5. He and Him
Tolong garis bawahi dan tebalkan kalimat ini, Mario sama saja seperti laki-laki yang lain. Datang untuk pergi.
Aku sudah memantapkan hatiku bahwa bukan aku yang terlalu jahat padanya, tapi Mario yang terlalu mudah menyerah sebelum cerita dimulai.
Dan sebelum permainan dimulai.
Padahal, dia yang memulai.
"Mar!"
"Eh edan! Mario! Gue cape lari ngejar lo terus!"
Masih pagi dan sudah ada pertunjukan Bemo mengejar Mario di lorong sekolah. Aku yang saat ini tengah berjalan di belakang keduanya merasa ingin menarik Bemo dan mengikatnya di pohon mangga dekat lapangan.
Pandanganku masih lurus ke depan dan terus melangkahkan kakiku tanpa peduli bahwa ternyata aku sudah berhenti tepat di depan kedua orang tadi.
Tidak. Tepatnya aku berhenti dengan hidung dan dahi mendarat di punggung Mario.
Ternyata Bemo berhasil menghadang Mario di depan dan membuat langkah laki-laki itu terhenti. Bemo bodoh. Yang jadi korban kan jadi wajahku!
"Bemo! Lo sih kan gue jadi ketabrak Mario!" Suaraku menggema di koridor sekolah yang terbilang masih sepi ini.
"Loh? Ko gue sih Bi? Kan lo nabraknya si Mario!" Bemo menjawab dengan sedikit kesal. Aku memutar bola mataku pertanda aku muak dengan kejadian pagi hari yang sial ini. "Berisik lo kentang rebus," desisku.
Aku berniat menjauh dari mereka sebelum Mario menarik tasku. "Bi," katanya. Aku menoleh, memasang wajah kesal.
"Apa?" balasku malas-malasan.
"Jangan marah-marah terus, emang lo gak cape?" Begitu katanya.
Aku bisa melihat Bemo membulatkan matanya, begitu pun aku. Ada apa dengan Mario? Kenapa laki-laki ini jadi berubah? Dia benar-benar berkata seperti itu padaku?
"Ha?" kataku pelan. Tidak percaya dengan tatapannya yang begitu datar. "Bukan urusan lo," kataku akhirnya. Lantas aku mangambil langkah menjauh darinya.
Sejak kapan seorang Mario bisa melontarkan komentar seperti tadi kepada Bianca? Apakah Mario benar-benar sudah tidak mengejarku lagi? Ah pertanyaan tadi menggelikan. Maksudku, jadi Mario benar-benar menyerah?
Tunggu, untuk apa aku peduli?
"Argh! Apaansih, nyebelin. Kesel!"
***
Hari ini paling menyebalkan. Seharusnya aku bisa melalui hari ini dengan tenang; bersantai di kafe sambil membaca buku dan mendengarkan lagu, lalu ditemani rintik hujan di luar sebagai pelengkap.
Namun hujan sore ini tidak berpihak padaku. Karena hujan begitu deras, yang kuharap tadinya hanya gerimis namun air itu mengkhianatiku, aku harus berdiam diri di kafe dengan makhluk menyebalkan yang tiba-tiba saja datang meski kami tidak saling mengenal.
Ketika itu pukul empat sore dan aku masih larut (sebenarnya tidak juga, sebagian fikiranku melayang-layang entah kemana) dalam kisah memilukan Will Herondale dan Tessa,ketika Will menyatakan perasaannya kepada Tessa namun gadis itu sudah menerima lamaran James yang tak lain tak bukan adalah parabatai Will.
Rasanya aku ingin melempar Will yang selalu mengelak tentang perasaannya, tapi rasanya begitu sakit ketika tahu banyak alasan dibalik semua yang ia lakukan.
Apakah aku seperti itu?
Aku terdiam. Kedua bibirku masih terkatup rapat, jari-jemariku mengetuk-ngetuk pada meja kayu yang aku tempati. Kenpa hanya satu nama saja bisa membuatku gila?
"Hey! Bianca Alyssa!"
Sebuah tangan besar dengan arloji hitam yang maskulin di pergelangannya sontak membuatku menghentak sedikit.
Tadinya, aku berniat untuk menghiraukan makhluk di hadapanku ini, tapi dia terus menggangguku.
"Ish, lo siapa sih? Ngagetin tau ga? Terus lo tau nama gue darimana? creeper," ucapku kesal. Kupasang wajah sejengkel mungkin. Siapa tahu dia akan tersadar kalau aku terganggu dan segera bangkit dari kursi di hadapanku.
"Tadi kan kita udah kenalan dan nama lo ada di nametag jadi gue tau... Masa lo lupa nama gue, gue Dimas. Di... mas, orang paling kece di Pertiwi. Pencetus nama Jay Z untuk Bu Reza," katanya. Kalimatnya ia akhiri dengan gerakan tangan membentuk sebuah pistol ke arahku, seolah ia tengah menembak sesuatu.
Menggelikan.
"Kursinya penuh semua, karena lo satu-satunya anak sekolahan gue...."
"Ya ya ya, gue tau. Shut up! Gue mau baca buku."
Aku menatap tajam laki-laki di hadapanku kini, Dimas namanya. Sepertinya aku pernah mendengar namanya, entahlah. Aku sangat buruk dalam mengingat seseorang.
"Daritadi kan gue diem di sini, tapi lo bacanya sambil ngelamun. Jadi, gue bantu lo untuk kembali ke bumi." Tangan Dimas menjentik di depan wajahku. Sepertinya ia benar, bahkan aku yakin ia menjentikkan jarinya karena wajahku sudah menunjukkan bahwa aku akan kehilangan kesadaran lagi, yang akhirnya malah melamun.
Minat bacaku hilang seketika. Rasanya susah mengumpulkan konsentrasi kalau di hadapanku duduk si populer sekolah, katanya... yang aku juga tidak tahu sebenarnya siapa dia.
Lantas aku menutup buku yang sebelumnya hendak aku baca namun tidak bisa karena aku selalu kehilangan konsentrasiku. "Btw, lo kelas berapa? Kayanya gue jarang liat," tanyanya padaku.
"Sepuluh."
Alis Dimas mengkerut, seakan jawabanku adalah jawaban teraneh yang pernah diucapkan seseorang. "Lo jawab pertanyaan gue dengan satu kata," ucapnya.
Aku mengedikkan bahu tak acuh. Memangnya salah? Aneh, menyebalkan, dan mengganggu adalah tiga kata yang pas untuk mendeskripsikan Dimas.
Aku kembali mengecek arloji putih di tangan kiriku ketika tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring. Sudah pukul enam sore, itu tandanya aku harus segera kembali ke rumah.
Dengan cekatan aku membereskan semua barangku. Ketika aku hendak berdiri, tangan Dimas menahan pergelangan tangan kananku. Aku menoleh, memberikan tatapan heran. Bukankah bagus bila aku pergi? Ia bisa mendapatkan tempat, akhirnya.
"Gak baik cewek pulang malem sendirian." Begitu katanya.
Aku menaikkan sebelah alisku. "Ya terus?" jawabku seadanya.
"Ya... pulang sama gue aja?" katanya lagi diakhiri dengan senyuman canggung.
Aku tersenyum, lebih tepatnya menahan tawa, tapi kemudian aku langsung mengubah ekspresiku seperti biasa, datar. "Sekarang masih sore dan gue gak balik sendiri, udah dijemput tuh," kataku memberi isyarat ke luar dengan kepalaku.
Seorang laki-laki dengan celana jeans belel dan kaus putih bertuliskan nama band kesukaannya, setahuku. Ia melambaikan tangannya begitu melihatku dari balik jendela. Laki-laki itu memang terlalu ceria.
Dari sudut mataku, bisa terlihat jelas bahwa Dimas memerhatikan kejadian ini. Seharusnya Dimas bisa mengenali laki-laki yang menjemputku ini, kalau ia tidak mengenakan helm. Pasalnya, laki-laki itu adalah salah satu dari sekian yang sejenis seperti Dimas di sekolahku. Si populer di sekolah yang dikenal sebagai perusuh sekolah. Kurasa semua makhluk di sekolah mengenalnya, bahkan murid paling anti-sosial pun akan tahu dia siapa.
"Dah, Dimas. Semoga kita gak ketemu lagi!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro