Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 : Pemuda

“Nuwun sewu, tetapi izinkan saya saja yang akan memimpin penyerangan terhadap Adipati Jipang, Arya Penangsang.”

Putera Ki Pemanahan yang bernama Danang Sutawijaya angkat bicara. Suasana mendadak hening. Sang Hadiwijaya terheran dengan keinginan pemuda yang ia sendiri anggap sebagai anak itu. Ia merasa, pemuda itu memiliki semnagat yang sama seperti ketika ia sendiri ingin menjadi kepala prajurit di Demak ketika masih muda.

“Danang, kuakui kamu memiliki ilmu bela diri yang sangat mumpuni, tetapi kamu belum memiliki pengalaman memimpin ratusan prajurit di medan peperangan,” tutur Hadiwijaya.

Danang Sutawijaya berpikir sejenak setelah mendengar kata-kata Sang Hadiwijaya yang merasa khawatir dengan dirinya. Peperangan kali ini bukan perang main-main, tetapi perang mempertaruhkan stabilitas politik di Kesultanan Demak. Apabila mereka menang, gejolak politik Demak akan menjadi reda. Akan tetapi apabila mereka kalah, maka kondisi politik Demak akan menjadi semakin carut marut.

“Jika tidak dimulai sekarang maka kapan lagi , ayah. Apabila saya menang dalam pertempuran ini, biar menambah harum nama paduka bagi Demak dan seluruh tanah jawa. Dan apabila saya gugur dalam melaksanakan tugas ini, biarkan saya menjadi jalan terang bagi kejayaan paduka,” Danang Sutawijaya mulai berani mengemukakan gagasannya.

Sang Hadiwijaya lantas menatap ke arah Ki Juru Martani seakan memberi isyarat pada laki-laki setengah baya itu untuk memberikan saran. Murid tertua Ki Ageng Sela itu tanggap dalam menerima isyarat adik seperguruannya itu dan lantas memberikan saran pada sang pemimpin Pajang Awantipura. “Benar apa yang dikatakan Danang Sutawijaya. Sudah saatnya kita sebagai golongan tua untuk tut wuri, mengikuti dan mengawasi dari belakang. Dan memang perlu bagi kita untuk menggerakkan roda regenerasi bagi para pemuda.”

Pemimpin Kadipaten Pajang Awantipura itu manggut-manggut mendengar saran Ki Juru Martani. Tanpa banyak berkata, ia kemudian memberi isyarat kepada seorang pengawal yang berjaga di depan pintu untuk mengambilkan sesuatu dari kereta barang yang membawa barang pribadi milik Sang Hadiwijaya. Diambilkan dan dihaturkanlah barang itu kepada sang putra Ki Kebo Kenanga. Sebuah kotak kayu polos tanpa ukiran yang diselimuti oleh kain putih yang sudah tampak lusuh.

Dibukalah kotak yang terbuat dari kayu cendana itu. Isinya adalah sebuah bilah tombak dengan bentuk yang sederhana. Bahannya adalah tosan aji atau besi pamor, bahan yang sama dengan keris pada umumnya. Pamor yang terlukis di bilah tombak itu seperti bentuk abstrak yang menarik di mata. Sementara bentuk bilah tombak itu tanpa ada kelokan atau yang kaprah disebut luk, jadi ia hanya lurus saja. Tetapi, aura yang keluar dari bilah tombak sederhana tampak kuat. Siapa yang memandanginya akan merasa merinding sendiri. Bukan main-main, bilah tombak itu adalah pusaka bagi Kesultanan Demak.

“Aku berikan tombak ini padamu,--“ ujar Sang Hadiwijaya.”—tombak ini adalah tombak pusaka Kesultanan Demak yang diberikan oleh Sultan Trenggana padaku. Namanya Kyahi Pleret. Mulai sekarang, aku amanahkan padamu.”

Danang Sutawijaya dengan penuh rasa hormat dan kebanggaan menerima bilah tombak itu. Memang bilah tombak itu belum memiliki gagang, tetapi tentu mudah saja untuk mencari kayu berkualitas seperti kayu walikukun sebagai gagang tombak agar bisa digunakan untuk melawan Arya Penangsang kelak.

“Terkait strategi perang--,”Ki Juru Martani memulai diskusinya. Semua pandangan yang tampak serius diarahkan menuju ke arah murid tertua Ki Ageng Sela itu. “—sungai Bengawan Sore semenjak Arya Penangsang bertapa dipinggir bagian timurnya, telah diberi rajah mantra yang berisi kutukan bagi siapa saja yang melewatinya tanpa terkecuali. Jadi, aku ingin Danang Sutawijaya  memancing Arya Penangsang yang mudah marah itu agar melewati Bengawan Sore secara tanpa sadar. Dan ketika Arya Penangsang berduel dengan Danang Sutawijaya, pasukan yang sudah dipersiapkan di sisi barat Bengawan Sore akan menggempur sisa-sisa prajurit Jipang yang ada disekitar situ.”

“Baik, kalau begitu aku sendiri akan memimpin serangan di sisi barat Bengawan Sore.” Ujar Sang Hadiwijaya.

“Maka aku akan mengawasi anakku, Danang Sutawijaya ketika berduel dengan Arya Penangsang bersama 25 orang prajurit pilihan. Aku khawatir apabila Danang Sutawijaya sudah tidak kuat melawan Arya Penangsang, maka aku yang akan turun tangan.” Ujar Ki Pemanahan dengan tegas menyusul pernyataan Sang Sutawijaya.

“Bagus ! Dan untuk Danang Sutawijaya, aku akan mempersiapkan seekor kuda betina yang akan kau jadikan tunggangan ketika melawan Arya Penangsang. Kuda jantan berwarna hitam milik Adipati Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang itu, secara tak langsung akan menuntun tuannya agar mendekatimu yang menaiki seekor kuda betina,” balas Ki Penjawi kepada keponakannya itu.

Mendengar saudara seperguruannya memberikan gagasan masing-masing, Ki Juru Martani menjadi senang bukan kepalang. “Strategi yang bagus, dhimas Hadiwijaya, dhimas Pemanahan, dan engkau dhimas Penjawi. Kalau begitu, sudah benar-benar matang strategi yang akan kita lakukan untuk menggempur Jipang dan Arya Penangsang. Tinggal kita mencari hari baik untuk berangkat perang. Semoga Allah memudahkan apa yang menjadi urusan kita.”

“Aamiin !”

ӁӁӁ

Sayup-sayup suara gesekan daun dan ranting yang tertiup angin membuat suasana di tempat itu menjadi menenangkan. Sinar sang baskara belum terlalu masih tampak samar-samar menerangi sebagian kecil tempat itu. Suara gemericik air mengalir yang  berasal dari Sungai Bengawan Sore terdengar jelas di rongga telinga Sang Adipati Jipang, Arya Penangsang,  yang tengah duduk bertapa di bawah sebuah pohon beringin, tak jauh dari sungai buatan itu. Di sebelahnya, Patih Kadipaten Jipang yang bernama Patih Matahun duduk bersila menemani sang Adipati yang sedang khusyuk menenangkan jiwanya dengan target selama 40 hari itu.

Beberapa waktu yang lalu, ayahnya yang bernama Pangeran Surawiyata atau yang dikenal dengan Pangeran Sekar Seda Lepen terbunuh di tempat yang sama oleh Sunan Prawata. Dan kini, sudah memasuki hari ke-39 ia berdiam tanpa makan suatu apapun di tempat yang berhadapan langsung dengan Sungai Bengawan Sore itu. Sungai yang sengaja dibuat oleh para pendahulu Jipang yang difungsikan untuk irigasi sawah masyarakat Jipang, ia beri rajah mantra agar siapapun yang melewatinya akan terkena kesialan, bahkan kematian. Kutukan itu berlaku untuk siapapun yang melewatinya. Baik dari sisi timur maupun sisi barat.

Kekhusyukannya bertapa tiba-tiba terganggu oleh sebuah kilatan cahaya yang diikuti oleh angin besar yang menghempas dirinya. Kepalanya seketika terbentur dengan batang pohon beringin besar yang ada dibelakangnya. Seketika ia bangun dari tapanya dengan rasa amarah yang sangat membuncah. Mukanya mendadak kemerahan, kedua tangannya mengepal erat. Bagaimana tidak, tapa yang seharusnya berjalan 40 hari tanpa henti harus mendadak ia rampungkan hanya karena ada angin yang menghempasnya sampai ia terjatuh dan menatap pohon besar. Apalagi, hari itu sudah masuk hari ke-39, yang artinya kurang satu hari saja maka pertapaannya sudah selesai.

“Sialan ! Bertapa kurang satu hari saja kenapa harus ada yang mengganggu !” ujarnya sambil marah dan menyumpahi apapun yang disekitarnya. Dadanya kembang kempis mengikuti ritme nafasnya yang semakin kencang. Kepalan tangannya ia pukulkan ke pohon beringin di belakangnya sampai pohon itu bergetar dan daunnya rontok.

“Aduh, aduh ngger. Sabar sedikit. Pamanmu ini juga ikut jatuh terhempas angin,” sahut Patih Matahun sambil mencoba membersihkan pakaian dan membenarkan topinya yang disebut dengan kuluk kanigara  itu. Angin besar juga menghempas dirinya sampai ia terjatuh dan tergulung beberapa jauh dari tempat ia duduk semula.

“Tadi, aku melihat kilatan cahaya yang menyilaukan. Namun, tiba-tiba angn besar menerpa ku sampai terhempas. Barang apakah itu paman ? Apakah itu yang dinamakan pulung ?” Sang Arya Penangsang bertanya kepada Patih Matahun yang terlihat sudah selesai merapikan pakaiannya.

“Kalau pulung seharusnya datang malam hari. Kalaupun itu tanda dari Tuhan, seharusnya itu tidak sampai mencelakakan Baginda,--“ jawab Patih Matahun sambil menelisik di sekitaran tempat yang menjadi kotor karena jatuhan-jatuhan dedaunan yang berserakan terhempas angin besar tadi.

Hingga di dekat badan Sang Arya Penangsang terlihat sebuah benda yang tampak menarik bagi Patih Kadipaten Jipang itu. Sebuah benda panjang dengan bulu berwarna kemerahan di ujungnya. “—Anak angger, di sebelahmu seperti ada anak panah yang menancap,” ujar Patih Matahun sambil menunjuk ke batang pohon dekat pinggang Sang Adipati Jipang yang sedang berdiri.

Arya Penangsang melirik ke tempat yang ditunjuk oleh Patih Matahun. Benar saja, ada sepucuk anak panah yang menancap di batang pohon itu. Maka Sang Arya Penangsang dengan sigap mencabutnya. Di gagang anak panah itu terdapat secarik kertas gulung yang diikat dengan seutas benang berwarna merah. Dibukanya isi surat itu oleh Sang Arya Penangsang.

•Danang Sutawijaya•
Wayang Dupara corekan Ki Rudy Wiratama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro