Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Aku berdiri di ambang pintu kamar. Kulihat orang-orang masih berlalu lalang. Mama menghampiriku, lalu menggandeng dan aku menurut begitu saja. Aku sudah lelah menyangkal kematian Kak Hasbi, mataku terasa panas, tubuhku lemas, dan ingin berbaring saja, tapi juga tidak bisa. Seolah-olah ada yang mengganjal dan aku tidak tahu apa. Yang kutahu hanya suara orang mengaji, membicarakan kematian Kak Hasbi, dan serupa kalimat penyemangat untuk bertahan meski telah ditinggalkan.

Mama mengajakku berjalan ke ruang keluarga. Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat keranda berselimut hijau dan sekujur tubuhku mendadak merinding. Aku sesak napas. Mataku memburam. Ini yang ketiga kalinya aku melihat benda itu. Dulu, Yangkung dan Yangti. Sekarang, siapa lagi? Sejak awal melihatnya, aku sudah tidak suka. Apalagi begitu tahu fungsinya, juga namanya, dan aku membencinya. Kendaraan maut yang memisahkanku dengan keluargaku.

"Tante, maaf, ya, Pranda nggak bisa datang. Dia masih menganggap dirinya..." ucap cewek yang tiba-tiba menghampiriku dan Mama. Di belakangnya, teman-teman cowok agak menunduk dengan mata merah, sembap, dan hidung memerah.

"Iya, nggak pa-pa. Tolong bilangin ke Pranda. Ini sudah takdir. Bukan karena ambil alih kerjaan dia. Ayo, Puspa. Sebentar aja, Sayang," balas Mama.

Aku menggeleng. Air mataku luruh lagi. Kuingin membantah, berteriak sekuat tenaga, tapi lidahku kelu. Aku tidak mau mendekat. Dengan tenaga yang tersisa, aku berlari meninggalkan Mama dan orang-orang yang sempat melemparkan pandangan padaku. Aku tidak peduli pada tatapan dan komentar mereka. Aku juga tidak peduli pada keranda itu. Aku yakin, di dalam sana bukan kakakku yang terbaring. Ya, pasti bukan Kak Hasbi. Kakakku masih hidup dan hari ini dia akan pulang. Dia akan kembali menemaniku seperti biasa, mengaji, makan, belajar, mengantar dan menjemputku di sekolah, dan segalanya serba bersama, kecuali mandi dan tidur. Semua itu kami lakukan sejak kecil.

"Puspa... Puspa... sebentar aja, Sayang," teriak Mama.

Nenek mencegahku masuk ke kamar. "Biar nggak kebayang-bayang Hasbi, ya. Sama Nenek deh. Ayo."

Aku menggeleng, tangisku semakin menjadi-jadi. Aku juga memukul-mukul Nenek. Suaraku kenapa tidak mau keluar? Aku ingin sekali menyangkal keras-keras, tapi kenapa malah begini? Aku merasa semakin lelah. Mataku amat panas. Dadaku kian sesak. Kepalaku terasa seperti kelebihan muatan dan ingin meledak. Aku ingin berbaring, lalu tidur sekarang. Sebentar, dunia ini mendadak berubah gelap sejenak, kemudian kembali terang. Begitu seterusnya sampai kemudian badanku terasa melayang dan kudengar suara teriakan.

*

Kepalaku terasa berat, sampai-sampai aku kesulitan membuka mata. Tubuhku lemas seperti tak makan seharian. Aku merasakan kening dan rambut diusap berkali-kali sambil samar-samar kudengar suara orang menangis dan ingus yang berisik. Aku berusaha membuka mata, berat juga. Kepalaku benar-benar terasa sakit. Perutku bergemuruh.

"Puspa belum makan, ya? Mama ambilin dulu, ya?"

"Mm," kan suaraku tidak keluar, hanya gumaman saja dan untungnya aku berhasil menggapai tangannya sebelum Mama benar-benar meninggalkanku sendiri. Maksudku, "Jangan pergi dulu," nah kan, suaraku putus-putus dan serak juga.

"Kenapa, Sayang? Puspa lapar, kan? Perutnya barusan bunyi. Mama nggak mau Puspa sakit."

"Kak Hasbi... Kak Hasbi mana..."

Air mata meluncur dari mata Mama.

"Hasbi...," Mama membasahi bibirnya dan air matanya terus keluar. "Hasbi sudah tenang, Sayang... Hasbi sudah senang di tempat barunya... Puspa tadi pingsan, jadi nggak ikut nganterin Hasbi...," bola matanya bergerak-gerak gusar saat menjawab itu.

"Apa?" tanyaku masih dengan suara minim.

"Hasbi sudah dimakamkan, Sayang," jawab Mama sambil mengusap air matanya.

Aku menggeleng. "Enggaaak!" Air mataku ikut-ikutan keluar. Aku menendang-nendang dan memberantakkan ranjang ini. Kulemparkan bantal dan guling secara bergantian. "Kak Hasbiii... enggaaak..."

"Bohooong!" teriakku. Akhirnya suaraku keluar sepenuhnya. "Semuanya bohong! Kak Hasbi nggak meninggal! Kak Hasbiii!" jeritku sambil berusaha bangun dari tidur dengan kepala yang berdenyut bukan main. Aku berusaha turun dari ranjang dan Mama dengan sigap menghamburkan dirinya padaku, tepat saat aku terpeleset dan hampir jatuh.

"Puspa, Sayang, tenang ya, tenang. Masih ada Mama, Papa, Nenek, dan Kakek. Semuanya ada buat Puspa, ya, Sayang," ujarnya sambil mendekapku dan mengusap-usap punggungku.

"Kak Hasbi nggak meninggal, Ma... enggak..." rengekku berusaha berdiri tegak. Aku ingin melihat keluar, memastikan bahwa keranda yang kulihat tadi sudah tak berada dan hanya khayalanku saja. "Keluar... ke depan..."

"Iya, iya, kita ke depan ya, Sayang."

Tak ada suara orang mengaji. Orang-orang yang kulihat tadi juga sudah tidak ada. Tapi aku mendengar suara berisik dari belakang. Aku menoleh dan di dapur banyak orang. Peralatan masak Mama juga keluar semua. Biasanya itu hanya dipakai saat ada hajat besar dan kecil. Aku berusaha meredakan tangis. Barangkali tetangga menumpang masak di rumah ini. Tapi tidak mungkin, sebab sudah puluhan tahun tinggal di sini dan tidak pernah ada cerita tetangga menumpang masak.

"Katanya ke depan? Kok nengok belakang?" tanya Mama sambil mengusap rambutku. Mama masih memapahku, seakan tahu kalau aku amat lemah dan butuh penyangga. Aku berpaling dan menghadap lagi ke depan setelah diingatkan tujuanku keluar kamar.

Karpet-karpet membentang dan mengalasi lantai yang biasa ditempati sofa-sofa beserta meja, lemari berisi penghargaan, guci, vas, berubah ditempati oleh kardus-kardus dan gelas-gelas minuman, camilan di piring, karung-karung beras... rumahku berubah.

"Sofa..." ucapku.

"Di luar, Sayang. Tadi kan tempatnya dipakai salat jenazah."

"Siapa jenazahnya?"

Mama menekuk bibirnya ke dalam.

"MA! SIAPA!"

"Hasbi..."

"ENGGAK!" aku mengibaskan tangan Mama yang merangkulku. "MAMA BOHONG!" aku mendorong Mama hingga menjauh, sedangkan aku terduduk di lantai. "BOHONG SEMUANYA! BOHONG!"

"Puspa, istighfar, Sayang, istighfar," kata lelaki yang entah datangnya dari mana.

Aku mendongak dan mendapati wajah yang tidak asing. "PAPA! KAK HASBI MANA? MANA?"

Papa memelukku seperti Mama tadi, sambil mengusap-usap punggungku. "Di makam, Sayang. Kak Hasbi sudah tenang di sana."

"ENGGAK!" protesku sambil memukuli punggung Papa, "PAPA BOHONG! SEMUANYA BOHONG!" kudorong Papa sampai terlepas dan jatuh telentang. Aku kecewa dengan semua orang! Lalu tiba-tiba saja aku melihat Kak Hasbi melintasi keluar rumah. Dia berpakaian serba putih dan berjalan begitu saja tanpa menoleh padaku. "KAK HASBI!" teriakku seraya berharap jika kakakku akan berhenti. Namun nihil. Aku pun berusaha bangkit dan mengejarnya. "KAK HASBI!" panggilku lagi.

"Puspa, Puspa, tunggu, Sayang," itu suara Mama. Dan aku tidak peduli.

Aku berdiri di ambang pintu depan. Dan tidak ada Kak Hasbi. Langit pucat. Murung sepertiku. Yang ada hanya sofa-sofa dari dalam rumah. Tenda hijau pekat yang menaungi halaman rumah dipasangi lampu dan sudah menyala, meja-meja yang didiami gelas-gelas air mineral dan makanan ringan, juga kopi; gerbang rumah yang terbuka lebar, karangan-karangan bunga bertuliskan turut berduka cita... atas meninggalnya ananda Hasbi Zeptyanto... aku menggeleng hebat, lalu memekik lantang, "NGGAK MUNGKIIIN..."

Aku berteriak lagi, "SEMUANYA PEMBOHONG! INI BOHONGAN!" tapi suaraku tidak keluar setelah berteriak cukup panjang dan mengotot barusan. Pita suaraku tidak mungkin putus. Ya, tidak mungkin.

"Istighfar, Puspa, istighfar," kata Papa sambil memelukku. Lelaki berkemeja cokelat tua itu mengecup kepalaku lalu mendekap kian erat. "Harus ikhlas, ya, Sayang. Ikhlas. Puspa nggak sendirian. Masih ada Papa, Mama, Nenek, Kakek, masih ada kakak-kakak yang lain. Keponakannya Puspa juga masih ada."

"Kak Hasbi..."

"Ayo, masuk ya, Sayang," Papa memutarbalikkan arah langkahku. Mama menghampiri sambil mengusap air matanya. "Sudah magrib. Puspa belum makan dari tadi, ya? Mau Papa suapin?"

"Kak Hasbi..." rengekku tanpa suara.

*

Seperti biasa, tradisi makan malam setiap hari Jumat sampai Minggu karena selain itu, anggota keluarga tidak komplet; Mama dan Papa mengajar di kampus; Kak Hasbi juga sibuk di kampus. Tapi aku akan selalu duduk bersebelahan dengan Kak Hasbi saat itu tiba. Dan biasa mengambilkan makanan untuknya. Begitu juga sebaliknya, kadang kakak yang mengambilkan makanan untukku. Keluarga kami selalu saling melengkapi. Mama dan Papa tak pernah berkata tidak, selagi yang kami lakukan positif. Dan dengan tegas juga akan menolak apabila kami hendak melakukan sesuatu yang kurang baik. Segalanya selalu berizin. Kami tak pernah lupa berpamitan satu sama lain; ke mana dan sebentar apa pun akan pergi.

"Kak Hasbi, makan yang banyak. Kakak pasti capek, kan baru pulang. Sini, aku ambilin," kataku sambil mengambilkan nasi dan meletakkan di piring sebelahku. Kak Hasbi tersenyum padaku. Aku tidak peduli dengan sekitar. Satu-satunya yang harus kuperhatikan dan pedulikan adalah Kak Hasbi. Seminggu tanpanya bukan waktu yang lama, tapi amat sangat lama. Iya, sehiperbol itu. Rasanya sehari seperti seminggu.

Saat nasi itu mulai menggunung, ada yang menceletuk, "Puspa, sudah-sudah. Kamu harus ikhlas, ya. Hasbi sudah tenang di sana," sambil memegang tanganku, berusaha menghentikan aktivitasku. Tapi Kak Hasbi tidak bilang apa-apa. Dia hanya tersenyum sembari menatapku. See, berarti nasinya belum cukup, kan?

"Ngomong apa sih? Sana, ngomong sama tembok," sungutku sambil mengibaskan tangan yang hinggap, lalu terus menuangkan nasi ke piring Kak Hasbi.

"Adik, sudah ya, nasinya. Yang lain belum kebagian. Kakak juga nggak habis kalau nasi sebakul buat Kak Hasbi aja." Kali ini perempuan berjilbab dan kerutan di tangannya tampak tak sekencang kulitku, yang mengambil alih dengan berdiri tepat menghadapku dan meraih bakul nasi.

"Apa sih, Mama. Kak Hasbi baru dapat jatah nasi dikit. Pokoknya semuanya nggak boleh makan sebelum Kak Hasbi aku ambilin nasi, lauk, sayur, sama sambal. Tunggu aku selesai ngambilin buat Kak Hasbi ya? OKE!" Aku meletakkan nasi dan mulai mengambilkan lauk-pauk yang ada di meja makan. Yang jelas, sejak magrib tadi aku memang hanya di kamar, malas keluar. Lalu ada suara orang mengaji lagi... Suara orang mengaji sudah berhenti entah sejak kapan. Aku tidak peduli.

"Adik, sudah, ya lauknya. Kak Hasbi nggak habis kalau segitu banyaknya."

Mama lagi, Mama lagi. "Mama diam deh! Berisik! Nggak kasihan apa sama Kak Hasbi baru pulang dari acara. Capek kali, Ma. Biarin adiknya bantuin dia kenapa sih? Biasanya juga Kak Hasbi bantuin Puspa. Mama dan orang rumah dilarang sewot!" aku menjulurkan lidah sebagai penutup.

"Nduk, tapi itu kebanyakan lho Puspa ambilinnya. Mubazir..."

"Nggak pa-pa, Bu. Nanti biar aku yang makan."

"Buat Kak Hasbi kok malah Mama yang makan. Aneh!" aku menimpali sambil menatap mereka dengan sinis.

"Iya, Adik buruan makan, ya? Sudah telat makan, kan? Besok kan UNBK. Habis ini belajar sama Mama ya, Sayang."

Aku cemberut. "Ih, ngapain sama Mama. Kan Kak Hasbi udah janji bakal ngajarin aku sampai diterima di PTN dan seterusnya. Mama nggak usah ikut deh. Ini misinya Puspa sama Kak Hasbi: pokoknya kuliah di tempatnya Kak Hasbi. Iya, kan, Kak?"

Kak Hasbi lagi-lagi hanya tersenyum.

"Udah, ayo makan. Puspa udah laper banget! Habis ini juga mesti belajar sama Kakak."

Orang-orang sudah kembali tenang. Sewaktu mengunyah makanan dan menatap lurus, Mama memandangku. Kulihat bulir air jatuh. Di sebelahnya, Nenek terlihat tidak nafsu makan karena menunduk dan mengusap pipinya. Sementara kakek diam saja sambil memandangiku. Aku merasa aneh dipandang seperti itu. "Kenapa, Kek?"

Kakek tersenyum. Sepertinya itu senyum terpaksa. "Ikhlas, ya, Nduk. Kakakmu sudah tenang di sana."

Aku berhenti mengunyah. Lagi-lagi jantungku melesak. Aku menoleh ke Papa. Papa mengusap-usap lenganku seraya tersenyum. "Ikhlas ya, Dik. Biar kakakmu tenang. Ayo, lanjutin makan. Nanti belajar sama Mama plus Papa. Nanti kita nemenin Puspa tidur deh."

Aku balas menatap mereka bingung. Berhubung aku lelah menyangkal ucapan mereka tentang kepergian Kak Hasbi, jadi aku melanjutkan makan dengan pikiran dan perasaan tak keruan.

*

"Kak Hasbi, ini nomor tiga puluh gimana? Benar nggak, jawabanku?"

Kak Hasbi hanya tersenyum. Aku merasa lega, jawabanku benar lagi.

"Puspa, tidur, Dik. Dilanjut besok pagi aja ya, sebelum subuh."

"Mama tumben di sini? Biasanya cuma nengok bentar sambil anterin susu dan camilan," protesku.

Mama tersenyum. "Kan dari tadi Puspa nanyanya ke Mama sama Papa."

Aku mengerucutkan bibir. Keningku juga berkerut. Aku menoleh dan Kak Hasbi sudah tidak ada. "Lho, Kak Hasbi mana? Tadi kan di sini? Lho... balik ke kamar kok nggak bilang-bilang. Kak Hasbi curang nih. Padahal biasanya aku nemenin dia ngerjain tugas. Eh, sekarang malah tidur duluan." Aku mendengus. Mama mengusap punggungku.

"Dari tadi nggak ada Hasbi, Puspa. Hasbi sudah nggak di sini. Kakakmu sudah pindah tempat. Kamu jangan berkhayal terus, ya. Ikhlas, Sayang, ikhlas," Papa menyenderkanku ke dadanya dan mengelus-elus kepalaku. "Sudah jam sebelas, Puspa. Tidur. Besok lagi."

Aku lelah berdebat dan berteriak. Sedari tadi suaraku juga serak. Sepertinya aku memang perlu beristirahat sekarang. Mungkin Kak Hasbi juga sudah capek, jadi hanya menemaniku sebentar. Padahal dia dulu berjanji akan menemaniku belajar sampai bisa diterima kuliah di kampusnya... iya, mungkin Kak Hasbi capek.

Mama masih mengusap-usap punggungku. "Jangan mikirin Hasbi, ya? Pikirin aja besok Puspa bisa ngerjakan semua soal-soal dan menjawab dengan benar, ya, Sayang. Puspa tidur ya, sekarang. Ditemenin sama Mama dan Papa kok. Jadi Puspa nggak perlu takut."

Aku mengernyit dan menoleh ke Mama. "Takut apa?"

"Terbayang-bayang kakakmu..."

Aku tertawa. "Mama lucu. Kan kakak sudah pulang. Jadi aku nggak terbayang-bayang dong. Kan Kak Hasbi udah nggak jauh di mata tapi selalu di hati."

Lagi-lagi aku melihat mata Mama berair. Sebentar lagi pasti airnya menetes.

"Puspa..." Mama memanggilku dengan suara yang mulai berubah.

"Iyaaa..." balasku jahil dengan suara manja sambil tersenyum.

"Ikhlas ya, Sayang. Biar kakakmu tenang, senang. Kita semua juga tenang, senang."

Aku mencebik. Lalu tiba-tiba saja Papa menggendongku, memindahkanku dari kursi belajar. "Papaaa... aku bukan anak kecil. Turuniiin!" aku memprotes sambil bergerak-gerak.

"Jangan banyak gerak, Puspa. Kamu berat sekarang. Nggak kayak kecilmu dulu," aku memukuli Papa begitu lelaki itu berkomentar begitu. "Iya, bukan anak kecil, tapi anak bandel. Disuruh tidur tapi nggak tidur-tidur. Besok UNBK, Sayangku, Cintaku, Manisku."

"Hiiih, Papaaa!" ucapku gemas.

"Oke, Papa tidur di sebelah kanan atau kirinya Puspa?" tanya Papa usai mendaratkanku di ranjang empuk.

Aku menjawab jenaka, "Di genteng!" lalu terkekeh.

"Kamu nakal, ya! Emang Papa ini antena?" ucap Papa sambil mencubit hidungku.

Aku tertawa. "Bisa jadi, bisa jadi."

"Sudah, ayo tidur. Papa sebelah sini aja. Mama sebelah sana."

Malam ini, entah kenapa terasa berbeda. Aku merasa tak tenang, padahal Kak Hasbi sudah pulang. Aku merasa ada yang mengganjal. Pikiranku penuh, tapi hatiku kosong. Hampa. Dan aku tidak tahu apa penyebabnya.

"Adik, sudah berdoa?"

Aku menggeleng. Kukira Mama sudah tidur, sebab Papa begitu terkena yang empuk, langsung menempuh perjalanan ke tidur nyenyak.

"Berdoa, Sayang. Mau Mama tuntun?"

Aku mengangguk. Barangkali suara Mama bisa menjadi pengantar tidurku malam ini.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro