Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Midnight Dance


Julian mendahului. "Itu mungkin perangkap, berhati-hatilah."

Tidak, itu benar-benar Karlo. Energi Tara tidak salah mengenalinya. Tara menyusul ke salah satu ruangan tertutup yang baru saja dijangkau oleh sulur-sulurnya. Sementara kuncup-kuncup bunga lumen bermekaran di atas kepala, mereka memasuki ruangan tempat Karlo meringkuk. Ia pucat di sofa berlapis kain. Di sisinya ada satu lilin yang hampir habis dan cuilan roti bekas disiram sirup merah.

"Oh, Karlo!" Tara mendekat. Saat ia menariknya, pria itu menggigil kedinginan.

Bibir Karlo tak lagi berwarna. "Tara, kau datang? Apakah ini nyata?" tanyanya, dengan suara begitu serak seolah-olah sudah lama sekali tidak minum.

Tanpa diminta, Julian melepas jas pesta untuk dipinjamkan kepada Karlo. "Aku akan mencari sesuatu," katanya, saat Tara menyelimutkan jas dan melepas sarung tangan. Ia terperangah melihat Tara menggenggam tangan Karlo, meremas-remasnya dengan khawatir, lalu melapisi jari-jari dingin itu dengan sarung tangannya sendiri.

"Bergegaslah," kata Tara, menyentak Julian dari apa pun yang menahannya. Pria itu mengangguk. Ia pergi cukup lama, sekitar sepuluhan menit, kemudian kembali dengan air minum.

Setelah beberapa waktu habis untuk memulihkan situasi Karlo, Tara pun bertanya. "Apa yang terjadi padamu?"

Karlo, yang mengeluh pusing dan begitu lemas, mendadak tersulut emosinya saat mengingat hari-hari penyekapan yang menyedihkan. Ia melompat berdiri. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku lagi."

"Apa mereka memukulmu?"

"Tidak, tetapi mereka tak membiarkanku pulang! Para keparat itu, aku—aku—" Karlo terhuyung. Julian menangkapnya sementara Tara refleks melompat menjauh.

"Kau harus beristirahat," kata Julian.

"Kita harus segera pergi!"

"Jangan khawatir, Karlo." Tara mencoba menenangkan. "Kami ada di sini, dan bantuan akan datang. Ini, bawalah ini." Ia menaruh botol aromaterapi Julian di tangannya. "Hirup ini dalam-dalam dan tidurlah lagi. Kami akan menjagamu."

Segala hal yang Tara sodorkan kepadanya membuat Karlo tenang. Ia bergelung di balik jas putih Julian, hidungnya menghirup dalam-dalam aroma menenangkan, dan kerlip lumen di atasnya menghangatkan ruangan—sebuah oase kecil di hantaman cuaca dan keterasingan yang mencekik. Tak butuh waktu lama hingga matanya memberat menuju tidur.

Julian beranjak duluan. Ia ingin memastikan isi vila, sedangkan Tara bertahan lebih lama. Setelah memastikan Karlo pulas, kali ini dengan ketenteraman yang familiar, barulah Tara menyusul keluar ruangan.

Mereka berkeliling ke sudut-sudut yang terjamah sulur lumen Tara. Sesuai dugaan pesimis sang gadis, tak ada tanda-tanda keberadaan Deana. Vila itu tak pernah dihuni, dan furnitur-furnitur baru didatangkan setidaknya beberapa bulan lalu.

"Barangkali Lord Mayfard sejak awal membeli vila ini sebagai hadiah kepada Fortier," gumam Tara, menyingkirkan harapan bahwa vila ini adalah hadiah untuk ulang tahun Deana. Dadanya nyeri. Kalau begitu di mana kakaknya? Apa yang Lord Mayfard berikan padanya untuk hadiah ulang tahun?

Kemudian, kenyataan bahwa Karlo menjadi korban karena hanya mendengar secuil berita yang tidak lengkap, membuat air mata menggenang di pelupuk Tara. Sebelum ada bulir-bulir yang menetes, ia buru-buru menyeka. Oh, pria yang sangat malang! Dia hanya mencoba untuk membantu menemukan Deana, tetapi lihat apa yang terjadi padanya? Jika Tara terlambat menyelamatkannya, entah apa yang bakal terjadi pada Karlo. Pria itu sudah berusaha. Tidak sepantasnya ia mendapat balasan semacam ini.

Julian memerhatikan Tara berkutat dengan kalut. "Maukah kau bercerita?" tanyanya pelan.

Tara tercenung cukup lama. Ia duduk di lobi, tempat sulur-sulurnya menjuntai dan membelit pilar-pilar pualam yang pucat. Ia menceritakan upayanya bersama Karlo mencari Deana. Terutama Karlo, yang rela menguras waktu di Nordale sementara Tara sibuk belajar. Termasuk surat-suratnya. Tara bercerita lengkap hingga berujung pada Pesta Pewaris yang melibatkan Julian.

Sang pangeran tak tahu mesti merespons bagaimana. Dadanya menyesak walau ia tidak tahu penyebabnya apa. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya dengan tenang, lalu bergumam.

"Kau yakin kalian dipaksa menikah? Ia tampaknya mencintaimu."

"Tidak." Cara Tara menolaknya dengan begitu cepat membuat Julian kebingungan. "Dia peduli."

"Apa bedanya?"

"Kita cuma teman. Teman dekat. Lagi pula sejak awal Karlo memang berjanji untuk membantu mencarikan Deana."

Julian melewati jeda cukup lama untuk memahami itu. "Kau tidak mencintainya?"

"Aku tidak bisa melihat Karlo sebagai seorang pria." Namun, Karlo ingin mencintainya. Atau, setidaknya, mencoba mencintai Tara. Gadis itu sekuat tenaga melupakan saat-saat sebelum Pesta Pewaris dimulai—kala Karlo berbisik di tengkuknya, memohon Tara agar mau mencoba mencintainya.

Andai Tara benar-benar harus menikahi Karlo, dan membiarkan sang pria mengambil alih posisi Wali Kota Wistham, maka mereka tidak boleh jatuh cinta. Sial. Tara TIDAK AKAN mengizinkan Karlo untuk mengambil posisi itu bahkan jika mereka saling mencintai. Taralah yang akan menjadi wali kota, dan Karlo hanya berhak membantu sejauh ini. Tidak lebih.

Jika Tara bertekad menyelamatkan marga Wistham atas kotanya, maka cinta tidak boleh dilibatkan.

Kesenyapan menghampar bagai angin malam yang menyusup dari celah-celah jendela. Tak ada suara detak jam, atau gemerisik rerumputan di luar. Benar-benar senyap, sampai-sampai Tara bisa mendengar Julian bernapas di sisinya.

"Kau tahu, Tara? Kau mendorong dirimu terlalu keras," bisik Julian. "Dan apa kau masih akan menikahi Karlo? Setelah semua yang kau ketahui?"

"Apa aku punya pilihan?" Tara mengerang. "Itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan garis keturunan Wistham, sebab hanya aku yang tersisa di marga. Situasi sudah cukup buruk karena aku membiarkan orang lain, selain Wistham, untuk membuat keputusan-keputusan atas kami!"

"Kalau begitu, jangan biarkan itu terjadi lagi," balas Julian. "Kau sedang berusaha belajar menjadi wali kota, dan kau sudah melakukan yang terbaik di Institut. Kau juga sudah berada sejauh ini untuk mencari keluargamu dan menemukan Karlo. Apa perlu kutambah lagi? Oh, kau pun membantu dinasti untuk mengumpulkan informasi mengenai hubungan Fortier dan keluargamu. Jika ini berjalan dengan baik, kau kelak dianugerahi sebagai warga negara yang berdedikasi, dan itu bekal yang sangat bagus untuk karirmu. Kau melindungi kotamu. Kau tidak perlu mengorbankan dirimu lebih dari apa yang telah kauperbuat. Setidaknya ...." Julian berhenti sejenak. "Setidaknya menikahlah dengan orang yang kaucintai. Pria yang juga mencintaimu—dia yang akan mendukungmu sepenuh hati."

Tara melewatkan semua ucapan itu. Apa yang Julian katakan hanya mengingatkannya pada dasar dari segala keputusan Tara selama ini. "Ibu bilang begitu," bisiknya. "Menikah atau tidak menikah, aku tetap harus memerintah kota karena akulah sang Wistham."

"Kalau begitu kenapa ada perjodohan?"

"Itu juga datang dari Ibu." Tara tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca lagi dan lehernya bergolak keras saat ia menelan ludah bulat-bulat. Suaranya makin tercekat. "Ayah dan Ibu meragukan aku. Mereka percaya aku bisa, tetapi mereka ragu dengan waktu yang bakal kubutuhkan untuk bersiap-siap. Stres yang menggerogoti Ayah membuatnya ingin segera lengser secepat mungkin. Itulah mengapa mereka memburuiku untuk segera menikah, karena yakin Karlo—yang sudah dipersiapkan menjadi calon wali kota Hudson sejak awal—bisa membantuku berkembang."

"Tidak praktis."

"Tapi solusi paling efektif."

"Tidak. Itu terlalu memaksa."

Satu lagi komentar dan Tara benar-benar bakal menangis di samping Monster Gurita. "Kalau begitu apa yang mesti kulakukan?"

Julian beranjak. Ia memerhatikan lekat-lekat wajah Tara. Berminggu-minggu lalu gadis itu dengan angkuh meminta kematiannya, dan sekarang, Tara seperti patung dari pasir yang tepiannya mengikis di udara. Satu sentilan tepat di hidung dan ia akan berhamburan tanpa jejak.

Gadis itulah yang sedang meregang nyawa tanpa disadarinya.

"Jangan menikahinya. Titik," jawab Julian. "Kalau kau berusaha menjauh dari rencana itu, kau bakal menemukan cara-cara untuk meninggalkannya. Kejarlah mimpi yang kauinginkan sejak dahulu, sebelum semua ini menjadi bebanmu. Kejarlah pernikahan yang penuh cinta. Kejarlah, entahlah—apa pun itu. Dan kau akan menemukan jalan kembali ke sana."

"Kalau begitu bagaimana dengan Karlo? Dia yang mencoba mempertahankan rencana pernikahan ini."

"Apakah itu yang benar-benar dia inginkan?" Julian menepuk-nepuk debu dari celananya. "Bagaimana kalau dia juga tak punya pilihan sepertimu?"

Tara tidak tahu mengenai itu. Selama ini dia tidak paham betul bagaimana Karlo menjalankan kehidupan di Nordale, karena sibuk mengejar ketertinggalannya sebagai calon wali kota. Yang ia tahu, Karlo juga masih mempersiapkan diri sebagai pengganti ayahnya, sekaligus mencarikan Deana.

Tara sibuk merenung ketika tangan Julian terulur kepadanya.

"Lihat? Kau kembali galau seperti biasanya. Mari kita melupakan itu sejenak, bagaimana?" Julian tersenyum.

Tara menatapnya dengan penuh penghakiman. Meski begitu, senyum Julian tidak goyah. "Ayolah," tambahnya lagi. "Kita meninggalkan pesta tanpa benar-benar bersenang-senang di sana. Aku tahu tujuan kita berpesta adalah untuk mengumpulkan informasi Karlo, tapi kita sudah menemukannya sekarang. Kita cuma berdansa sekali dan sangat disayangkan kalau kau mesti menyia-nyiakan gaun yang sangat cantik itu."

Tara menahan napas. Memori akan Julian yang terbengong-bengong dengan penampilan Aveline berkelebat di benaknya, dan mempertajam nyeri di hatinya.

"Tapi kau tadi—"

"Aku?"

"Tidak." Tara menunduk. Ia terdiam, berpikir bahwa Julian akan mengurungkan niat karena ia tidak merespons, tetapi Julian lebih keras kepala. Oh, sudahlah. Tara pasrah menerima uluran tangan sang pangeran.

"Ini aneh," katanya canggung saat Julian menariknya mendekat dan memeluk pinggang Tara dengan lembut. "Berdansa di vila terbengkalai dan ada preman-preman pingsan di luar sana ...."

"Oh, aku sering memikirkannya. Bukankah ini ada di buku Lady Whines? Tentang dua tokoh utama yang berdansa di atas atap, sementara belasan penjahat babak belur di bawah mereka?"

Tara ingat buku itu. Novel yang dirilis tiga tahun lalu, dan satu-satunya buku yang menemani Tara dari keterpurukan selain Aveline.

"Tapi, Jules—"

"Dan sayang sekali kalau Energi seindah ini hanya dipakai untuk menerangi rumah berhantu." Julian mendesah. Ia dan Tara berputar khidmat. Sapuan gaun Tara menerbangkan debu di lantai pualam, yang justru tampak seperti serbuk berkilauan di udara saat ditimpa cahaya ratusan lumen.

"Malam ini menyedihkan dan melegakan di waktu bersamaan." Tara mendengus, berusaha mengalihkan degup familiar yang terasa sangat keliru di detik ini. Karlo, calon tunangannya, baru saja ditemukan setelah tersekap belasan hari. Pria itu sedang tertidur dan mengharapkan esok yang normal.

Kenapa Tara malah berdansa dengan pria lain di balik punggungnya?

"Mari ambil sisi baiknya dan lupakan segala hal yang menakut-nakutimu, Tara. Aku khawatir kau akan meninggalkan vila ini seperti mayat tanpa jiwa, tetapi penuh dengan beban pikiran di kepala." Julian memerhatikan lekat-lekat ekspresi campur aduk di wajah Tara. Hidung dan telinganya memerah, tetapi matanya berkaca-kaca. Polesan merah di bibirnya sudah pudar, tetapi tidak dengan kilau cantik yang membingkai kelopak mata Tara. Ia tampak seperti putri dari buku dongeng yang dilempar ke jurang neraka. "Aku tidak mau kau linglung seperti saat itu, dan menemukan kebahagiaan setelah membakar kelab orang lain."

"Aku tidak—" Tara tersentak. Namun, menyadari gurat geli yang bersinar di mata Julian, ia mengembuskan napas pasrah. "Ya, baiklah."

Tara berputar menjauh, kemudian berputar mendekat, dan kali ini Julian mendekapnya lebih erat. "Ayolah. Ceria sedikit. Kita sudah menemukan Karlo dan dia aman. Para veilerku akan datang besok pagi dengan bala bantuan, dan kita bisa pergi sebelum Maxim tiba. Mari merayakannya lebih awal."

Tara akui Julian memang benar. Apalagi pria itu tersenyum begitu lebar, seolah-olah tak sabar untuk merayakan ini dengan sungguh-sungguh, dan Tara mau tak mau tersenyum karenanya. Pesona Julian kembali memengaruhi seolah-olah ia tak menyandar gelar sebagai Monster Gurita.

"Nah. Kau terlihat menakjubkan sekarang."

"Karena gaunku?" Bukankah tadi Julian memuji itu? Ini memang gaun yang bagus, dengan rok lebar dan tulle bertumpuk-tumpuk yang bertabur serbuk emas.

"Bukan. Senyummu."

Bahu Tara menegang sementara tawa Julian pecah. Mereka berputar lagi.

"Tenanglah, Tara. Kau masih berhak meminta apa pun sebagai penalti andai aku gagal memenuhi janjiku." Senyum Julian menghangat. Jarinya merambat ke balik bahu Tara dengan lembut, mengingatkan Tara agar meringankan kekakuannya.

Tara menggeleng pelan. Julian benar. Maksudnya—bagian perayaannya. Mereka sudah menyelamatkan Karlo. Mereka berhasil. Itu berarti, kesempatan dan harapan untuk menemukan kedua orang tuanya dan Deana masih ada. Meski vila ini berakhir sebagai kekecewaan lain, Tara merasakan dirinya semakin dekat dengan Deana.

Bahu Tara melemas. "Kita akan menemukan keluargaku, Jules," bisiknya. "Aku optimis."

"Tentu," kata Julian lega. "Percayalah padaku."

Senyum kembali mampir di wajah Tara. Ia mengangguk kecil. "Aku percaya."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro