Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 02 ☎


Setelah mengantar Rachel sampai depan pintu rumahnya, Jethro segera pamit untuk kembali ke indekos, yang tanpa Rachel tahu, laki-laki itu sebenarnya meneruskan laju motornya hingga ke parkiran kampus. Laki-laki dengan predikat Presiden Mahasiswa itu melangkah dengan tegas dan tetap ramah dalam perjalanan singkatnya menuju gedung kecil di sebelah rektorat. Gedung tiga lantai berisikan ruangan-ruangan berupa sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas hingga Fakultas, serta sekretariat Himpunan Mahasiswa Jurusan—Himajur.

Tidak sedikit orang lalu-lalang menyempatkan diri menyapa Jethro di sepanjang langkahnya. Dengan penuh ramah pun, Jethro membalas semua sapaan tersebut. Tak sedikit dari mereka juga yang Jethro ajak bicara sekilas, sebelum langkahnya benar-benar berakhir pada ruangan paling pojok di lantai dasar. Terdapat pelat putih bertuliskan "BEM Universitas" pada pintu kaca, yang membuat Jethro tak perlu berpikir ulang untuk mendorong pintunya dan segera menyapa beberapa orang yang ada di dalam ruangan.

"Je, kepanitiaan udah rampung, nih. Proposal baru aja selesai gue print out, coba deh lo cek dulu buat tanda tangan. Lebih cepat lebih baik, supaya kita bisa segera naikin proposalnya ke WR." Lydia, sang sekretaris, menyodorkan tumpukan kertas yang dijepit jadi satu. Jethro hanya mengangguk-angguk seraya menerima kertas-kertas tersebut. "Omar udah dapet orang buat ngisi dokumentasi. Maba, sih, tapi katanya, oke kok anaknya."

Jethro mengangguk. Ia langsung membuka halaman struktur kepanitiaan. Benar kata Lydia, ada satu nama baru pada divisi HPD—Humas, Publikasi, dan Dokumentasi—yang dikoordinasikan oleh salah satu sahabatnya, Omar. Pada bagian paling bawah, tertulis nama seorang perempuan yang begitu tidak asing.

Rachelia Dyna Ongkowijaya. Benar, ini pacarnya, yang dua jam lalu baru saja bercerita kalau ia bergabung dengan kepanitiaan Dies Natalis.

"Rachel, anak Pendidikan Sejarah 2021," celetuk Omar sambil mendekat bersama satu buah jeruk yang sedari tadi masih dinikmatinya.

"Lo serius, nih, ngajak dia?" Jethro lantas melempar pertanyaan, membuat Omar mengernyit kebingungan. Seharusnya, Jethro tidak mengenal Rachel. Selain karena perempuan itu adalah mahasiswa tingkat pertama, juga karena Rachel belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan BEM apapun.

"Lo ... kenal Rachel?"

Jethro meringis. Ia menggerayangi tengkuknya lalu meletakkan print out proposal sembari melangkah menuju meja kerjanya. "Dia junior gue di SMA," balasnya.

Omar mengangguk-angguk, tak menyimpan sedikit pun curiga dengan jawaban itu. Justru, Omar merasa ia sangat membutuhkannya. "Oh, ya? Gimana dia? Kerjaannya bagus, Je?"

Tanpa perlu waktu berpikir, Jethro menggeleng sambil mengedikkan bahu, enggan pula menatap balik Omar yang duduk di atas mejanya. "Nggak. Gue rasa nggak recommended. Kutu buku banget anaknya. Susah bersosialisasi."

Tidak ada respons apapun yang Omar berikan. Laki-laki itu semakin menyibukkan diri mengupas sisa jeruk di tangannya, sambil menyaksikan kepergian Jethro yang katanya masih ada urusan. Kini tersisa Omar dan Lydia di dalam ruangan, saling bersitatap setelah pintu kaca kembali rapat dengan dinding.

"Kok ngomongnya gitu ya, Lyd?"

Lydia menggeleng. Jelas tidak tahu apa maksud Jethro bicara begitu tentang Rachel. Ruangan mendadak hening. Omar dan Lydia saling tatap dalam diam, sebelum akhirnya Omar pamit untuk pergi lebih dulu. Sambil berlalu, laki-laki dengan rambut keriting itu mengingatkan, "Besok rapat mingguan jangan lupa. Jethro suruh cepetan tanda tangan karena kita masih butuh kirim proposal ke media partner dan sponsor, kan?"

Satu-satunya gadis yang tersisa di dalam ruangan itu mengangguk tanpa Omar sempat melihatnya. Tak lama, pintu kembali rapat, menelan figur Omar yang hilang di baliknya.

Fakta bahwa Diandra sangat suka makan sudah bukan lagi rahasia. Bahkan, setiap kali Rachel tidak sanggup menghabiskan makan siangnya—entah karena kenyang atau terburu-buru—perut Diandra selalu siap sedia menyantap habis sisa makanan Rachel, tak jarang juga perempuan itu rela ditinggalkan duluan karena Rachel sudah dijemput untuk pulang. Atau, seperti sore ini, Rachel menyisakan hampir setengah porsi batagor karena ia akan terlambat tiba di sekretariat BEM untuk rapat mingguan acara Dies Natalis!

"Sumpah, sori banget ya, Di, gue harus duluan." Perempuan dengan kucir kuda itu tergesa-gesa memoles ulang lipcream ke bibirnya. Selang sedetik, seluruh barang bawaannya sudah ia dekap, lalu sekali lagi pamit. "Gue harus rapat, Di. Bye!"

Masih sambil mengunyah batagor di dalam mulutnya, Diandra mengangguk dan memandangi kepergian Rachel yang sangat terburu-buru. Diandra belum pernah, sih, jadi bagian dari kepanitiaan acara besar kampus, jadi tidak pernah tahu kalau ternyata harus sedisiplin itu untuk hadir di sebuah rapat mingguan. Lagi pula, setahu Diandra, abangnya tidak seambisius itu. Atau, peraturan ekstra disiplin itu hanya berlaku bagi mahasiswa tahun pertama?

Ah bodo amat, lah. Diandra tidak peduli.

Sementara Diandra masih sibuk dan damai menyantap sisa batagor, di sudut lain kampus, Rachel berlarian menuju gedung kesekretariatan BEM yang terletak di bagian depan kampus. Ia harus melewati banyak sekali gedung fakultas untuk tiba di titik yang ditujunya. Tidak semudah itu pula. Rachel cukup kesulitan mencari pintu masuk ke sekretariat BEM Universitas, sebab ia bahkan tidak tahu ruangan itu adanya di lantai berapa!

"Ekhm, cari apa?" mata Rachel berhenti mencari kala suara tegas dan penuh wibawa itu menyapa. Gadis dengan kacamata berbingkai tipis itu berbalik badan, mendapati seorang kakak tingkat dengan kemeja ketat merah marun dan bercelana bahan. Rambutnya pendek dan sangat rapi bak model iklan gel rambut. Matanya sipit cokelat, alisnya tipis, begitu pula dengan bibirnya yang memerah alami. Hidungnya mancung dengan warna kulit yang cerah. Tidak lain dan tidak bukan, laki-laki ini adalah Jethro, pacarnya sendiri, yang ia duga sedang menuju ke ruangan yang sama dengannya. "Mau ikut rapat Dies Natalis, ya?"

Rachel tersenyum kikuk selagi otaknya sibuk berpikir. Padahal mudah sekali untuk menjawab pertanyaan Jethro, tapi entah kenapa, lidahnya kelu. Laki-laki yang sedang dihadapinya ini bukan Jethro Daniel Tanoesudibjo pacarnya, melainkan Jethro Daniel Tanoesudibjo sang Presiden Mahasiswa yang memancarkan karisma berbeda dengan hari-hari normal lainnya.

"Eng ... I—"

"Eh, Rachel?" bak malaikat penyelamat, Omar datang dari belakang punggung Jethro. Kontan Jethro dan Rachel serempak menoleh ke sumber suara, mendapati Omar sedang berjalan mendekat. "Ruangan BEM-nya di pojok kiri situ, tuh. Nah, ini Presma kita, namanya Jethro, udah tau kan, ya?"

Samar-samar, Rachel mengangguk. Ia bahkan tidak perlu dikenalkan kepada Jethro, asal Omar tahu.

"Yuk Ra ... siapa tadi, Rachel, ya? Silakan. Rapatnya udah mau kita mulai lima menit lagi," tutur Jethro sambil menyungging senyum. Laki-laki itu kembali melangkah, mendahului Rachel yang masih mencerna kejadian barusan.

Ini jadi rapat bersama BEM Universitas perdana bagi Rachel di sepanjang masa kuliahnya yang baru berusia jagung. Atmosfernya jelas berbeda dengan ketika ia rapat untuk acara Natal beberapa bulan silam. Tidak ada senda gurau yang Rachel temukan di sini. Ia duduk di antara Omar dan Regina, satu-satunya perempuan yang ia kenal di sini. Jethro banyak sekali bicara, dan secara tidak sadar, itu membuat Rachel terus-menerus menjatuhkan atensinya pada laki-laki penuh wibawa itu.

Tak jarang mata Jethro dan Rachel saling bertemu dan berakhir saling tatap dalam waktu yang cukup lama. Meskipun, sayangnya tatapan Jethro tak sekali pun menghangat. Pikiran Rachel benar-benar buyar dan sering tidak fokus. Dalam diam, ia menyimpan rasa kagum yang kian menggebu, betapa hebat Jethro bisa bersikap seprofesional ini.

Rapat berakhir pukul tujuh. Rachel sudah mencatat beberapa poin penting yang ia butuhkan untuk kepentingannya sendiri serta divisinya. Begitu rapat resmi ditutup oleh Jethro, semua orang gegas mengemas barang mereka masing-masing dan pamit meninggalkan ruangan, tak terkecuali Rachel, yang sambil merapikan barang-barangnya, diam-diam mengirim pesan kepada Jethro kalau ia akan menunggu di tempat biasa mereka janjian.

"Eh, Rachel, lagi buru-buru, nggak?" interupsi Omar ketika Rachel baru saja berdiri. Refleks, Rachel melirik pada Jethro yang masih berdiri di balik meja kerjanya, yang kini turut menatap Omar. Rachel tetap diam, menunggu kelanjutan kalimat Omar selagi laki-laki itu bangkit dari duduk. "Gue mau rapat internal sama anak-anak HPD, nih, kalau lo nggak buru-buru. Nggak lama kok, cuma setengah jam palingan."

"Rachel mengangguk paham. "Oh, iya, Kak. Nggak apa—"

"Rapat internal HPD?" potong Jethro cepat. Kontan, seluruh panitia divisi HPD menoleh ke arah Jethro yang kini menatap arloji di pergelangan tangan kanannya. "Udah malem, nggak bisa besok aja, Mar?"

Omar mengernyitkan kening. Ia melirik arlojinya sendiri, memastikan bahwa ini benar-benar masih pukul tujuh, dan belum terlalu larut untuk pulang tiga puluh menit ke depan. "Emang kenapa, Je? Masih jam tujuh. Lo udah mau pulang? Tumben."

"Bukan gitu. Cuma ... ya, di tim lo ada anak semester dua, Mar. Jangan terlalu keras di awal lah pulang larut begitu," terang Jethro.

Dua laki-laki yang tengah berdebat itu serentak menoleh ke perempuan yang sedang dibicarakan. Rachel, yang merasa jadi buah bibir balik menatap dua seniornya bergantian, memastikan bahwa mereka memang sedang membicarakan dirinya. Tipis, bibir Rachel membentuk lengkungan. "Ak—Saya nggak apa-apa kok, Kak Jethro."

"Kan? Nggak apa-apa, kok. Gue janji nggak akan lama," bela Omar. "Kalau perlu gue yang anter pulang kalau emang bakal ngaret selesainya."

Rahang Jethro mengeras, samar-samar, tatapannya menajam, namun hanya Rachel yang menyadari semua cemburu yang mulai terbit itu. Hanya beberapa saat, sebab Omar abai dan langsung mengumpulkan staf divisinya untuk membuat lingkaran, sementara Jethro pamit pada seluruh orang yang masih ada di dalam ruangan.

Rachel ikut duduk melingkar, memandangi kepergian Jethro dalam diam. Pintu ruangan bahkan belum tertutup, tapi tiba-tiba, laki-laki itu meneleponnya. Rachel menghela napas dengan gusar. Suka tidak suka, Rachel menerima telepon masuk dari Jethro, dan membisukan speaker-nya supaya suara Jethro tidak terdengar jika tiba-tiba ia bicara. Benda tipis itu Rachel simpan rapat-rapat di dalam tas. Tidak ada yang boleh tahu kalau ada telepon yang terhubung ke Jethro.

Durasi rapat tambahan malam ini Rachel hitung dari durasi teleponnya dengan Jethro berlangsung. Hanya 25 menit, dan rapat internal divisi HPD selesai. Satu per satu meninggalkan ruangan, hingga tersisa Rachel, Omar, dan Regina. Dalam satu waktu bersamaan, Rachel sibuk mengikat tali sepatu; Regina sibuk menelepon driver ojek online; sementara Omar mematikan lampu dan mengunci pintu ruangan.

"Rachel, lo pulang naik apa?" tanya Omar tanpa memalingkan pandangan dari serenceng kunci yang ada di tangannya. "Mau bareng gue, nggak? Atau, lo ngekos? Mau gue anter?"

Rachel mendelik kaget. Mampus saja. Jethro pasti mendengar percakapan ini!

"Naik bus, Kak. Nggak usah, nggak apa-apa kok. Saya udah biasa," balas Rachel terburu-buru. Sama cepat dengan tempo bicaranya, ia segera menyelesaikan ikatan tali sepatunya. "Kalau gitu, saya duluan ya, Kak. Duluan Kak Omar, Kak Regina."

"Eh, bentar." Omar menginterupsi langkah pertama Rachel yang sudah akan berbalik badan dan pergi. "Jangan kaku-kaku. Elo-gue aja, nggak apa-apa, kan?"

"Oh." Samar, Rachel mengangguk, lalu senyum. "Iya, Kak. Kalau gitu, gue pamit duluan."

Tanpa merasa perlu menunggu tanggapan Regina dan Omar, Rachel gegas berlari meninggalkan dua seniornya itu. Ia melangkah dengan cepat, menuju titik di mana ia biasa janjian dengan Jethro. Dan tentu saja, Jethro ada di sana, bersama KLX merahnya yang ia beri nama Redy.

"Rachel, lo pulang naik apa?" ledek Jethro dengan begitu ketus. Ejekan tersebut diakhiri dengan tawa kecil. "Aku udah bilang sama kamu, By, jangan ikut kepanitiaan acara besar begini. Sekarang jadi harus pulang malem gini, kan?"

Rachel mengabaikan nasihat itu. Perempuan dengan wajah Tionghoa yang khas itu lantas naik ke jok belakang motor Jethro. "Nggak apa-apa, By. Kan aku udah bilang."

"Tapi kan kamu udah janji buat bantuin aku ngerjain tugas, Sayang. Tugasnya buat besok, loh. Aku ngelarang kamu ikut kepanitiaan juga kan supaya kamu nggak capek. Udah pulang malem, masih harus bantuin aku juga, lagi."

Hanya helaan napas yang jadi respons Rachel. Ia sudah tidak punya energi untuk berdebat lagi. Bahkan ketika Jethro membawanya ke indekos untuk membantunya mengerjakan tugas pun, Rachel tidak punya pilihan.


[first published 23/03/2022 unedited]

an: halo gais. aku akhirnya publish bab 2. tapi, aku tetep belum selesai nulis, sequel gama-aruna pun masih belum nambah :))) akhir-akhir ini superhecticccc :'))

kalau update-nya nunggu aku selesai nulis kayaknya bakal lama, jadi aku update pelan-pelan aja, hehe. meskipun mungkin nggak akan update cepet kayak biasa seminggu sekali/dua kali.

sabar-sabar ya :)) <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro