Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 | Pilihan

Bismillahirrahmanirrahim

“Aku memang kehilangan sesuatu yang berharga di hidupku, bahkan tidak bisa mendapat menggantinya lagi. Tapi, aku yakin, dibalik kehilangan yang kurasakan ini, pada saat Allah mengambil sesuatu yang berharga, tak lain itu semua adalah cara-Nya agar aku mendapat yang lebih baik lagi dari sebelumnya. ”

🍂🍂🍂

Still Survive

  BEBERAPA kali mataku mengerjab menatap tiga orang yang baru kutemui. Tubuhku rasanya kaku, rasa canggung menyergap begitu saja karena masih engga menyangka sudah berada di kamar asrama yang engga pernah sama sekali kuharapkan. There all's nothing I can choose.

Aku sampai memejamkan mata lalu membukanya kembali, berharap ini hanya mimpi lalu hilang begitu saja dan aku kembali ke kamarku di rumah. Namun tiga orang di sana malah semakin memandangiku dengan raut wajah terheran. Kelihatan dari tautan alis mereka.

Oke, ini awkward moment yang semoga mereka engga sampai mikir aku cacingan karena ngedip-ngedip mata engga jelas. 

Mataku pura-pura berkeliling menatap isi kamar Rufaida yang terletak di lantai dua asrama. Ada tiga kasur tidur bertingkat, di bawah kasur terdapat laci yang muat untuk menyimpan pakaian dan buku. Sebuah jendela besar menghadap ke arah lapangan menjadi view yang pas.

Tapi, lama-lama bakal makin aneh kalau aku cuma natap dinding tanpa cicak—yang jelas engga bisa bantu aku sama sekali. Jadi, kupilih buat berdehem pelan dan melelehkan suasana.

“Oo Hai, aku Gladys,” ucapku begitu saja dengan cengiran lebar, mataku memandang reaksi ketiganya, memerhatikan apakah aku diterima di kamar ini atau engga. Jantungku rasanya mau loncat nunggu tanggapan mereka. Help me!

Tapi, semua kecanggungan lenyap kala mereka menatapku dengan menutup mulut sambil menahan tawa, salah satunya malah ketawa keras sambil melangkah maju ke depanku. “Hai, hai,” dia merangkulku seolah kita sudah kenal lama, “Namaku Meda. Andromeda.”

Aku sempat menyerjitkan dahi mendengar namanya yang... unik? Maksudku baru kutemui. Tapi, dilihat dari tingkahnya, dia emang cocok persis namanya.

Aku tertawa pelan menyambutnya. Ia menarikku dan memperkenalkan dengan dua santri lain di depan sana.

“Yang ini Hafshah,” Perempuan mungil itu sudah tersenyum hangat seperti Meda, meski malu-malu namun ia menyambut uluran tanganku dan memperkenalkan diri.

“Dan yang ini Syahlaa.” Dari wajahnya, dia kelihatan cuek, banget. Duh, aku khawatir sih engga bisa bikin dia senyum.

Meda lantas berbisik pelan, “biasa dipanggil Lalalala,” tambahnya dengan kata bernada. Aku hampir tertawa pelan mendengarnya, namun kutahan karena takut menyinggung.

Kulihat wajah Syahlaa yang cerah engga seperti di awal tadi. “Dasar Culametan!” balasanya tak mau kalah. Derai tawa mereka terdengar di kamar ini, aku ikut cengengesan karena pengin ikut berbaur.  Mereka sudah kenal akrab dan punya nama masing-masing. Tapi, ini malah buat aku sedikit minder sebagai orang baru. Huf.

Syahlaa mendekat dan memperkenalkan diri padaku, “Kalau aku Lala, boleh kamu aku panggil Dypsi?” Ia mengulum senyum. Ternyata engga secuek itu kok dia. Cuma di awal aja. Syukur deh, mengurangi rasa tegangku.

Aku jelas menyambut uluran tangannya—mau pelukan tapi kita bukan teletubis—tambahan dengan panggilan baruku yang bakal bikin kita makin akrab. Aku suka. “Boleh, Lala.”

Aku menggelengkan kepala mengingat kejadian tahun lalu waktu pertama kali menjadi santri pindahan dan ketemu mereka.

Dan sekarang, di sinilah aku bersama tiga orang yang membuat kecanggunganku meluap, melakukan banyak hal seru yang baru kulakukan, kebahagiaan yang mereka sajikan seolah menjadi penawar luka yang pernah terjadi pada keluargaku—dan masih menjadi tanda tanya kenapa aku bisa sampai di sini.

Meski kami berbeda karakter, tapi justru perbedaan itu yang menjadi pelengkap untuk aku tetap bertahan di Pondok Pesantren Darul Akhyar.

“Siapa yang berani manjat pohonnya?” Hafshah berbicara sambil menatap pohon mangga di depan kami.

Kelas olahraga sudah selesai, tapi masih ada jam yang sengaja dipakai buat istirahat sebelum masuk waktu salat dzhur. Jam bebas yang bisa juga dipakai santri untuk kembali ke asrama, tapi kami malah memilih melipir ke taman dekat gedung sekolah. Ada pohon mangga yang buahnya lebat. Pas banget jadi sasaran buat rujakan siang-siang.

Aku dan Syahlaa langsung saja nunjuk Meda tanpa basa-basi. Wajahnya sudah kelihatan banget mau protes, tapi aku langsung membela diri, “Mataku jeli kalau masalah pantauan keamanan dari Gus Emil atau Ustaz Ahsan, Syahlaa paling jago cari alasan buat ngeles kalau kita ketahuan, dan kamu kandidat paling kuat buat bisa manjat.” Ucapanku disetuju Syahlaa, perempuan berdarah Sunda yang sama-sama santri pindahan sepertiku menambahkan kalimat-kalimat rayuan agar Meda mau. Hafshah juga turut jadi tim hore.

Meda sempat ber-huh pelan sebelum akhirnya mengangguk.

Dari bawah kami sudah jadi penunjuk arah biar dia ambil mangga yang paling besar dan manis, berupaya biar Meda engga salah petik. Tapi, sepertinya kami terlalu fokus sama pilihan buah mangga di atas pohon yang menggoda, dan lupa tugas masing-masing.

“Heh, kalian ngapain di situ?!” Suara ini sepertinya engga asing. Kami serempak menatap ke sumber suara. Haish, wajah Hulk eh Khalik sudah menatap kami dengan senyum liciknya yang berdiri di depan Lab Komputer.

Syahlaa lantas menyuruh Meda buat turun dan ganti rencana biar sesuai sama alasan awal yang dia sudah siapkan kalau kita ketahuan. Hafshah turut memberitahu jalan turun biar Meda engga jatuh. Apalagi Khalik kini sudah bawa-bawa ancaman lapor Gus Emil. Ih, nyebelin!

Mataku melirik tajam ke arah Khalik. Dia tertawa puas melihat kami. Aku bersungut-sungut di dalam hati buat balas tingkahnya kali ini, nanti. Dan yang bikin tambah panik, ternyata engga jauh dari dia ada Ustaz Ahsan di sana. Lengkap sudah penderitaan kami.

“Medmed, Ustaz Ahsan jalan ke arah sini!” ucapku panik. Tanganku menyuruhnya untuk turun. Tambahlah suasana jadi huru-hara dan bikin kita tambah heboh. Ck, gara-gara Khalik!

Aku dan Syahlaa sudah duluan ambil ancang-ancang untuk lari, sudah engga ada kesempatan mikir apalagi cari alasan. Hafshah mengikuti setelah dia memberi instruksi pada Meda yang masih di atas sana. Apalagi seruan Ustaz Ahsan yang memanggil nama Meda saat dia masih di atas pohon, membuat nyali kami bertiga ciut.

Kami ini bukan engga setia, tapi  kalau ada kesempatan bukannya memang harus dipergunakan sebaik mungkin? Aku harap bagian ini Meda ngerti, plis!

Kami bertiga sudah lari lebih dulu ke asrama, meninggalkan Meda yang tertahan—tapi semoga dia masih bisa lari—dari kejaran Ustaz Ahsan.

Gagal sudah acara rujakan siang yang engga jadi kita nikmati. Selamat tinggal, Mangga harum manis.

_____

“Meda..aa..aa, maaf, ya,” ujar kami bertiga berulang kali. Aku bahkan menggodanya dengan manggil namanya pakai nada, siapa tahu dia luluh. Tapi, engga. Meda masih duduk diam di atas ranjang dengan mode ngambeknya.

Di kamar Rufaida ini sebenarnya bukan hanya kita berempat, ada satu santri putri lain. Namanya Eren, dia sekelas sama Syahlaa di jurusan IPA. Dia cenderung pendiam dan nurut, bisa kutebak sekarang dia pasti sudah duduk di mushala ikut shalawatan, nunggu adzan berkumandang.

Kita berempat harusnya juga sudah bersiap buat salat jamaah di mushala, cuma lihat Meda begini engga mungkin kita tinggalin dia, lagi.

“Nanti aku beliin mangga utuh saja di pasar, ya? Engga kalah manis sama yang di pohon tadi,” rayuku sambil menoel-noel punggung tangannya.

Meda turun dari ranjangnya buat ambil peralatan salat di laci bawah ranjang, pergerakannya bikin kita was-was dan saling pandang takut dia jadi makin ngambek. “Aku engga bisa dirayu pake mangga.” Tuh kan, tuh kan.

Dia sempat berdehem pelan, “Aku sih engga berharap, cuma kalau mangga yang di pasar gede-gede manis gitu, dan kalian maksa, ya aku engga mungkin bisa nolak.”

Kami bertiga saling pandang, engga ngerti sama ucapan Meda. Sebentar, kok, aku rasa ada keanehan dalam interaksi ini, ya? Tapi, aku manut saja sambil mengiyakan, Syahlaa dan Hafshah mengikuti, takut suasana makin runyam.

Tak lama tawa Meda pecah seketika. Dia berbalik dan memeletkan lidahnya karena berhasil mengerjai kami, “Kena kalian! Janji loh beliin aku mangga!”

Syahlaa yang pertama menyadari dan menggerutu pelan sambil bilang, “Dasar Medmed Culametan, sini kamu!”

Aku ikut mendekat sama Hafshah ke arahnya. Kami sempat perang bantal sebelum akhirnya berhenti karena kumandang adzan dzhur terdengar. Lantas kami berempat tertawa karena kapuk isi bantal berhamburan.

Mungkin aku memang kehilangan sesuatu yang berharga di hidupku, bahkan tidak bisa mendapat menggantinya lagi. Tapi, aku yakin, dibalik kehilangan yang kurasakan ini, pada saat Allah mengambil sesuatu yang berharga, tak lain itu semua adalah cara-Nya agar aku mendapat yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Dan bersama mereka entah mengapa, menjadi penawar luka di hatiku. We had throught together.

Kami lalu memilih bersiap untuk salat jamaah dzhur di mushala Putri dan dilanjut dengan pengajian rutin sebelum kembali ke kelas.

____

Segala kejadian yang terjadi pada hidupku, masih kucoba untuk menerimanya pelan-pelan. Termasuk adaptasi kebiasaan baru sebagai santri di Pondok Pesantren Darul Akhyar. Mungkin benar, bahwa jalan hidup tidak bisa ditebak, dan percaya pada-Nya adalah cara penerimaan yang paling epic tanpa harus mengungkit masa lalu yang kadang menyakitkan. 

Aku mencatat tugas sejarah Islam yang diberikan Ustazah Salma sebelum beliau selesai mengajar.

Duduk di bangku kelas dua belas menjadi tantangan tersendiri bagiku, lebihnya karena status santri yang belum lama ini kusandang. Santri? Ehem, terdengarnya sedikit geli di telinga. Apa pantas? Sedangkan aku sendiri masih banyak ngeluhnya, lebih banyak pelajaran agama yang baru kutahu dan kegiatan rutin santri yang baru kurasakan.

Gedung sekolah berlantai empat ini menyediakan kelas untuk tiap santri putri dan putra dengan berbeda tempat, meski dalam satu blok yang sama. Bahkan tiap jurusan yang diambil pun terpisah.

Masuk kelas IPS-satu, bukan masalah bagiku. Karena aku murid pindahan, mau engga mau aku akan ditempatkan sama dengan kelas sekolah terdahulu—engga bisa memilih kelas perminatan, kecuali santri yang sudah masuk dari kelas sepuluh. Kadang aku masih saja engga menyangka bisa nikmatin suasana kelas yang adem karena engga ada suara berisik anak laki-laki. Jujur, bagian ini yang paling kusuka waktu pertama kali masuk kelas.

“Dys, sudah selesai catatnya?” Itu suara Rania. Teman di sebelah bangku. Dia juga santri pindahan sepertiku.

Wajahnya keturunan Arab, suaranya imut, hidungnya mancung tujuh senti. Pokoknya kontras banget sama aku yang sepet gini.

Aku mengangguk, lantas menutup buku catatan. Pelajaran sekolah sudah selesai.

Rania sempat memberi usul untuk membeli buku sejarah Islam buat memenuhi tugas tadi di toko buku dekat pasar, aku menyetujui, hitung-hitung sekalian beliin mangga buat Meda sesuai janji.

Mataku melirik ke samping kiri, “Eh, Hafshah mana?”

“Tadi buru-buru keluar kelas, sekarang kayaknya sudah di kamar asrama,” tukas Rania memberitahu. Aku cuma mengangguk. Lantas kami memilih keluar menuju asrama putri yang engga jauh dari gedung sekolah.

Pertama kali masuk Pondok Pesantren ini, aku engga berhenti berdecak kagum pada tiap detail bangunannya, apalagi fasilitas yang tersedia engga kalah elite sama sekolah lain di luar sana. Termasuk sekolahku dulu.

Masjid Jami Darul Akhyar sebagai center Pondok Pesantren berdiri megah berlantai dua dengan kubah besar yang bisa kelihat sampai kamar asrama, Gedung asrama putri tiga lantai dengan tiang-tiang menjulang tinggi menyanggah. Engga terbayang olehku bahwa asrama putri Pondok Pesantren akan seluas, sebersih dan sekeren ini. Lengkap dengan mushala putri di sampingnya. 

Pepohonan yang tumbuh di taman depan hampir menjulang ke lantai atas, riuhnya bikin adem dan makin buat suasana asri. Jauh beda sama kondisi dan polusi di Jakarta. Sedangkan untuk asrama santri putra terletak di bagian kanan dekat lapangan bola.

Suara ribut dari santri putra terdengar kala aku dan Rania hampir keluar dari gedung sekolah. Meski berbatasan cukup jauh, tapi mata kami bisa melihat siapa pelakunya. Enam santri aneh yang suka buat ulah, ah lebih tepatnya cuma satu saja yang engga bisa diam. Apalagi sengaja banget kalau lihat Rania. Dasar Hulk, eh Khalik.

Kalau saja ini sekolahku yang dulu dan engga ada aturan menjaga batasan, mungkin sudah kutimpuk si Khalik pakai buku cokelat yang selalu kubawa. Tapi, untunglah teman-temannya bisa menahan, apalagi engga jauh dari sana mataku melihat Ustaz Ahsan yang mendekat ke arah mereka, matanya menyoroti tajam dan tanpa ragu menjewer Khalik agar mengikuti langkahnya.

Aku menahan diri buat engga ketawa. Serius. Tapi gimana, mukanya emang pantes buat diketawain. Rania bahkan menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Kalau engga ingat mau kembali ke asrama, rasanya aku pengin diam di tempat sambil ketawain tingkah si Khalik. Anggap saja itu pembalasan karena tingkahnya tadi menertawai kami yang gagal rujakan.

Kami kembali melanjutkan perjalanan.

Kakiku berhenti melangkah saat suara Nurul di bawah tangga asrama memanggil dengan tingkah heboh seolah bawa berita penting. Rania memilih pamit duluan untuk kembali ke kamarnya, dan aku mengiyakan.

“Dys, dys, ada berita heboh!” Tuh, kan. Dia menarikku ke sudut tangga, matanya melirik kanan-kiri seolah takut ketahuan apa yang akan dia sampaikan.

Aku menaikan satu alis menatapnya, “kalau bukan berita penting aku engga mau denger,” protesku belum selesai tapi sudah dibungkam begitu saja olehnya dengan jari telunjuk yang sudah menahan di depan bibir.

“Tim buletin di eskul kepenulisan bakal kedatangan anggota baru! Santri putra pula!” Nurul sepertinya benar-benar excited sama berita itu, buktinya dia senyum lebar banget, tangannya mengepal seolah gemas.

Kegiatan estrakulikuler memang digabung antara santri putra dan putri, namun tetap dalam batasan yang jelas, contohnya kelas materi yang selalu terpisah dan berjarak agar meminimalisir interaksi.

Aku berpikir sejenak, kalau maksudnya anggota itu adik kelas sepuluh yang sebagai memang statusnya santri baru, itu sih bukan hal baru. Tapi, kayaknya engga mungkin kalau sampai bikin Nurul geger begini. Aku mencoba menghargainya dengan merespon dengan anggukan.

“Kamu engga mau nanya namanya siapa?” Suara Nurul berubah lesu.

“Memang siapa?” Oke, sebenarnya aku engga begitu peduli, tapi ya, kasihan Nurul kalau aku cuma jawab singkat.

“Aku juga belum tahu, sih,” tukasnya dengan terkekeh.

Gubrak. Rasanya aku pengin memular bola mata sambil bilang hadeh. Tapi, aku cuma menghela napas pelan saja. “Terus tahu infonya dari mana?”

“Ustaz Ahmad, pembina eskul kepenulisan. Katanya dia lolos dari seleksi beliau, mungkin bisa-bisa nyaingin kamu buat terbitin naskahnya di buletin.”

Aku mematung seketika. Ucapan Nurul kenapa tiba-tiba bikin hati aku engga enak, rasanya ada yang memukulnya keras. Aku tahu semua orang sudah punya foksinya masing-masing, termasuk akan di tempatkan di posisi bagian buletin kepenulisan. Tapi, sebenarnya untuk jadi bagian tim inti itu cukup sulit, harus yang benar-benar tahu perihal kepenulisan dan mendengar jawaban Nurul tadi, aku sedikitnya yakin dia punya keahlian menulis yang engga sembarangan.

“Kapan dia bakal gabung?” Masih mode so tenang, meski nyatanya mood-ku sedikit rusak mendengar berita ini.

“Hari sabtu nanti, pas kelas eskul dimulai. Aku sudah engga sabar!” Nurul menanggapi dengan wajahnya yang sampai berbinar, berbeda sama aku yang engga mau cepat-cepat beranjak ke hari sabtu.

Bukan, bukan aku merasa tersaingi, that's just a little obstacle—bukan apa-apa. Cuma melihat respon Nurul yang di luar kendali, berarti santri putra itu sudah dikenal dengan kemampuannya, sepertinya hanya aku yang baru tahu karena berstatus santri pindahan. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sebal. Sebal saja yang aku sendiri engga ngerti kenapa.

🍂🍂🍂

Tebak, siapa santri putranya? Hoho

Terima kasih yang sudah baca part 3 Gladys.

Sampai bertemu di part 4 :)

Ingatkan aku kalau menemukan bagian yang salah, ya.

If you find something from this story, tag me on instagram (@) baklavasugar_ & (@) Swp_writingproject.

Salam, Magicilicious

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro