Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 : Sendhon Prawata

Matahari baru saja menunjukkan sinarnya ketika Sunan Prawata naik di atas pendhapa itu. Suasana pesanggrahan yang asri dan tentram tentu membuat siapapun yang berada di dalamnya menjadi tenang hatinya. Namun tak seperti hati laki-laki setengah baya itu. Sebagai salah satu pembesar di Demak-kerajaan yang sudah diambang kehancuran itu-tentu suasana seperti itu tidak serta merta membuatnya damai.

Pembunuhan terhadap Pangeran Surawiyata yang sekarang diberi gelar anumerta "Pangeran Sekar Seda Lepen" itu membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, pembunuhan itu menyulut perang saudara yang tentu akan membuat situasi menjadi semakin kacau. Pangeran Surawiyata terpaksa ia bunuh demi menaikkan Trenggana, yang tak lain adalah ayahandanya sebagai sultan ke-3 di Demak. Sementara Pangeran Surawiyata tak lain adalah pamannya sendiri.

Dimulai dari gugurnya Pati Unus-yang mendapat gelar anumerta Pangeran Sabrang Lor-yang tidak dikaruniai keturunan. Akhirnya, kedua adik almarhum itu berebut tahta Demak. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Trenggana dan Pangeran Surawiyata.

Tentu pembunuhan itu membuat putra dari Pangeran Surawiyata yakni Arya Penangsang menjadi memiliki dendam dengan keluarga Demak, termasuk Sunan Prawata. Berkali-kali terfikirkan olehnya untuk menyepi di suatu tempat yang jauh di puncak gunung dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Namun ia rasa tindakan seperti itu adalah tindakan pengecut. Berani berbuat maka berani bertanggungjawab, itu prinsipnya.

"Kakang Prawata,--" sayup-sayup suara Setyawati, istri Sunan Prawata itu memecah keheningan pagi. Perempuan itu menaiki pendhapa sambil membawa nampan berisi minuman hangat yang akan disajikan pada suaminya. "-panjenengan terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat berat. Sudilah untuk berbagi pikiran itu kepada saya," ujar Setyawati.

"Bukan berarti aku enggan untuk menceritakannya padamu, tapi aku tidak ingin masuk dalam kehidupan politik penuh dosa ini," tutur Sunan Prawata kepada istrinya. Ia merasa kehidupannya dilingkari oleh bahaya. Untuk keluar dari pesanggrahan pun ia harus berpikir beberapa kali. Jangan sampai ia keluarganya terkena imbas dari kesalahannya sendiri.

"Terkait pembunuhan Pangeran Surawiyata ?" Setyawati balik bertanya pada Sunan Prawata. Laki-laki itu sudah tidak bisa menghindar. Memang itu yang ia pikirkan selama ini. Maka dari itu, ia mengangguk menjawab pertanyaan istrinya.

Setyawati menghela nafas panjang sambil mengelus dadanya. Di saat yang kacau seperti ini ingin bagi dirinya untuk bisa keluar dari kekangan bencana ini. Ingin baginya bebas seperti wanita-wanita seusianya yang dengan senangnya memiliki anak yang beranjak remaja, lantas menikahkannya. Sementara dirinya ingin bersenang-senang sejenak saja tidak bisa.

"Assalamuaaikum,"

Terdengar suara salam dari balik gerbang pesanggrahan diiringi dengan suara beberapa ekor kuda yang meringkik karena diberhentikan. Letak pendhapa yang tak jauh dari gerbang membuat Sunan Prawata dan Setyawati bisa mendengar suara itu dengan jelas.

Penjaga gerbang tak serta merta membukakan penuh gerbang pesanggrahan itu untuk semua orang di rombongan itu. Hanya satu orang yang dipersilahkan masuk ke dalam pesanggrahan. Sesosok pria berbadan tinggi tegap berkulit gelap dan berambut panjang itu turun dari kudanya dan berjalan mengahmpiri pendhapa itu lantas menyembah kepada Sunan Prawata.

"Kisanak itu siapa ? Datang tanpa undangan. Apakah diutus seseorang atau datang atas keinginan sendiri ?" Sunan Prawata bertanya kepada pria itu.

"Utusan dari Jipang. Anda bisa memanggil saya dengan nama Soreng Rangkud. Saya kemari atas utusan dari Adipati Jipang, Arya Penangsang," jawab orang yang mengaku bernama Soreng Rangkud itu.

Bergetar hati Sunan Prawata mendengar jawaban Soreng Rangkud. Bagaimana tidak, seorang Arya Penangsang yang tak lain adalah musuhnya sendiri mendatangkan sekompi pasukan ke pesanggrahannya. "Lantas, apa yang diinginkan oleh Arya Penangsang ?"

"Adipati Arya Penangsang menginginkan untuk mengambil hak Almarhum Pangeran Sekar Seda Lepen pada anda,"

Ibarat kaca sudah terbanting dan hancur berkeping-keping. Perkataan Arya Penangsang yang disampaikan oleh Soreng Rangkud itu adalah cara khas para pembesar pada zaman dahulu dengan memberikan sasmita atau perkataan yang disandi. Arti dari yang utusan itu sampaikan adalah ingin membunuh Sunan Prawata di tempat itu juga.

Sunan Prawata sudah tidak ingin melawan utusan itu walau sebenarnya ia bisa saja melakukannya. Ia sangat ingin untuk keluar dari lingkaran setan ini. Mungkin ini adalah kesempatan baik baginya untuk melunasi semua hutang dosanya pada Pangeran Sekar Seda Lepen daripada harus membayarnya di akhirat kelak.

Laki-laki setengah baya itu memberi tanda pada Soreng Rangkud untuk menyerang dirinya. Benar-benar ia memasrahkan dirinya pada Yang Maha Kuasa. Lisannya ia gunakan untuk menyebut nama Tuhan Semesta Alam secara berulang-ulang dengan harapan agar ucapan yang terakhir kali keluar dari lisannya adalah nama-Nya. Matanya terpejam erat agar ia tidak akan mengetahui seberapa dekat malaikat pencabut nyawanya itu.

Soreng Rangkud mengeluarkan kerisnya dan berjalan perlahan menghampiri Sunan Prawata. Dengan cepat ia menikamkan kerisnya itu kedepan sambil terpejam juga. Sebenarnya ia juga tidak terlalu tega untuk membunuh seseorang seperti Sunan Prawata, namun sebagai prajurit yang baik ia harus menunaikan tugasnya.

Celakanya, suara teriakan yang harusnya berwarna suara laki-laki justru yang terdengar adalah suara perempuan. Setyawati mengorbankan dirinya demi Sunan Prawata. Seketika Soreng Rangkud mebelalakkan matanya dan terkaget jika kerisnya itu justru menancap di dada Setyawati. Dengan cepat, ia segera menarik kerisnya sampai membuat tubuh wanita itu jatuh ke pangkuan Sunan Prawata.

"Keparat !" Sunan Prawata mencabut keris yang terselip di pinggangnya dan menancapkannya di leher Soreng Rangkud. Seketika hilang nyawa utusan dari Jipang itu, lantas tubuhnya roboh dan tergeletak di atas lantai.

Rombongan utusan Jipang itu tiba-tiba merangsek masuk ke pesanggrahan Sunan Prawata. Prajurit jaga yang ada di tempat itu tidak terlalu banyak bisa membendung orang-orang itu. Sunan Prawoto yang masih tercekat melihat istrinya tergeletak tak bernyawa itu terpaksa turun tangan. Tubuhnya masih cukup lincah untuk berlaga melawan prajurit utusan dari Jipang itu. Tak cuma satu dua prajurit saja yang berhasil ia habisi, namun beberapa.

Meskipun demikian, tak hanya sekali juga Sunan Prawata terkena sabetan pedang dari prajurit utusan Jipang. Bajunya yang semula putih bersih berubah menjadi kemerahan dalam sekejap. Banyak bagian dari bajunya itu yang sobek terkena sabetan pedang. Di sela-sela tubuhnya, keluar cairan darah segar yang mengalir lantas meresap di bajunya.

Prajurit terakhir dari utusan Jipang berhasil dihabisi. Tetapi, Sunan Prawata juga sudah kehabisan tenaga. Dari mulutnya keluar darah segar yang mengalir sampai ke dagunya. Ia lantas berlutut menggapai jasad istrinya yang rela berkorban baginya. Sudah tak kuasa menahan rasa perih dari sabetan senjata-senjata itu, tubuhnya lantas tergeletak tepat disamping istrinya. Perlahan-lahan malaikat pencabut nyawa mengambil jiwa pria setengah baya itu.

"Laa illaha illa Allah." Untaian kalimat tasbih yang mengagungkan nama Allah itu menjadi kalimat terakhir yang diucapkan Sunan Prawata sebelum pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya.
Suasana pesanggrahan semula asri, dalam beberapa jam berubah menjadi mengerikan. Mayat tergeletak tidak beraturan di sudut-sudut pesanggrahan. Tanah di sekitar pendapa menjadi becek terkena darah yang tumpah. Lantai pendhapa yang terbuat dari marmer putih menjadi kotor dan menjijikkan.

Dari arah luar, terdengar suara derap langkah dua ekor kuda. Penunggangnya tak lain adalah adik dari Sunan Prawoto, yakni Putri Kalinyamat. Sementara kuda yang satu lagi ditunggangi oleh suaminya, Pangeran Hadliri.
Kedua orang itu berhenti di depan gerbang yang terbuka lebar. Pemandangan yang pertama mereka lihat adalah mayat-mayat yang berserakan. Bau anyir darah menyeruak di indera penciuman dua sejoli itu.

"Sial, kita terlambat !" Putri Kalinyamat seakan memaki dirinya sendiri. Ia bersama Pangeran Hadliri memang curiga dengan adanya rombongan prajurit Jipang yang mengarah ke pesanggrahan kakaknya, sehingga mereka membuntutinya.

•Adegan kematian Sunan Prawata•
Wayang Dupara oleh Ki Rudy Wiratama, November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro