BAB 2. MAKHLUK TAMPAN DI DEPAN PINTU
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Sabtu pagi, Keke sibuk mencari-cari sesuatu di tasnya. Seperti biasa ruang kelas 2 Seni 3 SMK BAKAT terlihat ramai dengan siswa-siswi yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang main gitar walau bunyinya ga jelas, nyanyi meski sedikit sumbang. Tapi, sumpah. Kali ini bukan suara Keke! Terus ada yang niup suling ala pemanggil ular gitu. Beberapa anak nekat meniup harmonika, bahkan sampai yang mukul-mukul galon juga ada. Sementara Gege memainkan tuts keyboard di depan kelas. Rere tampak mengawasi dari bangkunya yang berada paling depan.
"Re ... psst ... Re ...," panggil Keke setengah berbisik.
Rere sepertinya tak mendengar. Dia masih asyik mengamati Gege bermain keyboard. Sementara bisikan Keke kalah dengan suara-suara dari penghuni kelasnya.
Keke mengambil buku dan menyobek kertas. Ia meremas lembaran putih itu membentuknya jadi sebuah gumpalan kasar berbentuk bulat yang tak rata. Dia memicingkan mata, melihat ke arah target serangan.
"Pssst ... Rere ...!" bisik Keke sedikit keras sambil melemparkan bola kertas buatannya ke arah kepala Rere. Tapi, gadis itu masih tidak menggubris.
Keke mulai kesal. Ia meraih buku dan menyobek beberapa kertas lagi dan membentuk beberapa bulatan kasar yang baru, lalu mengarahkan serangan bom kertasnya ke arah Rere. Netra bulat hitam si gadis berkulit putih bersih yang diserang itu akhirnya menoleh sambil mengernyitkan kening melihat tumpukan gumpalan kertas di sekitar bangku.
"Ga dewasa deh, Ke. Udah gede masih ngajak main bom kertas!" sergah Rere sebelum berbalik kembali mengamati Gege.
Keke memutar bola mata. Siapa yang ngajak main bom kertas? batinnya.
"Re ... psst .... Rereeeeeeee!" Capek berbisik akhirnya Keke berteriak kencang. Seluruh penghuni kelas termasuk Gege sontak menghentikan aksi mereka mengira Bu Farida sudah datang.
"Siapa yang teriak, sih? Berisik aja. Ga liat apa gue lagi konsentrasi nih niup suling. Jadi buyar deh," gerutu Ari yang selalu bangga dengan jurus tiupan suling penidur kerbau-nya.
Penghuni lain mengiyakan sambil memandang penuh dakwaan ke arah bangku Keke. Kompak.
"Apaan, sih? Berisikan juga kalian. Keke tadi udah bisik-bisik. Tuh, si Rere! Kupingnya conge!" sergah Keke berusaha membela diri dengan kemampuan ala pengacara amatir.
"Lho, kok jadi Rere yang salah? Eh, telinga Rere bersih, ya. Ga tuli. Keke tuh ga jelas! Pagi-pagi udah ngajak main perang bom kertas!" sanggah Rere tak kalah sewot.
"Eh, siapa yang ngajak main bom kertas! Keke manggil. Mau ngomong, Rereeeee!" Nada Keke mulai kesal. Raut wajahnya sendu siap ngeluarin hujan air dari mata hitamnya.
Gadis berambut cokelat ikal bergelombang dengan panjang sepinggang itu melongo sejenak sebelum akhirnya manggut-manggut.
"Oooh, mau ngajak ngomong. Bilang dong dari tadi," ujar Rere seraya bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiri bangku Keke yang ada di barisan pertama bangku ke tiga.
Penghuni kelas lain pun kembali sibuk melanjutkan aksinya sembari menunggu Bu Farida datang.
Gege ikut mendekati bangku Keke. Lelaki berambut cokelat tebal pendek dengan kulit cokelat terang, mata hitam jenaka dan tinggi sekitar 170 cm itu tersenyum cengar-cengir memandangi Keke dan Rere.
"Gue ga diajak, Ke? Emang mau bahas apaan? Jadwal datang bulan, ya?" celetuknya.
Rere langsung menjitak kepala cowok itu.
"Dasar pianis mesum! Penasaran amat sih ama siklus menstruasi cewek!" cetus gadis yang bernama asli Renita.
"Gege tuh mau jadi musisi atau dokter kandungan, sih?" tambah Keke.
Gege hanya meringis. Lelaki malang itu terbiasa menjadi sasaran setiap dua sahabatnya itu uring-uringan, terutama saat mereka sedang dapat tamu bulanan.
"Tadinya sih mau nraktir kalian maem pizza ama es krim ... kalau lagi dapet. Ternyata engga, ya. Ok, rencana traktirannya batal," gumam Gege santai.
Kemuning dan Renita langsung melebarkan mata.
"Eh, ga boleh batal, Gege! Harus jadi!" sergah Keke. Rere mengangguk cepat menyetujui.
Gege alias Genta terkekeh. Dia hapal kelemahan dua sahabatnya itu. Apalagi Keke. Ga bakalan tu anak nolak pizza. Kalau Rere udah sangat terkenal paling suka es krim. Isi freezer-nya aja penuh dengan berbagai macam rasa sajian dingin lembut itu.
"Cerita dulu dong. Keke tadi mau ngomong apa?" tanya Gege sambil berdiri di samping Rere yang duduk di depan Keke, menempati bangku kosong yang ditinggalkan pemiliknya berkunjung ke deretan bangku ujung.
"Jadi gini. Rumah Keke mau kedatangan tamu dari Jogja. Dia anaknya temen Mama. Rencananya sih tu cowok bakal tinggal di rumah Keke sementara, bahkan kemungkinan besar akan pindah sekolah ke sini," tutur Kemuning.
Rere dan Genta mengerutkan alis bareng.
"Emangnya kenapa? Kok pindah sekolah? Terus, mau tinggal di rumah Keke juga?" tanya Rere bingung.
"Wah, Gege ko denger suara sirene, ya? Cowok asing tidur satu atap dengan Keke. Hmmm ... sepertinya bakal ada jalan terbuka untuk ngeliat Keke nyanyi di lapangan sekolah, hahaha ...," ledek Genta sambil tertawa.
Keke meleletkan lidahnya.
"Jangan mimpi, ya? Keke ga bakalan konser sendirian di tengah lapangan," sanggah Keke sewot.
"Ganteng ga, Ke?" tanya Rere antusias.
Genta memutar bola mata.
"Mana Keke tau? Kan belum liat," jawab Keke.
"Pasti gantengan gue dong! Gege ... kurang apa coba?" celetuk Genta.
"Kurang waras!" sahut Rere ketus.
"Eits, ga boleh fitnah!" sanggah Genta.
"Udah, udah! Ni Keke kan mau nanya. Gimana nanti sikap Keke kalau tu cowok muncul? Apa Keke musuhin aja ya biar dia cepet pergi, terus ga jadi deh tinggal di rumah Keke dan sekolah di sini?" tanya Kemuning.
"Jangan, Ke. Itu ga baik. Mungkin dia emang lagi butuh bantuan," ujar Rere, "tapi masalahnya apa sih kok dia mau tinggal di rumah Keke?"
"Kata Mama sih, neneknya yang tinggal di New Zealand, sakit. Lalu, Tante Rhea ama Om Adhi, orangtua cowok itu disuruh ke sana. Si Elang ga mau pindah ke luar negeri. Dia mau tetep di Indonesia. Jadi, karena cuma Mama dan Papa yang dikenal dekat ama Tante Rhea dan Om Adhi, mereka mutusin Elang dititipkan di rumah Keke. Mama sih yang mau Elang sekolahnya di sini katanya biar bareng ama Keke," tutur Keke panjang lebar.
"Oooo, namanya Elang. Kok kaya nama burung yang terkenal buas, ya?" celetuk Gege.
"Lha, Genta? Kaya nama giring-giring alias kalung lembu!" seloroh Rere.
Genta manyun. Keke tertawa.
"Bu Farida datang!" seru Okan yang baru saja datang dari luar dengan napas terengah-engah seperti abis dikejar maling, eh, polisi!
Kelas langsung sigap bereaksi. Semua alat musik ditaruh di lemari khusus tempat peralatan musik yang ada di pojok ruangan. Kecuali keyboard. Lemarinya ga muat!
Buku-buku musik yang berserakan kini rapi tertata di atas meja. Semua murid tampak serius membaca partitur pada lembaran kertas di hadapan masing-masing. Penghuni yang tersesat di barisan lain kembali ke bangku asal.
Suasana sepi. Hening. Bahkan mungkin cecak aja ga berani berbunyi saking takutnya kena teguran bu Farida yang terkenal galak.
Suara hentakan sepatu bertumit tinggi mulai terdengar memasuki ruangan. Seorang wanita sedikit pendek gemuk berumur sekitar 30 tahun, berambut hitam ikal berkucir ekor kuda dan kulit kuning langsat berusaha berjalan seanggun mungkin.
Makhluk-makhluk yang duduk manis dan rapi di hadapan wanita itu tampak berusaha memasang senyum di wajah-wajah tegang mereka. Akibatnya sang wali kelas meringis melihat ekspresi-ekspresi aneh di wajah anak-anak didiknya.
"Kelas berdiri!" terdengar komando dari Jaka, si ketua kelas. Serentak semua murid bangkit dari duduk, berdiri tegap.
"Kelas 2 Seni 3 memberi saaalam!"
"Selamat pagi, Bu Faridaaaa!"
"Selamat pagi."
"Kelas kembali duduk!"
Seluruh siswa-siswi pun memposisikan diri di bangku masing-masing.
"Anak-anak, buka buku partitur kalian! Kita akan pelajari lagu untuk persiapan lomba nanti. Apa kalian sudah memutuskan siapa yang jadi penyanyi utama?" tanya wanita itu.
"Rere, Bu!" teriak anak-anak kompak.
"Baik. Trus, siapa yang main gitar?" tanya sang wali kelas lagi.
Anak-anak saling berpandangan. Yang bisa main gitar di kelas mereka hanya si Reon. Itu pun ga jelas bunyi serta temponya. Suara petikannya pun tidak cukup halus.
"Hmm ... Reon. Mau tidak mau kamu mesti latih terus permainan gitarmu itu. Kalau nanti tidak bisa juga, terpaksa kita tidak menggunakan gitar," ujar bu Farida.
"Baik, Bu," sahut Reon.
"Jangan sampai kita kalah dari kelas 2 Seni 1 dan 2," kata wali kelas itu lagi.
"Siap, Bu!" sahut anak-anak.
"Ayo, kita mulai."
***
Keke bolak-balik membaca majalah di sofa. Sebentar-sebentar dia melirik ke arah jam dinding. Mengembuskan napas kesal, gadis itu meraih remote dan mulai menekan tombol on. Ibu jarinya lincah menekan tombol mencari acara yang menarik. Pencariannya terhenti di acara musik.
Gadis itu pun mengangguk-angguk mengikuti alunan lagu. Ia mengetukkan remote di tangan pada paha kanannya.
Keke kembali menatap jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Mama dan Papa belum juga kembali. Sementara tamu yang ditunggu juga belum menampakkan batang hidungnya.
"Tu cowok jadi datang ga, sih? Tau gini tadi mending ikut main ke rumah Gege ama Rere," gerutu Kemuning.
Gadis yang tengah memakai kaos hijau lengan panjang dengan celana jeans pendek itu mengecilkan volume TV ketika ia merasa mendengar ada suara bel berbunyi.
"Ah, itu kali orangnya datang," gumamnya sebelum melangkah ke arah pintu dan membukanya.
Keke tertegun. Matanya menangkap sepatu kets hitam dari sosok lebih tinggi dari Gege yang berdiri tegap sehingga Keke mesti mendongak agar bisa melihat mukanya.
Seraut wajah yang tak terlihat asli Indonesia dan bertahi lalat di sekitar pipi dan bibir terpampang di hadapannya. Rambutnya lurus berwarna cokelat acak-acakan. Bagian depan helaian surainya seperti dibiarkan menutupi sebagian mata lelaki itu.
Netra cokelat tajam cowok di depan Keke menatapnya intens. Kulit pemuda itu putih bersih, lebih terang dari kulit Kemuning. Sangat kontras dengan bibirnya yang merah muda sedikit tebal di bagian bawahnya. Sebuah tas ransel besar juga berwarna hitam tergantung di punggung lelaki itu.
Keke tidak sadar melongo beberapa saat mengamati cowok yang berdiri di depannya.
"Sori, saya bukan barang pajangan. Boleh masuk atau tidak?" Keke tersentak begitu suara berat tapi merdu yang berasal dari cowok itu terdengar.
"Ka-kamu orang? Ma-makhluk bumi?" tanya Keke tergagap-gagap.
Netra mereka saling bertatapan. Suasana hening sejenak. Hingga akhirnya cowok itu kembali bersuara.
"Saya, Elang."
*****
Hai .. hai ... Ini bab ke dua hehe sekalian aja saya publish. Semoga suka ya ....
Kritik dan saran dipersilakan. Kalau bisa sih, masukin ke daftar bacaan kamu yaaa.... Jangan lupa vote dan komen.
Kira-kira, cerita ini perlu dilanjut, ga? ^^ Ah, lanjut ajalah. ^^
Sampai jumpa di bab selanjutnya! Terima kasih ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro