Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Electric Kiss - Bagian 6

○●○●○●○

Anna tahu apa maksud Eddie ketika acara penyambutan itu dimulai.

Semua orang duduk di sofa mengelilingi sebuah sofa yang dibakar di tengah rumah, Anna pikir mereka lumayan freak, tapi saat Anna melihat ke bagian rumah besar yang lain, kelihatannya sofa ini bukan satu-satunya benda yang pernah dibakar.

Ada seorang lelaki memakai jaket denim yang sengaja dirobek, berdiri di tengah, Anna rasa dialah pemilik acara ini. Dia orang pertama yang berjalan ke tengah ketika semua orang sudah berkumpul, dan Anna yakin, cowok ini adalah bagian dari kelompok Steffi. Atau mungkin sebenarnya, semua kelas tiga memang menjadi satu kelompok di sini.

Lelaki tadi berdeham. Dan semua orang melihatnya dengan perhatian.

"Gue ucapin selamat datang di Rebellions-klub pemberontak sekolah-nama gue Ata Wiraatmadja, kalian pasti kenal Adjie si ketua OSIS, 'kan?" tanyanya dengan ekspresi mencibir.

Kelas satu bergumam-gumam soal nama belakang mereka yang sama.

"Yep," ucap Ata. "Dia itu semacam saudara kembar gue, mungkin sebagian dari kalian gak tau dia, tapi gue bangga sama orang-orang yang gak kenal dia. Karna apa?" Ata memutar tubuhnya untuk melihat orang-orang. "Karna gue tau kalian gak ikut tur, dan satu-satunya alasan kalian gak ikut tur itu pasti karna kalian benci sekolahnya bahkan dari detik pertama."

Suara tepuk tangan terdengar, dan mereka segera mengeluh soal sekolah, mengumpat sekolah dan semacamnya. Ata mengangkat tangannya meminta perhatian, dan tepuk tangan segera berhenti.

Wow, pikir Anna. Cowok ini benar-benar persuasif.

"Gue lebih seneng lagi saat tau kalian diam-diam gabung ke perkumpulan ini dan bukannya patuh sama aturan sekolah. Darimanapun kalian dapat informasi bahwa sekolah itu punya klub pemberontak, gue ucapin selamat, karena ini tempat yang tepat," Ata mengelilingi sofa yang dibakar. "Gue harap kita gak punya pengkhianat di sini. Soalnya gue gak keberatan kalau kalian keluar dari klub ini, tapi kalo kalian sampai bocorin ini ke pihak sekolah, itulah yang gue sebut sebagai pengkhianat."

Tepuk tangan terdengar lagi. Anna mengecek siapa di antara mereka yang tidak membenci sekolah ini, tapi mereka semua tepuk tangan yang mana mereka memang membenci sekolah ini.

Pertanyaannya; kenapa mereka masuk ke sini kalau mereka membencinya?

"Pokonya, gue sebagai ketua perkumpulan dari jurusan IPS, bener-bener seneng kalian masuk perkumpulan ini, dan asal kalian tau," ada senyum main-main di wajah Ata. "Gue punya seribu satu tips buat bersenang-senang tanpa melanggar peraturan sekolah, atau bahkan selamat dari aturan sekolah!"

Tepuk tangan semakin meriah. Ata mengakhirinya dengan penutupan yang membuat cowok-cowok berteriak senang, dan membuat cewek-cewek menjerit.

Kemudian lelaki lain masuk ke lingkaran itu, dan dia adalah Eddie. Kelas tiga menyerukan 'dedek gemes!' pada Eddie, tapi Eddie mengabaikannya, dia membawa papan tulis kecil ke depan dan wajahnya sok serius.

"Sodara-sodari," ucapnya sambil meredakan seruan semangat. "Gue di sini bakalan jelaskan gimana pedihnya hidup kita semua dan alasan kita semua sekolah di sini."

Eddie segera menggambar sesuatu. Dan Anna megerti kenapa sekolah ini terasa ganjil.

Eddie menjelaskan bahwa, sebagian besar murid yang masuk ke sini adalah anak dari orangtua sibuk, orangtua pejabat, dan orangtua menteri. Alasan mereka di sini adalah karena orangtua mereka tidak mengerti bagaimana serunya masa remaja dimana di dalamnya termasuk balapan, clubbing, merokok, dan keseruan lainnya. Orangtua mereka itu kolot, kuno dan sok suci... kata Eddie. Dan satu kalimat terakhir yang membuat Anna menggeliat tidak nyaman, Eddie bilang 'jadi ayo, kita bikin orangtua kita sadar bahwa, kita itu anak zaman sekarang!', tepukannya sama meriah seperti saat Ata berpidato.

Lalu setelah Eddie selesai, pesta penyambutan dimulai sungguhan. Orang-orang mulai berkelompok dan berkenalan. Mereka tidak ada yang sendirian, mereka selalu ada dalam lingkaran sebuah kelompok.

Dan Anna rasa, hanya dia satu-satunya yang terpaksa duduk di sofa kelompok menonjol yaitu kelompok Steffi tanpa ikut mengobrol, tanpa ikut tertawa.

Beberapa kali ada cowok yang berkedip pada Anna, dan Anna menghindarinya. Mereka pasti berkedip pada Anna karena dress yang Anna pakai, tiba-tiba Anna merasa menyesal tidak menolak dress milik Steffi dengan sepenuh hati.

Sesekali Anna melihat ke ruangan lain yanh ada billiarnya, dan sebagian pergi ke lantai dua yang gelap. Anna tidak mau mencaritahu apa yang mereka lakukan. Anna hanya merasa bodoh duduk di sini.

"Steff," panggil Anna.

Steffi yang sedang bergosip soal murid cewek kesayangan sekolah, segera melihat Anna. "Ya, apa?"

"Gue mau bawa minum, lo mau sesuatu?" tanya Anna.

"Enggak deh," Steffi menggelengkan kepala. "Jangan sampe kesasar ya, jangan pulang sendirian."

Anna mengangguk, merasa bodoh karena Steffi bertindak seperti ibunya.

Sofa yang tadi dibakar tinggal sisa abunya, dan beberapa pegas gosong tergeletak di sekitar abu. Anna mencari dimana makanan berada, tidak sulit menemukannya karena tempat itu adalah tempat yang tidak didatangi siapapun.

Anna melihat-lihat semua minuman yang disusun menggunung, ada yang berwarna merah tua, ada yang berwarna jingga terang, dan warna pink transparan. Anna mengambil yang berwarna pink transparan, mungkin ini minuman yang paling aman.

Tapi belum-belum Anna menyentuh gelasnya, seseorang memberi Anna minuman berwarna jingga terang.

"Yang ini, gak ada alkoholnya," ucapnya.

Anna melihat siapa itu. Tapi sejujurnya, Anna tidak perlu melihat untuk tahu siapa ini.

Dia Sehan.

Anna bergantian melihat wajahnya dan gelas di tangannya sebelum mengambil gelasnya. Wajah Anna memanas. Anna hampir mengutuk dirinya sendiri yang bereaksi berlebihan pada kehadirannya.

"Makasih," jawab Anna.

Sehan memasang wajah datar dengan tatapan menilai. "No problem."

Anna ragu-ragu untuk meminumnya, tapi karena Sehan terus memperhatikan Anna, Anna rasa dia sedang menunggu Anna meminumnya. Jadi Anna meminumnya satu teguk.

Rasanya... rasanya kaya jeruk biasa.

"Mmm," gumam Anna. "Ini rasa jeruk."

"Seratus buat lo," ucapnya pelan lalu menunjuk sususan gelas berwarna merah tua. "Yang ini rasa 'bersetubuh', yang ini," Sehan menunjuk yang berwarna pink transparan, "yang ini rasa 'terbang'."

"Oh," Anna mengernyit melihat gelasnya. "Gue rasa gue harus hati-hati kalo gitu."

"Lo bukan harus hati-hati," ucapnya. "Lo harus bawa minuman sendiri."

Anna tidak suka nada bicaranya yang menghina. Anna juga tidak suka sikapnya yang seolah menganggap Anna itu balita ingusan. Well, lagipula Anna memang tidak menyukainya, 'kan?

Jadi, sambil berpaling Anna memilih meninggalkan meja minuman itu daripada diceramahi atau diberi tutorial membeli air mineral kemasan.

"Kemana lo pikir lo bakal pergi?" tanya Sehan dengan nada rendah. Suaranya bahkan terkesan mengintimidasi. Anna terkejut dia bisa mendengar suara serendah itu ketika di sekelilingnya benar-benar berisik.

Anna melihat Sehan untuk memastikan. Sehan masih menatap Anna seolah-olah Anna telah melakukan kecurangan besar, dan tidak ada cara apapun untuk menebus kesalahannya. Dimana hal itu membuat Anna bertanya-tanya tanpa sadar, mungkin Anna memang pernah melakukan kesalahan?

Sehan mengatupkan rahangnya. Sehan menunggu Anna menjawab, dan Anna benci menyadari seolah-olah Anna punya kewajiban untuk menjawabnya.

"Gue mau keluar?" Anna hampir bertanya kemudian menyesal karena tidak mengucapkannya dengan mantap.

Sehan melihat ke pintu keluar dan Anna secara bergantian. "Udah cukup sengsara lo di sini, sekarang lo mau keluar?"

"Maksud ... lo?" kening Anna berkerut.

"Maksud gue, seenggaknya kalo lo keras kepala, keras kepala sekalian, kalo lo gak mau dateng ke sini, tolak yang bener," dia menatap Anna dengan pandangan geli seolah sedang melihat anak balita tersesat, dan dia terlalu sibuk untuk mencoba menolong. "Steffi bukan orang yang sulit ditolak kalo lo gak tau."

"Dan alasan gue gak boleh keluar?" tanya Anna dengan berang.

"Di dalam sini, itu sarang ular," Sehan melirik sebentar keluar. "Lo bisa bayangin sarang apa di luar?"

Sarang dugong, pikir Anna sementara menghembuskan napas dengan heran.

Dulu, Mei dan Hanna - mantan sahabat Anna waktu SMP - sering menghina seseorang karena penampilan dan latar belakang seseorang, Anna sering melihat orang-orang yang Mei dan Hanna hina. Tidak ada simpati yang datang, dan Anna terlalu sibuk untuk cukup peduli. Tapi Anna bisa melihat keinginan Hanna dan Mei saat mereka menghina atau menggertak seseorang. Perasaan itu adalah perasaan dimana Hanna dan Mei terhibur saat mengganggu mereka dan perasaan memiliki segalanya; merasa lebih tahu segalanya; lebih pintar; lebih kuat; lebih berkuasa.

Sekarang, Anna melihat itu pada Sehan. Dia melihat Anna seperti cara Mei dan Hanna melihat korbannya.

Tangan Anna terkepal melihatnya.

"Gue gak keberatan. Toh kenapa lo pikir gue nolak ajakan Steffi?" tantang Anna. "Sejak awal gue emang tertarik datang ke sini-"

Sehan mendekat, dia menjajarkan wajahnya supaya sama dengan Anna membuat Anna mundur.

"Orang yang tertarik sama pesta gak bakalan duduk-duduk kaya orang bego - ah," Sehan menggelengkan kepala dramatis. "Bukan orang bego, tapi orang kampungan. Lo baru pertama kali ke pesta, 'kan?"

Anna memasang berwajah cemberut hampir kesal.

Kalau Sehan adalah karma dari masa SMP-nya, Anna penasaran apa yang Hanna dan Mei dapat sekarang. Apakah mereka mendapat Sehan lainnya?

SMP ... pikir Anna. Kalau dipikir lagi, Anna itu memang cuman anak SMP. Dan lagi, bukan salah Anna kalau dia hanya duduk-duduk di pesta, pesta yang dia datangi sewaktu SMP tidak seaneh ini. Pemikiran itu luamayan membuat mood-nya baik.

"Kalo gitu maaf aja udah jadi cewek kampungan, lagipula gue ke sini bukan buat puasin lo," ujar Anna. Mereka bertatapan bermusuhan selama beberapa saat yang mengambil oksigen di seluruh ruangan, kemudian Anna memilih berpaling saat Sehan terus saja menatap Anna dengan datar.

Sebenarnya Anna tidak benar-benar akan keluar rumah besar, sebenarnya Anna akan dengan nekat pulang sendirian.

Lagipula ini sudah jam sebelas dan kata-kata Steffi memang tidak bisa dipegang.

Wajah Anna memanas, dan lagi-lagi matanya juga memanas.

Bukan karena Steffi yang tidak menepati janjinya, tapi karena cowok itu.

Yang Anna butuhkan adalah lingkungan baru tanpa kedua mantan sahabat berengsek. Anna tidak mau berhubungan dengan sesuatu yang menguras emosi lagi, Anna hanya ingin....

Sial, Anna bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan.

Jadi, memutuskan pergi, Anna mengusap matanya dan keluar dari rumah besar, Anna bahkan melempar gelas berisi minuman itu ke dalam tong sampah dan yakin bahwa gelasnya pecah. Anna tidak peduli, Anna hanya ingin menjauh dari sesuatu yang mempengaruhinya.

○●○●○●○

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro