The Worst Timing
27, Bulan Tua. Tahun 1966.
Tara sedikit terbiasa dengan Etad kali ini, tetapi tidak dengan Ayah dan Ibu. Segera setelah mereka mendarat di lobi apartemen Julian, keduanya mual luar biasa. Seolah sudah diperingatkan untuk bersiap-siap, dua orang pelayan melesat dengan baskom.
"Biar mereka mengurusnya," kata Julian, sementara para pelayan membopong Ayah dan Ibu ke ruang terpisah. Napasnya tersengal-sengal. Ia terlihat begitu berbeda daripada sebelum ber-Etad. Wajahnya pucat luar biasa dan peluh mengalir dari pelipis, seolah-olah Julian baru saja bangkit dari kematian.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Tara heran. Namun, belum sempat Julian menjawab, sebuah suara familiar menerjang dari arah pintu.
Bukan Emmett. Itu suara Aveline. "Apa-apaan kau Jules?!" sentaknya. "Membawa dua manusia dengan Etad? Apa kau mau membunuh mereka?"
"Aku tidak punya pilihan!" Julian balas membentak. Tara terperangah mendapati sahabatnya datang. Semula kelegaan meletup-letup di hatinya, tetapi menyadari bahwa Aveline berada di apartemen Julian, dengan pemilihan kata-kata yang menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar saling-tahu-karena-Tara, membuat sang gadis melangkah mundur.
"Apa gunanya lima puluh veiler yang Emmett kirim?" Aveline melotot. Ia masih belum menyapa Tara bahkan dengan kerlingan.
Julian mengacungkan telunjuk di depan mata Aveline. "Aku menemukan mereka di kapal. Dan tebak kapal siapa? Kapal Fortier." Ia menggertakkan gigi. "Kita cuma berjarak sedetik dari serangan dadakan para awak kapal palsu."
"Apa?"
"Kau dengar aku." Julian menarik diri. "Jangan buat aku mengulang."
Julian berlalu pergi dengan langkah lebar. Saat seorang pelayan lewat dengan gelas-gelas berisi air mineral, ia menyambar satu dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Ia pun bergegas, meninggalkan Tara dan Aveline di lobi.
Barulah pada saat itu Aveline menambatkan pandangan pada Tara, yang sudah lama mengawasinya, tetapi kali ini dengan sorot yang tak pernah ia berikan sebelumnya.
"Oh, Tara." Aveline tampaknya sadar. Ia gugup. "Apa kau baik-baik saja?"
"Bagaimana bisa kau ada di sini?" tanya Tara bingung. Matanya mengisyaratkan pada cara Aveline menggulung rambut dan mengenakan piyama panjang. Begitu nyaman seakan-akan rumahnya sendiri. "Di apartemen Julian?"
"Ouh, itu—" Aveline kali ini menghentikan ucapannya sendiri. Matanya jelalatan mencari jawaban yang bisa membantu. Tak ada. Walaupun begitu Tara juga tidak berniat menunggunya. Dua orang pelayan mendekat, bertanya pada Tara apakah mereka boleh memindahkan koper-koper Ayah dan Ibu. Tara mempersilakan. Selama itu ia tidak pernah memutuskan tatapannya dari Aveline.
Aveline menelan ludah. "Aku bisa menjelaskan," katanya dengan cepat. "Aku dan Julian adalah saudara Energi."
"Kau?" Tara mengernyit. "Aku tidak pernah tahu kau punya Energi sejenis Julian, kecuali kau merahasiakannya dariku atau kau memang tidak pandai berbohong."
Tambahan masalah Aveline adalah hal paling terakhir yang ingin Tara urus, kendati perih mulai berdenyut-denyut kecil di dadanya. Tara menyingkirkan sensasi itu dengan menggeleng kuat-kuat, lantas menyusul ke arah Ayah dan Ibu berada, membiarkan Aveline mengutuk dirinya sendiri di lobi.
Ayah dan Ibu, kendati mual parah, masih baik-baik saja. Tara sempat terbayang-bayang amarah Aveline tadi. Etad bisa membunuh manusia biasa? Mengapa? Apakah karena manusia tidak punya Energi, sementara hanya para Setengah Monster terpelajar yang bisa melakukannya?
Tara merinding. Andai ia masih membenci Julian sepanas malam Pesta Pewaris, mungkin Tara akan melupakan semua kebaikan sang pangeran. Sekarang Tara tak mau memikirkan itu lebih jauh. Ia memastikan Ayah dan Ibu kembali tenang setelah disuguhi minuman hangat dan pure apel yang lumer di mulut.
Selang tak lama setelah itu, Julian muncul. Ia tidak lagi pucat kendati lelah masih bergurat-gurat jelas di wajahnya. "Tuan dan Nyonya Wistham boleh tinggal di sini sementara waktu," katanya dengan senyum terbaik yang mampu ia berikan. "Ada banyak kamar di sini, dan karena aku jarang pulang, jadi Anda berdua tak perlu sungkan. Semua pelayan dan veiler siap melindungi Anda."
Ayah dan Ibu tak sanggup menolak. Mereka jelas-jelas membutuhkan tempat tidur dan kepastian keadaan, meski sayangnya belum ada yang mampu memberikan jawaban atas permintaan kedua. Setidaknya, tawaran putra kaisar membuat mereka bisa cemas dalam kenyamanan.
"Kau juga, Tara. Beristirahatlah."
Istirahat adalah hal terakhir nomor dua yang ia butuhkan sekarang. "Bagaimana situasi kaptenmu dan para veilermu?" Tara menggigit bibir. "Mereka sedang melawan para preman Fortier nun jauh di tengah samudra."
"Mereka asap dan api yang bertarung di atas air. Jika keduanya terempas badai, setidaknya asap masih punya harapan untuk selamat." Cara Julian menyeringai, sekaligus menyampaikan kata-kata itu, tidak membuat Tara merasa lebih baik. Ia merespons dengan gelengan. Seringai Julian menghilang. "Ada lebih banyak hal yang perlu dikhawatirkan, Tara. Itu sudah tugas mereka sebagai veiler, dan jika Tuhan masih menakdirkan mereka hidup, mereka sanggup bertahan."
Kalau menyangkut Tuhan, Tara tak ada keinginan untuk protes. Itu memang benar, dan Tara berharap dalam hati bahwa semua prajurit penolong itu bertahan hidup. Tara tidak lagi memikirkan asap hitam yang mengaburkan tepi figur mereka.
Julian menunjuk ke arah pintu untuk kamar istirahat Tara. Ia menambahkan, "Ada dua tempat tidur di dalam. Aku yakin kau membutuhkan Ave di saat seperti ini." Ia mengucapkannya tanpa beban, dan saat ekspresi Tara berubah, Julian sempat berhenti.
"Kenapa bukan kau saja yang tidur bersama Aveline?" tanya Tara heran. "Kalau kalian memang bersaudara."
Mata Julian membulat horor. "Tara—"
"Mengapa ada banyak sekali hal yang terbuka di depanku dalam sekejap?" Tara berbalik. Ia memang memasuki kamar tersebut, tetapi pintunya segera dikunci.
Tara tahu ia tidak seharusnya berkata seperti itu.
Apalagi kepada pria yang baru saja membawanya kepada Ayah dan Ibu, dan mengevakuasi di malam yang sama dari kedamaian palsu. Namun Tara tak bisa menahan denyut nyeri yang semakin membesar. Kepalanya panas saat terbayang pelukan Julian beberapa waktu lalu.
Apa yang diucapkan mulutnya sudah pasti tidak sejalan dengan isi pikiran. Sial, dia bahkan tak bisa berpikir jernih. Untuk kesekian kalinya, Tara merasakan dada dan ubun-ubunnya menggelegak sekaligus. Ia terlalu banyak membakar dirinya akhir-akhir ini, hingga Tara heran mengapa dirinya tidak kunjung mati karena serangan jantung.
Otaknya berkabut, kecuali jelas menerka-nerka siapa sumber dari surat-surat palsu di dalam sakunya. Kemudian, teringat bahwa ini adalah momen paling emas untuk menemukan sang penulis, Tara pun menggenggam semua surat.
Mengabaikan ketukan di pintu, Tara memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi.
"Tolong," gumamnya di antara gigi terkatup. "Bawa aku kepada bajingan ini."
Tubuh Tara pun melumat. Namun caranya berbeda. Jika sebelumnya ia seolah melebur menjadi asap seperti Julian, kali ini tubuhnya terurai menjadi sulur-sulur yang seketika tenggelam di bawah tanah.
Dan sulur-sulur itu melesat melintasi negeri—melewati puluhan kota, nun jauh di bawah lapisan Laut Nordale, kembali melewati puluhan kota, ratusan desa, dan ia berhenti macam mobil tabrakan di bawah sebuah rumah. Semua itu tertempuh sesaat saja, sehingga ketika Tara kembali mewujud padat di lorong rumah tersebut, ia terhuyung-huyung.
Rumah ini familiar. Lorong berlantai linoleum berpetak-petak, dinding yang memajang pigura-pigura seorang wali kota dengan kebaikan palsu, dan aroma zaitun yang tiada dua.
Keringat dingin meluncur di punggung Tara. Ia menghadap sebuah pintu. Samar-samar terdengar suara desahan dari dalam, tetapi bukan seperti yang nyaris Tara pikirkan setelah menemui Julian dan Aveline, melainkan desah tercekat seolah berusaha menggapai udara yang tersisa.
"Usai, sudah usai." Erangan Tuan Hudson semu dari balik pintu. "Dia tahu! Keparat itu tahu!"
Tara membuka pintu. Pandangannya tertuju pada Tuan Hudson yang tengah membekap seorang gadis pelayan di ranjang. Sang pelayan seakan-akan tahu kehadiran Tara, sebab ia telah memandang ke arah pintu sebelum Tara muncul. Saat tatapan mereka menjalin, Tara tahu satu lompatan tidak mampu menyelamatkannya. Air mata mengalir di pipi sang pelayan sebelum matanya berputar lemas.
Tuan Hudson, di waktu yang sama, masih mencekik pelayannya sembari meraung. "TARA!" ia spontan melompat. Ia mengangkat kesepuluh jari jahanam yang baru saja merenggut nyawa sang penulis surat-surat palsu. "AKU BISA JELASKAN!"
"Terlalu banyak yang terbuka di depanku akhir-akhir ini." Tara melangkah dengan cepat. Ia tertawa. Sulur-sulur tumbuh melesat dari ujung-ujung jarinya—sepuluh jari yang sama-sama akan menjadi jari-jari jahanam.
Tuan Hudson memekik melihat sulur-sulur yang meliuk seperti makhluk hidup terpisah. Ia berusaha kabur, tetapi langkahnya tersandung oleh karpet yang melapisi lantai kamar. Ia refleks merangkak mundur.
"Aku calon ayahmu, Tara! Hentikan kegilaan ini!"
"Oh, aku bisa menjelaskannya kepada Karlo nanti."
"Kau tidak bisa melakukan ini! Aku wali kota!"
"Kau punya EMPAT tahun untuk menjelaskan kepadaku, Tuan Hudson." Tara mengacungkan tangan. Lima sulur menegang kaku bagai bilah pisau. Namun, alih-alih meruncing, sulur-sulur Tara menumbuhkan duri-duri yang lebih tebal dan lebih tajam daripada duri mawar. Tuan Hudson menjerit.
"INI JUGA SALAHMU, TARA!" akhirnya sang tua mengeluarkan kartu truf. Tara sempat berhenti melangkah. Dahinya berkerut-kerut. Memanfaatkan kesempatan itu, Tuan Hudson menceracau secepat kereta. "Karlo? Karlo yang berubah menjadi Setengah Monster? Itu adalah salahmu."
"Bagaimana bisa kau—"
Tuan Hudson mengacungkan telunjuk yang gemetaran. "Kau telah mengubah Karlo. Jauh, jauh sebelum ini semua terjadi. Padahal dia putraku—harusnya dia mematuhiku. Tapi kau. Kau dengan segala kisah hidupmu yang memohon keibaan, sampai-sampai kau membuat Karlo berbalik membelamu!"
Tara mengatupkan bibir rapat-rapat. Giginya nyaris menggigit bagian dalam bibir hingga berdarah. "Keibaan?" suaranya tercekat. "Aku tak pernah memohon belas kasih siapa-siapa!" serunya. "KAU SENDIRI yang memanipulasi putramu yang penuh kasih sayang itu!"
Tuan Hudson tak mau kalah. "DIA ADALAH PUTRAKU! DIA HAKKU! Tapi kau—siapa kau? Kau bahkan tak mencintai putraku. Kau terpaksa bersamanya. Tapi kaulah alasan dia meragu-ragukan segala kesempurnaan yang sudah aku—ayahnya—siapkan!"
Tuan Hudson tersengal-sengal. Ia menggedor tiang ranjang dengan frustasi. "Kau akan menyesali ini, Tara!" teriaknya, dan saat sang wali kota mengangkat tangan, bola-bola api menerjang dari jendela-jendela yang masih terbuka.
Tara pernah menebak-nebak bahwa suatu saat ini mungkin saja terjadi, tetapi bukan sekarang. Saat Tara dikelilingi belasan bola-bola api yang seketika memadat menjadi sekumpulan preman, ia mengenali gejolak familiar pada tubuhnya.
Amarah Tara padam.
Dan, pandangannya memburam.
Tidak ada yang sanggup menggambarkan betapa pendeknya napas Tara saat menerima tatapan-tatapan penuh amarah itu. Segala gagasan yang berputar-putar di benaknya seketika terputus, mengambang ke udara tanpa jejak, dan meninggalkannya kosong di kamar seorang pelayan tewas.
"Aku tidak ingin melakukannya padamu, Tara," suara Tuan Hudson bergaung di ruangan. Entah di mana keparat itu bersembunyi. "Tetapi kau membuatku tidak punya pilihan lagi!"
Tuan Hudson kemudian menambahkan untuk para preman. "Saudara-saudaramu di samudra sedang terdesak! Jangan biarkan hal yang sama menimpa kalian, atau usai sudah kita semua!"
Kemarahan para preman tersulut sempurna. Mata mereka menyala merah dan tangan-tangan besar itu diselimuti api membara. Dalam sekejap, ruangan sebeku musim dingin berubah panas. Tara merangkak mundur dan punggungnya terdesak oleh dinding. Rasanya seperti bersandar pada kayu-kayu yang digigit api.
"P-pergilah." Tara berusaha menyabetkan sulur-sulur berduri di jarinya, tetapi Energinya mulai melemas. Tidak, tidak, tidak. Kedua mata Tara membulat dalam kengerian. Tidak—JANGAN SEKARANG!
Seorang preman merangsek mendekat. Ia mencengkeram sulur Tara dan gadis itu refleks terkesiap. Suara tertahan di tenggorokannya yang lagi-lagi tak mampu berteriak. Dunia Tara runtuh saat tangan api sang preman menghanguskan sulurnya.
Api merambat, semakin dekat dengan jari-jarinya.
Dalam wawasan pandang Tara, ia tidak lagi menyaksikan sekumpulan preman yang menyeringai melihatnya kepayahan di kamar seorang pelayan tewas. Preman-preman itu belum menyentuhnya, tetapi Tara bisa merasakan tangan-tangan panas membakar pakaiannya, menggerayangi kulit Tara hingga memerah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro