Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 | Cara


Bismillahirrahmanirrahim

Hai, baca jam berapa? :)

🍂🍂🍂

Confused

SEKANTONG buah mangga dan buku yang kini kujingjing, menemani langkahku dan Syahlaa dalam perjalanan menuju pulang ke Pondok Pesantren. Kami masih di pinggir jalan sambil nunggu angkot yang lewat.

Mukaku masih cemberut karena kejadian tadi, untungnya si Ghufta engga marah-marah—entah mesti senang atau engga karena hal ini—dia kayaknya tahu tapi pura-pura engga tahu dan langsung pergi gitu saja, tingkahnya malah sukses bikin aku semakin merasa salah.

Meski pukulan buah mangga tadi engga akan terasa sakit, tapi tetap saja tindakan tadi bikin malu-maluin, apalagi penjual buah tadi minta ganti bayaran buat mangga yang kulempar ke arah Ghufta.

Aku pengin marah sama diriku, kenapa tadi engga bisa nahan diri. Habis ini kayaknya aku semakin enggan buat ketemu lagi sama si Ghufta—yang sepertinya engga akan bisa karena kita berkecimpung di satu eskul yang sama. Apa aku mesti minta maaf, ya? Gengsi tapi, duh.

“Mukamu merah, Dys.” Syahlaa bersuara sambil membuyarkan lamunanku. Dia sampai menggerakan kelima jarinya biar aku sadar.

“Sakit?” Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaannya. Engga mungkin aku bilang mau minta maaf karena kejadian tadi, tapi aku gengsi sampai mukaku merah karena memikirkannya, Syahlaa emang engga akan ngetawain tapi ya, aku tetap malu.

Aku spontan mengibaskan jari ke muka, kipas-kipas biar lebih adem. “Hareudang kamu teh?” Dia bertanya demikian sambil menatapku heran.

“Iya, nih, La. Aku hareudang, hareudang, hareudang,” aku menjawab sambil cengengesan, keadaan di jalan pasar emang cukup panas.

Untung juga aku ngerti sedikit bahasa Sunda—ini juga karena Syahlaa suka nyanyi kalau nunggu antrian di kamar mandi. Tapi, suara dia bagus, engga kayak aku yang langsung bikin sakit perut.

Mataku berkeliling cari alasan penguat biar Syahlaa engga nanya macam-macam perihal Ghufta yang engga pengin kuceritakan, meski mungkin Syahlaa sudah penasaran kenapa aku bertindak nekat kayak tadi.

Pas sekali engga jauh dari kami ada kedai es krim yang cukup ramai pengunjung. “La, kita beli es krim, yuk?” Tanganku sudah nunjuk ke tempat itu. Kulihat dia cuma mengangguk setuju. Aku tahu sekali Syahlaa suka es krim rasa nanas, dan itu engga akan bisa dia tolak.

Jujur, itu pertama kali aku bertindak demikian. Mungkin karena rasa kesalku sudah menumpuk dan tadi adalah moment yang pas buat menyalurkannya. Tapi, kalau dipikir-pikir ulang semua engga akan terjadi kalau Ghufta engga ikut masuk jadi tim inti buletin Pondok. Coba kalau dia engga ikutan masuk dan engga lolos seleksi Ustaz Ahmad. Ya, kan?

Aku menghela napas pelan, beristigfar kecil karena masih mencari alasan mesti nyatanya mau bagaimana pun aku menyangkal, dia engga salah dan tindakanku yang kelewat batas padanya. Huf.

“Med, ini mangga titipan kamu,” aku menjulurkan sekantong mangga ke arah Meda yang lagi ngelamun, mukanya serius kayak lagi mikirin sesuatu, mungkin karena tawaran lomba yang waktu itu dia ceritakan.

Aku dan Syahlaa sudah sampai asrama. Kami lagi duduk berempat di kamar Rufaida. Di hari Minggu, jadwal sekolah libur tapi jadwal mengaji tetap berjalan karena itu kami bisa sedikit santai rebahan di kasur.

“Muka kamu kenapa cemberut gitu, Dys? Tadi perasaan yang paling engga sabar ke pasar kamu deh,” Hafshah bertanya sembari membagi pandangannya pada buku tugas.

Iya, tadinya. Sebelum aku engga sengaja ketemu si santri so santai itu. Hem.

Aku sendiri bingung mau jelasin dari mana, tindakanku tadi adalah hal konyol yang pengin banget kukubur dalam-dalam biar engga ada yang tahu, tapi percuma Syahlaa sudah tahu dan dia kini berdehem pelan seolah memberi tanda biar aku cerita. Mau gimana lagi, di depan mereka aku engga bisa berbohong.

“Kalau nimpuk orang pakai mangga, dosa engga sih?” Hening sejenak saat aku mengatakan demikian.

“Hah?” Spontan Meda dan Hafshah menjawab. Aku mengelembungkan pipi, sedangkan Syahlaa cuma ketawa dengar ucapaku barusan.

Aku mengepalkan kedua tangan sembari mengeram pelan, gemas sendiri kalau ingat kejadian tadi, “T-tadi aku engga sengaja nimpuk santri putra yang nyebelin!” Meda, Hafshah, duduk di ranjang yang sama, keduanya memperhatikanku serius.

“Emang dia buat salah apa sama kamu?” Syahlaa sudah berhenti tertawa, dia sudah ikut menimbrung, meski jadi saksi mata, tapi dia sendiri engga tahu alasanku bertindak kayak tadi.

Engga ada sih,” ucapku dalam hati. Tapi, kalau menjawab demikian mereka pasti akan anggap aku aneh.

Mereka bertiga menautkan alis sambil menunggu jawabanku, “itu spontan kulakukan karena dia masuk tim inti buletin Pondok. Dia kayaknya punya niat buat terbitin naskahnya juga, terus yang engga kalah bikin kaget, dia itu anak osis-yang aku sendiri baru tahu. Makin kesel, kan, aku!” Aku bersungut-sungut menceritakan semua kekesalan yang menumpuk di dalam hati.

“Dys yang harusnya kesal, ya, si santri putra itu,” Hafshah memperingati dengan tawa kecil.

“Bener tuh, Dys. Minta maaf itu perlu, apalagi denger cerita kamu tadi, kayaknya kamu mesti minta maaf.” Meda menambahkan, dia berpikir sejenak, “sambil bawa mangga mungkin,” ujarnya sambil mengendikan bahu.

Benar juga apa kata mereka, itu juga yang sebenarnya aku pikirkan sampai pusing sendiri gimana caranya buat minta maaf—tapi gengsi. Bingung. Kalau cara Meda tadi, bisa-bisa sebelum Ghufta memaafkan, dia sudah nimbuk balik duluan ke aku pake mangga yang kubawa. Ih, gimana?

“Eh, tapi tadi Gladys keren loh, bisa nimpuk pas sasaran,” Syahlaa melirik Meda dan Hafshah sambil menahan tawa.  “Sampai tukang buahnya minta ganti bayaran.” Ketiganya tertawa, dan cuma aku yang diam.

“Laaa, ih!” semakin diceritakan, aku malah semakin malu. Kupeluk bantal sambil menutupi muka.

“Eh, Dys, tapi kata kamu dia anak osis?” Meda bersuara kembali, aku memunculkan muka setengah di balik bantal sambil mengangguk.

“Berarti kamu makin sering dong ketemu dia nantinya,” aku membulatkan mata mendengarnya, “kegiatan osis 'kan selalu digabung, belum lagi nanti kita ada Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa, ada acara Ziarah juga, belum lagi kalian satu eskul,” ujarnya jahil. Senyum kecil tersungging di bibirnya.

Ah, ngedenger itu aku jadi pengin punya alat ajaib buat mempercepat waktu biar aku engga ketemu lagi sama dia di acara-acara Pondok. Mukaku sudah engga bisa lagi papasan sama dia, bakal se-salting apa aku nantinya. Huwaa.

“Eh sudah-sudah, muka Gladys sudah merah banget tuh, dia hareudang kayaknya!” Syahlaa menambahkan sambil tertawa puas, aku menimpuknya dengan bantal yang bisa dia tangkap.

Plis, aku butuh kipas, aku butuh kipas buat menghempas Ghufta!

_____

Sore di hari minggu. Setelah stor hafalan di mushala Putri, aku melipir ke arah dapur Pondok sama Geng micin, panggilan akrab kami. Sebenarnya ini alasan sederhana kenapa nama itu dibentuk adalah gabungan dari nama Aku, Meda, Syahlaa dan Hafshah menjadi MSG.

Kenapa engga MSGH? Bukan karena Hafshah engga termasuk, cuma dia yang paling kalem di antara kami dan engga punya nama panggilan, tapi akhirnya dia menerima saja. Terus yang suka minta tambahan mie di dapur itu, Aku, Medmed dan Lala, dan Ustazah Windy suka bilang kami kayak micin.

Engga apa deh, Syahlaa pernah bilang kalau itu engga buruk karena berasal dari tebu dan engga bahaya kalau sewajarnya dalam pemakaian—aku engga ngerti sama teori dia, panjang kalau diceritakan.

Ustazah Windy ini istri Gus Emil, beliau suka ada di dapur ndalem, paling baik kalau kita suka minta tambahan lauk pakai muka melas, asal bantu bebersih dapur kayak cuci piring, itu sih engga masalah bagi kami.

Ustazah juga paling pengertian kalau diajak curhat apalagi kalau kita punya masalah, dan paling sabar dan hebat karena bisa taklukin hati Gus Emil—kamu tahulah, Gus yang paling ditakutin santri—keren, kan. Pasangan yang saling melengkapi. Uhuk.

Sebenarnya selain Ustazah Windy, ada Ustazah Benaz yang jadi wali kami di asrama. Beliau juga engga kalah baik macam Ustazah Windy, bahkan kita suka curhat pakai bahasa anak santri gitu deh.

Kami berempat langsung masuk ke dapur setelah mengucap salam, sambil menenteng sekantong mangga yang tadi aku beli, Meda bilang isinya kebanyakan dan bisa dibagi ke Ustazah Windy, jadilah kami setuju, siapa tahu dapat jatah mie tambahan buat makan malam nanti.

“Ada udang di balik bakwan!” ujar Ustazah Windy pas beliau menerima sekantong buah mangga tadi, kami tertawa pelan mendengarnya.

“Duduk-duduk,” Ustazah Windy sudah menaruh mangga tadi, “kebetulan kalian ke sini, ada yang kangen.”

Kami berempat saling pandang satu sama lain. Sebenarnya engga perlu alasan khusus kalau mau ke dapur, semua santri bisa ke sini, apalagi suka ada jadwal piket santi yang bantu di dapur buat masak. Cuma karena letaknya di ndalem, santri lain biasanya enggan buat masuk asal atau melakukan sesuatu. Cuma kita aja yang suka diam-diam minta makan. He he.

“Siapa, Stazah?” Meda menimpali. Kami sudah duduk di kursi panjang yang tersedia, berdekatan dengan peralatan dapur yang berjejer rapi.

“Tuh,” Ustazah Windy menujuk ke arah wastafel dengan dagunya, “cucian piring.”

“Ah, Stazah!” Proses kami kompak. Padahal 'kan niatnya pengin ngerayu biar dapat jatah makanan. Lah, malah ketemu cucian.

Ustazah Windy cuma ketawa melihat tingkah kami. “Jadi beneran mau minta makan?”

Duh, Ustazah, kalau dijelasin kayak gitu 'kan kami jadi malu. Mau ngangguk terang-terangan kelihatan banget modusnya bawain mangga, engga ngaku tapi kami pengin. Tapi, seolah mengerti Ustazah Windy cuma senyum sambil mengiyakan tanpa bertanya lagi, kami berempat kompak cengengesan sambil berkata yeay!

“Tapi, Ustazah jangan bilang Gus Emil,” pinta kami dengan wajah lesu. Sengaja dibuat-buat takut dihukum beneran. Masalahnya hukuman di Pondok itu termasuk berat—walau beberapa ada tahapannya—dan kami tahu Ustazah Windy engga akan sejahat itu. Beliau cuma mengulum senyum.

“Gus Emil lebih sibuk ngurusin yang lain dibanding kalian,” kami melebarkan senyum mendengarnya, kalau Ustazah Windy sudah bilang begitu pasti semuanya aman.

“Engga mau tanya ngurusin apa?” Pancing Ustazah Windy.

“Urusan Pondok, kan?” tukasku cepat dengan menaikan satu alis.

Ustazah Windy cuma mengangguk, “Tapi, akhir-akhir ini ada urusan lain.”

“Apa memang?” Syahlaa menanggapi. Jujur, pernyataan Ustazah Windy bikin kami penasaran banget!

Satu lagi, Ustazah Windy kadang suka kasih informasi eksklusive yang santri lain belum dengar, tapi informasi ini sesuai fakta dan seputar Pondok Pesantren bukan hal lain.

“Kita bakal kedatangan Gus yang engga pernah kalian lihat,” kami semua menatap engga ngerti ucapan Ustazah Windy barusan. Tunggu... Emang ada Gus lain? masalahnya setahu kami anak Pak Kyai itu semuanya ada di sini. Terus Gus yang dimaksud itu siapa?

“Namanya Gus Nuril, dia emang sudah engga di sini sejak tiga tahun lalu.”

“Dia ke mana, Stazah?” Hafshah menjawab mewakili rasa penasan kami. Kami mengangguk sambil menatap Ustazah Windy.

“Dia kuliah di Istanbul-Turki, dan secepatnya akan pulang buat selesain tugas penelitiannya di sini.”

“Aku pernah dengar sih,” timpal Meda. Ah, pantes aku engga begitu tahu, aku 'kan santri pindahan di sini mungkin Syahlaa juga sama sepertiku. Kami bertiga kompak lihat Meda.

Tapi, ucapan Ustazah Windy barusan bikin aku semakin penasaran. Bukan, bukan ada maksud lain, cuma dengar kata Istanbul-Turki, aku sedikitnya tertarik, apalagi pas banget sama Buku sejarah Islam yang baru kubeli. Kalau Gus Nuril bisa kuliah di sana, berarti dia hebat, apalagi Negara dua benua itu menjadi salah satu Negara impianku juga yang ingin kukunjungi.

“Keren dong, Stazah! Gus Nuril bisa kuliah di luar negeri,” aku menjawab dengan wajah berbinar.

Ustazah Windy tersenyum simpul, “kalian juga mesti bisa ambil kesempatan kuliah di sana. Nanti kalian bisa ikut seleksi beasiswa buat lanjut kuliah.”

Ah, engga tahu kenapa, aku jadi pengin cepat-cepat lihat kepulangan Gus Nuril, pengin tahu informasi tentang Turki dan segala macamnya, pengin dengar kisahnya bisa punya kesempatan kuliah di sana, mungkin tambahannya minta tips dan trik biar bisa lolos seleksi beasiswa luar negeri. Semua karena tujuanku buat cari informasi kuliah di sana.

“Tapi, jangan tahu info ini dari Ustazah, ya!” peringat Ustazah Windy dengan jari telunjuk yang sudah ia acungkan di depan kami, mau ucapannya seolah mengancam, muka Ustazah Windy kelihatan banget engga bisa marahnya.

“Siap, Stazah!” ujar kami kompak, sembari berlaga hormat.

Kami lantas berdiri untuk kembali ke kamar asrama. Belum sempat pamit, Ustazah Windy sudah berbicara kembali, “Eh, kalian mau ke mana?”

Kami berempat berhenti melangkah. Menatap Ustazah Windy sambil nunjuk pintu keluar, “Ke kamar—”

Ustazah Windy memangku kedua tangannya dan menggelengkan kepala, matanya melirik ke arah wastafel, “engga jadi temu kangen dulu sama cucian?”

Muka kami mendadak lesu, “Ah, Stazaaah!” Mau protes engga bisa, apalagi Ustazah Windy sudah memudarkan senyum. Kayaknya Ustazah Windy diajarin Gus Emil kalau lagi kayak gini. Eh.

Kami kira tadi cuma bercanda. Mau engga mau kami melangkah ke wastafel, saling sapa sama cucian piring dan sabun yang tersedia.

🍂🍂🍂

Hayo, penasaran sama Gus Nuril? Hehe

Terima kasih yang sudah membaca cerita Gladys. Sampai bertemu di part 6 :)

Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah, ya.

If you find something from this story, tag me on instagram (@) baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.

Salam, Magicilicious

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro