2
Seperti biasa, sarapan bersama. Tapi wajah orang-orang di rumah ini agak berbeda. Mata mereka sembap dan merah. Begitu juga dengan hidung mereka. Dan ditambah dengan ingus yang dihirup maupun dikeluarkan dengan tisu. Aku memandang mereka dengan heran. Terusik juga untuk bertanya, "Tumben, murung berjamaah? Perasaan, nggak ada yang salah dari kemarin?" kunaikkan sebelah alis dan atensi mereka beralih dari kesibukan masing-masing, menatapku.
"Enggak. Siapa yang murung? Kita semua baik-baik aja, ya, kan?" sahut Nenek yang tadi menunduk, kini tersenyum padaku.
"Iya, baik-baik aja, Nduk. Kamu ujian ya, hari ini? Empat hari ya? Semangat ya, Nduk!" Kakek menimpali.
"Selama UN, nanti Papa yang antar, Mama yang jemput Puspa. Oke?" kata Papa membuka obrolan dan membuyarkan kefokusanku mengamati wajah mereka.
Mendengar kata antar dan jemput, aku menoleh. Tidak ada Kak Hasbi. "Lho, Kak Hasbi mana? Belum keluar kamar? Padahal kan dia tidur duluan tadi malam. Puspa susulin dulu, ya?"
Papa tiba-tiba menahan tanganku saat hendak meninggalkan meja makan. "Sudah, ya, Puspa. Harus ikhlas, Sayang." Aku mengeryit.
Aku menyahuti ketus sambil berusaha melepaskan pegangan Papa, "Apa sih, Pa? Ikhlas apa? Sarapan tanpa Kak Hasbi? Kan biasanya sarapan bareng. Nggak enak dong kalau nggak lengkap." Setelah berhasil lepas, aku berdiri dan hendak melangkah.
"Puspa, Puspa, Kak Hasbi sudah sarapan duluan," Mama menghadangku dan menjawab dengan nada suara aneh, seperti gemetar ketika menangis.
Mama mendudukkanku lagi. Aku menimpali, "Masa? Tumben? Biasanya kalau mau ke mana-mana kan ngomong dulu. Lah ini... Aneh deh Kak Hasbi. Udah tadi malam ngajarinnya bentar doang, sekarang berangkat kepagian." Aku mendengus sambil melipat tangan di depan dada. Di satu sisi aku merasa ganjil, seperti ada yang hilang dan menyisakan kekosongan yang menyesakkan. Di sisi lain, seperti ada yang aneh dengan tatapan, ucapan, dan perilaku orang-orang terhadapku. Sebenarnya ada apa?
"Sudah ya, nggak usah dibahas. Sekarang, Puspa makan, terus berangkat sekolah, jawab semua soal UNnya dengan benar biar nilainya bagus. Oke?" ujar Mama dengan ekspresi memohon dan mengelus bahuku. "Atau mau Mama suapin?"
Aku menggumam dan memikirkan ucapan Mama. "Nggak usah, kayak anak kecil aja."
Usai makan, aku berjalan setengah enggan ke halaman rumah. Bagaimana tidak, hari ini berbeda dengan biasaya, Kak Hasbi tidak mengantarkanku ke sekolah. Biasanya, kami akan berangkat bersama sebab kampusnya searah dengan sekolahku, meski lebih jauh. Kalau kampusnya Mama dan Papa beda lagi. Iya, Mama dan Papa dosen di universitas swasta nomor satu.
Sofa-sofa dan lemari berisi penghargaan tidak ada di tempat. Begitu pun dengan guci dan vas.
"Ayo, Puspa."
Suara Papa membuyarkan keherananku.
"Ayo, Sayang," ajak Mama sambil merangkulku keluar rumah.
Aku bertanya pada Mama, "Sofa... sofanya ke mana, Ma?"
"Di depan, Sayang."
Aku masih tidak mengerti, "Kenapa?"
"Ada pengajian seminggu."
Aku mengernyit. "Tumben kok lama?"
"Kan memang seminggu, Sayang. Sampai tujuh harinya kakakmu."
Jantungku seperti berhenti berdetak. Apalagi begitu mataku melihat banyak karangan bunga di halaman rumah. Ada juga yang diletakkan di gerbang tetangga di seberang rumah. Aku menoleh ke sekitar. Karangan bunga beragam itu bahkan sampai ditumpuk karena tak muat untuk berjajar rapi.
"Itu apa, Ma?" tanyaku sambil menunjuk salah satu karangan bunga padahal jelas-jelas di sana ada tulisannya. Aku mendadak seperti buta huruf.
"Karangan bunga, Sayang. Dari orang-orang yang turut berduka atas meninggalnya kakak. Ayo, Puspa, sudah siang. Katanya mau belajar di perpus?"
Aku masih diam, berusaha mencerna semua ini. Dadaku sesak. Dan semuanya tampak membingungkan. Aku tidak bisa mencerna ucapan Mama dengan baik, sampai deru mobil dan klakson membuyarkan konsentrasiku.
"Ayo, sudah siang," kata Papa yang sudah berada di mobil yang diparkirkan di depan rumah sehingga karangan bunga yang kulihat tadi sudah tak tampak.
Melihat karangan bunga yang lain, ada emosi dan hasrat yang tiba-tiba menyerangku. Berikut dengan ingatan yang mengusik. Orang-orang melewati Papa dan berpamitan masuk rumah, sementara Mama juga mengiakan pamit mereka.
"Semangat UN ya, Puspa! Puspa pasti bisa walau nggak diantar Hasbi."
"Hasbi pasti bangga kalau adiknya mandiri."
"Ada atau enggaknya Hasbi, Puspa pasti bisa. Puspa kan kuat." Begitu yang mereka katakan.
"Puspa nggak sendiri. Ada Tante, Mbak-mbak, dan teman yang lain. Jangan takut, ya!"
Aku hanya menatap mereka dengan kening berkerut. Jujur, aku masih dan semakin bingung dengan ucapan mereka. "Hasbi ke mana?"
"Hasbi sudah tenang di sana, Sayang," Mama yang menjawab.
Aku mengeryit. "Di mana? Itu ngapain mereka ke sini?"
Lututku mendadak lemas.
"Di surga," Mama tersenyum, tapi matanya berair lalu membasahi pipinya. "Tetangga mau bantuin Mama masak buat pengajian nanti..." Mama menyeka air matanya.
Aku mendengus. Tatapan tajam kupersembahkan kepada semua orang yang ada sekarang. "Mama bilang, Kak Hasbi udah berangkat duluan. Tapi sekarang bilang kalau Kak Hasbi di surga. Yang benar yang mana, Ma?" Mama tidak menjwab, tapi air matanya terus berjatuhan. Aku berjalan dengan kesal, mendekati Papa sambil bertanya dengan ketus, "Pa! Kak Hasbi mana?"
"Hasbi sudah meninggal, Sayang."
"ENGGAAAK! PAPA BOHONG!" teriakku pada Papa. Aku menjauh, ganti mendekati karangan bunga bertuliskan berduka cita dan ada nama Kak Hasbi di sana. "BULLSHIT!" umpatku sambil menarik paksa bunga-bunga di sana, begitu terlepas, kulemparkan sembarangan.
"Puspa, istighfar, Sayang. Istighfar. Luaskan hatimu, Sayang, ikhlas," aku tidak peduli dengan ucapan Mama juga gesturnya yang berusaha menghentikan aktivitasku.
Aku tidak menyerah dan terus berusaha menghancurkan karangan laknat ini. "Mama diam! Ini semua bullshit!" sampai akhirnya karangan bunga yang tinggi, besar, dan lebar itu bergerak seperti akan merobohiku. Sontak, aku memejam.
"Ayo, Puspa, berangkat," kata Papa.
"Ma, cepat bawa Puspa naik."
Aku masih memejam. Tak kudengar suara benda roboh dan semuanya sepertinya baik-baik saja. Aku merasakan tarikan yang membuatku berpindah tempat. Begitu aku membuka mata, Papa sudah menyenderkan karangan bunga itu lagi. Kemudian menatapku dengan sorot yang tidak bersahabat. Papa seperti kerasukan.
"Masuk mobil sekarang, Puspa!" tegasnya. Aku masih bergeming.
"Papa bilang, MASUK!"
*
Aku memasuki halaman sekolah yang tumben sekali sepi. Biasanya di jam masuk begini sudah banyak yang datang, menongkrong, bahkan bercakap-cakap dengan guru. Kadang yang jadwalnya olahraga pun sudah memulai olahraga sendiri. Oh iya, UNBK sesi pertama kan sedang berlangsung.
"Puspa...," itu suara Terra.
Aku berhenti berjalan lalu menoleh mendengar panggilan itu. Dan benar saja Terra berlari menghampiriku. Cewek berambut sebahu itu teman sekelas, bahkan sebangkuku sejak masuk kelas sepuluh di sini, di bekas sekolah Kak Hasbi. Kelas kami sempat dirolling. Tapi beruntung, aku dan Terra selalu sekelas dan selera kami untuk segala hal juga hampir sama. Aku seperti menemukan saudara kembar.
"Maaf, ya, kemarin aku nggak sempat ke rumahmu. Aku lagi di luar kota," katanya begitu langkah kami sejajar.
Aku mengernyit, tak tahu apa yang sedang dibicarakannya. "Ngapain? Kan kita nggak janjian?"
"Menyemangatimu walaupun kakakmu sudah pergi..."
Aku tertawa singkat. "Fe, tiap hari aku udah semangat. Dan kakakku pergi seminggu lalu. Kemarin baru pulang. Tapi kemarin dia kelihatan pucat. Pas makan kemalaman dia juga senyum aja. Pas ngajarin aku belajar juga nggak banyak omong. Tadi, yang nganter juga bukan dia. Nggak tahu deh kenapa si kakak kok berubah gini."
"Puspa... luaskan hatimu. Ikhlas, Puspa. Kakakmu sudah meninggal..."
Aku menggaruk pelipis yang tidak gatal sambil tertawa. "Dari kemarin sampai aku mau berangkat sekolah ini, orang-orang ngomongnya mirip kamu. Nggak ngerti kenapa mereka harus bullshit kayak gitu. Kelihatan deh kalau iri." Aku menyeringai. "Apa kamu juga iri kayak..."
Tiba-tiba saja Terra memelukku. Aku cukup terkejut dengan perlakuannya barusan. Biasanya kami akan berpelukan pada saat-saat yang seharusnya kita saling membutuhkan pelukan untuk mendukung satu sama lain. Tapi sekarang? Kan tidak ada apa-apa.
"Aku juga pernah mengalami sepertimu, Puspa. Kehilangan memang berat, tapi kita harus kuat. Lama-lama kita juga akan lupa dan semuanya akan berangsur membaik," ucap Terra sambil mengelus bahuku. "Ikhlas ya, Puspa, ikhlas... biar kakakmu tenang."
Aku mengeluh sambil berusaha melepaskan pelukan Terra, "Terra ngomong apa sih? Nggak ngerti deh kenapa kamu sama anehnya kayak tetangga rumah. Udah, ah, ayo ke perpus sambil nunggu," Aku menyeret Ferra. Dia juga tidak protes.
"Puspa, yang sabar, ya? Ibu turut berduka atas meninggalnya kakakmu."
Aku mengernyit dan memasang ekspresi marah campur masam ke guru yang baru saja menyapaku dengan kalimat menyebalkan.
"Ibu yakin, Puspa pasti kuat. Puspa pasti bisa tetap ceria walau tanpa Hasbi. Maaf, kemarin Ibu nggak..."
"Ngomong apa sih, Bu? Dari kemarin sampai sekarang, orang-orang terus bilang yang sabar ya, pasti kuat, harus ikhlas, dan kakakmu meninggal." Napasku mendadak memburu saking mengototnya aku berbicara. "Kakakku baru pulang kemarin dan baik-baik aja! Walau nggak nganter aku sekolah, bukan berarti kakakku kenapa-napa!"
Aku berlari meninggalkan Terra dan guru biologi itu. Tapi sayup-sayup kudengar, guru itu bilang, "Puspa pasti terpukul. Ibu minta tolong, Terra temanin Puspa, ya? Jangan sampai dia stres."
Aku berbalik dan berteriak, "Aku nggak stres, Bu! Aku baik-baik aja! Ibu sama orang-orang yang iri sama keluargaku itu kali yang stres!"
"Astaghfirullah, istighfar, Puspa. Kamu harus ikhlas. Kamu harus bisa menerima kenyataan," titah guru biologi yang menatapku seperti terkejut.
"BULLSHIT!" aku melanjutkan perjalanan dan beberapa teman melihatku dengan tatapan aneh.
*
Sudah seminggu ini Kak Hasbi pulang. Tapi keadaan rumah tidak baik-baik saja. Teman-teman Mama, Papa, dan Kak Hasbi, silih berganti kemari. Oh, bahkan para dosen dan guru yang pernah mengajarnya juga ke sini. Mereka memuji-muji Kak Hasbi yang berprestasi juga mengatakan tidak percaya jika kakakku akan pergi secepat ini. Aku tidak menemui mereka, hanya mendengar percakapan ketika keluar kamar. Ditambah lagi orang-orang mengaji tiap malam di sini. Katanya, mengaji untuk Kak Hasbi yang berpulang seminggu lalu.
Aku bingung harus menyangkal kematiannya dan menyakinkan mereka bagaimana lagi, kalau Kak Hasbi memang pulang ke rumah ini dan beraktivitas seperti biasa. Bahkan, hanya di hari pertama UNBK dia tidak mengantarku. Sepulang dari UNBK pun dia sudah di rumah dan mengajakku berbicara. Dia bercerita kegiatannya selama seminggu di luar kota. Dan aku juga bercerita bagaimana aku menjalani UNBK dengan baik-baik saja, meski sering kudengar kata motivasi serupa pertama kali orang-orang datang ke rumah ini sambil membawa baskom.
Jujur, aku terganggu dengan ucapan-ucapan serupa prihatin dengan keadaan keluargaku, yang semua orang menyangka jika Kak Hasbi benar-benar meninggal karena kecelakaan. Kak Hasbi sendiri juga bilang begitu, tapi aku tidak percaya. Berita di televisi terkait kecelakaan yang menimpanya juga tak pernah kujumpai. Lantas, aku harus percaya pada berita bohong orang-orang? Tentu tidak, kan? Apalagi sebentar lagi aku harus mengikuti SBMPTN untuk bisa berkuliah mengikuti jejak Kak Hasbi di universitas negeri tempatnya menimba ilmu.
Kak Hasbi wisuda seminggu sebelum pergi ke luar kota. Di luar kota itu acara dari Himpunan Jurusan yang diikutinya di kampus. Mereka menginap dengan serangkaian acara untuk memperingati kelulusan para senior, sekaligus pemberian cinderamata sebagai bentuk terima kasih telah mengayomi dan mengajari para juniornya banyak hal.
Dan selama seminggu ini, makan malamku lebih larut karena menunggu orang-orang yang membantu Mama memasak dan menyiapkan pengajian, pulang. Aku tidak sudi melihat orang-orang yang meyakini bahwa Kak Hasbi sudah meninggal. Padahal, demi apa pun, dia masih di rumah ini walau sering memakai baju putih, dengan wajahnya yang pucat, dan tidak terlalu banyak bicara.
Meskipun begitu, UNBK-ku berjalan lancar. Aku bisa menjawab semua soal dengan baik dan hampir semua yang kupelajari, itu yang keluar sewaktu ujian. Menyenangkan sekali, bukan? Aku seperti bisa 'meramal' pertanyaan-pertanyaan sewaktu masih belajar di rumah. Padahal, teman-teman di sekolah mengeluhkan sulitnya soal yang keluar. Belum lagi berbasis komputer seperti ini. Tapi alhamdulillah, aku tidak merasa kesulitan sedikit pun. Segalanya berjalan begitu mulus, semulus doa-doaku dan kalimat motivasi dari Kak Hasbi. "Tidak ada kemudahan kecuali yang Kaubuat mudah dan jika Kaubuat kesulitan, atas izin-Mu itu akan menjadi mudah," itu yang selalu kulafalkan untuk mengiringi semua langkahku. Dan terbukti, tak ada kesulitan.
"Puspa jadi kuliah di... selain kampusnya Hasbi, kan?" tanya Mama lalu menyendok makanannya.
Aku menatapnya heran. Agak kesal juga sebetulnya ditanyai begini lagi. Padahal sejak Kak Hasbi berkuliah di Universitas Negeri Harapan Jaya, aku sudah membulatkan tekad untuk berkuliah juga di sana.
"Mama nggak setuju kalau kamu kuliah di kampusnya Hasbi. Itu berpengaruh terhadap kesehatanmu, Sayang," kata Mama sambil meletakkan sendoknya dan menatapku. "Sejak meninggalnya Hasbi, kamu kehilangan kontrol diri. Jadi susah dibilangi lagi. Jarang salat. Nggak pernah bersosialisasi sama tetangga."
Aku menghela napas sebagai pengalih dari rasa kesal yang timbul lalu menjalar, "Ma, kan Puspa belajar buat SBM. Dari awal Mama kan tau kalau Puspa cuma mau kuliah di kampusnya Kak Hasbi."
"Enggak!" tiba-tiba Papa angkat bicara. Aku menoleh ke Papa. "Ganti pilihan, Puspa. Selagi kamu belum SBM. Ada universitas lain yang lebih menunggumu. Dan jurusan apa yang kamu mau? Di semua universitas ada."
Aku mendengus lalu menoleh ke Kak Hasbi. "Kakak lihat, kampus yang kita rencanakan dari awal, mendadak diminta berubah,"
"Puspa, berhenti ngomong sendiri, Nduk," Nenek memotong ucapanku.
Aku melanjutkan sambil menahan kesal, "Padahal Puspa baru selesai UNBK. Dan jarak ke SBM juga sebulan lagi. Puspa udah mantap di kampus kakak dengan jurusan yang Puspa mau dan ya..."
"Puspa, kalau kamu kayak gini terus, Mama akan panggilin psikiater," ancam Mama menyela ucapanku.
Aku tidak peduli dengan ucapan Mama, "Kakak udah tau kemampuan Puspa seberapa. Tapi lihat, Mama sama Papa... Puspa nggak ngerti. Puspa nggak nafsu makan. Puspa ke kamar dulu. Puspa tunggu Kakak di kamar. Puspa mau cerita." Aku beranjak dari kursi, lanjut menuju kamar.
"Puspa, balik ke sini!" perintah Papa dan aku tak mengacuhkan.
"Puspa! Sini, Kakek suapin!" teriak Kakek dan aku tetap tidak tertarik. Selera makanku hilang sejak Mama mempertanyakan lagi aku akan kuliah di mana, pokoknya selain di kampusnya kakak.
"Pa, kayaknya Puspa memang harus diperiksakan," aku mendengar suara Mama.
Aku menimpali, "Puspa sehat walafiat, jadi nggak perlu diperiksakan. Orang-orang iri aja tuh yang diperiksain. Tiap hari bilang kalau Kak Hasbi meninggal dan aku harus sabar. Apaan coba?"
"Secepatnya Papa akan mencari psikiater terbaik," Papa menanggapi ucapan Mama.
"Secepat itu juga Papa lakuin, aku akan bunuh diri," kalimat itu lolos begitu saja dari ucapanku dan aku tidak merasa bersalah sedikit pun. Aku tidak suka diragukan. Apalagi dianggap tidak waras.
*
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro