Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

t i g a

Hera dan Hanung keluar dari ruangan poli gigi, membuatku menghela napas lega. Hanung menurunkan Hera dari gendongannya saat sudah di depanku. Awalnya Hera ingin aku yang menemaninya di dalam, tapi karena aku masih berantakan bahkan belum membersihkan wajahku, aku pamit ke toilet. Beruntungnya gaunku semalam terbilang biasa saja, jadi tidak perlu malu memakainya ke sini.

"Terima kasih."

Itu suara Hanung. Datar. Tidak seperti semalam yang ekspresif saat berbicara dengan mami. Aku hanya mengangguk. Lalu kami berjalan ke bagian administrasi yang tak jauh dari ruangan poli gigi.

"Tante, kita makan es krim, yuk!" Hera menyerahkan tangannya padaku minta digendong.

Aku menggendongnya. "Lho, tadi di dalam dokter bilang apa?"

Hera nampak berpikir. "Gak boleh banyak makan yang manis-manis."

"Pinter!" Aku mencubit pipinya. "Makan es krimnya lain kali aja, ya."

Hera mengangguk.

Seorang wanita seumuran mbak Gia tersenyum padaku. "Mbak, suaminya ajakin ngomong. Kasihan di cuekin."

Aku menoleh pada Hanung yang juga sedang menatapku, hanya tiga detik. Aku kembali menoleh pada wanita itu, kemudian tersenyum seramah mungkin. "Lagi sariawan, Bu."

Wanita itu tampak kaget. Mungkin Hanung juga—entah, aku tak mau menatapnya.

"Saya tunggu di luar." Aku membiarkan Hanung mengantri di bagian administrasi, sementara aku membawa Hera keluar klinik.

Dipikir-pikir, aneh juga aku mengantar Hanung ke sini sementara ia mengejar ibuku. Tapi anggap saja aku sedang masa pendekatan kepada Hera—yang akan menjadi adikku.

Tak lama, Hanung menghampiri kami. Ia melihat Hera yang bersandar di bahuku. Seperti tertidur.

"Saya antar kamu pulang," katanya seraya membuka pintu mobil. "Hera taruh di belakang saja."

Aku menurut. Merebahkan Hera di kursi belakang, kemudian duduk di sebelah Hanung. Kami meninggalkan klinik dengan hening.

"Semalam ibumu panik." Hanung memecah kebisuan. "Anaknya pulang tanpa mengabarinya."

Itu sindiran. Aku tahu. "Saya tidak mau mengganggu kesibukan beliau semalam."

Hanung menoleh sesaat. "Kamu sudah tahu?"

"Iya."

Rahangnya mengeras. "Saya memang mencintainya. Tidak peduli perbedaan umur kami."

Aku juga tidak peduli.

"Saya serius dengan niat saya yang ingin menikahi ibumu. Meskipun mungkin dia masih menganggap niat saya hanya bualan semata."

Aku mengangguk. "Berapa usia em... kamu?" tanyaku sedikit bingung harus memanggilnya apa.

"Tiga puluh dua."

"Saya tahu mami saya terbilang awet muda dengan usia yang sudah menginjak kepala empat. Dua belas tahun bukanlah perbedaan yang kentara jika kalian bersanding. Saya pun tidak masalah dengan mami yang akan menikah lagi. Tapi apa kamu bisa menerima segala kekurangan beliau?"

Hanung mengangguk kelewat cepat. "Saya menerimanya."

"Termasuk saya sebagai anaknya?"

"Berapa usiamu?"

"Dua puluh satu."

"Tidak masalah. Saya bisa menganggapmu sebagai anak."

c a n d y t a

Terhitung sudah seminggu aku tidak bertemu Hanung dan anaknya, hari ini mbak Gia memberitahuku kalau mereka berdua sudah sampai di Nusa Dua kemarin sore. Pantas saja mami dengan semangat mengajaku ke sini padahal aku belum mengatakan ingin ikut. Kami disambut oleh petugas hotel. Seorang manajer membantu mami membawa koper, sementara koperku dibawa oleh staff biasa ke kamar kami.

Aku tak memedulikan mami dan mbak Gia yang sibuk berdiskusi dengan manajer hotel. Menurutku, makanan yang tersaji nanti siang lebih menarik untuk dipikirkan.

"Mam, aku ke dapur dulu ya, pengin request buat makan siang."

Mami menoleh padaku. "Jangan ke mana-mana, setelah ke dapur."

Aku tak sanggup menahan dengusan geli. "Aku udah dewasa, Mam, gak perlu khawatir."

Tanpa menunggu persetujuan mami, aku segera berbalik arah menuju dapur, aku ingin merasakan masak untuk tamu hotel. Pasti rasanya sangat menyenangkan.

"Eh, Candy," sapa om Pram, koki hotel yang menemuiku. "Minum, Ken."

Aku menerima es jeruk dari om Pram. Rasa segarnya sangat cocok dinikmati tengah hari seperti ini. "Aku ganggu, Om?"

"Tidak mungkin. Ada yang bisa om bantu?"

"Aku pengin makan siang sama ikan salmon saus jamur."

Om Pram mengangguk. "Bisa, bisa."

"Aku juga mau bantu masak, boleh?"

Om Pram menaikan sebelas alisnya. "Yakin?"

Aku mengangguk mantap.

"Tadi anaknya pak Hanung pengin bantu masak juga tapi berujung mengacau." Om Pram menunjuk Hera dan Hanung yang keluar dari toilet dapur.

Aku menatap om Pram sebal. "Aku bukan anak kecil lagi, Om!"

"Tante Cantik!" Hera berlari ke arahku.

"Aku sudah bisa dipanggil tante, tahu, Om!" Aku mengarahkan dagu pada Hera.

Om Pram tergelak, kemudian pamit menyiapkan makan siang.

"Tante liburan juga, ya di sini."

Aku mengangguk. "Giginya sudah membaik?"

Hera mengangguk cepat. "Papa kasih obatnya setiap hari."

"Tadi Hera bantu masak-masak di dapur, ya?"

"Iya! Seru deh, masak-masak di sini. Banyak makanannya!"

Hanung menahan tangan Hera yang mengarah padaku. "Jangan minta gendong, Sayang. Kak Candy masih cape."

"Ohhh, nama Tante Cantik artinya permen, ya?"

"Kakak, Sayang. Kak Candy," ralat Hanung. Sepertinya dia gencar ingin menjadikanku kakaknya Hera.

Hera menggeleng. "Tante Ken mau gak jadi mamaku?"

c a n d y t a


—Salam donat💙
13/04/20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro