Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1. KABAR DARI JOGJA

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Malam mulai merambat. Suara TV terdengar cukup keras di ruang tengah berukuran cukup besar dengan sofa panjang dan sebuah karpet bulu empuk warna putih bermotif bunga-bunga, terlihat serasi dengan nuansa hijau di ruangan itu.

Seorang gadis berumur tujuh belas tahun, berambut hitam panjang sepunggung sedikit kemerahan dengan baju terusan putih selutut, tampak asyik duduk di sofa sembari menatap acara musik kesukaannya pada televisi kabel layar datar berukuran 41 inch di hadapannya.

Sesekali ia menggoyangkan dua kakinya yang disilangkan mengikuti irama lagu. Bibir mungilnya tampak sibuk komat-kamit. Awalnya gadis itu bersenandung pelan, tetapi kemudian berubah menjadi suara nyaring yang sumbang dengan nada yang tidak beraturan.

"Kekeeeeeee! Kamu itu nyanyi atau mau bikin kuping Mama sakit, sih?" teriak Nia dari arah dapur.

Gadis remaja yang diteriaki oleh sang mama pun spontan menghentikan nyanyian sumbangnya. Wajahnya langsung merengut.

"Ih, Mama! Ga bisa liat Keke seneng deh!" teriaknya seraya memanyunkan bibirnya.

Nia muncul sambil membawa beberapa piring dan menaruhnya di meja ruang makan yang terhubung langsung dengan ruang tengah.

"Daripada nyanyi ga karuan, lebih baik bantuin Mama nyiapin makan malam. Jauh lebih bermanfaat," ujar Nia seraya menata piring di benda kayu persegi panjang cukup besar dengan enam kursi yang berada di dua ujung meja, sisi kanan, dan kiri.

Mendengar itu, si gadis bermata hitam bulat dan kulit kuning langsat segera bangkit dan menghampiri sang mama.

"Kenapa ga bilang aja sih Mama mau Keke bantuin. Kan ga perlu pake ngejek suara Keke," gerutu Kemuning sembari mengamati mamanya meletakkan piring.

"Mama ga mengejek. Cuma memberitahu kenyataan," seloroh wanita yang memiliki mata dan kulit yang sama seperti anaknya sebelum kembali menuju dapur mengambil nasi, sayur, dan lauk untuk makan malam mereka.

"Kenyataan kalau suara Keke jelek, sumbang, gitu?" cetus Keke sambil mengekori mamanya.

Aryo yang baru keluar dari kamar utama dari arah belakang sofa menggeleng-gelengkan kepala mendengar keributan antara si istri dan putri kecil semata wayangnya itu.

Lelaki berambut hitam dengan kulit sawo matang, berumur sekitar empat puluh tiga tahun yang masih tampak gagah itu mengambil remote yang tergeletak di sofa, lalu menekan tombol off. Suara musik di layar datar pun berhenti. Ia pun pergi menuju meja makan setelah menaruh kembali alat pengendali itu ke tempatnya.

Sang istri tampak kembali bersama anaknya dengan membawa semangkuk besar sayur dan lauk-pauk. Wanita berumur empat puluh itu langsung menatanya di meja dibantu oleh Kemuning. Aryo pun duduk di salah satu posisi ujung, diikuti oleh Nia mengambil posisi di samping kanan suaminya.

"Wah, Mama masak sayur nangka, udang goreng asam manis, dan ikan balado. Pasti enak," puji Aryo.

Netra hitamnya menatap piring yang mulai diisi nasi oleh istrinya. Nia tertawa. Sementara Kemuning memutar bola mata sebelum duduk di sisi kiri lelaki itu.

"Emangnya kapan sih Papa bilang masakan Mama tuh ga enak? Selaluuuuu aja muji. Keke mau belajar masak juga ah nanti. Tapi, ga tau kapan," celoteh Kemuning sambil nyengir.

Aryo tersenyum mendengar ucapan putrinya.

"Hadeh, kalau beneran niat tuh ya harus ditentukan kapan dilaksanakannya. Bukan hanya omongan aja, Keke," ujar Nia.

"Kan yang penting niat dulu, Ma. Daripada ga niat sama sekali," sahut Keke santai sambil mulai menyendok nasi ke piringnya setelah mama selesai menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk-pauknya buat papa.

"Kamu itu ya. Adaaaa aja jawabannya," ucap Nia sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Baru saja wanita itu hendak mengambil centong nasi, telepon genggamnya yang ada di meja samping TV berbunyi. Nia langsung bangkit berdiri, menghampiri dan mengangkat benda itu dengan tangan kanan, lalu menyentuh tanda hijau setelah melihat nama yang muncul di layar. Sementara Aryo dan Kemuning mulai menyantap hidangan.

"Halo." Nia terdiam sejenak mendengarkan suara dari benda yang ia tempelkan di telinga. Wajahnya kemudian tampak terkejut. Ia menyentuhkan jari tangan ke bibir seakan menahan suara keluar dari mulutnya. Netra mama Kemuning terlihat berkaca-kaca.

"Aku turut bersedih atas apa yang terjadi, Rhea ...." Suara Nia mulai bergetar.

Aryo dan Kemuning saling berpandangan. Mereka pun lantas menghentikan suapan dan memandangi wanita berambut hitam agak ikal sebahu yang mulai tampak terisak.

"Ten-tentu saja. Tidak, Rhea. Aku sama sekali tidak keberatan. Malah aku akan memaksamu membiarkan Elang tinggal di rumahku. Kau fokus saja mengurus ibumu bersama Adhi ...."

Aryo mengambil beberapa helai tisu sebelum bangkit dari duduknya, lalu memberikannya pada istrinya. Nia menerima pemberian suaminya, lantas menggunakannya untuk mengelap air mata yang menetes sambil mendengarkan suara di telepon.

"Iya, kau tak usah khawatir. Kau tahu aku dan Aryo juga sudah lama tidak bertemu Elang. Kurasa Keke juga pasti senang nanti ketemu dia. Kau yakin tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untukmu?"

Aryo terlihat sangat serius. Ia berusaha mendengarkan suara di telepon.

"Baiklah. Tapi, kau harus janji. Kau akan memberitahuku jika kau butuh bantuan lainnya, ok?"

Nia memandangi suaminya seraya menunggu lawan bicaranya selesai bicara. Kepalanya kemudian tampak mengangguk-angguk.

"Iya. Elang bisa datang besok. Kau masih ingat alamat rumahku, kan? Ya sudah, aku tunggu."

Nia menaruh tisu bekas mengelap air mata dan ingusnya ke tangan suaminya yang langsung menerima, lalu berjalan dan membuangnya ke tempat sampah di dekat meja makan. Kemuning meringis saat melihat itu.

"Ok. Kabari aku lagi nanti, ya? Jaga diri," ucap Nia sebelum menurunkan telepon seluler dari telinga dan menaruhnya kembali di meja samping TV.

"Rhea kenapa, Ma?" tanya Aryo.

Nia menghela napas seraya berjalan menuju meja makan diikuti oleh suaminya.

"Ibunya sakit. Kata Rhea, dia ditelepon sama tantenya agar datang ke New Zealand dan merawat ibunya di sana. Adhi juga akan berangkat menemaninya. Yang jadi masalah, Elang tidak bisa ikut. Karena, mereka tidak tahu akan berada di sana sampai kapan dan anak itu ga mau sekolah di luar," ujar Nia panjang lebar sebelum duduk di kursi makan.

"Terus, Elang akan tinggal di sini? Sekolahnya bagaimana? Pindah ke Jakarta?" tanya Aryo lagi sambil menempati posisinya semula.

Nia mulai menyendok nasi dan mengambil sayur serta lauk-pauk.

"Iya. Rhea tadi minta tolong apa bisa Elang dititipkan di sini sementara sampai jelas nanti apakah mereka akan terus tinggal di New Zealand atau engga. Sekalian nunggu biar Elang sendiri yang mutusin apa mau pindah ke sana nanti," tambah Nia lagi sembari mulai menyantap makanannya.

"Kenapa tadi Mama sedih banget, sih? Kan yang sakit bukan Eyang Ti?" tanya Kemuning sambil melanjutkan makannya yang diikuti oleh Aryo.

"Justru Mama sedih karena kepikiran eyangmu. Coba bayangkan kalau Eyang Ti sakit, gimana?" kata Nia sambil mengunyah.

"Ya tinggal terbang ke Jogja aja. Kan deket," sahut Kemuning santai.

Nia menggeleng-gelengkan kepala menatap putrinya.

"Tidak boleh begitu, Keke. Mamamu dan Tante Rhea itu sahabat karib dari sejak kecil di Jogja, bahkan sampai sekarang. Om Adhi adalah teman Papa waktu kuliah dulu. Jadi, bisa dibilang kami berempat sahabat dekat yang saling berjodoh. Om Adhi dengan tante Rhea. Papa dengan Mamamu," kata Aryo.

"Ih, ko mau sih pacaran dengan sahabat sendiri? Kan ga seru. Yang ada tuh, biasanya jadi berantem, terus jauh-jauhan. Ga temenan lagi, deh," sahut Kemuning.

"Lha, buktinya Papa dan Mama, Tante Rhea dengan Om Adhi, akur-akur aja tuh," celetuk Nia sambil berusaha menelan nasi di mulutnya.

Aryo tertawa seraya menatap istrinya sebelum beralih ke Kemuning.

"Memangnya setiap yang jadian ama sahabat sendiri pasti ujung-ujungnya berantem, gitu? Kan tidak semua orang sama, Keke," ujar Aryo. Ia menyuap suapan terakhir sebelum duduk bersandar di kursi.

"Tapi kebanyakan sih kaya gitu, Pa. Di kelas Keke aja udah ada beberapa yang akhirnya musuhan ama sahabatnya sendiri. Kecuali Keke, Rere, dan Gege. Makanya kami bikin perjanjian sekaligus taruhan ga ada yang boleh suka atau pacaran di antara kami bertiga. Terus juga ga boleh ada yang naksir seseorang yang lain sebelum dua di antara kami dapat pacar. Pokoknya kalau ada yang jatuh cinta duluan akan dapat hukuman," celoteh Kemuning.

Aryo dan Nia tertawa mendengar celotehan Keke.

"Masa jatuh cinta bisa diatur-atur? Mau pacaran aja kok harus dihukum," celetuk Nia.

"Memangnya hukumannya apa?" tanya Aryo.

"Kalau Gege yang suka salah satu antara Keke dan Rere, dia wajib nyerahin semua koleksi bukunya buat Rere. Kalau Keke sih cuma bakal menyita handphone dia aja. Rere juga sama. Dia akan merelakan seluruh novel kesayangannya buat Gege, dan tas kesukaannya buat Keke."

Mata gadis itu berbinar-binar setelah mengucapkan itu. Tas kesayangan Keke sangat bagus. Keke bisa membayangkan bagaimana beratnya nanti kalau Rere harus menyerahkannya pada Kemuning. Pasti akan ada banjir air mata.

"Terus, kalau Keke yang duluan jatuh cinta sama Gege, gimana?" goda Aryo.

"Oh, itu tidak mungkin, Pa. Gege bukan tipe Keke sama sekali," sahut Kemuning bangga.

"Kalau misalkan jatuh cintanya bukan sama Gege?" tanya Nia.

Kemuning mengerutkan alis.

"Maksudnya? Sama siapa?" tanyanya balik.

"Ya sama siapa aja. Kan kita ga ada yang tahu kapan dan dengan siapa kita jatuh cinta," timpal Nia.

"Ih, Mama. Keke ga bakalan kalah taruhan pokoknya. Keke ngincer tas Rere ama handphone-nya Gege," kata Kemuning sambil nyengir.

"Memangnya ponsel Keke kenapa, kok ngincer milik Gege?" tanya Aryo heran.

"Soalnya itu kan benda kesukaan Gege selain buku-buku koleksinya. Ga seru dong kalau yang dijadiin taruhan bukan barang kesayangan," jawab Kemuning cuek.

Aryo tertawa. Sementara Nia kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia sudah menghabiskan makan malamnya.

"Ya sudah. Ayo bawa piring kotornya ke dapur. Mama bersihin mejanya. Keke kerjain tugas seperti biasa, cuci piring," pinta Nia.

"Siap, Ma!"

"Eh, soal Elang gimana?" tanya Aryo tiba-tiba.

Nia menepuk kening.

"Oh iya! Jadi lupa, kan. Gara-gara bahas taruhannya si Keke sih," gerutu Nia.

Kemuning mengerutkan keningnya.

"Lho, kok Keke yang disalahin?" keluhnya sambil memanyunkan bibir.

"Sudah. Jadinya gimana? Apa Elang akan datang besok? Jam berapa kira-kira? Kita kan ada undangan acara nikahan di TMII," tanya Aryo.

"Belum tahu. Kata Rhea sih, besok. Tapi, ga bilang jam berapa. Kalau Elang naik pesawat, paling sebentar juga nyampe. Nanti mereka hubungi aku, kok," jawab Nia.

Aryo mengangguk sambil bangkit dari kursi, lalu berjalan menuju sofa di ruang tengah.

"Terus, si Elang itu jadinya akan tinggal di sini, Ma? Sekolah di Jakarta juga?" cecar Kemuning sambil membantu Nia membawa piring kotor ke dapur menyusul mamanya yang sudah duluan mengangkat mangkuk sayur dan menaruhnya di lemari.

"Iya, kenapa? Bagus, kan? Keke jadi punya teman di rumah kalau Mama dan Papa ada acara di luar. Keke juga bisa sekolah bareng Elang. Jadi, Mama dan Papa ga perlu khawatir kalau Keke sendirian di rumah atau pas di sekolah. Ada Elang yang bisa jagain Keke selain Rere dan Gege," ujar Nia.

"Ih, ga enak ah! Kan jadi beda suasananya, Ma. Terus, Elang nanti tidur di mana?"

"Lha, kan ada kamar kosong yang biasa untuk tamu di sebelah kamar Keke?" sahut Nia sambil melangkah lagi ke meja makan mengambil piring lauk, lalu menaruhnya ke lemari sebelum ia kembali ke meja dan mulai membersihkannya.

"Ah, nanti kalau Keke nyanyi atau nyetel musik, Elang marah, ga?" tanya Keke dengan nada agak keras sembari mulai menyabuni dan mencuci piring-piring kotor.

Nia menghela napas sambil mengelap meja mendengar ocehan putri tunggalnya.

"Keke, walaupun tidak ada Elang, Mama tetep marah kalau Keke nyetel musik dan nyanyi kenceng-kenceng. Suaramu sumbang gitu, lho. Kuping Mama ga tahan dengernya!" sergah Nia.

"Mama! Jahat, ih!" teriak Keke dari dapur.

Aryo terkekeh mendengar percakapan istri dan anaknya itu.



Hai ... hai ... kebetulan nemu catatan yang dulu sempet mau dibuat cerpen. Karena sayang kalau cuma nganggur doank,  saya coba kembangin deh jadi novel. semoga ada yang suka ya ... hehehe.

Hmmm... Kali ini saya coba buat cerita remaja ala saya ya. Pengennya sih ga terlalu berat, biar kalian ga perlu pake baca catatan segala, seperti di cerita Aleronn dan The Blue Alverns hihihi.

Bab 2 akan sekalian saya publish nanti. Mumpung sempet. Haha. Oke, gitu aja deh. Yang suka, silakan baca. Yang ga suka, ya saya ga maksa. Tapi, berharap sih. ^^

Kritik saran dipersilakan. Kalau bisa sih, masukin ke daftar bacaan kalian, terus jangan lupa vote dan komen. Ok?

Terima kasih. Salam hangat!^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro