalam hubungannya. Sebab, sampai detik ini Jethro yakin, di sudut-sudut tersembunyi di kampus, banyak sekali civitas academica yang memantaunya dan siap sedia mengabadikan paparazi demi diviralkan pada laman gosip tersohor di kampusnya yang diberi nama Lambe Lurah.
Jethro meraih tangan Rachel, kemudian menyungging senyum tipis. "Sayang, kita udah sering loh, bahas ini," katanya lembut. "Aku nggak mau hubungan kita ini direcokin banyak orang. Semakin diumbar, semakin kita nggak punya privasi. Apalagi aku Presma, loh. Nggak semudah itu buat aku publikasiin kehidupan pribadi aku."
Selalu, alasan seperti itu yang Rachel terima dan tidak percaya. Rasanya tidak adil saja. Memangnya siapa juga yang mau rela-relaan mengurusi kehidupan pribadi Jethro, meski ia seorang Presiden Mahasiswa? Pak Baharrudin yang lebih tinggi jabatannya juga punya istri, tapi tidak ada dosen yang ganggu dan tidak ada gosip tentang Pak Baharrudin di akun Lambe Lurah!
"Tapi kita pacaran jauh sebelum kamu jadi Presma, By," keluh Rachel tanpa mau kalah. "Emangnya siapa yang mau recokin? Kamu kan bukan Angga Yunanda. Angga Yunanda kalau punya pacar aja nggak direcokin siapa-siapa, masa kamu—"
"You're too much," sela Jethro. Air mukanya berubah tegas. Wajahnya mendekat beberapa sentimeter dari sebelumnya, sukses membuat Rachel langsung bungkam dalam gentar. Dan kesimpulannya, Rachel sudah menduga ini adalah kabar yang buruk. "Kamu kok nggak mau ngertiin aku, sih, By? Padahal, aku juga begini demi kamu. Aku mau jaga hubungan ini supaya privasi kita aman. Supaya kamu nggak diomongin banyak orang. By, aku ini Presiden Mahasiswa, dan aku nggak berani jamin aku bakal dicintai rakyatku sampai akhir jabatan meskipun aku akan selalu lakuin yang terbaik buat kampus. Kalau aku berhasil, iya, kamu dibanggain. Tapi kalau nggak, nama kamu ikut jelek, Sayang. Jadi, kita nggak perlu bahas ini lagi, ya?"
Rachel menggigit bibir bawahnya sambil mengerlingkan bola matanya ke mana-mana. Firasatnya masih berkata Rachel perlu menolak, tapi entah kenapa, hati kecilnya menyetujui apa yang Jethro katakan, meski firasat tidak baik itu tetap mendominasi perasaannya. Berbagai tanda tanya pun mulai berbuah di dalam benaknya.
"Masa aku nggak boleh bangga-banggain pacar aku sendiri?" pertanyaan pertama, berhasil Rachel ajukan. "Aku bangga loh, pacarku Presma, berprestasi, pinter, ganteng, baik sama orang lain. Gila, di dunia ini, ada anak Tuhan sesempurna kamu, By. Terus apa artinya kalau aku nggak bisa mengakui kamu di publik?"
Jethro terkekeh pelan, seolah-olah keluhan Rachel adalah sebuah komedi untuknya. "Ya ampun. Kamu kan bisa bangga di depan Mami Papi kamu? Di depan Mami Papi aku? Bukannya pengakuan mereka lebih penting daripada pengakuan temen-temen kamu, si ... Diandra itu, apalagi?"
Bibir Rachel mengerucut dengan pipi merah natural yang menggembung. Jethro yang semakin gemas dengan tingkahnya kembali terkekeh, lalu menggetil pipi Rachel, sebelum akhirnya menarik kedua ujung bibir Rachel jadi sabit. Enggan tersenyum, Rachel kembali mengerucutkan bibirnya, tapi Jethro tetap melukis senyum di wajah gadis itu hingga pertahanannya hancur dengan sendirinya. Keduanya saling melempar senyum satu sama lain.
Kelingking Jethro mengacung di antara wajah mereka. "Yuk, mau janji nggak, sama aku buat tetap jaga hubungan ini? Saling dukung satu sama lain. Kamu dukung aku di belakang sebagai Presma, dan aku bakal selalu jagain kamu, meski kita sama-sama cuma saling dukung di balik layar."
Rachel meraih kelingking Jethro dengan kelingkingnya, menautkan dua jari kurus tersebut jadi satu. "Jangan pernah tinggalin aku, Jethro."
"No matter what, Rachel. Aku rasa, aku nggak akan pernah punya alasan buat ninggalin kamu, dan kamu pun nggak akan pernah punya alasan untuk itu juga."
☎
[first published 30/04/2022 unedited]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro