Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

NEVER CHANGED

Never Changed
By ichihikari
🌜🌜🌝🌛🌛


Gemerisik dedauan dari luar memberitahu jika angin berembus sepoi-sepoi, masih sama dengan tadi malam. Rintik hujan gerimis turut terdengar ketika menyentuh atap rumah. Saat kubuka jendela kamar, gelap menyambut netra mata yang baru terbangun dari mimpi indah.

Seluruh kota tampak sepi, seakan tenggelam dalam mimpi tiada akhir. Jalan raya terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Lampu neon yang mengeluarkan cahaya lembut di mana-mana masih menyala, menerangi seraya menunggu matahari yang sepertinya lupa akan jadwal terbitnya.

Tanpa merenung terlalu lama lagi, aku bergegas merapikan tempat tidur yang menjadi tempat terbaik untuk menemukan ide-ide cemerlang. Kemudian bersiap-siap seperti hari biasanya. Sarapan? Ah, iya. Aku tidak akan sempat memasak. Sehingga sepotong roti yang kubeli dari kantin sekolah kemarin sudah cukup untuk mengganjal perut sekaligus menghemat waktu.

Sepasang sepatu pantofel dengan ukuran yang pas dengan mudahnya terpasang. Itu membuatku tidak membutuhkan waktu lama hingga siap untuk berangkat sekolah dengan seragam putih abu-abu yang mulai luntur karena waktu.

Angin yang menerpa wajahku terasa segar. Beberapa menit yang lalu, hujan telah reda. Tetapi awan mendung masih menyelimuti langit yang belum juga terang. Aku tidak terlalu peduli. Saat ini, aku harus segera membangunkan tetangga sekaligus teman kecilku yang susah sekali jika disuruh berangkat sekolah awal. Untungnya dia belum pernah menjadi sasaran kemarahan guru BK.

Tanpa pikir panjang, kuketuk pintu depan rumahnya tiga kali. Tak ada respons. Ah, sudah kuduga. Lagi-lagi dia bangun terlambat. Yang terjadi tetap sama meskipun diketuk berkali-kali. Akhirnya, setelah cukup lama tidak mendapat balasan, aku melakukan hal sama pada salah satu jendela kamar dengan gorden terbuka.

Sulit sekali. Membangunkan anak itu seperti menyuruh pagar yang jatuh untuk bangkit sendiri. Sangat menyebalkan. Dia sama sekali tidak bergerak kecuali untuk mengusap cairan lengket yang mengalir dari ujung bibir. Padahal seharusnya ia bersyukur karena memiliki tetangga perhatian sepertiku.

Karena sudah cukup emosi, sebuah pukulan tanpa sengaja membentur kaca tersebut dengan keras hingga mengejutkan pemilik rumah. Malas-malasan, pemuda itu membuka mata yang terlihat sangat berat, kemudian menguap lebar. Akhirnya, setelah segala usaha yang kukerahkan, ia membuka jendela kamar yang masih basah akibat rintik air.

"Ayolah, kamu pasti begadang lagi, kan? Cepetan siap-siap, sebelum kita berdua kena marah Pak Anwar gara-gara telat satu menit!" titahku dengan emosi yang meledak-ledak. Cowok itu hanya mengangguk samar sambil mengucek-ngucek mata yang masih terlihat merah dan berair.

Bukannya bergegas mandi, dia justru menggerutu. "Santai, Riz. Ini kan masih jam empat pagi. Pak satpam aja pasti masih tidur. Udah, pulang dulu sana. Ini juga belum subuh. Kan enggak mungkin kita dateng jam segini terus salat di musholla sekolah." Kenapa tidak? Aku selalu melakukannya beberapa hari terakhir.

Baru saja ingin kulontarkan kalimat itu, dia kembali mengeluarkan pembelaan atas kemalasannya. "Udahlah, Riz. Aku mau tidur lagi. Bangunin aku kalo sudah azan subuh," kata lelaki itu lalu menutup kembali jendela kamar tanpa memedulikan jawaban dariku.

Aku mendengus sebal, menoleh ke segala arah. Kota masih begitu sepi, karena memang jam di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul empat lebih lima menit. Padahal apa salahnya bangun lebih awal daripada matahari? Lagi pula semalam aku mengalami insomnia karena terlalu semangat menunggu pagi.

Fian, dia sejak kecil tidak pernah berubah. Bukan hanya sulit bangun pagi, dia juga malas sekali jika diajak berolahraga. Lari keliling lapangan sekolah lima belas kali saja dia tidak kuat. Tetapi yang aneh, dia selalu saja mendapat skor di atas sembilan pada pelajaran pendidikan jasmani, jauh di atas nilaiku.

Akan tetapi di luar semua itu, dia adalah laki-laki yang baik. Tidak peduli meskipun selalu digoda oleh teman-teman yang lain, cowok itu selalu menjadi yang pertama menghiburku ketika kesedihan melanda. Walaupun terkadang bersikap kekanakan, ia selalu berusaha menjadi sahabat yang perhatian untukku. Bahkan ketika semua orang menjauh, dia tak pernah menghindariku.

Laki-laki itu tinggal bersama saudara perempuannya yang merupakan mahasiswa psikologi semester akhir. Mereka adalah kakak beradik paling kompak yang pernah kutemui. Setelah Ibu pergi setahun yang lalu, mereka menjadi keluarga baru yang menerimaku apa adanya. Terlebih Fian yang sejak kecil mengenalku, kini menjadi seperti adik kandung – yang terkadang sulit sekali dinasehati.

Ah, waktu bersamanya selalu menyenangkan.

Lima belas menit terbuang sia-sia karena digunakan untuk melamun sembari menunggu azan subuh yang menjadi penanda waktu kapan aku harus membangunkan Fian kembali. Yang kulakukan hanya mondar-mandir di halaman rumah yang terlalu sempit untuk sekadar ditanami bunga.

"Meong!"

Suara itu seketika memecah kesunyian dini hari. Kualihkan pandangan pada pohon besar di pinggir jalan yang menjadi asal bunyi tersebut. Netraku seketika menemukan seekor anak kucing – yang entah bagaimana caranya bisa berada di sana tanpa bisa turun. Ah, tidak usah dipikirkan. Yang terpenting sekarang adalah menolongnya.

Tanpa berpikir dua kali, kulepaskan sepatu di depan pintu rumah Fian kemudian memanjat pohon setinggi empat meter itu. Batang yang basah menjadi licin dan membuat kakiku hampir terpeleset. Akan tetapi, tekad di dalam dada ini sudah bulat. Aku akan menolong anak kucing itu apa pun yang terjadi.

Setelah bersusah payah, tanganku akhirnya berhasil menggapai salah satu ranting yang letaknya cukup tinggi. Kucing berbulu cokelat itu tampak ketakutan, hingga mundur beberapa langkah. Benar-benar sulit. Butuh beberapa menit bagiku untuk menenangkan makhluk kecil yang kedinginan itu.

"Rizna! Riz, kamu ngapain di situ? Cepat turun!" Aku yang asyik duduk di salah satu batang pohon sambil memeluk hangat anak kucing itu menoleh. Di bawah sana, tampak Fian yang berteriak panik sambil melambai-lambaikan tangan ke arahku. "Kamu enggak bisa turun? Tunggu ya, aku ambil tangga!" seru cowok itu sembari berbalik hendak masuk kembali, sebelum aku menghentikannya.

"Aku bisa turun, kok," sahutku seraya tertawa kecil melihat sikapnya. "Tapi ... aku enggak bisa sambil bawa kucing ini!" aku melanjutkan. Fian mengusap wajah yang berkeringat dingin kemudian mengembuskan napas panjang.

Tanpa berucap apa pun lagi, dia menaiki pohon tempatku sekarang untuk mengambil anak kucing ini kemudian turun perlahan. Kulihat dia meletakkan hewan kecil itu di tanah kemudian membiarkannya berlari entah ke mana. Sayang sekali. Padahal aku ingin merawatnya di rumah.

"Kamu ini, lain kali hati-hati. Untung kamu enggak kenapa-napa," dengus Fian sesaat setelah mengamatiku dari kepala hingga ujung kaki. Aku menatapnya bingung. Bukankah itu tidak salah? Anak kucing itu kan butuh pertolongan. Jika seseorang tidak menurunkannya, dia mungkin akan tetap di sana sampai kapan pun.

"Lagi pula, kucing itu punya otot yang kuat. Kalau jatuh, dia enggak bakal patah tulang. Beda sama kita," papar laki-laki itu panjang lebar.

Karena tak tega melihat wajah khawatirnya, aku hanya membalas dengan satu kalimat. "Iya, maafin aku, Fi."

***

Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya pembina ekstrakurikuler voli itu mengizinkanku pulang lebih awal. Tentu saja setelah memberi lusinan peringatan yang selalu beliau ucapkan kepada siswa lain yang bolos latihan. Aku hanya mengangguk. Jika saja ini bukan urusan penting, aku takkan meninggalkan timku yang sebentar lagi akan menghadapi pertandingan.

Ralat, hampir setiap sore aku tidak bisa melakukan latihan dengan bebas. Semua ini tentang Rizna yang terpaksa hidup dengan bipolar disorder tipe 1. Jika tidak diawasi, dia bisa saja melakukan hal yang lebih berbahaya daripada memanjat pohon dengan rok pendek. Kapan pun, sikap impulsif itu tetaplah pembawa masalah besar.

Biasanya dalam waktu satu minggu, gadis itu bisa menjadi yang terbaik dalam bidang apa pun. Dialah yang menjadi alarm bagiku untuk bangun setiap pukul empat pagi. Pencapaiannya di sekolah pun sungguh luar biasa.

Ya, andai itu bertahan selamanya.

Namun, yang terjadi justru berbanding terbalik setelah periode manik itu berakhir. Dia akan mengalami depresi selama hampir dua minggu. Bahkan untuk memintanya makan saja sangat sulit. Akan tetapi, jelas itu bukan apa-apa dibanding mendengar Rizna terus-menerus menyalahkan diri sendiri atas kematian ibunya.

Rizna seharusnya tak perlu merasakan semuanya. Seolah tidak cukup membuat dia menderita karena sang Ibu – yang juga pengidap bipolar – bunuh diri setelah seorang pria tak bertanggung jawab pergi entah ke mana, kini takdir membuat ia juga menderita penyakit yang telah membunuh ibunya.

Tidak, itu semua belum cukup. Perempuan itu harus menerima berbagai stigma karena pada penyakit yang diderita. Memang dalam episode manik dia sama sekali tidak pernah menghiraukan semua omong kosong itu. Akan tetapi perkataan mereka memperbesar keinginan bunuh diri Rizna saat episode depresif.

Kubuka pintu kelas lebar-lebar. Hanya ada seorang perempuan di sudut ruangan dengan mata yang memerah karena lelah menangis. Tatapannya kosong, sementara kelopak matanya tampak menghitam karena kurang tidur. Sudah kuduga. Setelah seminggu mengalami episode manik, depresi selama dua minggu akan menguasai setiap tindakannya.

Baru saja aku hendak mengajak pulang, gadis itu berkata lirih. Karena kelas sudah kosong, bisa kupastikan dia bicara denganku. "Fi, apa aku ini ... benar-benar gila?" Pertanyaan itu terasa mengiris hatiku. Kata yang satu itu, ingin sekali aku hapus dari kamus serta ingatan setiap orang.

"Benar, kan? Selama ini aku sudah gila. Kenapa kamu mau saja berteman dengan orang gila?" ucapnya lagi. Setitik air tanpa interupsi mengalir di pipinya yang memang sudah basah. "Pasti aku juga kan yang bikin Ibu bunuh diri? Aku yang bikin Ayah pergi dan enggak pernah balik sampe sekarang?"

Aku mengembuskan napas yang terasa berat. "Riz, kita pulang, yuk. Keburu hujan lagi."

"Mereka semua benar. Aku ini gila, aku ini terkutuk, kurang kuat iman, aku ini persis apa yang mereka bilang," lirihnya kemudian menangis tersedu. Suara isak itu benar-benar menusuk sampai ke lubuk hati. "Aku juga ... ingin cepat-cepat mati," ungkapnya.

"Aku ingin mati saja!" jeritnya sambil menjambaki rambut panjang yang kusut seolah ingin mencabut helaian surai hitam itu dari akarnya. "Aku sudah gila. Aku tidak tahan lagi. Aku ingin segera menyusul Ibu!" Teriakan itu menggema di dalam hatiku, persis seperti yang terjadi dengan suara di ruangan kosong.

Sahabat macam apa aku?!

Keluhan Rizna sudah cukup membuat kedua mata terasa panas seperti mengiris bawang merah. Dengan cepat, jempolku menyambar air mata yang hampir menetes. "Kita harus ke psikiater sekarang, Riz," ujarku kemudian menarik lengannya kuat-kuat. Sekarang bukan saatnya menjadi melankolis. Dia harus dapat penanganan dari ahli.

Rintik hujan pertama jatuh, hampir bersamaan dengan air di sudut mataku yang kembali menetes. Kupercepat langkah hingga sampai di halte yang sepi. "Tunggu di sini, Riz. Aku pergi ke rumah temen di dekat sini buat pinjem payung sebentar," titahku. Perempuan itu hanya mengangguk lemah sembari duduk di bangku halte yang mulai basah.

Ini sudah tidak bisa dibiarkan. Dia harus segera mendapat bantuan, tak peduli berapa pun biaya yang dibutuhkan. Jika hari pertama episode depresif-nya saja sudah separah ini, bagaimana dengan empat belas hari berikutnya? Adakah yang bisa menjamin dia akan memilih untuk tetap hidup sampai besok pagi?

Setelah berhasil mendapatkan benda yang kubutuhkan, tanpa berpikir dua kali aku berlari ke tempat Rizna. Tidak peduli meski harus menembus hujan, yang terpenting adalah melihatnya tetap hidup. Namun, kakiku seketika membeku tatkala melihat tak ada orang di tempat Rizna menunggu.

'Sial, di mana dia?' geramku seraya menoleh ke segala arah. Hujan yang semakin deras menghalangi jarak pandang. Hanya tampak beberapa kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bisa dikatakan cuma tersisa aku di sini, juga ... seorang gadis yang berjalan perlahan mendekati kucing di jalan raya yang mirip dengan yang kuselamatkan tadi pagi.

Kupaksa kedua kaki yang mulai terasa pegal untuk mengejar perempuan itu, sebelum truk dengan lampu yang menyoroti rintik hujan sampai di tempat itu. "RIZNA!" aku berseru dengan suara parau. Kucing yang seolah sengaja kehujanan itu berlari cepat ke bawah pohon yang terletak di seberang jalan. Tetapi truk yang melaju dengan kecepatan tinggi itu sudah berjarak sekitar enam meter dariku.

Apakah ini ... akan berakhir tragis?

Suara klakson truk terdengar memekakkan telinga. Kudengar suara mesin begitu jelas melintasi kami. Aku mengerjap-ngerjap, memandang bingung mobil besar yang hampir menyebabkan sebuah kecelakaan. Ia tampaknya memutar setir hingga tak jadi menabrak kami.

Tanpa berpikir panjang, aku pun menyeret paksa tubuh Rizna ke pinggir jalan sebelum kendaraan lain datang. Gadis itu menangis tersedu, menenggelamkan wajahnya dalam dadaku. "Kita enggak kenapa-napa. Udahlah, Riz. Jangan takut," bisikku seraya mengelus pundaknya.

Akan tetapi, menghentikan isak tangis itu sama sekali tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Maaf, gara-gara kucing itu lagi, kamu jadi khawatir," katanya dengan suara bergetar. "Aku mungkin memang gila. Tapi ..., aku cuma mau nolongin dia ... walaupun aku yang harus mati."

Kalimat itu membuatku terharu. Dadaku terasa sungguh sesak. Aku kembali menyentuh pundaknya yang bergetar. Seharusnya orang yang sudah tak memiliki belas kasihan-lah yang pantas dilabeli kata itu. Tidak seperti Rizna. Gadis itu sama sekali tidak gila.

Dengan atau tanpa bipolar disorder itu, dia tidak pernah berubah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro