The Roiling Night
Seperti Tara, Julian juga ditarik paksa oleh sebuah kekuatan tak kasat mata. Namun kepanikannya tidak bertahan lama. Seketika ia tiba di ujung tangga lantai dua, ia lega melihat Emmett menunggunya di sana. Asap hitam bergelung-gelung di koridor.
Julian terperangah melihat preman-preman yang sudah tumbang di belakang sang pewaris Erfallen.
"Apa yang—"
Emmett menempelkan telunjuk pada bibir. Alisnya bertaut marah. "Mereka menangkap Ave."
"Ave? Di mana dia?"
"Tara akan menemuinya, jangan khawatir." Emmett menyeret Julian. "Ada yang lebih penting, dan hanya kita yang bisa melakukannya."
Mereka berderap menuruni tangga sekali lagi, dan lebih banyak tangga menuju ke ruang bawah tanah. Suasananya berubah drastis. Lantai pualam dan dinding berpanel putih seketika digantikan lantai plester dan dingin yang mencekam. Kilau lampu kristal di langit-langit kantor kini tak ubahnya adalah bola-bola api putih yang menyala kalem di setiap jengkal dinding, seolah terpisahkan dari kegaduhan di atas.
Beberapa preman mondar-mandir. Pistol-pistol biasa mengilap di sabuk mereka, dan bara merah berkeretak di tepi garis jari-jari. Kendati mereka melangkah dalam tempo biasa, atau bercakap-cakap dengan rekan, mata para preman sesekali mengedar awas.
"Mereka sadar," bisik Julian, nyaris tanpa suara. "Tapi kenapa mereka tidak pergi dari situ?"
"Mungkin ada yang mereka jaga di sini."
"Ada gagasan?"
"Deana?"
"Deana?" Julian bertanya balik, dengan suara yang hampir terdengar preman terdekat.
Emmett memelototinya. "Teriakan tadi bukan berasal dari Ave."
"Bukan juga Tara. Dia tak mampu berteriak," timpal Julian, yang dibenarkan Emmett melalui anggukan. Mata Julian membulat. Ia kini mengawasi para preman dengan jantung berdentam-dentam. "Semoga tidak terjadi sesuatu padanya."
"Kita harus mencari tahu," kata Emmett, dan Julian merasakan Energi sang pewaris bergolak. "Tapi tidak dengan menggunakan Energi asap hitam. Bagaimana?"
Julian menggeleng dengan tegas. "Sesukamu saja, Emm."
"Tapi—"
"Persetan dengan identitasku dan segalanya." Julian mendesis. Bayangan akan Tara yang seorang diri disergap puluhan pria membuatnya bergidik. Apa yang terjadi andai Julian tadi masih ragu-ragu? "Kaukira kenapa saat ini terjadi kekacauan di luar? Tak ada waktu untuk tetap sembunyi-sembunyi—kita tak bisa membiarkan satu pun Fortier lolos malam ini."
Emmett masih bimbang, dan Julian merasakan desakan waktu yang membuat sekujur tubuhnya meremang.
Julian meremas bahu Emmett. "Uang tutup mulut tak sebanding dengan kedamaian negeri tanpa Fortier lagi. SEKARANG!"
Seruan Julian membuat para preman di seberang melonjak kaget. Emmett spontan melompat, dengan Energi di tubuhnya yang sudah memanas sempurna. Saat dua orang preman membidik pistol dan menembak tanpa pikir panjang, sejulur asap hitam membeludak dan menahan laju peluru. Kedua preman itu membeliak saat peluru-peluru dilontarkan balik, dan sudah terlanjur bagi mereka untuk berlari. Dua peluru menembus masing-masing leher.
"Kalau begitu tidak seharusnya aku turun kemari." Emmett mengangkat alis. Keangkuhan memenuhi nadanya dengan sukacita.
Segalanya terjadi begitu cepat setelah itu.
Seketika preman-preman lain melontarkan bidikan bertubi-tubi, Emmett mengayunkan tangan. Empat bola asap menukik dari tangga atas, kemudian melahap peluru-peluru yang mendesing. Para preman sontak tahu apa yang terjadi. Mereka kocar-kacir di ruangan; sebagian mulai melempar api dalam segala bentuk, sebagian lagi terus menembak. Mereka hanya bisa mengumpat tiap bola-bola veiler melahap api hingga menjadi semakin besar.
Bola-bola asap berkedut-kedut hebat seolah akan meledak.
Namun, alih-alih meletus seperti ketakutan semua, Emmett mengibaskan tangan dan keempat bola prajurit pecah ke seluruh penjuru ruangan. Di saat yang sama, Julian melihat seorang preman menyelinap pergi ke sisi seberang ruangan.
"Hei!" seru Julian. Selagi asap meluber hingga ke langit-langit, ia berlari melintasi ruangan. Setiap preman yang berusaha mengejar Julian terhalang pandangannya. Mereka menyumpah serapah. Di antara kepulan asap hitam, satu-satunya yang mampu mereka lihat adalah tangan-tangan mereka yang menyala merah, dan kengerian akan nasib yang menari-nari di ujung mata.
Saat Julian mengejar preman tersebut, terdengar jeritan yang saling bersahutan. Julian tak mau tahu apa yang Emmett lakukan di ruangan tadi, dan takkan pernah mengungkitnya di atas. Ini membuat langkahnya justru semakin terpacu. Ia melintasi koridor panjang yang janggal. Dingin dan panas bergelut tanpa menyatu sama sekali. Pada sebuah kesempatan Julian merasakan pipinya disengat gigitan dingin, tetapi telapak tangannya berkeringat karena hawa panas yang mengungkung.
Preman yang dikejarnya berlari seolah diburu kematian. Kenyataannya, ia tahu siapa sosok pria muda yang sedang mengejarnya. Preman itu semula menoleh sesekali, sembari mengumpat bahwa hidup sang pangeran dinasti dalam bahaya, tetapi sekarang ia tidak melakukannya lagi. Ia mengambil belokan tajam. Ketika preman itu meneriakkan sesuatu, Julian menyusulnya segesit mungkin.
Julian nyaris terpeleset saat menghentikan langkah. Di seberang koridor, si preman membantu dua rekan lainnya menyeret seorang wanita keluar sel. Rambutnya selegam milik Tara, hanya lebih pendek dan kini menjuntai kusut di wajahnya yang merah dan bersimbah keringat. Ia meronta-ronta sepanjang diseret. Bercak darah mengular dari ujung gaunnya yang kusam.
"Deana!" Julian berseru.
Deana terkesiap, begitu pula para preman yang buru-buru menyentaknya berlari. "Tolong!" Deana menjerit. Suaranya serak dan satu teriakan lagi akan melukai tenggorokannya—persis seperti teriakan yang membelah langit pelabuhan tadi.
Tak ingin mengulur-ulur waktu lebih lama lagi, Julian melompat. Tulang-tulang menjulur dari balik punggungnya dan menghantam-hantam dinding, mencoba menyambar para preman yang memacu langkah setengah mati. Mereka melontarkan api sembari mencengkeram Deana, tetapi usaha mereka gagal. Lampu-lampu di langit-langit koridor pecah.
Sulur-sulur berduri merangsek dari luar.
Julian terhenyak. Tara?
Gadis itu bisa menumbuhkan sulur-sulur berbatang duri? Dan, bagaimana bisa Tara mencapai sini? Meski begitu Julian tidak merasakan tanda-tanda kehadiran fisik sang gadis. Namun, setidaknya, Julian positif bahwa Tara kemungkinan besar baik-baik saja, begitu pula dengan Aveline. Sehingga, ketika sulur-sulur itu memecah semua lampu dan menggelapkan sepanjang koridor, langkah para preman terhenti. Julian, yang mampu melihat sempurna di dalam kegelapan, menyaksikan salah satu jatuh tersungkur dan yang lainnya tersandung. Deana memekik kesakitan saat seorang preman menubruknya.
Julian mengejar. Dua tentakel tulangnya menjulur gesit dan merenggut preman itu dari atas Deana. Ia melemparnya ke sisi lain ruangan, mengempas sang preman ke dinding dengan suara keretak menyakitkan.
"Deana!" Julian mencapainya. Deana tersentak saat merasakan tangan Julian menariknya. "Ayo keluar!"
"Yang Mulia." Deana gemetaran, tetapi tidak melemah. Julian merasakan amukan bergemuruh di suaranya. Ini masih Deana yang pernah ia kenal—Deana yang memukau dan menekan semua orang dengan keberaniannya yang mengerikan. Deana marah karena kakinya patah. Julian pun baru sadar serpihan kaca yang menancap pada kaki-kakinya, menggantikan sepatu yang seharusnya berada di sana.
"Apa yang terjadi?"
"Aku berusaha kabur." Deana mendesis. "Aku—aku mendengar bahwa ada kekacauan, dan kupikir ... kupikir ini adalah kesempatanku untuk pergi. Tetapi mereka menangkapku lagi." Kata-katanya yang terakhir dipenuhi kebencian.
"Bertahanlah." Julian menggendongnya dalam sekali ayun. "Kita akan keluar."
Saat Julian berbalik, tentakel tulangnya tetap menghajar para preman yang kesakitan. Lolongan panjang saling bergaung di koridor itu, dan saat Julian berhasil meninggalkan koridor bersama Deana, tak ada lagi suara yang terdengar.
"Adikku? Apakah ia ada di sini?" napas Deana memburu. "Aku mendengar Tara ada di sini!"
"Jangan khawatir." Mereka kini mencapai ruang lapang tempat Emmett menewaskan belasan preman. Asap hitam sudah menipis di sini, digantikan kegelapan ruangan akibat lampu-lampu yang pecah. "Dia baik-baik saja." Atau, begitulah harapan Julian, dan harapannya sangat besar.
Asap hitam yang masih mengambang di ruangan pun memadat menjadi seorang veiler. Ia bergegas mengarahkan Julian untuk mencapai lantai atas lagi.
"Di mana Emm?"
"Tuan Muda sudah pergi," jawab veiler tersebut. "Kekacauan di luar semakin besar, Yang Mulia. Nona Olliviare bahkan turut membantu kami untuk melawan para preman Fortier."
Julian mendesis. Aveline berada di luar? Lantas di mana Tara? Deana tampaknya segera memahami percakapan itu, sebab tangannya yang berpegangan pada bahu Julian pun menekannya kuat-kuat. Julian mendengarnya mendesiskan nama Tara dengan kalut.
"Dia akan baik-baik saja," Julian tanpa sadar berucap. Jantungnya berdentam-dentam dan napasnya tersengal-sengal. Menaiki tangga panjang dengan menggendong seseorang itu tidak mudah, apalagi setelah Julian mengerahkan Energinya yang besar. Tentakel tulang sudah menyusut kembali ke tubuhnya, menyisakan nyeri yang membakar di sekujur garis tulang punggung, dan baju yang robek.
Dadanya bergemuruh membayangkan apa yang dilakukan Tara sekarang. Namun, bukankah sulur-sulur gadis itu menjalar prima di bawah tanah? Tapi, sulur-sulur duri! Julian tak pernah melihat itu. Aveline juga tak pernah menceritakan kepadanya.
Energi macam apa itu? Julian mendadak sadar bahwa situasi Tara kemungkinan jauh dari dugaannya semula. Saat mereka tiba di lantai atas, Julian terperangah.
Lantai, dinding, dan langit-langit koridor dipenuhi sulur-sulur berbatang besar yang memancarkan ribuan lumen, membuat kantor pelabuhan seperti sebuah bangunan terbengkalai yang diinvasi monster bawah tanah. Asap hitam tak punya kesempatan untuk bergejolak di sini.
"Apa-apaan ini?" Deana merintih.
"Tara." Julian menarik napas dengan tajam. Ia memperbaiki posisi Deana dan melangkah lebar, sekaligus berhati-hati agar tidak tersandung.
Baru saja mereka menyusuri separuh lorong, jeritan memilukan seorang pria memecah kesenyapan kantor. Sang pangeran spontan bertukar tatap dengan prajuritnya. Mereka tergesa-gesa menyusul suara itu dan melalui tangga menuju lantai dua, tempat Julian tadi bertemu Emmett pertama kali.
Hanya ada satu pintu di sana, yang kini terbuka lebar-lebar.
Cengkeraman Deana di bahu Julian mengerat. "Itu ruangan Garett." Ia menyebut nama suaminya.
Julian lantas tersadar bahwa, sejak awal, Emmett sudah menemukan Lord Mayfard. Ia bertanya-tanya mengapa Emmett tidak menghadapinya dan justru memilih untuk membantu Julian menyelamatkan Deana di bawah.
Julian terkesiap dengan jawaban yang ia temukan sendiri.
Emmett sengaja membiarkan Tara menyelesaikan ini.
Suara Lord Mayfard terdengar jelas sekarang. "Hentikan itu!" Lord Mayfard memekik. Suaranya serak dan menyayat hati. "Tolong! Siapa pun—tidak, tidak! Jangan!"
Saat Julian dan Deana tiba di pintu, mereka kehilangan kata-kata. Tampak Lord Mayfard terkapar di lantai, dengan seluruh badannya terlilit sulur-sulur duri yang menancap dalam. Pakaiannya robek di sana-sini dan darah merembes tanpa ampun. Wajah Lord Mayfard sendiri pucat. Di atasnya, Tara menghunuskan satu sulur yang meruncing tajam seperti duri raksasa.
Kedua mata Tara berkilat dalam amarah, tetapi saat ia melihat Deana, kegilaan itu spontan padam.
"Deana—"
Deana membeliak. Ia sadar bahwa Lord Mayfard tidak akan menyia-nyiakan kesempatan selagi Tara ragu-ragu. Pria itu diam-diam berusaha meraih tongkatnya yang masih dalam jangkauan tangan.
"BUNUH DIA!" Deana meraung. "SEKARANG!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro