Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 01 ☎


Langkah Rachel besar-besar dan cepat, membelah koridor lantai dua yang dipadati mahasiswa dengan kegiatannya masing-masing. Tengah menunggu jadwal bimbingan dengan dosen, menikmati makan siang, maupun para mahasiswa yang sedang bersiap untuk diskusi mengenai nilai mereka dengan dosen-dosen tertentu. Dan, tidak terkecuali Rachelia Dyna Ongkowijaya, yang kini tengah melangkah dengan begitu tergesa bersama puluhan lembar kertas yang ada di dalam dekapannya, yang bahkan tidak sempat ia rapikan ke dalam stopmap.

Sebelum memasuki ruang pribadi Pak Gunawan, Rachel kembali mematut dirinya di cermin sesaat. Kembali menatap pada pantulan dirinya. Mata sipit yang cokelat, bibir tipis yang merah alami, hidung kecilnya yang mancung, alisnya yang tipis, semua aman dan rapi. Rambut panjangnya yang hitam dengan ombre ash brown pada bagian bawah ia sisir sesaat dengan jari-jarinya yang kurus dan panjang, sebelum ia ikat dengan pita hitam. Rachel mencetak senyum lebar di wajahnya yang seputih susu.

"Permisi, Pak Gunawan, sa—"

"Iya, silakan masuk, Rachel," potong pria dengan kacamata tebal yang duduk di ujung hidungnya. Kikuk, Rachel mengangguk, perlahan mendorong pintu kaca yang setengah terbuka. "Sudah lengkap semua KHS semester satu kemarin?"

Rachel mengangguk sambil menarik kursi di depan meja atas nama Drs. Gunawan Tanoto, M.Pd. tersebut. Perempuan itu merapikan kertas bawaannya, lalu meletakkannya di atas meja dosen pembimbing akademiknya.

"Kalau gitu, tolong bantu diurutkan sesuai NRM, ya, Rachel," pinta Pak Gunawan, yang lagi-lagi Rachel respons dengan anggukan.

Sementara Rachel mulai sibuk mengurutkan kertas-kertas tersebut, Pak Gunawan beranjak dari kursi kerjanya, menyusuri lemari pribadi yang berada di balik mejanya untuk mencari stopmap khusus menyimpan lembaran-lembaran transkrip nilai mahasiswa angkatan yang dibimbingnya.

Ini baru awal semester kedua, dan Rachel rasanya sudah mulai lelah saja. Indeks prestasinya semester lalu tak sampai menyentuh angka tiga karena Rachel sempat terlalu sibuk mengurus acara natal tahunan dengan PMK—Persekutuan Mahasiswa Kristen—lalu menjadi wakil ketua angkatan, mendampingi Deandy sang ketua angkatan. Sebagai mahasiswa baru yang wajib mengambil 22 SKS, Rachel tidak bisa bohong, bahwa ia cukup keteteran dengan segala kegiatannya karena harus beradaptasi dengan kehidupan kampus yang berbeda dengan kehidupan SMA.

"Pak, ini sudah saya urutkan sesuai NRM, dan sudah lengkap semuanya, enam puluh mahasiswa," lapor Rachel sambil ia merapikan lagi beberapa lembar kertas yang mencuat tak beraturan. Perempuan itu memasukkan enam puluh lembar kertas di tangannya ke dalam stopmap, lalu segera pamit undur diri. "Saya permisi dulu, Pak. Masih ada janji dengan teman saya."

Pak Gunawan mengangguk, lalu mempersilakan Rachel untuk segera keluar dari ruangan pribadinya. Gegas, Rachel berbalik dan keluar, hendak menemui Diandra, sahabatnya, yang bilang akan menunggunya di depan ruang dosen setelah membeli minuman.

Diandra belum datang, membuat Rachel berdiri di depan ruang dosen sambil menyibukkan dirinya mengirim pesan pada sahabatnya itu, mempertanyakan keberadaannya. Rachel putuskan untuk tetap menunggu Diandra di titik yang sama, depan ruang dosen.

Belum lima menit Rachel berdiri dan masih berbalas pesan dengan Diandra, seorang kakak tingkatnya menghentikan langkah di hadapan Rachel, membuat perempuan dengan rambut gelombang ash brown itu menengadahkan kepala. Sejurus, Rachel membenarkan posisi kacamatanya, untuk menatap lebih jelas siapa yang hadir di depan matanya.

"Halo, Chel," sapa perempuan yang Rachel kenal dengan nama Regina itu. "Lagi kosong, nggak?"

Sejurus, Rachel mengernyit. Selain mengenal Regina karena perempuan itu adalah salah satu mantan anggota Himajur—Himpunan Mahasiswa Jurusan—semester lalu dan bertemu pada kepanitiaan acara Natal, Rachel ingat sekali mereka tidak pernah dekat atau saling sapa satu sama lain. Bahkan Rachel terkejut karena Regina tahu namanya.

Samar-samar, Rachel mengangguk. "Iya, Kak. Kenapa?"

"Ikut gue, yuk, sebentar." Regina memimpin langkah, diikuti oleh Rachel yang masih mengulum pertanyaan di dalam hatinya sendiri. Sambil tetap melangkah, Rachel memberi kabar pada Diandra kalau ia sedang berurusan sebentar dengan Regina, dan meminta Diandra untuk menunggu di lobi gedung fakultas.

Langkah Regina berhenti di lobi gedung fakultas, kala matanya menangkap figur laki-laki yang dicarinya. "Kak Omar, ini."

Laki-laki dengan kemeja putih itu memalingkan pandangannya, menatap Regina dan perempuan yang dibawanya. Cukup lama Rachel dan Omar saling tatap, terang-terangan menilik penampilan satu sama lain.

Di antara mereka, Rachel yang lebih lama memperhatikan dari ujung rambut hingga ujung sepatu kets Omar. Rambutnya pendek dan keriting, Rachel yakin lama-lama akan jadi kribo jika dibiarkan makin panjang. Matanya bulat dan sehitam rambutnya, hidungnya agak besar dan sedikit bangir, bibirnya tebal, dan kulitnya kecokelatan, khas laki-laki Indonesia.

"Gue Omar, Bimbingan Konseling 2019." Laki-laki keriting itu mengulurkan tangan, membuat Rachel terkesiap karena sudah terlalu lama memperhatikan penampilan Omar. Dengan begitu canggung, Rachel menyungging senyum dan menjabat Omar. "Rachel ... gue tebak, Pendidikan Sejarah, 2020?"

"2021, Kak," koreksi Rachel yang kemudian mendapatkan anggukan paham dari Omar. Tautan tangan mereka segera terlepas, dan hening kembali menyapa.

"Oke, mungkin sambil duduk aja kali, ya, supaya gue jelasinnya enak, dan kita nggak nutupin jalan," ujar Omar. Regina dan Rachel manut, lalu mengikuti langkah kakak tingkatnya menuju kursi besi panjang yang kosong. Ketiganya duduk sejajar, lalu Omar memulakan penjelasan secara singkat tanpa bertele-tele. "Jadi gini, Rachel. Gue Omar, dari BEM Univ. Kebetulan, bulan Juni ini kita bakal ada acara besar, yaitu Dies Natalis kampus yang ke-35. Sembilan puluh persen struktur kepanitiaan sih udah terisi, ya, baik dari anak BEM sendiri, maupun dari recruitment yang sebulan lalu kita adain. Tapi, masih ada beberapa posisi yang kosong, nih, salah satunya untuk seksi dokumentasi, yang sayangnya, kita nggak nemu yang pas waktu open recruitment kemarin. Nah, kebetulan ada Regina yang nyaranin nama lo, karena katanya, kerjaan lo oke banget nih waktu kalian acara Natalan kemarin di PMK."

Rachel sudah menebak ke mana arah pembicaraan Omar, dan perempuan itu menyungging senyum tipis ketika Omar mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan tujuan kedatangannya.

"Maka dari itu, Rachel, gue mau menawarkan lo untuk gabung sama kepanitiaan Dies Natalis. Kebetulan, gue koordinator HPD tahun ini, dan ini jadi tanggung jawab gue untuk merekrut kekosongan posisi seksi dokumentasi, berhubung gue nggak sreg sama anak-anak yang kemarin ikut open recruitment. Lo boleh pikirin dulu, sih. Kalau emang lo minat, bisa hubungi Regina, atau langsung ke gue. Kita bisa ditemuin di sekretariat BEM, di gedung B, sebelah rektorat."

Mata Rachel jelas berbinar di balik lensanya. Urusan organisasi, ia takkan pernah mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. Maka, semudah berkedip, Rachel membulatkan keputusan, "Boleh, Kak."

Kini, binar di mata Omar tak kalah cerah dari mata Rachel. Senyumnya ikut melebar sebesar bibir Rachel yang melengkung. "Siap. Kalau gitu, nanti Regina yang bakal masukin lo ke grup, ya, Rachel. Supaya kalau ada apa-apa, kita saling berkabar di sana, termasuk untuk jadwal rapat mingguan. Hari Kamis jam lima sore, di sekret BEM. Nanti bakal ada surat pernyataan komitmen gitu, nanti gue kabarin lagi lah gampang."

Rachel mengangguk mantap. Deal sudah kerja sama mereka akan dijalin mulai hari ini. Diskusi mereka mengenai gambaran acara secara garis besar tidak berlangsung lama. Omar harus segera pamit karena mengejar jadwal kelas setelah makan siang. Begitu pula dengan Regina yang turut pamit karena harus bimbingan tugas. Tersisa Rachel masih duduk di kursi yang sama, menunggu Diandra yang tak lama kemudian muncul dari balik pintu kaca yang ia dorong dengan bahunya.

"Chel, sori lama! Antre banget, cuy! Emang bener-bener deh kantin di jam makan siang, tuh!" Diandra lekas duduk di sebelah Rachel, membawa dua gelas thai tea bersama sebaris gerutuan panjangnya yang tidak pernah berubah tiap pukul satu siang.

Rachel mengangguk, sudah paham sekali bagaimana keadaan kantin pada jam-jam makan siang begini. "Nggak apa-apa. Gue yang makasih malah, lo rela dititipin dan pergi sendiri. Sori ya, gue tadi mesti ke Pak Gunawan dan nggak sempet nyusul elo."

Dengan acuh tak acuh, Diandra mengangkat kedua alisnya beberapa kali sambil menyesap minumannya tanpa jeda. "Santai!" ujarnya. "Ya udah, Chel, langsung aja yuk. Biar nggak terlambat masuk kelasnya Pak Abidin."

Acungan jempol langsung mengudara dari Rachel. Dua sejoli itu lantas beranjak dari kursi di lobi fakultas, melangkah seiringan menuju lantai tiga gedung, di mana kelas akan berlangsung.


"Nggak mau bareng, Chel?" tanya Diandra sambil membuka pintu sebelah kiri mobil yang dikendarai Devano, kakak laki-lakinya. Ini sudah entah keberapa ratus kalinya Diandra menawarkan tumpangan pada Rachel bahkan sejak mereka baru masuk kuliah, dan ini sudah entah keberapa ratus kali pula Rachel menolak kebaikan yang Diandra tawarkan untuk pulang dengannya.

Lagi pula, bukan tanpa alasan Rachel selalu menolak ajakan dua kakak beradik baik hati tersebut. Rachel sudah memiliki seseorang yang sama sukarelanya mengantar ia pulang sampai depan pagar rumah, dan Rachel pikir, Diandra tidak perlu tahu. Atau, lain kali.

"Bener nggak mau, Chel? Lo nggak pernah mau deh, pulang bareng gue dan Bang Devan. Takut dia gigit, ya?" canda Diandra sambil menutup pintu mobilnya setelah membuka jendela. Bibirnya mengerucut, sok-sok merajuk sebab Rachel menolak ajakannya lagi. "Ini udah ke seratus sebelas kalinya, loh, Chel."

Rachel terkekeh. "Astaga, Diandra, gue kan udah bilang kalau gue dijemput," tegas perempuan itu dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya. "Udah gih, jalan. Nanti kesorean malah kena macet."

Diandra pasrah lagi sore ini. Ia akhirnya pamit pada Rachel, lalu memerintah Devano untuk segera menancap gas meninggalkan kawasan kampus. Sementara Rachel, kembali melangkah menuju gerbang kampus, lalu berbelok ke gang kecil di sebelah kiri jalan, ke arah pemukiman warga yang beberapa di antaranya ada bangunan-bangunan indekos best seller karena jaraknya yang begitu dekat dengan gerbang kampus.

Rachel berhenti di depan salah satu gerbang indekos, melihat sejenak ke dalam, lalu kembali menatap ponsel di tangannya. Tak butuh waktu lama baginya untuk kemudian melihat Kawasaki KLX merah keluar bersama pemiliknya. Motor itu berhenti di depan kaki Rachel, dan pemiliknya langsung sibuk celingukan sambil menyodorkan helm pada perempuan berambut kucir kuda tersebut.

"Aku mau cerita sama kamu, By." Bibir Rachel melengkung sambil ia mengenakan helm berwarna senada dengan sang pengendara. Tak butuh waktu lama, Rachel selesai mengenakannya dan sudah naik ke jok bagian belakang, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang laki-laki yang memboncengnya. "Aku tadi ditawarin masuk kepanitiaan Dies Natalis!"

Motor mulai melaju, sang pengendara masih terdiam sampai motornya menjauh dari kawasan kampus. "Kok bisa kamu masuk kepanitiaan Dies Natalis, By? Emang ikutan oprec kemarin?"

Rachel menggeleng sambil balik menatap laki-laki di depannya dari spion kiri. "Kak Regina—kamu inget, kan, Kak Regina yang aku ceritain, anak PMK—itu dia yang rekomendasiin aku ke koor HPD Dies Natalis. Kak Omar. Kamu kenal, kan, pasti? Anak BK juga. Itu tuh, Kak Omar yang pernah kamu ceritain ke aku, ya?"

Lawan bicara Rachel mengangguk. Jelas ia kenal dengan Omar, sahabat baiknya sejak semester satu. "Tapi, By, kayaknya jangan, deh. Jangan masuk kepanitiaan Dies Natalis, ya?"

Kening Rachel mengernyit. "Loh, kenapa?"

"Kamu masih semester dua. Mending fokus dulu aja sama kuliah. Organisasi mah belakangan aja, Sayang. Lagian, kamu itu kan wakil ketua angkatan juga."

"Aku bisa, kok. Kamu nggak usah khawatir."

Laki-laki dengan jaket kulit tersebut mendengkus. Pacarnya selalu keras kepala atas keinginannya. Percuma ia melarang. Namun, memberikannya izin untuk tetap berada di dalam kepanitiaan bukan berarti ia akan melepas Rachel begitu saja. Apalagi ketika ada nama laki-laki lain yang keluar dari mulut perempuan kesayangannya.

Jethro Daniel Tanoesudibjo, selaku Presiden Mahasiswa, akan memantau tegas hubungan antara Rachel dan Omar.


[first published 04/03/2022 unedited]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro