6 | Arah Lain
Bismillahirrahmanirrahim
“Batas nikmat sabar yang kita rasakan, tergantung sebagaimana keimanan kita pada Illahi Rabbi, pada jalan takdir yang telah DIA tetapkan.”
🍂🍂🍂
Purpose
TAKTIK baru yang sudah kami persiapkan sesempurna mungkin sudah sangat matang. Pokoknya kali ini engga boleh ada yang gagal lagi. Aku sampai membuat proyek teropong dari gulungan kertas buat lebih memastikan kalau Ustaz Ahsan engga memergoki kita yang lagi ambil buah mangga untuk kedua kalinya.
Syahlaa sampai bikin ide kamuflase tingkat tinggi dengan nyamar jadi cicak yang nempel di dinding dan bikin Meda yang dibikin mirip sama ulet pohon. Kita bukan cuma bertiga, ada Gus cilik, Haidar, yang ikut nimbrung semangatin Meda yang manjat.
Gus cilik yang pintar banget ngomongnya sampai bisa nurut ikutan gaya aku dan Syahlaa yang kamuflase. Fix, mulus! Finally, we succeeded!
“Yang mana lagi, La?” Meda bertanya dari atas sana, mukanya engga kelihat karena ketutup daun.
Aku yang sudah memastikan keberadaan Ustaz Ahsan aman, menatap Meda sambil bantu bersuara biar dia engga salah pilih mangga rujakannya.
Kalau engga gini anak itu suka tiba-tiba engga bisa nahan suasana adem. “Itu Med—” belum selesai aku memberi arah, Syahlaa di sampingku sudah menyuruhnya turun.
“Sudah, kamu turun saja. Engga usah diterusin.” Aku spontan menatapnya engga ngerti, perasaan tadi Syahlaa yang paling heboh sampai beneran meresapi kamuflase mirip cicak, kenapa tiba-tiba jadi gugup? Meda di atas sana bahkan sudah protes karena mangga yang dia ambil baru empat biji.
“La, are you oke?” ujarku sampai pegang lengannya. Dia cuma ngangguk pelan dan berkedip seolah memberi kode biar aku ngerti. Kalau Syahlaa lagi kayak gini sih, aku sudah ngerti banget. Pasti deh dia abis saling tatap sama Miss Harum.
“Mbak Harum nongol,” ucapnya begitu saja. Kan, sudah kuduga!
Meda bahkan sampai bergidik ngeri setelah turun dari pohon, “Amit-amit deh, penginnya berdampingan sama oppa-oppa di pelaminan, eh malah berdampingan sama Mbak Harum di pohon mangga.” Aku engga bisa nahan tawa pas ngedengernya. Dia masih saja memikirkan biasnya—oppa—yang dia tonton diam-diam di Lab komputer, tentu dengan menarikku dan Syahlaa yang selalu jadi bagian keamanan.
Setelah selesai menyiapkan semua bahan, tak lama Ustazah Windy dan Hafshah datang. Keduanyanya langsung ikut nimbrung buat nikmati rujakan buah mangga yang cocok banget dinikmati siang-siang.
Aku masih penasaran dengan berita kedatangan Gus Nuril, yang nyatanya desas-desusnya sudah sampai di seluruh santri, terutama santri putri. Ya, gimana engga, kepulangan anak Kyai dari Istanbul - Turki dan engga pulang selama tiga tahun, pasti buat semua orang jadi penasaran sama sosoknya sekarang. Kebayang sih, bakal seramai apa nantinya. Mungkin bisa jadi sampai ada penyambutan.
Meda pernah cerita kalau Gus yang satu itu memang memiliki daya pikat yang membuat para santri putri terpana, bahkan katanya sampai ada yang engga berkedip kalau Gus Nuril lewat. Meski itu engga ngaruh sama dia.
Serius, sih, sosoknya mungkin akan banyak bikin para santriwati jadi mencak-mencak kagum atau bahkan cari perhatian. Terbayang kalau Gus Nuril kasih penyambutan di depan nanti, belum juga mengeluarkan sepatah kata, sepertinya sudah banyak yang pingsan sama pesonanya.
“Pokoknya kita jangan kayak santri putri lain yang dikit-dikit baper, dikit-dikit demen. MSG itu high class, jual mahal, lah,” ucap Meda bersunggut-sunggut, Ustazah Windy bahkan sampai mencibir dan menjelaskan bahwa Gus Nuril adalah prince charming di Darul Akhyar.
Kalau Ustazah Windy sudah ngomong gini, memang sepertinya engga ada yang diragukan lagi, eh kecuali.
“Gantengan mana sama Gus Emil?” Ucapku spontan, aku sengaja bergurau. Syahlaa bahkan sampai mengetok kepalaku pakai botol air gara-gara pertanyaanku tadi.
Kulihat Ustazah Windy menanggapi dengan ceriwisnya apa pertanyaanku tadi, ia bahkan berceloteh bahwa Gus Nuril itu masih fresh—yang mungkin manis macam mangga yang kami petik.
Aku mendengarkan dengan serius ucapan Ustazah Windy yang lancar membandingkan Gus Nuril dan Gus Emil, sebelum mataku menangkap seseorang yang sudah datang di balik punggung Ustazah Windy dengan tatapan tajam.
Aku sempat saling lirik dengan Syahlaa yang memberi kode, Meda sama Hafshah bahkan sudah diam dan membisu. Sebentar, kenapa tiba-tiba aura di sekitar kami jadi lebih terasa panas?
Engga mungkin juga kami meninggalkan Ustazah Windy begitu saja, Meda bahkan sudah bergeser duduknya buat ambil ancang-ancang lari. Plis, ketegangan ini sama tegangnya kayak tadi ketemu Mbak Harum, habislah kita setelah ini!
Kami hanya terdiam, bahkan Ustazah Windy yang tadinya mengatakan dengan luwes apa perbedaan di antara kedua Gus itu, jadi ikut terdiam melihat kami yang engga merespon ucapannya, apalagi kini seseorang itu sudah menyapanya dari belakang, “Siapa yang kamu bilang versi tua, Dek?”
Tenggorokanku tercekat mendengarnya. Aku sampai membayangkan agar kami bisa hilang begitu saja dari tempat ini. Kenapa Gus Emil datang di waktu yang engga tepat, sih? Haish.
Engga ada yang berani jawab, cuma satu orang yang menyapa kedatangan Gus Emil dengan wajah polosnya. Siapa lagi kalau bukan Gus cilik.
“Kholi Emil!”
Tolong siapa pun, bawa kami pergi dari sini!
______
Beberapa kali aku menghela napas lega, hal ini juga dilakukan sama oleh Meda, Syahlaa dan Hafshah di kamar asrama kami.
Gimana engga, tadi kami hampir saja kena hukuman, untung bisa lolos dengan siasat yang dibuat Ustazah Windy, tambahannya kami menjelaskan sedikit tentang ucapan Ustazah Windy yang engga benar sama sekali—berupaya biar Gus Emil engga marah, bahkan kami sampai menyamakan bahwa Gus Emil lebih fresh dari semua buah yang pernah kami makan, itu pun kami ucapkan sambil takut-takut persiapan buat lari. Tapi, untunglah semua bisa terkendali.
Aku masih memikirkan ucapan Ustazah Windy tentang Gus Nuril, bisa kutebak bahwa setiap anak Kyai mungkin memang memiliki pesonanya masing-masing. Dalam hal ini, point utama yang kuambil dari kedatangannya adalah kepintaran yang dimiliki Gus Nuril, sampai dia bisa menembus beasiswa ke luar negeri. Apalagi, negara itu menjadi negara yang ingin sekali kudatangi.
Mengetahui fakta itu sedikitnya membuatku tertarik untuk tahu informasi darinya tentang kuliah di sana, tapi bukan semata-semata seperti santri lain dengan segala cara untuk menarik perhatian Gus Nuril seperti yang diucapkan Meda.
Aku tertarik dalam bidang pendidikan yang ia mumpuni. Tapi, di satu sisi, rasanya nyaliku ciut untuk berharap bisa mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di sana, jelas sekali karena ilmu yang dimiliki Gus Nuril mungkin engga sepadan sama aku jauuuh banget dan cuma santri biasa apalagi anak pindahan.
Faktor lain, keluarga Kyai dan Nyai pasti sangat mendukung apa yang dilakukan Gus Nuril. Dan aku? Mana mungkin keluargaku mendukung. Bahkan sudah setahun di sini pun, rasanya aku belum menemukan jawaban mengapa Ibu Rahayu membawaku ke sini dan menjauhkanku dari Ayah.
Aku hanya bisa sabar menanti, meski beberapa kali hati kecilku berontak ingin tahu apa maksud dari semua yang terjadi. Karena aku tahu, batas nikmat sabar yang kita rasakan, tergantung sebagaimana keimanan kita pada Illahi Rabbi, pada jalan takdir yang telah DIA tetapkan.
Aku masih berusaha menahan diri untuk bertahan, meski engga tahu tujuan Ayah dan Ibu Rahayu sebenarnya, namun garis hidup yang mereka pilihankan untukku di sini setidaknya tidak buruk, walau semuanya kadang masih terasa susah untuk aku terima.
Miris memang, jalan hidup yang sangat berbeda, bukan?
“Dys, kamu ngelamun?” Kulihat Syahlaa di atas ranjang menongolkan wajahnya setengah, kami memang tidur di satu ranjang susun yang sama. “Mandi sana!”
“Kamu juga masih rebahan, La!” Protesku. Jam memang sudah menunjukkan waktu sore, sebentar lagi adzan ashar akan berkumandang dan antrian mandi di lantai bawah pasti sudah mulai ramai.
“Oh, ini Gladys yang selalu rapi, engga suka nunda-nunda,” sindirnya sambil memeletkan lidah.
Aku cuma menghela napas sambil mengambil peralatan mandi, engga bisa ngelawan kalau sudah hal ini. Di antara mereka berempat aku memang yang paling engga suka menunda apa pun, apalagi melihat sesuatu yang kotor, dan engga rapi. Sebenarnya mungkin aku yang terlewat rapi. It just happended, I did!
Kulihat Syahlaa sudah tertawa, dia memang pengacak kamar nomor satu, apalagi suka banget naruh barang sembarang di kasurku yang terletak di bawahnya. Engga berhenti aku ngomel-ngomel kalau dia suka tiba-tiba lupa nanya barang yang hilang. Huf.
“Dys, nanti sebelum kamu keluar, jangan dulu buka pintu kalau aku belum ngetuk,” serunya dari atas kasur.
Aku cuma memutar bola mata sambil bilang, “Kebiasaan kamu, La!” Dia cuma terbahak kecil mendengar protesku. Engga apalah, kali ini anggap saja balasan karena dia sudah mau anter ke pasar minggu lalu.
Mataku menatap ranjang Meda dan Hafshah untuk mengajak keduanya turun. Mereka mengikuti setelah membawa peralatan mandi yang memang kami bawa ke dalam kamar.
Meda sempat bilang akan ambil alih urutan antri Syahlaa kalau dia masih di kamar. Ya, dasar dua-duanya engga mau kalah, malah saling ledek-ledekan di depanku sama Hafshah. Hadeh.
Kami bertiga sudah jalan ke lantai bawah, ada beberapa deretan kamar mandi yang bisa dipakai santri putri—tapi tetap saja beberapa dari kami mesti sabar untuk antri.
Aku masuk lebih dulu ke salah satu bilik yang kosong, tempatnya bersih dan terawat. Meda menunggu di antrian setelahku sambil bilang mau ngawasin Syahlaa kalau dia tiba-tiba masuk gitu saja. Aku cuma geleng-geleng kepala lihat tingkah keduanya.
Mataku sempat melirik ke arah kanan, bagian bilik lain yang biasanya diisi oleh adik-adik kelas, ada tiga santri di sana yang juga lagi nunggu antrian mandi. Kulihat Meda yang sudah berhenti adu urutan mandi dengan Syahlaa—meski Syahlaa juga engga akan dengar. Anyep gitu saja, tumben.
Dia diam memerhatian objek yang sama sepertiku. Belum sempat aku bertanya, Hafshah di belakang sana menyuruhku untuk segera masuk karena antrian mandi sudah menjadi lebih ramai. Aku cuma mengangguk, melupakan pradugaku.
Perasaanku, belum lama aku masuk ke bilik, kini pintu kamar mandi sudah diketuk keras dari luar. Plislah, kecepatan super juga engga bisa bikin mandiku jadi bersih. Ini pasti kerjaannya anak-anak MSG.
“Dys-dys, cepat! Ada apa loh di dalam,” itu suara Meda. Sengaja banget dia nakutin.
“Dys, kudengar Mbak Harum suka ngintip!” Meda lagi, sambil ketuk pintu beberapa kali.
Mataku membulat mendengarnya, untung sudah hampir selesai tapi sengaja kulama-lamin. Sedikit ngeri kalau sudah bawa Mbak hantu yang katanya beneran ada di Darul Akhyar—aku sih, awalnya engga terlalu yakin, tapi kalau lihat tingkah Syahlaa yang suka tiba-tiba aneh, serem juga kalau beneran dia ada.
“Dypsi, kamu lama banget di dalam, mikirin si Ghufta, ya?” Mendengar pernyataan itu, spontan tanganku menarik handle pintu, kulihat Syahlaa sudah memamerkan deratan giginya sambil pasang wajah polos.
“Ih, kenapa kamu bawa dia!” Protesku begitu saja. Siapa juga yang mikirin si manggo-man, Syahlaa sekarang suka sekali jahil bawa-bawa nama dia.
Gadis itu terbahak pelan sambil noel-noel pipiku, kelihatan banget dia puasnya. Mataku melirik ke belakang mencari keberadaan Meda, kenapa tiba-tiba jadi Syahlaa yang bisa lebih dulu antri?
“Eh, Meda mana?” Syahlaa menunjuk ke belakang, ia lantas buru-buru masuk ke kamar mandi tanpa menjawab pertanyaanku.
Suara lain kudengar dari belakang, mataku melihat Meda yang sudah berlari mengejar pintu kamar mandi yang hampir tertutup, “Eh, Lalala, kamu curang!” Pantas, Syahlaa bisa masuk, rupanya Meda lagi ambil barangnya yang ketinggalan di kamar dan antriannya diselang.
Aku sama Hafshah yang ada di tempat cuma pura-pura engga lihat apa kelakuan Meda yang kini lagi ketuk—eh kurasa gedor pintu kamar mandi dengan kencang, karena kini dia bahkan sudah minta Syahlaa keluar yang dijawab dengan tawa dari dalam.
Lihat tingkah mereka berdua, menjadi penutup sore di hari Mingguku yang indah.
_____
Jam istirahat terdengar. Hari Senin memang menjadi hari yang super sibuk, bukan karena hari pertama di satu minggu ke depan tapi juga karena sistem belajar yang full day. Tapi, aku sendiri engga benci dengan hari ini, meski beberapa orang selalu menyebutnya monster day—itu keterlaluan menurutku, bisa saja itu terjadi karena anggapan dan sugestimu sendiri yang berpikir demikian.
Aku dan Hafshah memilih untuk ke perpustakaan sekolah, mencari buku untuk bahan pelajaran selanjutnya. Kami berpisah rak.
Kakiku hendak menuju rak buku ekonomi—sesuai dengan jurusanku, namun mataku malah melirik ke arah buku sejarah yang terdapat di sana. Tanganku spontan mencari satu buku yang sesuai dengan buku sejarah Islam Turki yang terakhir kubeli, entah mengapa mengetahui sejarah Islam, selalu saja membuatku takjub dan merinding, belum lagi setelah tugas yang diberikan oleh Ustazah Salma, sedikitnya aku mengetahui beberapa Ulama yang terkenal di Turki, kota-kota yang menjadi bukti sejarah yang baru kuketahui. Tentu semua demi perjuangan di jalan-Nya, demi mengukuhkan Islam tanpa faktor lain yang menghambat.
MasyaAllah... aku bahkan engga pernah membaca beberapa buku terkait hal itu di sekolahku dulu. Itu juga alasan yang membuatku gemar membaca pelajaran agama seolah baru menemukan sesuatu yang keren dan kuketahui.
Mataku menatap sekumpulan santri putri lain yang sedang membicarakan kepulangan Gus Nuril, ternyata benar seperti ucapan Ustazah Windy, bahwa beritanya sudah jadi trending topic di Darul Akhyar.
“Dys, sudah dapat bukunya?” Hafshah muncul di depan sana sambil menenteng dua buku yang lumayan tebal. Aku tertawa pelan, “Belum, nih.”
Hafshah lantas menarikku ke rak buku yang tadi dia cari, kami menemukan banyak buku refensi yang bisa dipinjam.
Darul Akhyar memang benar-benar memberikan fasilitas lengkap bagi setiap santrinya, luas perpusatakaan pun tak kalah besar dengan bangunan lain, deretan buku-buku tentang Pelajaran agama atau pun Pelajaran umum tersusun rapi di rak menjadi buktinya.
Kami berdua sudah menemukan beberapa buku yang dicari. Lantas keluar perpustakaan dan kembali ke kelas.
Mataku sempat tak sengaja menatap Ghufta yang sedang berkumpul dengan santri putra lainnya di Lab komputer, mungkin memang itu bagian kelas dia setelah jam istirahat selesai.
Aku spontan menutup wajah dengan buku yang tadi kupinjam, Hafshah di sampingku menatap heran dengan apa yang terjadi, “Kenapa, Dys?”
Aku menaruh jari telunjuk di depan bibir, “Stttt, bukan apa-apa.” Bisa gawat kalau dia tahu aku sedang melewati Lab sehabis dari perpustakaan.
Meski jaraknya lumayan jauh, namun tetap saja pandangan kami masih bisa terlihat—karena itu pula, aku lebih memilih antisipasi, masalahnya aku belum berani meminta maaf padanya gara-gara waktu itu.
Hafshah di sampingku cuma tertawa saja karena tahu alasanku bertindak begini. Ia lantas mengatakan bahwa kami sudah cukup jauh dari lab dan sudah hampir di depan kelas. Aku bernapas lega, aman.
“Kak Gladys!” Mataku beralih menatap ke arah depan, kulihat seorang santri putri yang engga asing, mukanya seperti pernah kulihat, tapi di mana, ya?
“Hai, Kak. Aku Seina, adik kelas Kakak di eskul kepenulisan,” dia menatapku dengan senyum tipisnya. Ah, pantas engga asing.
Aku menyapanya balik, memperkenalkan diri juga. Setelah memperkenalkan diri secara singkat padaku dan Hafshah, Seina lantas pergi begitu saja dengan dua temannya yang lain.
Mataku menyipit melihat salah satu di antara mereka yang sepertinya pernah kutemui juga. Bukankah itu, anak yang kulihat dan Meda di kamar mandi? Yang bikin muka Meda jadi berubah kayak kesel gitu.
Kini kulihat ketiganya sudah saling berbisik setelah menjauh dari aku dan Hafshah, ada sorot mata lain yang buat aku engga nyaman.
Ada apa sama mereka?
🍂🍂🍂
Tebak, kira-kira ada apa sama mereka? Hihi
Terima kasih sudah membaca cerita Gladys. Sampai bertemu di part 7 :)
Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah.
If you find something from this story, tag me on instagram (@) Baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.
Salam, Magicilicious
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro