6 : Bandayuda
Arya Penangsang melirik ke tempat yang ditunjuk oleh Patih Matahun. Benar saja, ada sepucuk anak panah yang menancap di batang pohon itu. Maka Sang Arya Penangsang dengan sigap mencabutnya. Di gagang anak panah itu terdapat secarik kertas gulung yang diikat dengan seutas benang berwarna merah. Dibukanya isi surat itu oleh Sang Arya Penangsang.
Lumarap ponang kintaka
(datang sebuah surat)
Konjuk kangjeng Adipati
(ditujukan kepada Sang Adipati)
Dhawuhe njeng Sultan Pajang
(keinginan Sang Sultan Pajang)
Mugi keparenga niki
(semoga disetujui)
Tumungkul srana aris
(untuk tunduk tunduk tanpa perlawanan)
Taksih agung martanipun
(masih besar martabatnya)
Sultan Hadiwijaya
(Sang Hadiwijaya)
Keh lamunta datan arsi
(kalaupun Anda tidak setuju)
Pun sumangga sinambatan ing ayuda
(maka marilah kita bertemu di medan pertempuran)
Sebait tembang Macapat dengan metrum Sinom dibacanya dengan hati-hati. Sebaris demi sebaris ia teliti agar ia tidak salah menerima maksud dari si pengirim. Tetapi semakin ia membaca isi surat itu, amarahnya semakin membuncah. Secara tidak sadar ia mulai meremas-remas kertas kecil itu dan membuangnya ke sembarang tempat. Surat yang berisi permintaan Sang Hadiwijaya agar dirinya menyerah dan bertekuk lutut kepada Adipati Pajang itu seakan mencoreng mukanya. Ia tidak mau bertekuk lutut dan menyembah kepada keluarga Sultan Trenggana, termasuk Hadiwijaya.
Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan cepat ke tempat kuda kesayangannya ditaambatkan. Kuda berwarna hitam legam dengan bagian telapak berwarna putih yang diberinama Gagak Rimang itu ia lepaskan ikatannya dan segera ia tunggangi. Dari kejauhan, ia melihat samar-samar bayangan orang yang juga menaiki kuda dan membawa tombak panjang di seberang Sungai Bengawan Sore yang tak lain adalah Danang Sutawijaya dengan menungangi seekor kuda betina. Dengan segera ia pacu si Gagak Rimang menuju ke pinggir Sungai buatan itu.
"Hadiwijaya ! Hari ini juga, kau akan mati ditanganku !" Sang Arya Penangsang mencabut sebilah pedang yang selalu terselip di pelana kuda kesayangannya itu, lantas menendang perut kuda itu. Gagak Rimang berlari sangat kencang menyeberangi Sungai Bengawan Sore. Ditambah lagi, kuda hitam itu bernafsu melihat kuda betina yang ditunggangi Danang Sutawijaya sehingga larinya menjadi semakin kencang.
Ia sudah tidak peduli dengan kutukan yang ia sebar sendiri di Sungai Bengawan Sore bahwa siapapun yang menyeberangi Sungai Buatan itu akan mendapatkan nasib buruk bahkan sampai kepada kematian. Amarah yang terlalu bergejolak di dadanya membuat ia lupa dengan segalanya. Yang di dalam pikirannya saat itu adalah tentang kematian Adipati Pajang Awantipura yang bernama Sang Hadiwijaya itu. Benar-benar tidak ada yang lain.
Tetapi, yang ia temukan di sana adalah bukan Hadiwijaya. Melainkan sesosok anak muda yang ditangan kanannya memegang sebuah tombak panjang yang tak lain adalah Danang Sutawijaya. Walaupun demikian, tidak ada rasa kecewa sama sekali walaupun yang dihadapannya bukan Hadiwijaya. "Wahai anak muda ! Kau pasti yang menganggu bertapaku di seberang Bengawan Sore. Mengakulah ! Jangan sampai kau mati tanpa nama," tantang Sang Arya Penangsang sambil mengacungkan pedangnya kepada Danang Sutawijaya.
Putera Ki Pemanahan itu mempererat genggaman tangannya pada gagang tombak Kyahi Pleret pemberian Sang Hadiwijaya. Ia bersiap-siap apabila sewaktu-waktu Arya Penangsang menyerangnya.
"Putera Ki Pemanahan, Danang Sutawijaya. Aku diutus kemari untuk memisahkan kepada Arya Penangsang dari badannya !" pemuda itu membalas tantangan Arya Penangsang dengan tak kalah berani.
Adipati Jipang itu mulai geram. Kekuatannya disejajarkan dengan seorang pemuda yang belum tahu dengan seluk beluk dunia. Mengalahkannya pun tidak membuat ia terkenal, tetapi apabila ia kalah jelas sangat memalukan. Dengan segera ia memacu si Gagak Rimang kembali. Begitupula dengan Danang Sutawijaya yang sedikit tidak siap karena masih merasa grogi akan berduel antara hidup dan mati.
Akhirnya terjadi kejar-kejaran antara kedua orang itu. Berkali-kali Arya Penangsang berhasil menyejajarkan kudanya dengan Danang Sutawijaya. Kemudian ia menyabetkan pedangnya ke arah putera Ki Pemanahan itu. Namun, putera Ki Pemanahan itu dengan cekatan menghindar dari pedang yang cukup panjang itu dengan cara menunduk, menghindar ke samping, atau menangkisnya dengan gagang tombak.
Sebenarnya tombak yang digunakan oleh Danang Sutawijaya agak menyulitkan baginya untuk bertarung dengan jarak dekat. Maka dari itu, ia berusaha berlari terlebih dahulu kemudian ketika agak jauh dari Arya Penangsang, ia mencoba untuk menyerang balik. Tetapi kenyataannya, Arya Penangsang selalu berhasil menyusulnya. Apalagi si Gagak Rimang semakin ganas mengejar kuda betina yang ditunggangi Danang Sutawijaya.
Sementara, Ki Pemanahan bersama sepuluh orang prajurit pilihan mengamati jalannya pertempuran dari balik pepohonan rindang. Dada Ki Pemanahan sedari tadi berdegup kencang. Orang tua mana yang tidak merasa khawatir kepada anaknya yang sedang bertarung antara hidup dan mati dengan musuh. Apalagi musuh yang dihadapinya adalah buronan satu negara yang juga memiliki pengalaman yang cukup banyak.
Arya Penangsang tampak mendominasi jalannya pertarungan. Hampir beberapa kali Danang Sutawijaya menjadi korban sabetan pedang yang mengamuk di tangan Adipati Jipang itu. Untung saja ia berhasil untuk menghindar maupun menangkisnya. Sejauh ini belum berhasil untuk membalas serangan Arya Penangsang yang membabi buta itu.
Hingga entah darimana ia mendapatkan siasat untuk menyerang balik Arya Penangsang. Ia mencoba memacu kudanya agar sedikit menjauh dari Arya Penangsang. Kemudian dengan secepat mungkin ia membalik tombaknya, sehingga bagian bilah tombak menghadap ke belakang yang tak lain adalah Arya Penangsang.
Dengan segera, ia menusukkan tombak yang bernama Kyahi Pleret itu kepada Arya Penangsang. Sontak, Arya Penangsang terkejut dengan manuver serangan yang tak terduga itu. Ia berusaha untuk membelokkan kuda hitam kesayangannya itu. Tetapi si Gagak Rimang yang terlalu fokus dengan kuda betina milik Danang Sutawijaya itu terlalu sulit untuk dibelokkan. Hasilnya, tombak pusaka Kesultanan Demak itu berhasil merobek pinggang sebelah kiri dari Arya Penangsang.
Adipati Pajang itu terjatuh dari kudanya dan bergulung-gulung di atas tanah. Namun sebelum benar-benar terjatuh, pria itu melemparkan pedangnya ke arah kaki kuda musuhnya itu. Seketika, kaki belakang sebelah kanan kuda milik Danang Sutawijaya jatuh dan penunggangnya seketika tersungkur ke samping. Tombak yang semula ia pegang juga terlempar cukup jauh darinya. Serangan mendadak itu membuat Danang Sutawijaya cukup kesakitan terlebih ia benar-benar tidak siap untuk jatuh di atas tanah yang sedikit berbatu.
Arya Penangsang mencoba untuk bangkit. Ia sejenak melirik ke arah luka di pinggangnya yang sangat serius itu. Ususnya terlihat terburai tergelantung dari perutnya. Darah tak berhenti mengalir dari sisi tubuhnya. Memang ia dikenal memiliki kesaktian yang amat tinggi. Sehingga luka seperti itu tidak terlalu banyak menyakitinya. Usus yang menggantung itu lantas ia lingkarkan di sekitar keris yang ia selipkan di pinggangnya.
Ia justru menyeringai ke arah Danang Sutawijaya yang tersungkur dan masih merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia mendekati anak muda itu. Tanpa rasa belas kasihan, ia mengangkat tubuh Danang Sutawijaya dengan penuh paksaan. Putera Ki Pemanahan yang berada di kondisi antara sadar dan tidak itu tidak kuasa untuk mengelak dari jeratan tangan Arya Penangsang yang mencekiknya. Walaupun dicekik menggunakan tangan kiri, tapi rasanya nafasnya sulit untuk lewat.
Bagai seekor harimau lapar, Adipati Jipang itu memandangi wajah Danang Sutawijaya yang penuh dengan lebam dan luka. Tidak peduli tempat ia berdiri sekarang sudah menjadi banjir darah, ia hanya ingin menghabisi pemuda yang sudah diambang kematiannya ini. Tinggal menikamnya di bagian jantung, ia yakin putera Ki Pemanahan itu akan sirna.
Dari kejauhan, Ki Pemanahan sudah tidak tega melihat anaknya terluka sedemikian parahnya. Hatinya seakan meronta untuk membantu Danang Sutawijaya yang sudah diambang kematiannya itu. Tetapi apabila dipikir-pikir lagi, jika ia turun membantu anaknya yang ada Arya Penangsang akan membunuh anaknya lebih cepat. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berdoa, berdoa, dan berdoa.
"Danang Sutawijaya,--"ujar Arya Penangsang sambil menyeringai tepat di depan wajah putera Ki Pemanahan itu."-waktumu sudah hampir sedikit. Katakan di mana keberadaan Sang Hadiwijaya, maka aku akan melepaskanmu."
Danang Sutawijaya menelan ludahnya. Ia memilih untuk bungkam daripada membocorkan strategi yang sudah dirancang oleh Ki Juru Martani dan semua punggawa Pajang Awantipura ketika mengunjungi Puteri Kalinyamat di Jepara. Biarlah ia mati sebagai kusuma bangsa daripada hidup sebagai pecundang.
Arya Penangsang mendecih kepada Danang Sutawijaya. Lantas ia melirik ke arah lukanya yang semakin parah itu. Darah sudah membasahi seluruh pakaian bagian bawah yang ia kenakan. Jarik yang semula putih berubah menjadi merah kecoklatan terkena darah yang sudah mulai mengering. Tangan kanannya perlahan-lahan meraba bagian punggungnya. Ia berusaha menggapai gagang atau deder dari keris yang terselip di pinggang belakangnya. Tempat yang sama ia mengaitkan ususnya yang terburai ketika terkena tusukan tombak Kyahi Pleret yang dihunuskan oleh Danang Sutawijaya.
Keris yang terselip di pinggangnya bukan keris sembarang keris. Warangkanya terbuat dari kayu Timaha yang berwarna sedikit kehitaman. Gagangnya terbuat dari kayu Tayuman denngan kualitas nomor satu. Sementara aksesoris lainnya terbuat dari perak berhiaskan permata. Bilahnya memiliki lekukan atau luk berjumlah 3. Pamornya kelengan atau hanya terlihat hitam kebiruan. Tetapi aura yang dibawanya tampak mengerikan. Ia sendiri memberi nama keris itu dengan nama Kyahi Setan Kober. Namun orang-orang sering memplesetkannya menjadi Sih-tan Kober, Cinta yang tidak sampai.
Ia kembali menyeringai setelah berhasil menggapai gagang keris Kyahi Setan Kober yang ia selalu selipkan. Entah secara sadar atau tidak, seringai yang ia tampakkan mulai bersuara menjadi tawa yang mengerikan.
"Mati kau Danang Sutawijaya,"
•Arya Penangsang, Patih Matahun, dan Soreng•
Wayang Dupara oleh Ki Rudy Wiratama, November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro